Senin, 14 Agustus 2023

Sebuah Pesan

"Is it cool that I said all that? Is it chill that you're in my head? 'Cause I know that it's delicate"

(Taylor Swift - Delicate)

Kamu tahu, sering kali kita akan mengingat-ingat bagaimana sesuatu itu terjadi untuk pertama kalinya saat semuanya sudah berada pada titik akhir atau saat kondisi terlanjur menjadi sangat rumit.

Misal, saat akhirnya kamu harus bolak-balik ke kamar mandi karena sakit perut, maka kamu akan bertanya-tanya kenapa semalam kamu bisa memaksakan diri makan makanan pedas terlalu banyak. Atau saat kamu mulai ketagihan untuk menonton serial drama, kamu akan mengingat-ingat siapa atau apa yang membuatmu akhirnya mulai menonton itu dan akhirnya lupa waktu.

Kadang, saat semuanya sudah sangat terlambat atau terlanjur, barulah kita ingin kembali ke titik awal dan mencoba mengingatkan diri kita sendiri untuk berhenti, tidak berhenti, atau sekedar memikirkan ulang keputusan kita kala itu. Walau tentu saja, itu semua tidak akan bisa kita lakukan. Tentu opsi kembali ke masa lalu, tidak pernah ada dalam pilihan manusia.

Dan anehnya, kita sering kali benar-benar terlupa, apa dan kapan titik awal mulanya, karena tahu-tahu kita sudah menjalani situasi dan konsekuensinya.  

Namun kamu tahu, aku sedikit berbeda kali ini. 

Di hari pertama aku menghubungimu, semua bagian diriku seperti berteriak kencang, "Ingat-ingat ini, ini akan menjadi awal mula dari sesuatu". Tentu saja aku bingung, karena apa yang harus aku antisipasi dari obrolan kita yang sangat tidak menjurus pada apapun itu. Namun perasaan bahwa aku harus mengingat-ingat hari itu sebagai awal mula, sungguh tidak mereda hingga beberapa hari setelahnya.

Apa sih yang akan terjadi?, tanyaku sungguh penasaran berhari-hari. Hari itu, aku seperti mendapat pesan dari masa depan. 

Dan baru setahun setelahnya, aku mendapat jawabannya. 

Image source: https://id.pinterest.com/pin/229683649737598932/

Minggu, 02 Juli 2023

Tidak Ada Check List Hari Ini

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sering mendengar istilah toxic productivity. Sebuah istilah baru yang menjelaskan bagaimana kebanyakan masyarakat di perkotaan merasa bersalah jika mereka beristirahat. Setelah membaca konsep itu lebih dalam, saya jujur sulit menilai apakah saya masuk dalam kategori toxic productivity atau tidak. Karena bagi saya, tidak ada salahnya jika kita selalu berusaha untuk produktif, dan lagi pula, yang seperti apa sih yang dinamakan toxic itu? Malah kalau menurut saya, justru lebih baik over produktif daripada waktu sengganggnya dipakai untuk hal-hal tidak berfaedah.

Tapi sebenarnya, jauh sebelum saya mengenal istilah toxic productivity, saya sudah mengenal konsep check-list. Sebuah konsep yang saya maknai sejak kecil bahwa setiap harinya saya harus membuat check list dan mencentangnya. Jika ada hari di mana saya gagal mencentang check list tersebut, entah kenapa saya merasa gagal.

Mungkin, ini semua berawal ketika saya masih ada di bangku Sekolah Dasar. SD saya waktu itu mengharuskan setiap siswanya mengisi buku aktivitas siswa bernama Buku Kegiatan. Didalamnya kami perlu mengisi check list dari matrik aktivitas yang tertera di buku tersebut. Mulai dari sholat 5 waktu, baca Al Quran, belajar, hingga kalau tidak salah berbuat baik pada sekitar, dan itu semua harus diberikan paraf orang tua. Buku Kegiatan itu wajib dikumpulkan tiap pagi di meja guru piket, dan akan dikembalikan lagi saat pulang sekolah. Jika ada siswa yang tidak membawa buku itu, maka akan diberikan hukuman, entah itu memimpin baca Al-Quran atau piket tambahan. Jadi kebayang ya, bagaimana setiap malamnya saya sibuk mencentang semuanya dan meminta paraf orang tua.

Lalu sesampainya di rumah, selama SD, sebelum tidur, kedua orang tua saya akan memanggil saya dan bertanya apakah saya sudah melakukan tugas-tugas saya. “Udah ngerjain PR? Udah bantuin mbak siram tanaman? Buku-buku udah dimasukin semua?”. Beberapa kali saya harus berbohong karena saya takut menjawab ada dari hal-hal tersebut yang belum saya kerjakan.

Hal itu berlanjut saat SMP. Tapi karena tidak lagi ada Buku Kegiatan yang wajib diisi, saya punya satu binder yang isinya adalah check list kegiatan yang harus saya lakukan. Mulai dari membaca materi A, mengerjakan PR, hingga check list ekstra kurikuler. Kalau sudah selesai dengan list-list tersebut, saya akan dengan lega mencoretnya. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya SMA dengan kegiatan yang 2 kali lebih sibuknya. Bahkan hingga hari ini saya memasuki kepala tiga pun, kebiasan membuat check list menjadi hal wajib yang harus saya lakukan.

Dari situlah saya merasa, ritme dan kualitas hidup saya sangat ditentukan dari check list yang saya buat dan yang sudah berhasil saya centang.  Pertanyaannya, apakah saya pernah menuliskan dalam list tersebut hal-hal untuk diri saya sendiri? Seperti misalnya, “Makan eskrim enak tanpa diminta adek”, “Tidur siang yang nyenyak tanpa takut telat masuk les.” Atau sesederhana, “Main sepuasnya, pulang kalau capek saja”. Tentu saja tidak. Hal-hal seperti itu tidak pernah ada dalam daftar saya. Karena semua check list yang saya buat adalah upaya agar saya bisa menjadi siswa terbaik dan menjadi netizen yang baik.

Check list memang membantu saya agar saya bisa mendapatkan hasil yang baik dalam kehidupan akademik dan sekarang pekerjaan. Tapi apakah check list membantu saya menjadi pribadi yang lebih menikmati hidup?

Hingga tahun 2022, untuk pertama kalinya saya melakukan perjalan ke Korea Selatan seorang diri untuk liburan. Karena ini adalah perjalanan jalan-jalan ke luar negeri sendirian pertama kalinya, saya punya pikiran kalau saya tidak boleh rugi waktu dan uang. Pokoknya, apapun yang terjadi, saya harus menikmati liburan saya hingga detik terakhir. Sayapun mulai membuat rencana perjalanan yang tidak ambisius namun cukup padat. Karena saya mulai dari pergi ke Busan untuk menonton konser BTS, maka saya mengestimasikan di Busan selama 3 hari, lalu pergi ke daerah pegunungan, Gyeongju selama 3 hari, dan lalu pegi ke Seoul selama 3 hari. Harapannya, 9 hari saya di Korea Selatan, saya bisa maksimalkan dengan baik. Semua tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, tempat makanan, hingga barang-barang yang ingin saya beli, semua ada dalam check list saya.

Saat itulah saya mulai menyadari sesuatu.

Jadi, singkat cerita, sebelum saya pergi ke Korea Selatan, saya baru saja menyelesaikan kegiatan monitoring dan evaluasi di Kalimantan selatan dan setelah itu saya wajib untuk ikut workshop finalisasi hasil temuan selama 3 hari yang mana juga harus berkejar-kejaran dengan pekerjaan lain. Walaupun bos saya sudah tahu bahwa saya akan cuti selama 12 hari, namun hari terakhir workshop temuan lapangan sangat mepet dengan keberangkatan saya ke Korea Selatan, sehingga saya belum secara final menyelesaikan laporan saya. Padahal saya sudah membuat check list bahwa semua kerjaan harus selesai sebelum saya ke Korea Selatan. Namun jangankan laporan selesai, saya bahkan saangat terburu-buru pulang dari kantor untuk bisa persiapan ke Korea Selatan malamnya. Alhasil saya ke Korea Selatan dengan membawa beban pikiran, laporan saya belum selesai!

Saat sampai di Korea Selatan, agenda pertama saya adalah nonton konser BTS, maka saya langsung mengaktivasi fangirling mode. Semua berjalan sangat baik hingga dan saya sudah mencentang check list ‘menonton Konser BTS’.  Barulah di hari kedua, saya terbangun dengan pikiran, “Aku punya check list yang harus saya lakukan. Ayo Ipeh, bangun” yang mana di saat yang bersamaan, saya punya pikiran, “Aduh, laporan saya belum selesai” dan saya masih dalam eforia habis nonton konser BTS, “Aduh, Jimin ganteng banget.”

Alhasil, dengan badan yang masih rontok setelah nonton konser BTS, saya bangun, mandi, dan membuka laptop sambil menyelesaikan laporan lapangan saya. Hngga saya tersadar bahwa waktu hampir sore dan saya hampir membuang waktu saya di Korsel untuk menyelesaikan pekerjaan. Saya merasa check list hari kedua tidak bisa saya laksanakan, padahal saya sudah membuat list dari pagi hingga malam hari. Di situ saya merasa amat sangat frustasi.

Sore itu saya memutuskan untuk segera menutup laptop dan menikmati Busan. Di momen itu juga saya bilang ke diri saya sendiri bahwa bukan salah saya jika timeline saya ke tugas lapangan itu mepet dengan jadwal keberangkatan saya ke Korea Selatan yang memang sudah jauh-jauh hari saya rencananakan. Bukan salah saya jika jika laporan itu belum selesai karena saya punya pekerjaan inti yang juga harus saya selesaikan. Di sebuah sore di Busan, sambil berjalan kaki menuju pasar tradisionalnya, saya tarik nafas panjang dan berkata lirih, “Kalau habis ini aku dinilai tidak perform, tidak apa-apa. Aku punya keterbatasan”.

Tidak hanya bertekad untuk tidak menyelesaikan laporan saya selama saya di Korsel, tapi juga saya mengabaikan semua check list yang saya buat untuk 9 hari saya di Korea Selatan, tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi, tentang makanan-makanan yang harus saya makan, tentang apapun itu. Sore itu, saya menikmati Busan tanpa beban.

Hari-hari selanjutnya di Korea Selatan saya hanya melihat check list saya sepintas dan menjadikan itu sebagai panduan saja, bukan kewajiban. Saya memutuskan untuk tidak mengukur keberhasilan saya dalam 9 hari itu dengan seberapa banyak check list yang sudah tercentang. Hanya sebatas panduan yang jika mood dan energi saya pas, saya akan menepatinya. Saya melakukan banyak improvisasi dan lebih menikmati waktu. Saya memutuskan untuk lebih lama di Busan dan melamun di pantai lebih lama dan mengurangi waktu di Seoul. Entah kenapa, saya merasa sangat hidup selama liburan saya di Korsel.

Perjalanan selama 9 hari di Korea Selatan menyadarkan saya bahwa semakin terpakunya saya pada check list, semakin sulitnya saya menikmati hidup yang sedang terjadi saat itu juga. Mungkin sebenarnya bukan check list-nya yang salah, namun kebiasaan saya yang tidak pernah memasukan kebutuhan emosional saya dalam list tersebut yang membuat saya tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Ditambah cara saya memperlakukan check list sebagai indikator keberhasilan saya sebagai manusia.

Saya tidak akan berhenti menggunakan check list, karena check list tetap membantu saya menjadi seseorang yang memiliki etos kerja yang baik dan memiliki prestasi yang baik sejak sekolah hingga bekerja. Check list membuat saya tetap memiliki panduan, terutama jika saya sedang hilang arah. Check list membantu saya tetap bergerak dan tidak membuang-buang waktu hanya untuk karena malas.

Namun saya tidak boleh lupa, bahwa dalam hidup, akan banyak check list yang butuh lama agar kita bisa mencentangnya. Anggaplah, ‘sembuh dari trauma masa kecil’, ‘memproses emosi setelah dimarahin bos’, ‘memulihkan rasa percaya setelah dihianati kekasih’. Check list semacam itu tidak akan benar-benar bisa kita centang. Semakin diburu-buru untuk mencentangnya, semakin sulit menikmati prosesnya. Untuk itu, saya akan belajar untuk hanya menulis satu check list besar tanpa harus saya dikte turunanannya. 

Dan check list tersebut adalah 'Menikmati hidup saat ini'.


Selasa, 28 Februari 2023

Memori Baru

"And you should think about the consequence of you touching my hand in the darkened room.

If you've got a girlfriend, I'm jealous of her, but if you're single that's honestly worse.

'Cause you're so gorgeous it actually hurts."

(Gorgeous -Taylor Swift)


Semakin dewasa, semua terasa seperti pengulangan. 

Rute dari apartemen ke kantor.

Perjalan dinas mengelilingi Indonesia.

Bertemu sahabat-sahabat yang itu-itu saja. 

Makan siang dengan pilihan tempat yang itu-itu saja.

Tidur panjang setiap ke Jogja. 


Tapi siang menuju sore hari itu, menjadi hal pertama tanpa pengulangan. 


Kamu menunjukan sisimu yang lain. 

Menghadapku tanpa distraksi. 

Di tengah-tengah 2 cangkir kopi. 


Dan itu menjadi hal pertama setelah sekian lama. 




Sabtu, 31 Desember 2022

Karena Sedang Hidup Maka Saya Sedang Menikmati

 Sebuah Refleksi 2022

When everything I believed in grew distant, when all this fame turned into shackles, please take my desire away from me. No matter what it takes, oh, let me be myself.

(RM – Wildflower)

Seperti biasa, setiap tahunnya, saya punya dua rutinitas yang selalu saya lakukan. Pertama adalah membuat refleksi akhir tahun dengan mengingat-ingat apa saja yang terjadi di sepanjang tahun dan kedua adalah membuat resolusi. Rutinitas yang sudah saya jalani sejak SMP ini entah kenapa membantu saya untuk sejenak diam dan merenungkan kemana perginya 365 hari yang lalu itu, dan memetakan saya sedang berada di tahapan mana.

Tahun ini saya mencoba membuat refleksi dengan cara melihat semua foto-foto yang tersimpan di google photo dari Bulan Januari hingga Desember dan kemudian menuliskan highlight dari masing-masing bulannya. Setelah selesai menuliskan hal-hal yang ada di Bulan Desember, saya menarik nafas panjang dan langsung mengubah posisi duduk yang tadinya tegak lalu menyender. Refleks saya berkata, “Pantes kamu soak, Peh. Pantes kamu jadi jauh lebih jutek akhir-akhir ini, Peh. It is too much!”

Hingga saya tersadar bahwa hanya sedikit dari resolusi yang tercapai tahun ini. Untuk sejenak saya merasa gagal karena hanya bisa men-checklist sangat sedikit target. Saya merasa tidak bisa punya komitmen untuk melakukan target-target yang sudah saya tentukan di awal tahun. Sejenak saya memarahi diri saya sendiri yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri untuk bisa fokus pada target-target yang sudah saya tetapkan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa 2022 menjadi tahun yang amat sangat sibuk bagi saya, bahkan setelah saya lulus kuliah hingga 8 tahun bekerja inilah tahun tersibuk yang pernah saya lalui. Tahun ini, entah berapa kota yang sudah saya kunjungi tahun ini, tidak terhitung berapa hotel untuk rapat intensif yang saya ikuti, hari-hari saya pulang malam dan keesokan harinya sudah hari bekerja lagi. Saya bahkan pernah ada dalam 4 kota berbeda dalam kurun waktu 4 hari. Jumat siang ke Pemalang, Sabtu siang ke Jogja, Minggu siang ke Jakarta, Senin dini hari ke Ambon. Tahun ini saja, saya pulang ke Jogja menjelang lebaran adalah H-2 dan bahkan ketika saya pergi liburan ke Korea Selatan, pagi hingga siangnya saya masih di kantor menyelesaikan laporan. 

Namun, pikiran-pikiran negatif itu hilang perlahan ketika beberapa foto mengingatkan saya pada emosi-emosi dari setiap kejadian-kejadian di tahun ini. Misalnya, saat melihat foto-foto saat tugas lapangan di Aceh, saya ingat rasanya guling-gulingan di kamar hotel hingga membatalkan puasa karena sakit. Saat melihat foto kamar hotel bintang 5 tempat saya tinggal, saya ingat sensasi mualnya karena bekerja hingga jam 10 malam. Atau saya perlu menenangkan diri saat seorang rekan kerja mem-block nomor WhatsApp saya entah karena alasan apa. Perasaan-perasaan yang timbul itu seakan memberikan pembenaran bahwa memang tidak banyak yang bisa saya lakukan selain bekerja karena saya sudah kelelahan.

Mungkin benar, kalau saya kurang memiliki ketegasan dalam mengatur waktu, tidak disiplin dalam mengelola waktu, atau tidak bisa memfokuskan pada hal-hal yang ingin saya dalami. Tapi saya tidak bisa melupakan fakta bahwa saya ini juga bukan robot. Sebagai manusia, saya juga merasakan istilah-istilah sepeti emotionally drained, demotivasi, atau ya sesederhana mager setelah rapat yang bertubi-tubi yang dilakukan sepanjang minggu. Walaupun nyatanya di tahun ini saya sering menekan sisi-sisi humanis sebagai manusia agar tetap bisa bekerja, tapi di penghujung hari, tetap saja saya ini manusia biasa yang energinya habis karena terus-terusnya dipaksa untuk melakukan interaksi sosial. Dan jangan lupa fakta bahwa saya adalah seorang wanita yang setiap bulannya harus menghadapi hormon datang bulan yang membuat tubuh saya lemah dan kurang fokus. Sebagai manusia, banyak komponen yang tidak bisa saya abaikan sebagaimana yang saya lakukan pada usia 20an. Sehingga, jikapun badan saya tidak lelah dan saya masih ada tenaga untuk melakukan beberapa kegiatan untuk mencapai target-target saya tahun ini, pikiran dan energi saya yang tidak sanggup.

Namun, bukan berarti saya tidak memiliki capaian tahun ini. Banyak hal yang sudah tercapai tahun ini, walau itu semua diluar resolusi saya. Dan sebenarnya, tahun ini pun saya sedang mulai belajar untuk menikmati hidup dan melihat hidup yang ada di depan mata saya. Karena kalau diingat-ingat, apa yang saya jalani tahun ini adalah sesuatu yang sudah saya idam-idamkan sejak dulu. Tahun ini saya sebenarnya, saya sedang menjalani kehidupan yang dulu mati-matian saya minta kepada Rabb. Namun entah kenapa, saya tetap merasa bersalah karena resolusi saya tidak tercapai.  

Tarik menarik antara keinginan untuk menikmati apa yang saya sedang kerjakan dengan pikiran bahwa saya harus mengejar target-target yang sudah disusun menjadi pertempuran paling keras sepanjang tahun ini. Belum lagi saya merasa bahwa waktu yang sesekali saya habiskan untuk melakukan hal-hal kurang produktif, seperti scrolling tiktok, adalah sesuatu yang salah. Pun perasaan bahwa saya merasa perlu untuk segera menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, yang mana, sayapun tahu, tidak ada satupun urusan pekerjaan yang bisa langsung selesai dan bersantai sejenak itu bukanlah sebuah dosa. Bekerja itu kan maraton. Ada hal-hal yang memang perlu kita hentikan sejenak untuk memberikan ruang pikiran kita bisa berpikir lebih jernih dan kita tidak didera dengan kelehan karena ingin segera menyelesaikan semua hal.

Ini menjadi refeleksi terbesar tahun ini. Saya rasa, saya sedang berada di masa transisi antara saya hari ini dengan diri saya 10 tahun yang lalu. Dulu saya selalu hidup dengan ambisi untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Saya menjadi tidak bisa bersantai hingga masa depan itu terjadi. Selama saya sekolah dari SD hingga SMA, setiap harinya saya belajar agar setiap semester saya bisa dapat ranking tinggi dan ketika lulus, saya bisa masuk jenjang pendidikan yang baik. Lalu saat kuliah, setiap harinya diisi dengan hal-hal untuk mempersiapkan saya setelah lulus kuliah. Bahkan saat sudah lulus kuliahpun, pekerjaan demi pekerjaan saya kerjakan dengan pikiran kalau saya akan membutuhkan keahlian tersebut ketika berada di satu jabatan tertentu. Bahkan kinipun ketika saya sudah berada di jabatan tertentu yang saya persiapkan selama 8 tahun ini, saya sedang berfikir bagaimana membuat diri saya lebih berguna lagi dengan membuat usaha baru. Di mana titik hentinya?

Menyadari bahwa kita tidak boleh lengah hingga kemudian hidup dalam zona nyaman tanpa memiliki ambisi apapun adalah hal yang baik. Tapi jika kita sedang ada di titik menuai apa yang kita tanam, tidak berdosa untuk duduk sejenak dan menikmati buahnya. Salahnya di mana?

Seorang teman pernah bertanya, “Engga sayang apa Peh apartemenya ditinggal terus gitu, kenapa engga ngekos aja, uangnya ditabung buat sekalian beli rumah?”. Saya tersenyum dan membalas, “Karena aku pengen punya kehidupan yang layak sekarang. Ngekos bikin aku kayak engga punya kehidupan yang imbang. Aku pengen tinggal di tempat yang aku merasa sangat hommy dan betah di sana. Karena kalau nabung-nabung buat kehidupan di masa depan, aku engga tau kehidupan masa depan itu akan ada atau engga. Jadi aku butuh menikmati hasil jerih payahku hari ini dengan cara menikmati hidup yang layak.”

Mungkin itu adalah kuncinya. Bahwa alih-alih saya menyalahkan diri sendiri atas banyaknya target yang tidak tercapai tahun ini, saya perlu melihat yang hidup telah berikan kepada saya dan bagaimana saya sebagai manusia yang memiliki jiwa, pikiran, dan tubuh saya menikmati dan mensyukuri itu semua.

Tahun ini adalah tahun yang sibuk, banyak target 2022 yang tidak tercapai, tapi di satu sisi, saya mencapai banyak hal di luar resolusi saya, dan yang terpenting saya sedang menjalani dan berusaha menikmati kehidupan yang ada di depan mata. Saya tidak akan menyesali apapun. Hidup yang ada di depan saya, adalah hidup yang layak saya nikmati. 

 

Source: https://i.pinimg.com/564x/7c/b0/40/7cb04043809ca3ddcaa48af62ad3f59e.jpg

Sabtu, 25 Juni 2022

25 Juni untuk ke 31 kalinya

 

Saat kau p'roleh rasa dalam makna cinta dan hiraukan semua angkara,

hanya satu buah titah yang kami ejawantah: Terlalu banyak cinta kan binasa.

Lihat dirimu, semakin jauh mengayuh, lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh

(Sheila on 7 – Mari Bercinta)

 

Mudah untuk terus berlari dan meraih banyak hal. Setidaknya itu yang selalu saya katakan pada diri saya setiap tahunnya pada bulan Juni tanggal 25, bahwa apapun yang akan terjadi di depan, saya akan terus meraih sesuatu.

Kehidupan seperti halnya makanan prasmanan, yang menunya akan selalu berganti-ganti, menawarkan pada saya banyak hal yang tidak akan pernah ada habisnya. Tapi sepertinya halnya kemampuan perut dalam menampung makanan, kemampuan saya untuk mencicipi semua hal dalam hidup juga terbatas.

Entah kapan pastinya, tapi kini saya mulai bisa untuk mengatakan “cukup” terhadap hal-hal yang saya sukai. Sarapan hotel misalnya, saya kini hanya mengambil sebatas yang saya butuhkan dan merasa cukup. Cara saya bekerja juga, saya batasi tanpa harus merasa bersalah. Saya belajar untuk mengambil semua aspek dalam hidup sesuai dengan porsinya. Jika sudah cukup, maka cukup.

Sekali lagi, mudah untuk terus berlari dan meraih banyak hal, namun jika saya merasa cukup dan ingin berhenti untuk mengatur langkah selanjutnya, itupun tidak mengapa.

Hari ini saya berusia 31 tahun, tentu masih banyak hal yang ingin saya raih, tentu saya ingin menjadi manusia yang lebih baik, namun sayapun ingin menjadi manusia yang tahu kapan saatnya berkata, “Aku engga butuh lebih dari ini, ini sudah cukup…”

Semoga saya dijauhkan dari keserakahan.

 


Sabtu, 21 Mei 2022

SOAK

 

Waktu handphone saya masih Nokia, saya tidak perlu setiap hari mengisi daya baterainya, cukup 2-3 hari sekali, atau malah 4-5 hari sekali. Baterainya cukup awet karena selain fitur handphone-nya yang memang terbatas, saya pribadi juga bukan tipe orang yang sering menelpon atau SMS orang-orang. Sebelum akhirnya saya beralih ke smartphone, alasan saya mengganti handphone kala itu adalah karena hilang diambil orang atau layarnya retak karena terjatuh. Jadi kalau tidak ada alasan mendesak, saya akan benar-benar menggunakan handphone saya sampai tidak berfungsi sama sekali. Setelah smartphone mulai banyak dipasarkan dan saya beralih ke smartphone, alasan utama saya mengganti handphone adalah karena baterainya sudah soak. Pokoknya, jika sudah harus mengisi daya baterai lebih dari 1 kali setiap harinya, padahal penggunaannya hanya terbatas untuk whatsapp dan akses e-mail atau browsing-browsing ringan, itu menjadi indikasi bahwa saya butuh membeli smartphone baru. Walaupun komponen lainnya masih bagus, tapi kalau baterainya soak, itu sudah cukup menganggu bagi saya.

Jika hidup bisa dianalogikan seperti sebuah teknologi smartphone, artinya hidup akan selalu beroperasi untuk mencapai makna dan tujuannya. Karna smartphone dirancang dengan banyak fungsi untuk bisa dimanfaatkan selama benda itu beroperasi dengan baik. Walaupun sebagai pengguna, kita tahu betul bahwa agar bisa beroperasi dengan maksimal, ada banyak komponen yang harus secara konstan diperbaharui, mulai dari sistem operasinya hingga memori penyimpanannya. Kita pun sadar, bahwa ada banyak komponen dalam smartphone yang tidak bisa diperbaharui, melainkan harus diganti sepenuhnya dengan produk baru.  Seperti jika sudah terlalu lama dipakai, baterai handphone akan soak, kamera tidak lagi tajam, kadang suara telepon juga tidak jelas, serta layar yang tidak lagi setajam saat pertama kali dibeli. Kalau kata teman saya, “Itu karena hardware-nya engga bisa ngikutin kemajuan software-nya, Peh.”

Di sebuah cuplikan video BTS, Park Jimin pernah berkata yang kurang lebih intinya begini, “Kalau suatu hari nanti baterai kita semua sudah habis, engga peduli mau seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk istirahat, di saat itu, aku rasa kita harus bubar sebagai BTS. Aku engga yakin aku bisa hadapi sedihnya kayak gimana, tapi aku rasa itu satu-satunya cara.”

Sebagai Army (sebutan untuk fans BTS), saat melihat tayangan itu, tentu saja saya merasa sedih karena artinya satu saat nanti, cepat atau lambat, mereka akan bubar dan tidak ada lagi BTS yang menemani hari-hari saya. Namun secara personal, saya menangkap sesuatu yang sama dengan apa yang dikatakan Jimin.

Dalam kurun waktu satu bulan terakhir ini saja, saya merasa mobilitas saya sangat tinggi. Dimulai dari rangkaian workplan di Bogor di pertengahan bulan lalu, istirahat sehari, lalu ke Aceh untuk monitoring dan evaluasi selama semingguan hingga H-3 Lebaran, sampai ke Jakarta, H-2 lebaran pulang ke Jogja, lalu belum genap libur lebaran selesai, saya sudah terbang ke Papua Barat, berada di Jakarta selama satu mingguan, lalu pergi lagi ke Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Saya tidak hanya merasa disorientasi lokasi, tapi saya juga merasa baterai saya soak.

Awalnya saya sempat berpikir mungkin ini karena rentetan kegiatan dalam kurun waktu 1 bulan yang tidak ada habis-habisnya. Namun ketika saya melihat secara keseluruhan jadwal dan capaian saya dari awal tahun 2022, saya merasa mencapai lebih dari apa yang saya rencanakan. Saya merasa menggunakan energi maksimum saya untuk bekerja, mendaftar beasiswa, dan memulai start-up. Serta di saat bersamaan, saya merasa perlu memulihkan diri dari bekas-bekas pandemi yang menjadi luka serta hadir secara emosioanl untuk teman-teman dan keluarga saya. Pun ketika melihat keseluruhan perjalanan panjang pekerjaan saya, saya ternyata cukup konsisten dan lama berada di bidang ini selama 8 tahun terkahir. Itu semua membutuhkan energi yang sangat besar dan saya merasa wajar jika baterai saya soak.

Apakah ini artinya saya terlalu memfotsir waktu dan energi? Saya kurang tahu juga, tapi sepertinya juga tidak. Dalam penilaian saya, saya merasa mengambil waktu istirahat dengan baik. Hari ketika saya meniatkan diri untuk beristirahat, saya maksimalkan dengan baik. Saya akan tidur, menonton tayangan yang saya sukai, sekedar melihat konten BTS di Tiktok, atau melamun. Alhasil, saya akan lebih baik dan lebih bugar keesokan harinya. Tidak hanya itu, jikapun bukan hari libur tapi saya sudah merasa sangat lelah, saya akan dengan sengaja menutup laptop dan melakukan hal lainya agar dapat kembali segar. Saya merasa, saya sudah semakin mahir dalam beristirahat. Namun, tetap saja, saya merasa baterai hidup saya soak.

Saya tidak tahu apa persisnya yang dialami oleh BTS ketika mereka membicarakan untuk pensiun dan bubar, tapi sepertinya saya bisa merasakan apa rasanya sebagai pekerja di bidang pembangunan sosial yang kelelahan dengan semua rutinitas dan topik-topik yang sama selama hampir 8 tahun terakhir.

Mungkin manusia memang sama persis seperti sebuah handphone dengan kapasitas baterai yang terbatas dan akan soak jika sudah digunakan dalam waktu lama. Pertanyaannya, jika kita bisa mengganti handphone lama kita dan membeli yang baru agar kita bisa mendapatkan manfaatnya, apakah kita bisa melakukan hal serupa dengan hidup kita sendiri? Bisakah kita mengganti kehidupan lama kita dan kemudian mengganti dengan kehidupan baru? Apakah jika BTS memutuskan untuk bubar selamanya karena para anggotanya merasa kelelahan luar biasa, maka kehidupan mereka setelah itu menjadi lebih baik?

Saya tidak pernah benar-benar merasakan kehabisan energi atau ya katakanlah baterai hidup saya soak hingga saat ini. Sebelumnya, saya selalu merasa bahwa banyak hal yang harus dieksplorasi dan baterai saya cukup kuat untuk menampung energi-energi itu. Contoh sederhananya saja, dulu saya tidak pernah melewatkan sarapan di hotel berbintang karena itu menjadi hal yang saya sukai, mencoba menu-menunya dan duduk sambil melamum. Namun sekarang, tidak peduli berada di hotel berbintang manapun, saya sering menelfon room service untuk mengantarkan sarapan ke kamar saya dengan menu yang sama: telur, sosis, buah, dan kopi. Atau jika saya ada di daerah baru, dulunya saya akan menyempatkan diri untuk menjelajahi pantainya, tapi ssekarang, saya ingin menyelesaikan pekerjaan dan tidur di kamar hotel maksimal jam 10 malam.

Jika hidup memang bisa diibaratkan handphone, saya percaya bahwa hidup saya memang berjalan sesuai dengan tujuan dan makna yang telah ditetapkanNya. Hanya saja, untuk tetap beroperasi secara maksimal, sebagai manusia saya merasa banyak komponen yang sudah soak saat ini. Sepertinya energi yang harus dikeluarkan terlalu besar dari kapasitas baterai yang saya miliki hari ini. Jika baterai smartphone masih dalam keadaan baik, kita cukup mengisi dayanya 2 hari sekali. Namun jika sudah soak, baterai akan mudah habis dan kita harus mengisi lagi dayanya bahkan tiap berapa jam sekali. Saya merasa seperti itu sekarang. Betul, saya beristirahat dengan cukup dan sering, namun energi saya akan mudah terkuras karena kondisi baterai-nya sudah soak.

Entah apa yang harus dilakukan saat ini, namun sepertinya mengambil rehat menjadi salah satu pilihan yang akan saya ambil. Saya belum menemukan jawaban bagaimana caranya agar baterai hidup saya tidak lagi soak, tapi satu hal yang saya sadari, jika kondisi berlangsung lebih lama lagi, tidak peduli sebarapa banyaknya istirahat yang saya gunakan, saya tidak akan berfungsi maksimal sebagai manusia. Mengutip apa kata teman saya di awal, sesuatu di internal saya mungkin terlalu besar, sementara kemampuan eksternal saya masih belum diperbaharui.

Semoga saya bisa mendapatkan cara mengganti baterai ini.

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649735566467/


Senin, 04 April 2022

Kematian Pertama

 

“If this can no longer resonate, no longer make my heart vibrate, then like this may be how I die, my first death. But what if that moment's right now?”

(BTS – Black Swan)

Di film Soul, ada satu alam di mana jiwa-jiwa yang tidak bahagia di dunia akan masuk kedalamnya. Di alam itu berkumpul manusia-manusia yang tidak sepenuhnya merasa hidup di dunia, tapi secara raga mereka juga belum mati. Di film itu, contoh yang diperlihatkan adalah pegawai kantoran yang berprofesi sebagai akuntan. Dia ini tidak menikmati hidupnya, tapi secara jasmani dia belum meninggal dunia. Mungkin kalau kita bisa bahasakan, hidup segan mati tak mau.

Saya jadi ingat ungkapan yang pernah saya saya baca bahwa kita akan merasakan mati beberapa kali dan hidup kembali sebelum mati yang sesungguhnya. Ya mirip dengan quote pinterest yang cukup terkenal, don’t die before you are dead’.

Lalu sekali waktu, ketika saya iseng scrolling Twitter, saya membaca postingan dari salah satu Army BTS yang membagikan perspektifnya tentang makna dibalik lagu Black Swan. Dia menulis bahwa melalui lagu itu, BTS membagi ketakutan terbesar mereka yaitu jika merasa musik tidak lagi dapat menggerakan hidup mereka lagi. Mereka takut jika suatu hari mereka bangun di pagi hari, dan merasa tidak lagi ingin bermusik, bagi mereka itu adalah kematian pertama.

Dalam hidup, kita punya banyak sekali aspek, mulai dari asmara, keluarga, pekerjaan, pertemanan, pendidikan, keuangan, dan masih banyak lagi. Saya percaya jika kita mencurahkan segenap rasa yang kita miliki untuk satu aspek dalam hidup kita, itu sama saja kita memberikan ‘nyawa’ pada aspek tersebut. Misalnya, jika kita benar-benar ingin menjadi istri atau suami yang baik, artinya kita akan mencurahkan energi dan komitmen terbaik agar rumah tangga kita berjalan sesuai harapan. Tapi kemudian, karna satu dan lain hal ternyata kita harus berpisah dengan pasangan, perpisahan itu saya percaya, akan merenggut bagian tertentu dalam hidupnya dan itu bisa diibaratkan kematian. Betul kita masih hidup secara raga, tapi ada bagian dari hidup kita yang mati. Jadi wajar jika BTS merasa kalau keinginan bermusik mereka sudah hilang, padahal itu telah menjadi mimpi mereka sejak lama, itu serupa dengan kematian.

Membuat label kematian, tentu akan berbeda satu orang dengan orang lainnya tergantung aspek apa dalam hidupnya yang dipandang penting, dan seberapa besar dia mau mencurahkan energinya. Bagi saya, sebutlah saya picisan, tapi kematian pertama saya adalah pada aspek kehidupan bernama asmara.

Bagaimana saya menyadarinya?

Hingga detik saya menulis ini, hanya ada satu kisah asmara dengan satu orang yang merenggut semua hal yang saya miliki dan saya butuh 6 tahun untuk bisa benar-benar pulih. Kisah ini sangat panjang, tapi saya akan ringkaskan sedikit bagaimana saya menyudahi semua kagalauan dan perasaan padanya, hingga merasa inilah kematian pertama saya.

Anggaplah dia ini seperti makanan yang masuk dalam tubuh saya. Makanan ini sebenarnya dari awal juga tidak baik untuk dikonsumsi, terutama jika porsinya terlalu banyak. Namun 6 tahun yang lalu, badan saya masih sangat bugar dan saya belum bisa membedakan mana makanan yang sehat dan mana yang tidak. Satu hal yang saya tahu, makanan ini menimbulkan efek bahagia dan rasanya enak. Beberapa orang yang tahu bahwa saya mengkonsumsi makanan ini sudah mewanti-wanti, “Jangan dimakan lagi, nanti kamu sakit loh”, tapi saya tidak mau mendengar karena memang efeknya menyenangkan dan rasanya enak. Hingga singkat cerita, saya melampaui batas dan makanan itu tidak bisa lagi saya konsumsi. Saya pikir, permasalahan selesai ketika saya berhenti mengkonsumsi makanan itu. Saya pikir, jika saya detoks, maka tubuh saya akan kembali seperti semula.

Nyatanya tidak. Justru kebalikannya, itu adalah awal mula dari perjuangan yang sebenarnya.

Makanan itu terlanjur memberikan efek buruk bagi tubuh saya. Saya terlambat menyadari bahwa efek makanan itu adalah tumbuhnya tumor dalam tubuh. Tumor itu menyebar dan menjadi kanker yang semakin susah saya obati. Walaupun saya sudah tidak lagi mengkonsumsi makanan itu, namun melawan kanker dan tumor yang sudah terlanjur muncul adalah perjuangan yang luar biasa sulit. Setelah semua upaya saya lakukan, barulah di tahun keenam, saya harus mengambil langkah ekstrem untuk mengamputasi bagian dari tubuh saya agar sel kanker itu tidak lagi menyebar. Tumor hilang, kanker dinyatakan tidak ada lagi, tapi saya lumpuh. Lumpuh memang bukan berarti kematian. Tapi mimpi-mimpi saya untuk bisa mendaki gunung, berenang, dan atau bergerak secara bebas terenggut. Dan itulah kenapa saya katakan sebagai kematian pertama. Begitu kurang lebih analoginya.

Teman saya yang tahu betul perjalanan asmara saya pernah bertanya, “Beneran engga ada perasaan apa-apa lagi, Peh?”

Saya jawab, “Engga… aneh banget ya. Aku juga bingung loh. Kayak doaku terkabul, perasaanku kecabut seakar-akarnya. Hampa dan kosong gitu loh.”

Butuh setahun setelah usaha terakhir untuk memperjuangkan perasaan padanya hingga saya menemukan jawaban mengapa perasaan saya tiba-tiba netral dan kosong. Rupa-rupanya, saya tidak hanya menyudahi perasaan padanya, tapi saya memotong kemampuan untuk bisa mencintai seseorang. Betul perasaan saya padanya hilang, tapi kemampuan saya dalam mencintai dan keinginan untuk bisa mencintai orang lain pun ikut hilang. Saya merasa kosong dan kesepian, tapi saya tidak punya urgensi untuk mencari pasangan. Saya tahu bahwa saya harus memulai lagi untuk percaya, tapi kemampuan untuk itu sedang tidak ada.

Bagi saya, ini adalah kematian pertama. Kenapa? Karena dia membuat saya percaya bahwa harapan untuk bisa memiliki keluarga, sesuatu yang dia tahu betul menjadi keinginan terbesar saya karena hal itu tidak saya miliki sejak kecil, dapat terwujud. Sementara diapun tahu bahwa dia tidak bisa mewujudkan harapan itu dan saya dengan naifnya percaya. Saya menyerahkan padanya satu nyawa dan kini nyawa itu hilang.

Tapi tenang, kabar baiknya adalah sebelum kita benar-benar meninggal dunia, akan ada waktunya kita merasa hidup kembali dan mendapatkan kembali nyawa-nyawa kita yang pernah hilang. Saya percaya ini bukan hal yang selamanya. Ini hanya fase. Saya percaya bahwa akan ada waktuNya saya akan kembali hidup, dan kemampuan saya dalam mencintai akan kembali. Hingga saat itu, biarkan saya mencerna kematian ini.


Do your thang with me now. What's my thang? tell me now.

(BTS)

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/1337074883827688/


© RIWAYAT
Maira Gall