Minggu, 28 Oktober 2018

Saran


Lepaskan saja, karena mengikatkan diri terlalu dekat membuat kita tidak bisa bernafas.

Lepaskan saja, karena menggenggam terlalu erat dan terlalu lama itu bentuk siksaan.

Lepaskan saja, karena kebebasan yang menanti akan menjadi hadiah.

Lepaskan saja, biar terbuka jalannya...

Lepaskan saja, sudahlah...

Lepaskan saja.


Kata mereka.


Aku menjawab, bagian mana yang harus dilepaskan? Tidak ada lagi yang masih tersisa, selain keinginan-keinginan lama dan sisa-sisa harapan. 

Ya, lepaskan itu juga.

Lalu aku bertanya, apakah masih disebut manusia, jika tidak lagi memiliki keinginan dan harapan?

Dan mereka terdiam.


Senin, 22 Oktober 2018

Ransel dan Koper

Hati dan akal pikiran itu serupa ransel dan koper. Memilih mana yang hendak kita masukan ke koper atau ke tas ransel, sama seperti memilih mana yang harus kita masukan ke hati atau ke pikiran.

Pikiran ini terbesit ketika saya selesai mengepak mengepak barang-barang di sebuah malam menjelang kepergian ke luar kota. Waktu itu saya cukup galau karena harus membawa cukup banyak barang bawaan hanya ke dalam satu tas ransel dan satu tas koper. Hampir saya menyerah dan ingin membawa satu lagi tas tentengan. Tapi mengingat saya akan berpergian sendirian, tentulah tidak praktis jika membawa tiga tas, sedangkan tangan saya hanya dua. Maka saya memilih untuk menggunakan tas koper yang lebih besar dari yang biasa saya gunakan, dan satu tas ransel. Setelah proses pengepakan yang cukup lama, akhirnya semua barang-barang itu masuk dalam satu tas koper yang akan dimasukan ke dalam bagasi, dan satu tas ransel yang akan saya bawa ke dalam kabin pesawat. Hap!

Menjelang tidur, saya pandangi ransel dan koper itu, dan saat itulah pikiran tentang analogi hati dan pikiran menyelinap masuk.

Jika diibaratkan, masalah hidup sama seperti barang bawaan. Kadang banyak, kadang sedikit. Kadang penting, kadang tidak penting. Dan ibaratkan kita hanya memiliki satu tas koper dan satu tas ransel, maka memisahkan mana yang harus dibawa dan mana yang akan dimasukan ke koper atau ransel, serupa dengan proses pengambilan keputusan.

Semua yang pernah berpergian pasti tahu, dengan muatan tas ransel yang terbatas, barang-barang yang akan dimaksukan kedalamnya adalah hal-hal penting, yang sewaktu-waktu kita butuhkan, seperti dompet, buku bacaan, jaket, atau alat elektronik. Maka serupa akal manusia, seterbatas itulah kapasitasnya. Akal manusia tidak akan mampu menampung lebih banyak hal, dari selain yang kita ijinkan.

Akal manusia hanya mampu merekam hal-hal yang pernah kita alami, dan tidak akan sanggup membayangkan apa yang belum pernah terjadi. Kapasitas akal manusia hanya akan mengingat hal-hal yang pernah kita alami, baik dari pengalaman sendiri atau dari sumber lain seperti bacaan, lagu, film, atau cerita orang lain. Selebihnya, akal manusia tidak akan sanggup menanggungnya.

Katakanlah dalam pengalaman kita melakukan perjalanan menggunakan pesawat, kita pernah merasa kedinginan, maka dalam penerbangan selanjutnya, kita akan membawa jaket dalam tas ransel kita. Sama halnya dengan pikiran. Saat masalah datang, akal pikiran hanya sanggup memberikan penyelesaian sebatas dari apa yang pernah kita alami. Memberikan gambaran rasa sakit, atau sedih, hingga estimasi waktu kita akan pulih, dari pengalaman kita sebelumnya, atau dari hasil mendengar cerita atau membaca atau menonton.

Lalu apa jadinya jika kita seketika mengalami hal yang belum pernah kita alami sebelumnya? Jika kita belum pernah kehilangan orang yang paling kita sayangi sebelumnya misalnya, atau benda yang paling kita jaga tetiba hilang dan itu adalah kali pertama? Bagaimana akal menanggung semuan itu? Oh…. menurut saya sih, akal tidak akan sanggup. Bersender pada akal saat mengalami masalah berat, hanya akan membuat kita semakin nelangsa.

Mari kita beralih ke koper, dengan muatan besar tapi tersimpan di bagasi. Apa isi koper kita saat berpergian? Saya selalu mengisi koper dengan hal-hal yang saya butuhkan selama saya di daerah atau di lokasi tujuan. Mulai dai pakaian dalam hingga sepatu lari, semuanya saya simpan di koper.

Sebesar-besarnya tas ransel yang kita miliki, pasti akan ada koper dengan muatan yang lebih besar. Jadi jika dalam sebuah perjalanan, kita hanya boleh membawa satu tas ransel dan satu koper, maka yang mungkin untuk dibesarkan kapasitasnya adalah koper.

Sama seperti saya yang akhirnya memilih koper yang lebih besar, untuk barang-barang saya yang banyak. Hati manusia juga punya kelenturan luar biasa untuk melihat masalah. Hanya hati yang punya keyakinan tanpa batas, saat pikiran justru buta dan tidak melihat solusinya. Hanya hati yang punya kesabaran yang luas, saat pikiran menjadi begitu sempit melihat. Hanya hati yang sanggup menampung semua keterkejutan dari masalah yang tetiba datang, saat pikiran justru berubah sebegitu kalutnya. Hanya hati yang bisa.

Maka jika tetiba kita mendapatkan banyak masalah, atau hidup membuat kita terkejut dengan hal-hal buruk yang menimpa, maka luaskan hatinya, lebarkan hatinya, dan sejenak… berhentilah berfikir. Kita semua butuh tenang, sebelum berfikir.

Hanya hati yang sanggup, dan itulah mengapa keyakinan itu bersumber di hati, bukan? Keyakinan akan semua hal, bersumber pada hati, bukan pada akal. Bukankah dari jaman ke jaman, semua jawaban itu berawal dari hati, dan kita disarankan untuk mendengarkan kata hati?

Maka begitulah analogi satu tas ransel dan satu tas koper. Kapanpun kita mempunyai masalah yang besar, oh ataupun ketika kita memiliki keinginan yang besar, yang seakan tidak masuk akal, maka lenturkan saja hati kita untuk sanggup menampung itu semua. Milikilah keyakinan dalam hati, Karena memikirkan itu semua dan menyerahkan pada akal pikiran, percayalah akal manusia tidak akan sanggup.


Minggu, 21 Oktober 2018

Memakan Tempat

Walau belum pernah membaca hasil riset atau kajian tentang bagaimana sebuah tempat dapat membantu seseorang berdamai dengan masa lalunya, tapi setidaknya hal itu berlaku bagi saya.

Hal ini saya rasakan pertama kali dengan tempat yang juga sebuah ibukota Sulawesi Selatan, Makassar. Hubungan saya dengan Makassar sempat memburuk saat saya masih SMP. Bahkan saat SD, setiap kali mendengar kata Makassar atau Ujung Pandang disebut, saya pasti keringatan, ketakutan panjang, dan rasanya ingin marah. Tapi karena saat itu masih SD, emosi saya pastilah dianggap tidak valid.

Ketakutan saya bersumber dari “keharusan” saya melanjutkan SMP di Makassar. Mengapa harus? Itu juga yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Intinya dari yang tadinya berada di jogja, karena satu dan lain hal, saya harus pindah ke Makassar. Saat kejadian itu benar-benar terlaksana, saya benar-benar pindah ke Makassar dan akhirnya menjalani masa-masa SMP saya di sana, Makassar bagi saya seperti sebuah ruangan sempit yang kotor, bau, banyak coretan, dan tidak ada sinar mataharinya. Sumpek. Untuk bertahan selama 3 tahun, bukan hal yang mudah untuk saya. Banyak kejadian yang saya alami selama saya berada di Makassar, dan beberapa diantaranya menjadi titik terrendah yang saya alami sepanjang hidup saya. Walau saya mampu mengenang manis-manisnya Makassar lewat makanan dan persahabatan saya dengan 2 orang teman SMP saya, tapi selebihnya, Makassar sungguh traumatis, baik untuk dikenang, maupun untuk diulang.

Setelah lulus SMP, saya kembali ke Jogja dengan mengubur dalam-dalam semua hal tentang Makassar. Kalau ada yang bercerita tentang Makassar atau bertanya tentang masa-masa SMP, ekspresi saya pasti langsung berubah dan membuat saya terdiam. Rasanya hanya dengan mendengar kata Makassar kembali disebut, sudah cukup bikin ingatan saya melayang pada masa-masa SD di mana keputusan soal pindah ke Makassar itu dibuat, dan tentu saja… masa-masa saat menjalaninya selama 3 tahun. Makassar manjadi sebuah ingatan yang tidak pernah ingin saya kulik-kulik lagi.

Hingga 7 tahun berlalu sejak kepulangan saya ke Jogja…. ada sebuah kejadian yang mengharuskan saya kembali ke Makassar. Dan epiknya, itu kejadian sedih karena ada seseorang yang berpulang. Pikiran saya berkecamuk saat itu, entah karena saya akan kembali ke Makassar, atau karena harus menghadapi berita kematian. Yang jelas, saya ingat betapa saya, di dini hari, di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, duduk sendiri di ruang tunggu pesawat, dan hanya memasang pandangan kosong. Saya bingung, saya takut.

Tiba di Makassar saat itu, selain disibukan dengan manata hati dalam serangkaian agenda kematian, saya melihat Makassar dengan tatapan yang berbeda. Tatapan dari pribadi yang sudah mengalami banyak hal selama 7 tahun. Selama di sana, saya memberanikan diri untuk pergi ke tempat-tempat yang memiliki riwayat traumatis bagi saya. Walau pada akhirnya saya hanya mampu terdiam dan mencoba mengingat apa yang terjadi pada diri saya 7 tahun yang lalu, tapi setidaknya saya menghadapi luka-luka dan ingatan buruk itu secara langsung. Semacam duel dengan diri sendiri. Ada satu tempat di Makassar, yang membuat saya ingin bertemu diri saya 7 tahun lalu, dan memberikan semacam pelukan hangat, dan mengatakan bahwa hidup saya akan baik-baik saja, bahwa saya hanya harus bertahan sedikit lagi.

Kenyataan bahwa saya sanggup menghadapi ketakutan demi ketakutan di masa lalu, pun membuat saya kaget (dan kagum). Dengan hati yang lebih kuat dan dengan pribadi baru yang lebih matang, saya bersedia untuk melihat semua hal yang pernah membuat saya trauma. Hingga saat kembali ke Jogja, saya tidak sadar bahwa ada bagian dari Makassar yang tadinya terluka, perlahan sembuh. Ada bagian dari diri saya, yang tidak lagi menganggap Makassar sebagai sebuah trauma. Ada bagian dari diri saya, yang menjadi enteng saat mengingat Makassar.

Tahun 2017, kurang lebih 4 tahun setelah kunjungan pertama saya ke Makassar, saya kembali ke datang ke Makassar, dan kali ini dalam rangka jelajah Sulawesi. Makassar adalah kota terkahir yang saya kunjungi bersama sahabat saya, Najiyah Nana. Walau Makassar masih tetap mengingatkan saya akan kenangatan buruk selama SMP dan SD, tapi bedanya, saya tidak lagi merasa buruk dengan itu semua. Bermodalkan pribadi yang lebih baru lagi, saya dengan berani kembali mengunjungi tempat-tempat ‘angker’ bagi saya selama SMP. Saya menghadapi trauma demi trauma dengan elegan. Kurang lebih seminggu di Makassar, saat berada di Bandara Hasasanudin menuju kepulangan saya ke Jogja, saya merasa bahwa luka-luka selama di Makassar saat SMP sudah semakin kering. Saya lebih mudah menerima Makassar sebagai bentuk masa lalu yang menjadikan diri saya seperti hari ini.

Di akhir tahun 2017, karena alasan pekerjaan, saya kembali ke Makassar. Tidak tanggung-tanggung, saya bahkan bolak-balik Makassar-Jakarta selama 4 kali dalam kurun waktu 1 bulan. Menariknya, Makassar tidak hanya memberikan saya sebuah pengalaman indah yang baru, tapi saya benar-benar bisa berdamai dengan Makassar serta semua yang pernah terjadi di tahun 2003, saat saya masih SMP. Yaaa… tidak benar-benar semuanya terobati sih… tapi luka yang memang sudah kering, kini hanya tinggal bekas dan tidak lagi mengganggu saya. Makassar tidak lagi menyeramkan, dan bahkan saya berniat mengunjunginya secara rutin.

Saya pikir semua orang akan mengakui bahwa sebuah tempat hanyalah asosiasi dari kejadian yang pernah menimpa kita. Hingga akhirnya otak kita mengaitkan tempat itu dengan sesuatu, baik itu pengalaman menyenangkan atau menyedihkan. Ya… hitung-hitung semua tempat memiliki potensi untuk menjadi monumen pribadi bagi kita. Mulai dari warung pecel hingga tempat elit, jika sesuatu pernah terjadi di situ, maka otak akan mencatat dan hati akan mengenang.

Hal yang sama kini berulang dengan Jakarta. Walau tidak semua tempat di Jakarta memiliki kenangan magis bagi saya, tapi kawasan Menteng dan Jalan Sabang adalah 2 diantaranya. Sama seperti Makassar, beberapa tempat di Jakarta mampu membuat saya diam dan menghela nafas panjang. Seperti ada sesak yang entah apa, hanya dari sekedar lewat di beberapa sudut jalan-jalan tersebut. 

Di sebuah malam di Bulan April sejak kepindahan (sementara) saya ke Jakarta, misalnya, saya bertemu dengan seorang teman di KFC Cikini. Itulah kali pertama saya ke Cikini sejak kepindahan saya tahun ini, dan otak saya seketika memutar sebuah kejadian, dan jahatnya menarik hati saya untuk mengingat. Alhasil, malam itu saya pulang ke kos, dan sedu sedan menangis. Oh… Betapa magisnya sebuah tempat bisa menarik saya pada kenangan demi kenangan.

Pun ketika saya melihat kembali salah satu Mall di Jakarta Barat, ada perasaan yang mau meledak karena pikiran saya memaksa saya untuk mengingat apa yang pernah terjadi. Bahkan di bulan-bulan awal ketika saya pindah (tidak tetap) ke Jakarta, dengan tempat tinggal di Rawasari dan kantor di Thamrin, saya seperti dipaksa untuk kembali mengingat apa yang terjadi sepanjang 2 atau 3 tahun terakhir ini. Tapi sebagaimana Makassar, tempat-tempat itu akhirnya diisi dengan pengalaman dan perasaan yang baru, dan lama kelamaan, luka-luka yang tadinya basah, mengering dengan sendirinya. Sudut-sudut Jakarta yang tadinya memiliki kenangan, menjadi bias. Tempat-tempat itu perlahan kehilangan daya magisnya. Pada akhirnya, saya berdamai dengan semua kenangan dan harapan.

Maka itulah yang saya rasakan, bahwa jika sebuah tempat berpotensi membangkitkan kenangan atau perasaan yang tidak menyenangkan, maka cara terbaik agar bisa berdamai dengan itu semua adalah dengan mengunjunginya lagi, dan lagi, dan lagi hingga tempat itu menjadi sekedar tempat. Hingga kita tidak lagi merasa terseret dengan kenangan-kenangan di tempat itu.

Tapi sebaliknya, jika kita menginginkan sebuah tempat tetap memiliki kenangan yang sama dengan apa yang pernah menimpa kita, maka mengunjunginya hanya akan membuat kenangan itu terkikis. Setidaknya itu yang saya rasakan sejauh ini. Untuk itu, ada beberapa tempat yang sengaja tidak akan saya kunjungi, kecuali sedemikian terpaksanya. Saya hanya ingin menjaga kenangan itu agar tidak hilang dan tetap ada di tempatnya. Agar saya ingat bahwa sesuatu pernah terjadi di tempat itu, dan membiarkan hati dan akal saya mengingatnya serupa dengan kejadian aslinya. Agar saya tidak mempunyai kenangan baru yang dapat menggantikan kenangan lama. Dan agar saya ingat bahwa kenangan di tempat itulah, satu-satunya yang kini tersisa. 

Satu diantara banyak tempat yang akan saya jaga kenangannya adalah Metropole. 


© RIWAYAT
Maira Gall