Senin, 16 September 2024

Menutup Bab Jakarta (1): Terimakasih, Apartemen!

Semua orang yang baru merantau ke Jakarta, pasti bisa memahami kalau Jakarta bukanlah kota yang ramah. Jakarta itu seperti halnya atasan kerja yang awalnya jaga jarak, tapi lama-lama kita bisa melihat sisi lainnya. Kalau jodoh ya kita punya relasi baik, kalau engga jodoh, ya kita akan resign. Bahkan menurut saya, proses pemilihan Jakarta sebagai tempat tinggal tidak hanya berlaku pada sisi orang yang bersangkutan, tapi Jakarta itu sendiri juga ikut mengkurasi siapa-siapa yang bisa hidup di dalamnya. Makanya setiap saya dengar orang berkomentar, “Aku baru 3 hari di Jakarta aja udah pusing, apalagi kamu yang tinggal di Jakarta ya”, selalu saya balas dengan, “Soalnya 3 hari, coba 3 tahun, akan beda rasanya.” "Makin betah?", "Tergantung, jodoh engga sama Jakarta"

Jakarta juga bukan kota yang mudah kok bagi saya pada awalnya. Dibandingkan dengan Jogja yang begitu adem ayem, Jakarta seperti naik kora-kora di pasar malam. Bikin pusing, mual, dan berteriak-teriak histeris awalnya, tapi kalau dicoba beberapa kali, seru juga ternyata. Tapi percayalah, jika Jakarta berhasil mengkurasi kita sebagai salah satu orang yang bisa tinggal dan bekerja dalam waktu lama, maka akan ada tempat di Jakarta untuk kita.

Satu diantara tempat itu bagi saya adalah apartemen ini. Apartemen yang saya tinggali sejak tahun 2020. Butuh beberapa bulan untuk menyebutnya rumah, namun saat itu terjadi, apartemen ini menjadi satu-satunya tempat teraman dan ternyaman bagi saya di Jakarta. Apartemen ini saya dekorasi sesuai dengan kepribadian saya dan saya jaga dengan sangat baik. Apartemen ini menjadi tempat aman saya untuk menangis, tertawa, marah, frustasi, dan jatuh cinta. Setiap kali saya merasa tidak punya tempat di Jakarta, maka apartemen ini seakan hadir memeluk saya dan membiarkan saya menjadi apa adanya. Saya bebas melalukan apapun di sini seorang diri, mulai dari merayakan ulang tahun ke 30, pendarahan dan demam tinggi, momen diterima beasiswa, mewujudkan mimpi-mimpi saya, bekerja, daftar beasiswa, hingga senyum-senyum jatuh cinta pun semua dilakukan di apartemen ini. Apartemen ini adalah saksi saya melewati masa 20 menuju 30 tahun. Dan yang terpenting, apartemen ini adalah tempat pertama saya merasa memiliki rumah dan kehidupan yang nyaman.

Namun seperti halnya sebuah permulaan, tibalah masa apartemen ini pada akhirnya. 

Sayangnya, minggu ini menjadi akhir dari sewa saya di apartemen ini. Tentu saja dada saya membuncah sesak meninggalkan apartemen yang telah menemani saya melewati banyak hal sendirian. Walau berat, tapi meninggalkan apartemen ini menjadi langkah pertama saya menutup bab Jakarta. Tidak mudah, tapi sesuatu yang harus saya lakukan. Galau sudah pasti, tapi pelan-pelan saya pasti bisa lebih legowo.

Terimakasih apartemen, empat tahun ini kita melalui semuanya dengan baik. Simpen semua rahasia baik-baik ya 😊




Mari Hidup, Selayaknya

Saat pandemi di tahun 2020, ada satu kejadian yang menjadi realisasi terpenting dalam hidup saya. Kejadian itu mengajarkan pada saya konsep hidup layak yang sebelumnya belum pernah saya pahami. Itu adalah ketika saya mengambil keputusan untuk pindah ke apartemen.

Sebelum akhirnya memutuskan pindah ke apartemen, saya sempat bergonta-ganti tempat tinggal di Jakarta, sampe akhirnya saya tinggal di rumah yang kamar-kamarnya disewakan, sehingga saya lebih suka menyebutkan rumah ketimbang kos-kosan. Letaknya di pusat Ibukota dan di area perumahan, sehingga suasanya sangat nyaman, tenang, dan aman. Hal yang paling membuat saya betah adalah karena di rumah itu ada saya, Ica, Putri, dan Yuni yang menjadi support system paling baik selama saya di Jakarta. Kami tinggal bersama dari 2018 hingga 2019. Di tahun 2019, Yuni akhirnya menikah dan tinggal bersama di kontrakan terpisah dengan suaminya, sementara Putri kembali ke Jogja karena kontrak kerjanya habis. Tersisa saya dan Ica yang menetap di rumah itu.

Lalu, boom! Pandemi muncul di 2020.

Pada 2 bulan pertama pendemi, saya dan Ica masih tinggal bersama. Lalu tak lama, karena pandemi tidak mereda, akhirnya Ica memutuskan untuk kembali ke Jogja dan menutup sewa kamarnya. Tersisalah saya dan ada 1 orang lagi yang juga sebenarnya tinggal di sana, tapi kami tidak begitu akrab, dan tentu saja keluarga pemilik rumah yang tinggal di lantai bawah. Bagi saya, opsi pulang ke Jogja seperti Ica bukanlah pilihan yang menarik, karena saya tidak ingin terperangkap di Jogja dengan keluarga yang rentan konflik, pada masa pandemi pula. Makanya untuk menghindari itu, pilihan saya adalah bertahan di Jakarta.

Awalnya mudah, saya yang merasa introvert ini tidak merasa sulit beradptasi dengan kondisi yang mengharuskan saya untuk berdiam diri di rumah tanpa berbincang-bincang dengan manusia lain. Namun memasuki bulan keempat pandemi, di situ saya mulai merasa kesulitan untuk mengatasi kesendirian ini. Tidak hanya itu, karna di lantai bawah pemilik kontrakan itu menetap, saya merasa tidak bebas berlalu lalang di rumah itu. Setiap ke dapur misalnya, saya harus menggunakan pakaian yang layak dan tentunya jilbab. Ribet. Untuk itu, menjelang masa sewa kamar di rumah itu habis, saya mulai memikirkan opsi untuk pindah tempat tinggal.

Orang Jawa menyebutnya pulung, mungkin itu yang bisa saya katakan dalam proses mencari tempat tinggal baru yang adalah apartemen. Dari proses saya mencari secara online hingga saya sepakat menyewanya, semuanya hanya terjadi dalam waktu 4 hari (atau 5 hari kalau tidak salah). Cepat sekali intinya. Namun bukan itu inti cerita saya. Inti cerita saya terletak pada malam hari sesaat sebelum saya membayar uang sewa apartemen tersebut.

Biaya saya menyewa kamar di rumah kontrakan yang saya tinggali itu sangat murah dengan fasilitas yang menurut saya sangat memadai. Kamar yang luas, AC, internet, dapur dan listrik sepuasnya. Pada saat itu, bagi saya itu semua sudah cukup. Sehingga tentu saja, opsi pindah ke apartemen yang biaya sewanya lebih mahal dua kali, masih harus bayar IPL dan listrik terpisah, menjadi sesuatu yang saya pikir sangat berlebihan.

Sampai sebuah realisasi itu muncul. Pikiran saya mulai mengajukan pertanyaan, bagaimana caranya mengukur kalau kita sudah hidup selayaknya? Pada titik apa kita menyadari bahwa kita terlalu pelit dengan diri sendiri atau justru terlalu boros? Dan yang terpenting, seperti apa yang disebut hidup selayaknya itu? 

Diam sejenak menarik nafas, hingga saya tersadar kalau gaji saya sebenarnya lebih dari cukup untuk membayar uang sewa apartemen dan semua biaya penunjangnya. Cashflow bulanan saya tidak terganggu sama sekali. Bahkan, saya adalah salah satu yang beruntung karena masih memiliki gaji tetap tiap bulan dengan semua benefitnya di masa pandemi. Lalu apa masalahnya sehingga saya harus mengambil opsi menderita di kamar sendirian lebih lama lagi, saat ada pilihan yang lebih baik tersedia?

Seperti biasa, akar masalahnya tidak jauh-jauh dari apa yang terjadi di masa kecil saya. Masa kecil yang membekas dan membuat saya seperti harus hidup dalam perjuangan keras. Saya bahkan percaya bahwa menikmati jerih payah diri sendiri adalah sesuatu yang salah. Saya selalu dibayangi dengan ketakutan akan hal-hal buruk yang akan terjadi dan membuat saya bergantung pada orang lain. Saat ternyata tumbuh menjadi pribadi yang prinsip hidupnya adalah bertahan hidup. Alhasil, semua langkah dalam hidup saya penuh dengan kalkulasi ekonomi yang ketat karena merasa tidak ada orang yang bisa menjadi back up hidup saya. Saya selalu merasa kalau saya salah langkah, maka apesnya akan saya telan sendiri. Itu yang membuat saya menjadi orang yang sangat perhitungan dengan diri sendiri. Bahkan ketika hidup saya sudah jauh lebih mapan, pemikiran dan ketakutan macam itu lah yang saya jalani. 

Malam itu, saya ingat moment ketika saya jongkok menangis di dapur rumah saat menyadari hal itu. Saat menyadari batapa lamanya saya berjuang untuk selalu dalam posisi standby. Selalu siap sedia untuk hal-hal buruk dan bahkan tidak tau bagaimana caranya menikmati hidup. Saya bahkan tidak tau apa yang disebut layak dan tepat untuk hidup saya sendiri dari hasil kerja keras saya. Tersadarlah saya bahwa selama ini saya selalu mengambil opsi terbawah karena merasa tidak layak merasakan hal-hal baik. Ah... saya jadi ingat, waktu awal-awal kerja, saya punya opsi untuk dibayari naik taksi tapi oleh kantor tapi memilih naik bis bandara karena merasa terlalu berlebihan pakai taksi.

Saya menyeka air mata, sholat, dan segera menghubungi si pemilik apartemen bahwa saya bersedia membayar sewanya selama setahun. Malam itu, saya tidur nyenyak, bukan karena saya akan pindah ke apartemen, tapi meletakan kembali semua ketakutan dan perasaan ‘tidak layak mendapatkan hal baik’ pada tempatnya. 

Saya kini bisa memahami ketika seseorang yang selalu berjuang selama hidupnya dan tidak pernah ada yang memberitahu bahwa diapun layak mendapatkan kebahagiaan, merasa kesulitan untuk menerima hal-hal baik itu di hidupnya. Karena sayapun awalnya tidak tahu dan kesulitan menerima itu. Namun menyadari bahwa kita telah beranjak dari kehidupan yang traumatis dan diperbolehkan mempunyai standar hidup baru, bagi saya itu sangat membantu untuk tidak terlalu keras dengan diri sendiri. Seperti saya di malah itu, ketika akhirnya saya melepaskan perasaan tidak layak mendapatkan hal yang baik, karena saya layak untuk bersyukur mendapatkan hal yang baik. 

Malam itu, seakan Dia mengatakan pada saya, “Kalau rumah berbentuk keluarga bukanlah hal yang Aku berikan, setidaknya ada hunian yang layak yang bisa kamu nikmati. Go ahead, Aku yang bayari semuanya. Enjoy!”


source: https://id.pinterest.com/pin/229683649739456014/


Senin, 14 Agustus 2023

Sebuah Pesan

"Is it cool that I said all that? Is it chill that you're in my head? 'Cause I know that it's delicate"

(Taylor Swift - Delicate)

Kamu tahu, sering kali kita akan mengingat-ingat bagaimana sesuatu itu terjadi untuk pertama kalinya, saat semuanya sudah berada pada titik akhir, atau saat kondisi terlanjur menjadi sangat rumit.

Misal, saat akhirnya kamu harus bolak-balik ke kamar mandi karena sakit perut, maka kamu akan bertanya-tanya kenapa semalam kamu bisa memaksakan diri makan makanan pedas terlalu banyak. Atau saat kamu mulai ketagihan untuk menonton serial drama, kamu akan mengingat-ingat siapa, atau apa yang membuatmu akhirnya menonton drama sampai lupa waktu.

Kadang, saat semuanya sudah menjadi sangat terlambat atau sudah terlanjur dilakukan, barulah kita ingin kembali ke titik awal dan mencoba mengingatkan diri kita sendiri untuk memikirkan ulang keputusan kita kala itu. Walau tentu saja, itu semua tidak akan bisa kita lakukan, karena opsi kembali ke masa lalu, tidak pernah ada dalam pilihan manusia.

Anehnya, saat semuanya sudah terlambat, kita sering kali benar-benar terlupa, apa dan kapan titik awal semua ini bermula, karena tahu-tahu kita sudah menjalani situasi dan konsekuensinya yang pelik. 

Namun kamu tahu, aku sedikit berbeda kali ini. Aku ingat kapan ini semua bermula. 

Di hari pertama aku menghubungimu, semua bagian diriku seperti berteriak kencang, "Ingat-ingat ini, ini akan menjadi awal mula dari sesuatu". Tentu saja aku bingung, karena apa yang harus aku antisipasi dari obrolan kita yang sangat tidak menjurus pada apapun itu? Aku cuma bertanya soal beasiswa, tidak lebih dan tidak kurang. Namun perasaan bahwa aku harus mengingat-ingat hari itu sebagai awal mula, sungguh tidak mereda hingga beberapa hari setelahnya.

Apa sih yang akan terjadi? tanyaku sungguh penasaran berhari-hari. Hari itu, aku seperti mendapat pesan dari masa depan. 

Dan baru setahun setelahnya, aku mendapat jawabannya. Malam ini tepatnya. 

Image source: https://id.pinterest.com/pin/229683649737598932/

Minggu, 02 Juli 2023

Tidak Ada Check List Hari Ini

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sering mendengar istilah toxic productivity. Sebuah istilah baru yang menjelaskan bagaimana kebanyakan masyarakat di perkotaan merasa bersalah jika mereka beristirahat. Setelah membaca konsep itu lebih dalam, saya jujur sulit menilai apakah saya masuk dalam kategori toxic productivity atau tidak. Karena bagi saya, tidak ada salahnya jika kita selalu berusaha untuk produktif, dan lagi pula, yang seperti apa sih yang dinamakan toxic itu? Malah kalau menurut saya, justru lebih baik over produktif daripada waktu sengganggnya dipakai untuk hal-hal tidak berfaedah.

Tapi sebenarnya, jauh sebelum saya mengenal istilah toxic productivity, saya sudah mengenal konsep check-list. Sebuah konsep yang saya maknai sejak kecil bahwa setiap harinya saya harus membuat check list dan mencentangnya. Jika ada hari di mana saya gagal mencentang check list tersebut, entah kenapa saya merasa gagal.

Mungkin, ini semua berawal ketika saya masih ada di bangku Sekolah Dasar. SD saya waktu itu mengharuskan setiap siswanya mengisi buku aktivitas siswa bernama Buku Kegiatan. Didalamnya kami perlu mengisi check list dari matrik aktivitas yang tertera di buku tersebut. Mulai dari sholat 5 waktu, baca Al Quran, belajar, hingga kalau tidak salah berbuat baik pada sekitar, dan itu semua harus diberikan paraf orang tua. Buku Kegiatan itu wajib dikumpulkan tiap pagi di meja guru piket, dan akan dikembalikan lagi saat pulang sekolah. Jika ada siswa yang tidak membawa buku itu, maka akan diberikan hukuman, entah itu memimpin baca Al-Quran atau piket tambahan. Jadi kebayang ya, bagaimana setiap malamnya saya sibuk mencentang semuanya dan meminta paraf orang tua.

Lalu sesampainya di rumah, selama SD, sebelum tidur, kedua orang tua saya akan memanggil saya dan bertanya apakah saya sudah melakukan tugas-tugas saya. “Udah ngerjain PR? Udah bantuin mbak siram tanaman? Buku-buku udah dimasukin semua?”. Beberapa kali saya harus berbohong karena saya takut menjawab ada dari hal-hal tersebut yang belum saya kerjakan.

Hal itu berlanjut saat SMP. Tapi karena tidak lagi ada Buku Kegiatan yang wajib diisi, saya punya satu binder yang isinya adalah check list kegiatan yang harus saya lakukan. Mulai dari membaca materi A, mengerjakan PR, hingga check list ekstra kurikuler. Kalau sudah selesai dengan list-list tersebut, saya akan dengan lega mencoretnya. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya SMA dengan kegiatan yang 2 kali lebih sibuknya. Bahkan hingga hari ini saya memasuki kepala tiga pun, kebiasan membuat check list menjadi hal wajib yang harus saya lakukan.

Dari situlah saya merasa, ritme dan kualitas hidup saya sangat ditentukan dari check list yang saya buat dan yang sudah berhasil saya centang.  Pertanyaannya, apakah saya pernah menuliskan dalam list tersebut hal-hal untuk diri saya sendiri? Seperti misalnya, “Makan eskrim enak tanpa diminta adek”, “Tidur siang yang nyenyak tanpa takut telat masuk les.” Atau sesederhana, “Main sepuasnya, pulang kalau capek saja”. Tentu saja tidak. Hal-hal seperti itu tidak pernah ada dalam daftar saya. Karena semua check list yang saya buat adalah upaya agar saya bisa menjadi siswa terbaik dan menjadi netizen yang baik.

Check list memang membantu saya agar saya bisa mendapatkan hasil yang baik dalam kehidupan akademik dan sekarang pekerjaan. Tapi apakah check list membantu saya menjadi pribadi yang lebih menikmati hidup?

Hingga tahun 2022, untuk pertama kalinya saya melakukan perjalan ke Korea Selatan seorang diri untuk liburan. Karena ini adalah perjalanan jalan-jalan ke luar negeri sendirian pertama kalinya, saya punya pikiran kalau saya tidak boleh rugi waktu dan uang. Pokoknya, apapun yang terjadi, saya harus menikmati liburan saya hingga detik terakhir. Sayapun mulai membuat rencana perjalanan yang tidak ambisius namun cukup padat. Karena saya mulai dari pergi ke Busan untuk menonton konser BTS, maka saya mengestimasikan di Busan selama 3 hari, lalu pergi ke daerah pegunungan, Gyeongju selama 3 hari, dan lalu pegi ke Seoul selama 3 hari. Harapannya, 9 hari saya di Korea Selatan, saya bisa maksimalkan dengan baik. Semua tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, tempat makanan, hingga barang-barang yang ingin saya beli, semua ada dalam check list saya.

Saat itulah saya mulai menyadari sesuatu.

Jadi, singkat cerita, sebelum saya pergi ke Korea Selatan, saya baru saja menyelesaikan kegiatan monitoring dan evaluasi di Kalimantan selatan dan setelah itu saya wajib untuk ikut workshop finalisasi hasil temuan selama 3 hari yang mana juga harus berkejar-kejaran dengan pekerjaan lain. Walaupun bos saya sudah tahu bahwa saya akan cuti selama 12 hari, namun hari terakhir workshop temuan lapangan sangat mepet dengan keberangkatan saya ke Korea Selatan, sehingga saya belum secara final menyelesaikan laporan saya. Padahal saya sudah membuat check list bahwa semua kerjaan harus selesai sebelum saya ke Korea Selatan. Namun jangankan laporan selesai, saya bahkan saangat terburu-buru pulang dari kantor untuk bisa persiapan ke Korea Selatan malamnya. Alhasil saya ke Korea Selatan dengan membawa beban pikiran, laporan saya belum selesai!

Saat sampai di Korea Selatan, agenda pertama saya adalah nonton konser BTS, maka saya langsung mengaktivasi fangirling mode. Semua berjalan sangat baik hingga dan saya sudah mencentang check list ‘menonton Konser BTS’.  Barulah di hari kedua, saya terbangun dengan pikiran, “Aku punya check list yang harus saya lakukan. Ayo Ipeh, bangun” yang mana di saat yang bersamaan, saya punya pikiran, “Aduh, laporan saya belum selesai” dan saya masih dalam eforia habis nonton konser BTS, “Aduh, Jimin ganteng banget.”

Alhasil, dengan badan yang masih rontok setelah nonton konser BTS, saya bangun, mandi, dan membuka laptop sambil menyelesaikan laporan lapangan saya. Hngga saya tersadar bahwa waktu hampir sore dan saya hampir membuang waktu saya di Korsel untuk menyelesaikan pekerjaan. Saya merasa check list hari kedua tidak bisa saya laksanakan, padahal saya sudah membuat list dari pagi hingga malam hari. Di situ saya merasa amat sangat frustasi.

Sore itu saya memutuskan untuk segera menutup laptop dan menikmati Busan. Di momen itu juga saya bilang ke diri saya sendiri bahwa bukan salah saya jika timeline saya ke tugas lapangan itu mepet dengan jadwal keberangkatan saya ke Korea Selatan yang memang sudah jauh-jauh hari saya rencananakan. Bukan salah saya jika jika laporan itu belum selesai karena saya punya pekerjaan inti yang juga harus saya selesaikan. Di sebuah sore di Busan, sambil berjalan kaki menuju pasar tradisionalnya, saya tarik nafas panjang dan berkata lirih, “Kalau habis ini aku dinilai tidak perform, tidak apa-apa. Aku punya keterbatasan”.

Tidak hanya bertekad untuk tidak menyelesaikan laporan saya selama saya di Korsel, tapi juga saya mengabaikan semua check list yang saya buat untuk 9 hari saya di Korea Selatan, tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi, tentang makanan-makanan yang harus saya makan, tentang apapun itu. Sore itu, saya menikmati Busan tanpa beban.

Hari-hari selanjutnya di Korea Selatan saya hanya melihat check list saya sepintas dan menjadikan itu sebagai panduan saja, bukan kewajiban. Saya memutuskan untuk tidak mengukur keberhasilan saya dalam 9 hari itu dengan seberapa banyak check list yang sudah tercentang. Hanya sebatas panduan yang jika mood dan energi saya pas, saya akan menepatinya. Saya melakukan banyak improvisasi dan lebih menikmati waktu. Saya memutuskan untuk lebih lama di Busan dan melamun di pantai lebih lama dan mengurangi waktu di Seoul. Entah kenapa, saya merasa sangat hidup selama liburan saya di Korsel.

Perjalanan selama 9 hari di Korea Selatan menyadarkan saya bahwa semakin terpakunya saya pada check list, semakin sulitnya saya menikmati hidup yang sedang terjadi saat itu juga. Mungkin sebenarnya bukan check list-nya yang salah, namun kebiasaan saya yang tidak pernah memasukan kebutuhan emosional saya dalam list tersebut yang membuat saya tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Ditambah cara saya memperlakukan check list sebagai indikator keberhasilan saya sebagai manusia.

Saya tidak akan berhenti menggunakan check list, karena check list tetap membantu saya menjadi seseorang yang memiliki etos kerja yang baik dan memiliki prestasi yang baik sejak sekolah hingga bekerja. Check list membuat saya tetap memiliki panduan, terutama jika saya sedang hilang arah. Check list membantu saya tetap bergerak dan tidak membuang-buang waktu hanya untuk karena malas.

Namun saya tidak boleh lupa, bahwa dalam hidup, akan banyak check list yang butuh lama agar kita bisa mencentangnya. Anggaplah, ‘sembuh dari trauma masa kecil’, ‘memproses emosi setelah dimarahin bos’, ‘memulihkan rasa percaya setelah dihianati kekasih’. Check list semacam itu tidak akan benar-benar bisa kita centang. Semakin diburu-buru untuk mencentangnya, semakin sulit menikmati prosesnya. Untuk itu, saya akan belajar untuk hanya menulis satu check list besar tanpa harus saya dikte turunanannya. 

Dan check list tersebut adalah 'Menikmati hidup saat ini'.


Selasa, 28 Februari 2023

Memori Baru

"And you should think about the consequence of you touching my hand in the darkened room.

If you've got a girlfriend, I'm jealous of her, but if you're single that's honestly worse.

'Cause you're so gorgeous it actually hurts."

(Gorgeous -Taylor Swift)


Semakin dewasa, semua terasa seperti pengulangan. 

Rute dari apartemen ke kantor.

Perjalan dinas mengelilingi Indonesia.

Bertemu sahabat-sahabat yang itu-itu saja. 

Makan siang dengan pilihan tempat yang itu-itu saja.

Tidur panjang setiap ke Jogja. 


Tapi siang menuju sore hari itu, menjadi hal pertama tanpa pengulangan. 


Kamu menunjukan sisimu yang lain. 

Menghadapku tanpa distraksi. 

Di tengah-tengah 2 cangkir kopi. 


Dan itu menjadi hal pertama setelah sekian lama. 




Sabtu, 31 Desember 2022

Karena Sedang Hidup Maka Saya Sedang Menikmati

 Sebuah Refleksi 2022

When everything I believed in grew distant, when all this fame turned into shackles, please take my desire away from me. No matter what it takes, oh, let me be myself.

(RM – Wildflower)

Seperti biasa, setiap tahunnya, saya punya dua rutinitas yang selalu saya lakukan. Pertama adalah membuat refleksi akhir tahun dengan mengingat-ingat apa saja yang terjadi di sepanjang tahun dan kedua adalah membuat resolusi. Rutinitas yang sudah saya jalani sejak SMP ini entah kenapa membantu saya untuk sejenak diam dan merenungkan kemana perginya 365 hari yang lalu itu, dan memetakan saya sedang berada di tahapan mana.

Tahun ini saya mencoba membuat refleksi dengan cara melihat semua foto-foto yang tersimpan di google photo dari Bulan Januari hingga Desember dan kemudian menuliskan highlight dari masing-masing bulannya. Setelah selesai menuliskan hal-hal yang ada di Bulan Desember, saya menarik nafas panjang dan langsung mengubah posisi duduk yang tadinya tegak lalu menyender. Refleks saya berkata, “Pantes kamu soak, Peh. Pantes kamu jadi jauh lebih jutek akhir-akhir ini, Peh. It is too much!”

Hingga saya tersadar bahwa hanya sedikit dari resolusi yang tercapai tahun ini. Untuk sejenak saya merasa gagal karena hanya bisa men-checklist sangat sedikit target. Saya merasa tidak bisa punya komitmen untuk melakukan target-target yang sudah saya tentukan di awal tahun. Sejenak saya memarahi diri saya sendiri yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri untuk bisa fokus pada target-target yang sudah saya tetapkan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa 2022 menjadi tahun yang amat sangat sibuk bagi saya, bahkan setelah saya lulus kuliah hingga 8 tahun bekerja inilah tahun tersibuk yang pernah saya lalui. Tahun ini, entah berapa kota yang sudah saya kunjungi tahun ini, tidak terhitung berapa hotel untuk rapat intensif yang saya ikuti, hari-hari saya pulang malam dan keesokan harinya sudah hari bekerja lagi. Saya bahkan pernah ada dalam 4 kota berbeda dalam kurun waktu 4 hari. Jumat siang ke Pemalang, Sabtu siang ke Jogja, Minggu siang ke Jakarta, Senin dini hari ke Ambon. Tahun ini saja, saya pulang ke Jogja menjelang lebaran adalah H-2 dan bahkan ketika saya pergi liburan ke Korea Selatan, pagi hingga siangnya saya masih di kantor menyelesaikan laporan. 

Namun, pikiran-pikiran negatif itu hilang perlahan ketika beberapa foto mengingatkan saya pada emosi-emosi dari setiap kejadian-kejadian di tahun ini. Misalnya, saat melihat foto-foto saat tugas lapangan di Aceh, saya ingat rasanya guling-gulingan di kamar hotel hingga membatalkan puasa karena sakit. Saat melihat foto kamar hotel bintang 5 tempat saya tinggal, saya ingat sensasi mualnya karena bekerja hingga jam 10 malam. Atau saya perlu menenangkan diri saat seorang rekan kerja mem-block nomor WhatsApp saya entah karena alasan apa. Perasaan-perasaan yang timbul itu seakan memberikan pembenaran bahwa memang tidak banyak yang bisa saya lakukan selain bekerja karena saya sudah kelelahan.

Mungkin benar, kalau saya kurang memiliki ketegasan dalam mengatur waktu, tidak disiplin dalam mengelola waktu, atau tidak bisa memfokuskan pada hal-hal yang ingin saya dalami. Tapi saya tidak bisa melupakan fakta bahwa saya ini juga bukan robot. Sebagai manusia, saya juga merasakan istilah-istilah sepeti emotionally drained, demotivasi, atau ya sesederhana mager setelah rapat yang bertubi-tubi yang dilakukan sepanjang minggu. Walaupun nyatanya di tahun ini saya sering menekan sisi-sisi humanis sebagai manusia agar tetap bisa bekerja, tapi di penghujung hari, tetap saja saya ini manusia biasa yang energinya habis karena terus-terusnya dipaksa untuk melakukan interaksi sosial. Dan jangan lupa fakta bahwa saya adalah seorang wanita yang setiap bulannya harus menghadapi hormon datang bulan yang membuat tubuh saya lemah dan kurang fokus. Sebagai manusia, banyak komponen yang tidak bisa saya abaikan sebagaimana yang saya lakukan pada usia 20an. Sehingga, jikapun badan saya tidak lelah dan saya masih ada tenaga untuk melakukan beberapa kegiatan untuk mencapai target-target saya tahun ini, pikiran dan energi saya yang tidak sanggup.

Namun, bukan berarti saya tidak memiliki capaian tahun ini. Banyak hal yang sudah tercapai tahun ini, walau itu semua diluar resolusi saya. Dan sebenarnya, tahun ini pun saya sedang mulai belajar untuk menikmati hidup dan melihat hidup yang ada di depan mata saya. Karena kalau diingat-ingat, apa yang saya jalani tahun ini adalah sesuatu yang sudah saya idam-idamkan sejak dulu. Tahun ini saya sebenarnya, saya sedang menjalani kehidupan yang dulu mati-matian saya minta kepada Rabb. Namun entah kenapa, saya tetap merasa bersalah karena resolusi saya tidak tercapai.  

Tarik menarik antara keinginan untuk menikmati apa yang saya sedang kerjakan dengan pikiran bahwa saya harus mengejar target-target yang sudah disusun menjadi pertempuran paling keras sepanjang tahun ini. Belum lagi saya merasa bahwa waktu yang sesekali saya habiskan untuk melakukan hal-hal kurang produktif, seperti scrolling tiktok, adalah sesuatu yang salah. Pun perasaan bahwa saya merasa perlu untuk segera menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, yang mana, sayapun tahu, tidak ada satupun urusan pekerjaan yang bisa langsung selesai dan bersantai sejenak itu bukanlah sebuah dosa. Bekerja itu kan maraton. Ada hal-hal yang memang perlu kita hentikan sejenak untuk memberikan ruang pikiran kita bisa berpikir lebih jernih dan kita tidak didera dengan kelehan karena ingin segera menyelesaikan semua hal.

Ini menjadi refeleksi terbesar tahun ini. Saya rasa, saya sedang berada di masa transisi antara saya hari ini dengan diri saya 10 tahun yang lalu. Dulu saya selalu hidup dengan ambisi untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Saya menjadi tidak bisa bersantai hingga masa depan itu terjadi. Selama saya sekolah dari SD hingga SMA, setiap harinya saya belajar agar setiap semester saya bisa dapat ranking tinggi dan ketika lulus, saya bisa masuk jenjang pendidikan yang baik. Lalu saat kuliah, setiap harinya diisi dengan hal-hal untuk mempersiapkan saya setelah lulus kuliah. Bahkan saat sudah lulus kuliahpun, pekerjaan demi pekerjaan saya kerjakan dengan pikiran kalau saya akan membutuhkan keahlian tersebut ketika berada di satu jabatan tertentu. Bahkan kinipun ketika saya sudah berada di jabatan tertentu yang saya persiapkan selama 8 tahun ini, saya sedang berfikir bagaimana membuat diri saya lebih berguna lagi dengan membuat usaha baru. Di mana titik hentinya?

Menyadari bahwa kita tidak boleh lengah hingga kemudian hidup dalam zona nyaman tanpa memiliki ambisi apapun adalah hal yang baik. Tapi jika kita sedang ada di titik menuai apa yang kita tanam, tidak berdosa untuk duduk sejenak dan menikmati buahnya. Salahnya di mana?

Seorang teman pernah bertanya, “Engga sayang apa Peh apartemenya ditinggal terus gitu, kenapa engga ngekos aja, uangnya ditabung buat sekalian beli rumah?”. Saya tersenyum dan membalas, “Karena aku pengen punya kehidupan yang layak sekarang. Ngekos bikin aku kayak engga punya kehidupan yang imbang. Aku pengen tinggal di tempat yang aku merasa sangat hommy dan betah di sana. Karena kalau nabung-nabung buat kehidupan di masa depan, aku engga tau kehidupan masa depan itu akan ada atau engga. Jadi aku butuh menikmati hasil jerih payahku hari ini dengan cara menikmati hidup yang layak.”

Mungkin itu adalah kuncinya. Bahwa alih-alih saya menyalahkan diri sendiri atas banyaknya target yang tidak tercapai tahun ini, saya perlu melihat yang hidup telah berikan kepada saya dan bagaimana saya sebagai manusia yang memiliki jiwa, pikiran, dan tubuh saya menikmati dan mensyukuri itu semua.

Tahun ini adalah tahun yang sibuk, banyak target 2022 yang tidak tercapai, tapi di satu sisi, saya mencapai banyak hal di luar resolusi saya, dan yang terpenting saya sedang menjalani dan berusaha menikmati kehidupan yang ada di depan mata. Saya tidak akan menyesali apapun. Hidup yang ada di depan saya, adalah hidup yang layak saya nikmati. 

 

Source: https://i.pinimg.com/564x/7c/b0/40/7cb04043809ca3ddcaa48af62ad3f59e.jpg

Sabtu, 25 Juni 2022

25 Juni untuk ke 31 kalinya

 

Saat kau p'roleh rasa dalam makna cinta dan hiraukan semua angkara,

hanya satu buah titah yang kami ejawantah: Terlalu banyak cinta kan binasa.

Lihat dirimu, semakin jauh mengayuh, lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh

(Sheila on 7 – Mari Bercinta)

 

Mudah untuk terus berlari dan meraih banyak hal. Setidaknya itu yang selalu saya katakan pada diri saya setiap tahunnya pada bulan Juni tanggal 25, bahwa apapun yang akan terjadi di depan, saya akan terus meraih sesuatu.

Kehidupan seperti halnya makanan prasmanan, yang menunya akan selalu berganti-ganti, menawarkan pada saya banyak hal yang tidak akan pernah ada habisnya. Tapi sepertinya halnya kemampuan perut dalam menampung makanan, kemampuan saya untuk mencicipi semua hal dalam hidup juga terbatas.

Entah kapan pastinya, tapi kini saya mulai bisa untuk mengatakan “cukup” terhadap hal-hal yang saya sukai. Sarapan hotel misalnya, saya kini hanya mengambil sebatas yang saya butuhkan dan merasa cukup. Cara saya bekerja juga, saya batasi tanpa harus merasa bersalah. Saya belajar untuk mengambil semua aspek dalam hidup sesuai dengan porsinya. Jika sudah cukup, maka cukup.

Sekali lagi, mudah untuk terus berlari dan meraih banyak hal, namun jika saya merasa cukup dan ingin berhenti untuk mengatur langkah selanjutnya, itupun tidak mengapa.

Hari ini saya berusia 31 tahun, tentu masih banyak hal yang ingin saya raih, tentu saya ingin menjadi manusia yang lebih baik, namun sayapun ingin menjadi manusia yang tahu kapan saatnya berkata, “Aku engga butuh lebih dari ini, ini sudah cukup…”

Semoga saya dijauhkan dari keserakahan.

 


© RIWAYAT
Maira Gall