“Terkadang, ketemu yang kita anggap cocok itu setelah kita bersama yang lain kan” (Dicki Mahardika)
Sebuah kalimat sarkas yang saya baca siang ini begitu mengguggah rasa untuk menulis dan mungkin akan mempublikasikannya. Bukan karena saya dengan rasa sok tahunya, paham betul apa yang dimaksudkan si penulis sehingga menulis itu, tapi karena kalimat itu seperti membungkus semua aspek kehidupan manusia di masa pertengahan umur 20 tahunan. Ya, saya sedang bicara tentang kesempurnaan. Mencari yang terbaik dari yang terbaik.
Tapi terbaik menurut siapa? Menurut pandangan siapa?
Saya kira ini bukan melulu tentang romansa, lebih dari itu, ini tentang sebuah pencaharian. Mari kita renung-renungkan. Berapa banyak orang yang merasa berada di tempat yang salah tapi tidak punya daya untuk keluar dari sana. Menyesal telah membeli suatu barang karena kita tahu ditempat lain harganya ternyata lebih murah, atau ternyata setelah berkeliling, kita melihat ada model yang lebih baik. Atau ketika kita sudah mengiyakan sebuah acara namun tak lama datang ajakan lain dan kemudian kita menjadi kalang kabut untuk menentukan mana yang akan kita batalkan. Lalu kita akan kebingungan sendiri dan mencari-cari pembenaran setelah itu. Ah... Tipikal sekali kan? hehe
Rumit pada dasarnya memang hanya terjadi di kepala. Di kehidupan nyata, sesungguhnya itu sudah tertulis dengan sangat jelas. Anggaplah kehidupan itu seperti akuarium, yang sebenarnya sudah berjalan baik-baik saja tanpa perlu diberi apa-apa. Satu-satunya hal yang menjadikannya rumit adalah, saat kita harus menjadi ikan dan mencari-cari dimana air.
Menariknya, kita sering kali berhadapan dengan kalimat “bagaimana jika…” yang seakan menegaskan betapa takutanya kita mengahadapi masa depan. Betapa lemahnya kita mereka-reka masa depan. Padahal masa depan jelas-jelas tidak dirancang untuk dipikirkan, tapi dihadapi. Alih-alih memikirkan, lebih baik dijalani. Jadi kebingungan dan ketakutan yang sering kita dihadapi itu, sebenarnya memang pekerjaan yang paling membuang waktu, tenaga, dan pikiran.
Oke, mari kembali pada pokok masalah. Saya pikir ada dua hal yang harus digarisbawahi disini terkait dengan twit sarkas itu. Pertama, tentang kecocokan itu sendiri.
Kecocokan itu bukan hal yang alami terjadi, juga bukan hal yang abadi, subjektif pula. Jadi jangan risau. Tenang saja. Cocok hari ini, bisa jadi tidak cocok esok hari. Di dunia manusia yang serba tidak jelas ini, kecocokan seperti air yang akan mengikuti wadahnya. Tidak ada yang tahu betul kecocokan macam apa yang sebetulnya kita butuhkan. Seumur hidup mencaripun, saya yakin tidak akan ketemu. Karena kecocokan sangat tergatung pada waktu, kondisi, dan pengalaman kita sepanjang hidup. Jadi, kecocokan adalah hal yang semu dan tidak akan pernah bisa dijadikan sebagai patokan resmi.
Saya misalnya, memang saya cocok hidup dengan seorang ibu yang super duper bersih dan selalu menuntut saya untuk menyapu rumah tiap detiknya? Tidak! Tapi apakah saya mencoba mencari ibu lain? Tentu tidak. Rasa-rasanya terlalu cengeng menjadikan perkara ‘cocok’ sebagai senjata untuk sebuah alasan. Terlalu rapuh.
Alih-alih bicara tentang kecocokan, sebetulnya kita sedang bicara tentang perbandingan. Dan kita akan masuk ke point yang kedua yaitu point tentang kepuasan. Menurut saya, pembanding itu seperti identitas. Misal, kita bisa menang dalam pertandingan (apapun itu), karena lawan kita lebih buruk (entah dari segi mana). Kita lebih memilih surga karna kontras dengan neraka. Kita dirasa lebih putih karena ada yang lebih hitam. Atau lebih hitam karena berada disisi yang lebih putih. Begitu seterusnya, tiada akhirnya. Tidak akan ada puasnya. Tidak akan! Tahu Kenapa? Karena pembanding itu seperti tanaman. Tumbuh terus. Semakin mengikuti tumbuhnya, semakin kita sibuk mencari yang cocok, dan semakin tidak puaslah kita.
Atau cobalah ajukan pertanyaan pada diri sendiri “Yang cocok itu yang seperti apa?”. Mungkin kita bisa menjawab panjang lebar tentang kondisi yang cocok itu hingga berakhir dengan utopia pikiran, atau justru malah tidak bisa menjawab apa-apa. Saya adalah tipe yang kedua.
Pada dasarnya cocok itu kondisi, bukan prasyarat. Itu artinya menjadi cocok atau tidak, atau menentukan cocok dan tidak, hanya terjadi saat kita mempunyai pembanding.
Tentu saja kita boleh pindah haluan, memutar tuas kehidupan dan berjalan kearah sebaliknya, namun bukan berarti kita harus melakukan itu sesederhana karena alasan tidak cocok bukan? Itu terlalu abstrak dan maaf, terlalu naif. Seakan-akan kita tau apa yang cocok untuk kita dan pindah karenanya. Bagaimana jika perkara cocok atau tidak itu hanya karena point yang kedua itu, karena pada dasarnya kita memang mahluk yang susah dipuaskan.
Pertanyaan selanjutnya menjadi lebih mudah: apakah kita akan puas?
Agak lupa dengan hadistnya, namun jelas tertulis bahwa manusia tidak akan puas hingga mulutnya tersumpal tanah. Alias mati. Dengan demikian, jika kita selalu mengikuti perbandingan, maka kita akan berputar-putar di siklus yang sama. Terperangkap hingga jengah. Hingga muntah.
Saya berada di kesimpulan bahwa dunia memang tidak dirancang cocok untuk saya. Sungguh repot sekali jika itu terjadi. Coba bayangkan, berapa ribu milyar jenis kehidupan yang kemudian harus dirancang untuk menyesuaikan kecocokan setiap manusia. Sayalah sebagai manusia penuh kelemahan yang harus merubah situasi. Atau mungkin menerimanya.
Alih-alih mencari yang cocok, saya lebih tertarik untuk berlari kearah yang lebih benar, yang benar menurutNya. Jelas dan sederhana.
Karena saya akan sangat kebingungan untuk menjawab: yang cocok itu yang seperti apa?
Seperti apa?
Pada sebuah siang, diawal tahun.
Untuk seorang teman yang tanpa sengaja mengingatkan