Kamis, 30 Desember 2021

Jalan!

Sebuah refleksi akhir tahun

“Although there’s no answer yet, you can start the fight

(So What? – BTS)

Siapa sih yang suka hidup dalam ketidakpastian?

Coba saja lihat pada kebanyakan pasangan yang sudah terlalu lama pacaran tapi belum juga ada tanda-tanda menikah. Pasti di satu titik, salah satu dari mereka akan mulai bertanya, “Hubungan kita mau dibawa kemana sih?”. Atau dalam kehidupan keseharian misalnya, kita akan selalu memastikan berapa lama supir Gojeg atau Grab akan datang, agar kita bisa bersiap-siap untuk mengambil makanan, paket, atau ya untuk bersiap mengantarkan kita ke suatu tempat.

Pada dasarnya, tidak ada dari kita yang suka hidup terombang-ambing. Kita tidak suka ada di posisi antara iya atau tidak, melangkah ke kanan atau ke kiri, berhenti atau terus. Mau sekecil apapun itu, kita ingin kepastian untuk bisa berjalan maju.

Padahal jika kita renungkan, sebenarnya kepastian tidak pernah ditawarkan pada manusia bahkan sejak hari pertama kehadirannya di dunia. Tidak pernah ada dalam sejarah manusia, kita diberikan kepastian. Manusia bahkan tidak bisa menebak dengan pasti kapan hari terakhirnya ada di dunia ini.

Kalau begitu, bagaimana manusia bisa menang melawan ketidakpastian? Atau apakah memang selamanya kita ditakdirkan menjadi mahluk yang selalu khawatir?

Saya jadi ingat episode terakhir Queen’s Gambit. Saat itu Beth (Anya Taylor-Joy) akan bertanding di pertandingan final melawan master catur Rusia. Sehari sebelumnya, dia dibantu oleh teman-temannya di US untuk memetakan strategi yang mungkin akan digunakan oleh tim lawan. Mereka mencoba memetakan sebanyak mungkin strategi yang akan digunakan pihak lawan agar mereka bisa menang. Di hari H pertandingan, awalnya semua gerakan lawan bisa diprediksi, hingga kemudian pihak lawan menggerakan pion ke arah yang tidak terduga, dan membuat semua strategi yang pernah dicoba sebelumnya menjadi tidak relevan. Saat itu terjadi, Beth menahan nafas, berpikir sejenak, dan akhirnya mengambil langkah sendiri. Dia menggerakan pion caturnya, dan memenangkan pertandingan. Beth akhirnya menang tanpa menggunakan strategi yang didiskusikan sebelumnya.

Dan begitulah seharusnya kita melihat ketidakpastian hidup. Hidup itu seperti episode terakhir Queen’s Gambit. Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapan semua strategi, namun tidak akan ada yang bisa menebak gerakan lawan sampe kita menjalankan satu pion dalam papan catur. Hidup dimulai saat kita mengambil satu langkah yang kongkrit, dan kita akan melihat responNya. Pada dasarnya, kita sedang bermain catur dengan dunia ini. Kita harus melangkah dulu, barulah dunia ini merespon, dan setelah itu kita mengambil langkah dari respon itu, dan dunia akan kembali merespon. Begitu seterusnya dan seterusnya hingga sekakmat.

Dalam permainan catur, semua langkah akan menentukan langkah selanjutnya. Kita mungkin bisa membaca pola permainannya, tapi kita tidak bisa menghapal semua gerakan lawan, dan yang pasti, kita tidak akan pernah bisa membaca pikiran lawan. Hal yang paling mungkin kita lakukan adalah menggerakan pion dan melanjutkan permainan. Sama halnya dengan hidup ini, terlalu lama memikirkan banyak hal dalam kepala kita, tidak lantas membuat hidup kita berjalan maju. Mungkin malah sebaliknya, justru hidup kita berjalan di tempat.

Tidak pernah ada yang pasti dalam hidup. Mungkin itu kenapa dalam Islam, kita lebih baik mengatakan ‘InshaAllah’ (Jika Allah mengijinkan) ketika akan melakukan sesuatu. Ya karena kita tidak pernah bisa memastikan satupun hal di dunia ini. Hal yang paling mungkin bisa kita lakukan untuk hidup kita adalah tetap bermain cantik di sebuah papan catur raksasa bernama ketiakdakpastian hidup.

Mari bermain!

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/6403624460468500/


 

Rabu, 29 Desember 2021

Yang Sudah Ya Sudah, Kita Sambut Yang Akan Datang

Sebuah refleksi akhir tahun. 

“Let it go, can't hold it back anymore. Let it go, the cold never bothered me anyway.”

(Let It Go – Demi Lovato)

Tahun ini adalah tahunnya melepaskan. Tidak tanggung-tanggung, semua hal yang saya lepaskan tahun ini adalah hal-hal yang besar. Sebagiannya adalah mimpi saya di pertengahan 20 tahunan, dan sebagian lainnya adalah tentang support system yang hilang. Walau melepaskan itu semua sempat membuat jalan hidup saya berkabut dan kehilangan arah, tapi rupanya itu adalah 'cara' untuk mengantarkan saya pada tujuan baru.

Tahun lalu saya berdoa dengan sungguh-sungguh, agar saya diberikan takdir final yang menjawab semua perasaan dan usaha yang sudah saya kerahkan untuk seorang pria. Apapun takdirnya, saya berharap 2021 adalah tahun penentuannya. Dan yang terjadi adalah, di sebuah perjalanan ke Raja Ampat tahun ini, seorang teman baik memberikan pencerahan pada saya tentang konsep melepaskan dan itulah momen saya memutuskan untuk berhenti merasakan dan mengusahakan apapun untuk pria ini. Maka diantara ribuan koral laut Raja Ampat, di situlah saya melepaskan semua perasaan saya selama 5 tahun dengan selepas-lepasnya. Saya ingat sore itu, saya duduk di pantai melihat matahari terbenam dan berkata dengan tegas dalam hati, ‘It is okay. I let this go because I don’t deserve this’

Tidak hanya asmara, setelah 4 tahun lebih berusaha untuk mendapatkan beasiswa S2, tahun ini saya tiba di satu titik bahwa saya berhenti melihat S2 sebagai pencapaian yang akan membuat hidup saya lengkap. Terimakasih untuk sahabat saya Shofi Awanis yang dengan lembutnya berkata, “Aku engga pernah liat kamu itu engga complete kok Peh walau kamu engga S2. Aku malah engga ngerti kenapa kamu bisa mikir inferior banget soal dirimu sendiri?”. Sebuah ucapan yang akan saya ingat sampai kapanpun juga.

Mungkin bagi yang lain, S2 itu seperti iseng-iseng berhadiah, dapat syukur, engga pun hidup berjalan. Tapi tidak bagi saya. Bagi saya, ini seperti mengubah roadmap dan perspektif hidup secara keseluruhan. Ada bagian dari identitas diri saya yang terluka di sini. Alasan saya berhenti sebenarnya tidak terlepas dari satu pertanyaan, mau sampai kapan saya menunggu untuk sesuatu yang tidak bisa saya kontrol? Sementara hidup berjalan, dan saya masih memiliki mimpi-mimpi lain yang lebih konkrit. Mau sampai kapan saya melihat S2 sebagai pencapaian? Di satu titik, saya harus berani memberi ruang untuk mimpi saya yang lain.

Tahun ini juga menjadi tahun yang sangat bermakna bagi persahabatan saya dan Ica. Saya sempat berpikir bahwa saya dan Ica tidak akan lagi bersahabat. Namun rupanya, perang dingin yang sempat terjadi diantara kami hanyalah karena saya hanya merasa sedih dia akan menikah, yang di saat bersamaan, mental saya sedang lelah karena terlalu banyak hal yang terjadi.

Dan tentunya, tahun ini juga menjadi tahun saya kehilangan salah satu mentor dan atasan terbaik, Pak Arif. Kehilangan yang masih sangat membekas dan bahkan saya tidak yakin kalau dalam waktu dekat saya akan berhenti merasa kehilangan. Kehilangan yang membuat ritme kerja tim menjadi berantakan, dan secara personal membuat saya demotivasi.

Tepat di saat saya benar-benar kehilangan arah, tahun ini, saya malah harus menghadapi fakta bahwa saya mengidap Kolitis Ulseratif hingga harus melakukan biopsi untuk melihat apakah ada sel kanker atau tidak. Masih segar dalam ingatan saya proses menjalani 2 kali kolonoskopi dengan semua prosedurnya, dan bagaimana tidak enaknya cairan yang harus diminum agar proses itu bisa dilakukan. Pun saya yang harus bolak-balik rumah sakit di Jakarta dan Jogja di saat varian Delta sedang tinggi-tingginya. Sungguh sebuah pengalaman yang berkesan.

Saya tidak akan berbohong dengan mengatakan bahwa saya kuat menghadapi itu semua, karena faktanya, pada saat itu terjadi, saya ingin menyerah saja. Terbesit dalam pikiran saya untuk segera pulang dan mengakhiri ini semua sampai di sini. Saya merasa hidup tidak lebih dari sekedar checklist yang harus saya lakukan tanpa tahu apa tujuannya.

Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada plot twist. Karena di saat saya kehilangan, di situ lah saya mendapatkan gantinya. 

Ibarat adegan di film-film, saat tokoh utama merasa tidak ada lagi pertolongan, justru di saat itulah pertolongan datang. Di suatu sore tahun ini, seseorang mengajak saya berdiskusi tentang masa depan dan membuka pikiran saya sebesar-besarnya tentang apa yang seharusnya saya lakukan selanjutnya. Obrolan singkat yang terasa seperti menemukan sekoci di tengah badai ketika saya terombang-ambing di lautan. Sebuah obrolan yang mengantarkan saya pada keputusan untuk putar haluan arah kehidupan. Sebuah obrolan yang terasa seperti penerang di saat jalan hidup saya sangat berkabut. Obrolan yang saya syukuri tahun ini.

Walau tahun ini terasa seperti badai, tapi saya juga perlu mengakui bahwa masih banyak hal baik yang terjadi dalam hidup saya. Saya adalah satu diantara ‘sedikit’ yang tidak kehilangan pekerjaan di masa pandemi, saya masih memiliki banyak teman-teman yang peduli, dan tinggal di apartemen yang menjadi tempat paling aman dan nyaman di Ibukota. Saya perlu mengakui bahwa banyak hal berjalan sebagaimana mestinya terlepas dari semua hal yang tidak menyenangkan itu.

Satu hal yang juga saya pelajari tahun ini adalah tidak semua badai datang untuk merusak. Badai kali ini datang untuk menjernihkan pikiran saya, mengajarkan cara agar lebih mahir bertahan hidup, dan mengantarkan pada tujuan yang baru. Tahun ini memang menjadi tahunnya melepaskan, tapi tahun ini juga menjadi tahunnya saya menentukan harapan baru. 

Kalau katanya Bangtan sih,

'Cause it's not over, till it's over, say it one more time:

I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move. Let's break our plans and live just like we're golden and roll in like we're dancing fools.

We don't need to worry, 'cause when we fall, we know how to land.
Don't need to talk the talk, just walk the walk tonight….


Source picture: https://id.pinterest.com/pin/11118330321586416/

'Cause we don't need permission to dance!

Selasa, 28 Desember 2021

25 Juni Untuk Ketigapuluh Kalinya

“….with every broken bone, I swear I lived”

(I Lived – One Republic)

Tanggal 25 Juni 2021 adalah hari ulang tahun saya yang ke 30. Jangan percaya pada ungkapan yang bilang kalau umur hanyalah sekedar angka, karena dalam ilmu monitoring dan evaluasi, angka adalah landasan valid dalam menganalisis fenomena yang akan digunakan untuk mengambil keputusan. Jadi usia 30 adalah usia yang penting untuk menentukan langkah hidup saya selanjutnya. Sekali lagi, itu bukanlah sekedar angka! Lagipula, siapa sih yang awalnya menyebarkan ungkapan umur hanyalah kumpulan angka? Meremehkan sekali.

Kembali ke tanggal 25 Juni 2021. Seharusnya, tanggal itu menjadi sebuah selebrasi bagi saya, atau setidaknya, saya bisa memposting satu foto di sosial media dengan caption reflektif tentang perjalanan hidup saya sejauh ini.  Tapi boro-boro itu kejadian, tahu apa yang terjadi di hari itu? Oke, saya akan ceritakan garis besarnya.

Hari itu adalah hari Jumat, hari yang saya sukai sebenarnya, tapi rupanya hari itu adalah hari yang sangat hampa. Saya ingat di hari itu, saya harus ikut rapat dengan eselon 1 dan 2 untuk topik pekerjaan yang sedang saya lakukan. Kondisi mental saya sedang jauh dari stabil, karena pertama, saya masih berduka setelah kematian Pak Arif, dan kedua, karena saya sedang dalam proses dirujuk ke rumah sakit bedah. Kondisi apartemen saya sangat berantakan, dan saya belum makan dengan baik dari pagi karena tidak merasa lapar. Saya membaca ucapan selamat ulang tahun dari beberapa WhatsApp group, tapi tetap saja hampa. Sekitar jam setengah 7 malam, saat saya hendak pipis, saya melihat di celana dalam sudah penuh dengan darah dan saya tahu itu bukan darah haid. Saya duduk di kamar mandi apartemen, menangis sejadi-jadinya dengan celana dalam penuh darah. Saat itu juga varian Delta sedang tinggi-tingginya, jadi saya tidak berani bahkan ke UGD karena takut terpapar Covid-19. Sekitar pukul 8 malam, sahabat-sahabat saya video call, dan saya menghabiskan sekitar 10 menitan hanya untuk menangis dalam video call itu.

Begitulah usia 30 saya dimulai, dengan pendarahan, kelaparan, dan sendirian.

***

Di awal tahun 2021, saya sempat mengunjungi Raja Ampat setelah selesai menyelesaikan salah satu tugas lapangan di Papua Barat. Dalam perjalanan di kapal menuju penginapan, saya sejenak melihat kondisi saya di hari itu. Saya mengenakan sepatu Crocks, celana training dan baju lengan panjang, membawa tas carrier berwarna orange, berusia 29 tahun, tidak memiliki pacar, memiliki pekerjaan yang baik, teman-teman yang baik, Allah yang selalu menjaga dan akan snorkelling di surga lautan untuk beberapa hari kedepan. Sejenak saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah itu seharusnya gambaran perempuan yang akan berusia 30 tahun? Entahlah. Tapi yang pasti, saya menikmati menjadi diri saya di hari itu. Saya merasa baik-baik saja.

Di situlah saya sempat berpikir tentang perjalanan hidup saya selama 29 tahun. Di kapal itu, saya mendapat pencerahan bahwa jika ada satu kata yang menggambarkan perjalanan saya sejauh ini, maka kata itu adalah ‘bongkar pasang’.

Saya melakukan banyak bongkar pasang selama 10 tahun terakhir. Banyak nilai-nilai yang saya lepaskan dan banyak juga yang saya ambil. Sebenarnya, proses bongkar pasang ini tidak terlepas dari perjalanan hidup saya secara keseluruhan. Dimulai dari 10 tahun pertama, di mana sebagai manusia, saya adalah mahluk sosial yang menyerap apapun di sekitar saya. Semua hal pertama yang saya pelajari berasal dari lingkungan terdekat saya, mulai dari orang tua, tetangga, sekolah, media, hingga artis-artis yang terkenal pada jaman itu, semuanya memberikan sumbangsih karakter pada saya. Saat itu, saya tidak punya banyak keberanian untuk menolak, atau sekedar diberikan referensi untuk memilih. Semua itu disodorkan tanpa saya bisa bernegosiasi. Untuk itulah, di usia 20an saya mulai mencari tahu mana yang benar-benar tepat untuk saya, dan mana yang tidak. Saya mulai melakukan bongkar-pasang untuk mencari tahu siapa diri saya sebenarnya.

Sebagai contoh, saya melepaskan nilai-nilai liberalisme yang sempat ada dalam pikiran saya, mulai dari konsep agnostik atau sekulerisme dan menerima konsep Islam yang diajarkan para ulama secara komprehensif, lengkap dengan konsep jilbab yang sekarang saya kenakan.

Tidak hanya itu, usia 20an juga menjadi usia di mana saya mengenal semua jenis emosi dan bagaimana saya melakukan bongkar pasang respon yang tepat. Ternyata emosi itu kompleks, dan tidak sesederhana apa yang saya rasakan saat berusia dibawah 10 tahun. Saya mulai belajar untuk mencari cara terbaik dalam memperlakukan emosi-emosi itu, dan menenangkan diri saya sendiri. Alhasil, saya pernah patah hati sebesar-besarnya, dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Saya tahu seperti apa rasanya punya persahabatan yang tulus, tapi pernah juga memutuskan hubungan pertemanan. Saya tahu rasanya punya bos yang sangat suportif, dan pernah juga menangis di toilet kantor saking frustasinya dengan teman kantor.

Usia 20an juga menjadi usia eksploratif. Saya tidak lagi tertarik untuk bekerja di sektor komunikasi dan lebih memilih bekerja di sektor pembangunan sosial karena alasan nurani (dan finansial). Saya pernah merasakan sensasinya belanja bulanan di supermarket mahal dan saya juga tahu rasanya menawar di pasar tradisional. Saya pernah berada di lautan selama 14 jam dan pernah tidur dengan berdekatan dengan babi. Mimpi mengelilingi Indonesia juga kesampaian di usia 20an, bahkan saya dimudahkan untuk bisa umroh sebelum usia 30.

Dan tentu saja, hal terpenting di usia 20an adalah keputusan saya untuk berdamai pada luka-luka masa lalu. Mempelajari kembali awal mula semua kejadian masa kecil yang sudah terjadi, memafkan semua pihak yang terlibat, dan memilih untuk menjadikan itu sebagai bagian dari hidup. Ibarat medan perang, saya berhasil melewati usia 20an dengan luka-luka yang menjadikan saya prajurit terhormat.

Di usia 20an, saya sering bertanya-tanya sendiri tentang perjalanan hidup saya terasa sangat berliku-liku. Awalnya, saya cenderung kesal dengan semua takdir-takdir itu. Namun kini, saya bisa mengatakan dengan ikhlas betapa semua itu masuk akal. Semua lika-liku itulah yang ternyata mengantarkan saya di hari ini, sekaligus yang membuat hidup saya menarik.

Sebelum ulang tahun, adek saya pernah bertanya tips apa yang bisa dia ambil dari pengalaman hidup saya selama 20an tahun hidup. Saya menjawab bahwa sebelum usia 30, cobalah berani untuk melakukan bongkar pasang nilai-nilai kehidupan. Usahakanlah untuk mendapatkan pengalaman TER sebanyak mungkin, terpahit dan termanis. Kenalilah Dia yang mengirimkan kita ke dunia ini dan banyak-banyaklah membaca. Jangan takut terluka, usia 20an tahun adalah usia yang tepat untuk babak belur. Percayalah, itu semua akan berguna untuk melatih jiwa kita agar lebih tenang menghadapi apapun di usia selanjutnya.

Dan untuk diri saya sendiri, tidak banyak yang saya harapkan di usia 30 tahun ini. Saya hanya berharap agar saya tidak pernah ditinggalkan oleh Allah. Satu keinginan yang merangkum semua hal, termasuk agar saya selalu diberi petunjuk, selalu dijaga, selalu dicukupkan, selalu diberi kekuatan, dan kelak, saya ditunggu kepulangannya dengan rindu yang besar olehNya. Apapun yang terjadi kedepannya, selama Allah ridho, saya akan baik-baik saja.

Source picture: https://id.pinterest.com/pin/281543706666672/

I have become someone better than I expected to be by 30. Dear Rabb, You are the GREATEST director.

Kamis, 29 April 2021

Cerita Tentang Kehilangan


Di tahun 2020, beberapa bulan sebelum Covid-19 menyerang Indonesia, om saya, adek bungsu mama, meninggal dunia di usia 40an. Almarhum meninggal tanpa ada penyakit bawaan apapun, kematian dadakan kalau kata orang. Begini cerita singkatnya, almarhum baru pulang ke rumah saat lewat tengah malam setelah menjadi pengisi acara di salah satu acara di Bandung (Beliau drummer band indie). Paginya, beliau mengantar anak-anaknya sekolah, dan setelah pulang mengantar, beliau berkeringat di bagian dada, dan… ya…  tidak lama setelah itu, beliau meninggal dunia. Diagnosa dokter adalah om saya itu terkena serangan jantung. Kepergiannya yang mendadak membuat semua keluarga kaget, tidak terkecuali saya. Saya yang kebetulan waktu itu sedang tugas lapangan di wilayah Jawa Barat, langsung ijin sorenya dan pergi ke rumah duka di Bandung.

Ada satu hal yang saya ingat ketika kejadian itu. Ketika subuh, H+1 setelah om saya dikebumikan, saya terbangun karena mendengar lolongan panjang dari kamar depan. Rupanya, itu adalah suara tante saya, istri dari almarhum. Lolongan dan ratapan panjang yang membuat saya bingung harus merespon apa. Tante saya yang lain akhirnya ikut terbangun dan menenangkan istri almarhum. Sementara saya, di pagi-pagi buta itu, hanya bisa bengong, tidak punya ide harus melakukan apa. Pedih sekali hati saya kalau ingat suasana subuh itu, rasanya seperti menyaksikan ada orang yang kesakitan karena terluka parah, tapi lukanya tidak kelihatan. Mau diobati, tapi bagaimana caranya?

Kepergian om yang mendadak itu membuat semua keluarga terguncang, terutama bagi nenek saya. Bahkan hingga di hari pertama puasa tahun ini, saat saya menginap untuk menemaninya di awal-awal puasa, nenek saya menangis tersedu sepanjang siang, sambil melihat foto almarhum. Berkali-kali nenek bergumam, “Akang udah engga ada… Akang udah engga ada…. Gimana ini?” Dan lagi, saya kembali tidak tahu harus melakukan apa. Hal terbaik yang akhirnya saya lakukan adalah menepuk tanggannya lembut tanpa berani mengatakan apapun.

Sebagai ponakan, saya pribadi tidak begitu dekat dengan almarhum om saya itu. Saya lebih dekat dengan saudara mama yang lain, tanta-tante yang lain, tapi tidak dengan beliau. Saya sedih tentu saja beliau meninggal di usia muda, tapi tidak sampai membuat saya mengeluarkan lolongan panjang penuh ratapan, ataupun kerinduan mendalam saat bulan Ramadhan. Bagi saya, om sudah meninggal, dan ya sudah. Kepergiannya, jujur saja, tidak begitu berpengaruh dalam hidup saya.

Kepergian om saya itu mengingatkan saya pada banyak episode dalam series favorit sepanjang jaman, Grey’s Anatomy. Banyak sekali episode-episode yang membuat saya menangis bombay karena kehilangan yang dinarasikan terlalu dalam, hingga membuat saya bertanya, sebegitunyakah rasanya kehilangan? Semenderita itukah?

Waktu SMA, ada satu cerita yang cukup “populer” karena selalu diceritakan oleh alumni-alumni. Yaitu, ada satu siswa yang sangat pintar namun suatu hari dia ditemukan bunuh diri di kamarnya, karena tidak lolos beasiswa ke luar negeri saat dia terpilih mewakili provinsi untuk pertukaran pelajar. Kata para-alumni, semua orang kaget waktu mendengar kabar itu, karena siswi ini selain terkenal pintar, dia juga pribadi yang baik dan supel. Orang-orang tidak habis pikir membayangkan bahwa kegagalan dia pergi ke luar negeri, sanggup mendorong dia untuk bunuh diri. Pun saya juga akhirnya ikut bertanya, harus sampai seperti itu kah, jika seseorang mengalami kehilangan?

Dulu, saya selalu berkeyakinan bahwa seluruh kehilangan pasti ada gantinya, dan seharusnya kehilangan tidak perlu direspon berlebihan. Saya misalnya, sebagai manusia, saya kehilangan banyak hal dalam hidup saya. Contohnya, dalam 3-4 tahun terakhir, saya kehilangan kesempatan untuk sekolah S2 karena tidak lolos satupun beasiswa. Sedih sih rasanya, tapi saya beranggapan, selama saya tidak berhenti mencoba, suatu hari nanti kesempatan itu pasti akan datang pada saya. Jadi saya tidak berpikiran untuk bunuh diri, walau sangat depresi waktu itu. Bahkan ketika saya kehilangan orang-orang terdekat dalam hidup saya, seperti kakek meninggal, patah hati, atau temen-teman yang tadinya dekat lalu renggang, saya merasa tidak segitu nelangsanya merespon kehilangan. Saya sedih sih, nangis juga kok, tapi tidak segitunya.

Ya tapi itu dulu, sebelum saya tiba di satu titik, saat hidup mengenalkan saya pada arti baru kehilangan.

Semua pengalaman saya tentang kehilangan menjadi tidak relevan saat berpisah dengan lelaki ini. Semua pengertian yang terbangun dalam pikiran saya soal kehilangan dan bagaimana saya harus meresponnya, seketika nihil di satu hari ketika saya merasa kehilangan lelaki ini. Saya ingat sore di tahun 2015, untuk pertama kalinya, saya mengeluarkan lolongan panjang yang bahkan tidak berhenti hingga berbulan-bulan lamanya. Saya pun bergumam tidak jelas menyebutkan betapa sakitnya hati saya, hingga beberapa tahun setelahnya. Semua hal yang saya ketahui soal kehilangan, rasanya menguap entah kemana, detik ketika saya kehilangan lelaki ini. Kalau mati itu mudah, kehilangan ini sudah menjadi penyebabnya.

Oh, begini rasanya…

Rupa-rupanya, ada jenis kehilangan yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, yang tidak pernah sekalipun kita persiapkan, dan tidak pernah terbayang akan terjadi. Ada jenis kehilangan, di mana kita akan terbangun di tengah malam, memegang dada, dan melolong panjang putus asa berharap kesedihan hati kita bisa hilang. Ada jenis kehilangan, yang membuat dunia kita jatuh berhamburan dan membawa serta diri kita. Jenis kehilangan ini bahkan membuat saya tidak merasa perlu mencari penggantinya, karena sekali hal itu hilang, setelahnya hanya akan menjadi negosiasi yang coba dilakukan agar menjadi utuh kembali. Dan tidak peduli mau seberapa lama sejak kejadian itu berlalu, akan selalu ada bagian dari diri saya yang tidak bisa kembali seperti semula. Akan ada luka, setiap kali saya ingat tentang itu.

Mungkin, jenis kehilangan ini berbanding lurus dengan apa yang akhirnya kita temukan. Mungkin alumni di sekolah saya yang bunuh diri itu, merasa menemukan sesuatu ketika dia memiliki kesempatan pergi ke luar negeri untuk pertukaran pelajar. Tapi saat kesempatan itu gagal, mungkin ada bagian dari dirinya yang sangat terluka. Mungkin tante saya, menemukan cinta dalam hidupnya yang dia yakini akan bertahan lama, dan dia tidak menyangka bahwa di pagi hari yang biasa-biasa saja, cinta itu hilang selamanya. Dan bagi orang yang tidak percaya komitmen, saya akhirnya menemukan seseorang yang ingin saya temani selamanya, hingga itu terasa tidak mungkin.

Untuk itu, setiap kali saya melihat sebuah kejadian yang melibatkan kehilangan, seperti tenggelamnya Nanggala-402 baru-baru ini, atau pesawat hilang, saya akan selalu membayangkan diri saya di tahun 2015. Mengingat sekali lagi seperti apa lukanya, berempati untuk semua yang ditinggalkan, dan mendoakan dari jauh agar mereka bisa diberikan kekuatan untuk kembali berfungsi sebagai manusia. Mungkin tidak akan kembali utuh seperti sedia kala, tapi kehilangan terbesar akan melahirkan jiwa baru yang lebih tenang. Sejauh yang saya rasakan, jika kehilangan terbesar dapat terlewati, kehilangan selanjutnya akan menjadi sebuah repitisi yang cenderung lebih mudah ditangani. Mungkin memang kita harus mencicipi kehilangan terbesar, sekedar untuk menjadi pengingat, bahwa tidak akan ada yang benar-benar menetap di dunia ini, bahkan untuk hal yang benar-benar kita inginkan. Mungkin...

sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649733909134/


 

 

Ikatan Darah


Dalam ilmu biologi, darah dipandang sebagai alat transportasi yang mengangkut zat-zat penting yang diperlukan oleh tubuh. Jika kita terpaksa harus melakukan operasi, maka dokter bedah dan pihak rumah sakit akan bertanya pada kita tentang jenis golongan darah kita apa, sebagai salah satu syarat sebelum kita masuk ke ruang operasi.  Jika ternyata persediaan di rumah sakit atau di bank darah mereka habis, maka pihak rumah sakit akan bertanya apakah ada kenalan atau keluarga yang bisa mendonorkan darah untuk kita. Dalam ilmu biologi, darah dipandang sangat teknis, sebatas bagian dari anatomi tubuh manusia.

Tapi dalam bahasan yang lain, darah diartikan sebagai sesuatu yang jauh berbeda. Darah berarti sebuah keterikatan. Satu darah akan berarti satu keluarga, satu ras, bahkan satu etnis. Orang selalu bilang, “darah lebih kental daripada air” yang berarti juga kalau kita sudah memiliki satu ikatan darah, mau bagaimanapun akrabnya kita dengan orang lain berbeda darah, tetap saja keterikatan alami jatuh pada mereka yang sedarah dengan kita.

Menyadari bahwa kita terhubung hanya karena ikatan darah, bagi saya itu cukup aneh, tapi juga masuk akal. Masuk akal karena kita tidak akan pernah ada di dunia ini tanpa perantara si A dan si B yang diberi label ayah dan ibu. Ayah dan Ibu memiliki saudara, yang lantas secara otomatis membuat kita juga memiliki keterikatan dengan mereka. Ketika om dan tante itu menikah, secara langsung atau tidak langsung, membuat kita juga terhubung dengan pasangan mereka, anak-anak mereka.

Sementara anehnya adalah memiliki satu ikatan darah, seringnya tidak ada hubungannya dengan kedekatan emosional kita. Berapa banyak orang yang lebih dekat dengan orang asing yang diberi label sahabat ketimbang adik atau kakak kandung mereka sendiri? Atau lebih dekat dengan tetangga ketimbang dengan orang tua sendiri? Saya yakin, lebih dari sekedar banyak.

Di Indonesia, ikatan darah dipahami dengan lebih kompleks lagi. Di sini, kita akan secara otomatis memiliki identitas kesukuan tertentu, walapun kita tidak benar-benar paham atau menganut nilai-nilai yang diajarkan oleh suku tersebut. Jadi misalnya kita terlahir dan besar di Sukoharjo, tapi dari orang tua suku Batak, ya tetap saja didoktrin orang Batak.

Dalam cerita saya misalnya, ikatan darah ini termasuk cerita yang kompleks. Waktu itu saya sudah berusia 11 atau 12 tahun ketika saya diberitahu kalau memiliki darah Bugis. Sebelumnya, saya pikir bahwa darah Sunda dan Jawa saja yang menjadi bagian dari identitas saya. Walau sempat marah dan tidak menerima, namun apa yang bisa diubah dari fakta bahwa darah Bugis sudah terlanjur mengalir dalam diri saya? Aneh, tapi mau bagaimana juga kan?

Butuh proses yang cukup panjang bagi saya menerima darah identitas ini. Tapi sekarang saya sudah bisa dengan santai mengatakan pada semua orang bahwa saya adalah campuran Sunda dan Bugis-Bone.

Di suatu kesempatan, saya ada kunjungan kerja ke Sulawesi Tengah, setelah selesai, saya sempatkan untuk mampir ke Sulawesi Selatan, mengunjungi keluarga saya di sana. Dalam kesempatan kali itu, H-1 menjelang pulang ke Jakarta, ternyata ada arisan keluarga bulanan yang dihadiri oleh semua keluarga dari almarhum ayah. Hari keberuntungan bagi saya karena bisa lebih mengenal identitas saya. Maka saya sempatkan pergi kesana. Bertemu dengan keluarga-keluarga, mendengar logat Makassar-Bugis yang tidak begitu familiar di telinga saya, mendengar cerita sepupu yang tidak pernah saya hubungi bertahun-tahun, mencicipi makanan khas yang dibuat oleh tante-tante, dan mencoba mengingat nama ponakan yang baru lahir atau ipar yang baru masuk dalam keluarga besar. Rasanya canggung tapi juga cukup hangat untuk dirasakan. Dan di akhir pertemuan arisan itu, seorang kakek memberikan kepada saya uang jajang dari dompetnya, sambil mengelus kepala saya lembut dan berkata, “Baik-baik di Jakarta ya Nak.”

Ikatan darah itu aneh, tapi realitanya, mau seberapa keras kita mencoba menghapus atau melawan ikatan darah, tidak mengakui, atau mencoba mengabaikan, darah itu sudah mengalir dalam tubuh kita, membentuk identitas diri kita, siapa kita sebenarnya. Jadi alih-alih memberontak, sekarang saya akan lebih memilih untuk mengapresiasi darah-darah identitas yang mengalir dalam diri saya.

Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649735769360/


 

© RIWAYAT
Maira Gall