Rabu, 29 Desember 2021

Yang Sudah Ya Sudah, Kita Sambut Yang Akan Datang

Sebuah refleksi akhir tahun. 

“Let it go, can't hold it back anymore. Let it go, the cold never bothered me anyway.”

(Let It Go – Demi Lovato)

Tahun ini adalah tahunnya melepaskan. Tidak tanggung-tanggung, semua hal yang saya lepaskan tahun ini adalah hal-hal yang besar. Sebagiannya adalah mimpi saya di pertengahan 20 tahunan, dan sebagian lainnya adalah tentang support system yang hilang. Walau melepaskan itu semua sempat membuat jalan hidup saya berkabut dan kehilangan arah, tapi rupanya itu adalah 'cara' untuk mengantarkan saya pada tujuan baru.

Tahun lalu saya berdoa dengan sungguh-sungguh, agar saya diberikan takdir final yang menjawab semua perasaan dan usaha yang sudah saya kerahkan untuk seorang pria. Apapun takdirnya, saya berharap 2021 adalah tahun penentuannya. Dan yang terjadi adalah, di sebuah perjalanan ke Raja Ampat tahun ini, seorang teman baik memberikan pencerahan pada saya tentang konsep melepaskan dan itulah momen saya memutuskan untuk berhenti merasakan dan mengusahakan apapun untuk pria ini. Maka diantara ribuan koral laut Raja Ampat, di situlah saya melepaskan semua perasaan saya selama 5 tahun dengan selepas-lepasnya. Saya ingat sore itu, saya duduk di pantai melihat matahari terbenam dan berkata dengan tegas dalam hati, ‘It is okay. I let this go because I don’t deserve this’

Tidak hanya asmara, setelah 4 tahun lebih berusaha untuk mendapatkan beasiswa S2, tahun ini saya tiba di satu titik bahwa saya berhenti melihat S2 sebagai pencapaian yang akan membuat hidup saya lengkap. Terimakasih untuk sahabat saya Shofi Awanis yang dengan lembutnya berkata, “Aku engga pernah liat kamu itu engga complete kok Peh walau kamu engga S2. Aku malah engga ngerti kenapa kamu bisa mikir inferior banget soal dirimu sendiri?”. Sebuah ucapan yang akan saya ingat sampai kapanpun juga.

Mungkin bagi yang lain, S2 itu seperti iseng-iseng berhadiah, dapat syukur, engga pun hidup berjalan. Tapi tidak bagi saya. Bagi saya, ini seperti mengubah roadmap dan perspektif hidup secara keseluruhan. Ada bagian dari identitas diri saya yang terluka di sini. Alasan saya berhenti sebenarnya tidak terlepas dari satu pertanyaan, mau sampai kapan saya menunggu untuk sesuatu yang tidak bisa saya kontrol? Sementara hidup berjalan, dan saya masih memiliki mimpi-mimpi lain yang lebih konkrit. Mau sampai kapan saya melihat S2 sebagai pencapaian? Di satu titik, saya harus berani memberi ruang untuk mimpi saya yang lain.

Tahun ini juga menjadi tahun yang sangat bermakna bagi persahabatan saya dan Ica. Saya sempat berpikir bahwa saya dan Ica tidak akan lagi bersahabat. Namun rupanya, perang dingin yang sempat terjadi diantara kami hanyalah karena saya hanya merasa sedih dia akan menikah, yang di saat bersamaan, mental saya sedang lelah karena terlalu banyak hal yang terjadi.

Dan tentunya, tahun ini juga menjadi tahun saya kehilangan salah satu mentor dan atasan terbaik, Pak Arif. Kehilangan yang masih sangat membekas dan bahkan saya tidak yakin kalau dalam waktu dekat saya akan berhenti merasa kehilangan. Kehilangan yang membuat ritme kerja tim menjadi berantakan, dan secara personal membuat saya demotivasi.

Tepat di saat saya benar-benar kehilangan arah, tahun ini, saya malah harus menghadapi fakta bahwa saya mengidap Kolitis Ulseratif hingga harus melakukan biopsi untuk melihat apakah ada sel kanker atau tidak. Masih segar dalam ingatan saya proses menjalani 2 kali kolonoskopi dengan semua prosedurnya, dan bagaimana tidak enaknya cairan yang harus diminum agar proses itu bisa dilakukan. Pun saya yang harus bolak-balik rumah sakit di Jakarta dan Jogja di saat varian Delta sedang tinggi-tingginya. Sungguh sebuah pengalaman yang berkesan.

Saya tidak akan berbohong dengan mengatakan bahwa saya kuat menghadapi itu semua, karena faktanya, pada saat itu terjadi, saya ingin menyerah saja. Terbesit dalam pikiran saya untuk segera pulang dan mengakhiri ini semua sampai di sini. Saya merasa hidup tidak lebih dari sekedar checklist yang harus saya lakukan tanpa tahu apa tujuannya.

Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada plot twist. Karena di saat saya kehilangan, di situ lah saya mendapatkan gantinya. 

Ibarat adegan di film-film, saat tokoh utama merasa tidak ada lagi pertolongan, justru di saat itulah pertolongan datang. Di suatu sore tahun ini, seseorang mengajak saya berdiskusi tentang masa depan dan membuka pikiran saya sebesar-besarnya tentang apa yang seharusnya saya lakukan selanjutnya. Obrolan singkat yang terasa seperti menemukan sekoci di tengah badai ketika saya terombang-ambing di lautan. Sebuah obrolan yang mengantarkan saya pada keputusan untuk putar haluan arah kehidupan. Sebuah obrolan yang terasa seperti penerang di saat jalan hidup saya sangat berkabut. Obrolan yang saya syukuri tahun ini.

Walau tahun ini terasa seperti badai, tapi saya juga perlu mengakui bahwa masih banyak hal baik yang terjadi dalam hidup saya. Saya adalah satu diantara ‘sedikit’ yang tidak kehilangan pekerjaan di masa pandemi, saya masih memiliki banyak teman-teman yang peduli, dan tinggal di apartemen yang menjadi tempat paling aman dan nyaman di Ibukota. Saya perlu mengakui bahwa banyak hal berjalan sebagaimana mestinya terlepas dari semua hal yang tidak menyenangkan itu.

Satu hal yang juga saya pelajari tahun ini adalah tidak semua badai datang untuk merusak. Badai kali ini datang untuk menjernihkan pikiran saya, mengajarkan cara agar lebih mahir bertahan hidup, dan mengantarkan pada tujuan yang baru. Tahun ini memang menjadi tahunnya melepaskan, tapi tahun ini juga menjadi tahunnya saya menentukan harapan baru. 

Kalau katanya Bangtan sih,

'Cause it's not over, till it's over, say it one more time:

I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move. Let's break our plans and live just like we're golden and roll in like we're dancing fools.

We don't need to worry, 'cause when we fall, we know how to land.
Don't need to talk the talk, just walk the walk tonight….


Source picture: https://id.pinterest.com/pin/11118330321586416/

'Cause we don't need permission to dance!

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall