Sebuah refleksi akhir
tahun.
“Let it go, can't hold it back anymore. Let it go, the cold never bothered me anyway.”
(Let It Go – Demi Lovato)
Tahun ini adalah tahunnya melepaskan. Tidak tanggung-tanggung, semua hal yang saya lepaskan tahun ini adalah hal-hal yang besar. Sebagiannya adalah mimpi saya di pertengahan 20 tahunan, dan sebagian lainnya adalah tentang support system yang hilang. Walau melepaskan itu semua sempat membuat jalan hidup saya berkabut dan kehilangan arah, tapi rupanya itu adalah 'cara' untuk mengantarkan saya pada tujuan baru.
Tahun lalu saya berdoa dengan sungguh-sungguh,
agar saya diberikan takdir final yang menjawab semua perasaan dan usaha yang
sudah saya kerahkan untuk seorang pria. Apapun takdirnya, saya berharap 2021 adalah
tahun penentuannya. Dan yang terjadi adalah, di sebuah perjalanan ke Raja Ampat
tahun ini, seorang teman baik memberikan pencerahan pada saya tentang konsep
melepaskan dan itulah momen saya memutuskan untuk berhenti merasakan dan mengusahakan apapun untuk pria ini. Maka diantara ribuan koral laut Raja Ampat, di situlah
saya melepaskan semua perasaan saya selama 5 tahun dengan selepas-lepasnya. Saya
ingat sore itu, saya duduk di pantai melihat matahari terbenam dan berkata
dengan tegas dalam hati, ‘It is okay. I let this go because I don’t deserve
this’
Tidak hanya asmara, setelah 4
tahun lebih berusaha untuk mendapatkan beasiswa S2, tahun ini saya tiba di satu
titik bahwa saya berhenti melihat S2 sebagai pencapaian yang akan membuat hidup
saya lengkap. Terimakasih untuk sahabat saya Shofi Awanis yang dengan lembutnya
berkata, “Aku engga pernah liat kamu itu engga complete kok Peh walau kamu
engga S2. Aku malah engga ngerti kenapa kamu bisa mikir inferior banget soal
dirimu sendiri?”. Sebuah ucapan yang akan saya ingat sampai kapanpun juga.
Mungkin bagi yang lain, S2 itu seperti
iseng-iseng berhadiah, dapat syukur, engga pun hidup berjalan. Tapi tidak bagi
saya. Bagi saya, ini seperti mengubah roadmap dan perspektif hidup
secara keseluruhan. Ada bagian dari identitas diri saya yang terluka di sini. Alasan saya berhenti sebenarnya tidak terlepas dari satu pertanyaan,
mau sampai kapan saya menunggu untuk sesuatu yang tidak bisa saya kontrol?
Sementara hidup berjalan, dan saya masih memiliki mimpi-mimpi lain yang lebih
konkrit. Mau sampai kapan saya melihat S2 sebagai pencapaian? Di satu titik, saya
harus berani memberi ruang untuk mimpi saya yang lain.
Tahun ini juga menjadi tahun yang
sangat bermakna bagi persahabatan saya dan Ica. Saya sempat berpikir bahwa saya
dan Ica tidak akan lagi bersahabat. Namun rupanya, perang dingin yang sempat
terjadi diantara kami hanyalah karena saya hanya merasa sedih dia akan menikah,
yang di saat bersamaan, mental saya sedang lelah karena terlalu banyak hal yang
terjadi.
Dan tentunya, tahun ini juga menjadi
tahun saya kehilangan salah satu mentor dan atasan terbaik, Pak Arif. Kehilangan
yang masih sangat membekas dan bahkan saya tidak yakin kalau dalam waktu dekat
saya akan berhenti merasa kehilangan. Kehilangan yang membuat ritme kerja tim
menjadi berantakan, dan secara personal membuat saya demotivasi.
Tepat di saat saya benar-benar
kehilangan arah, tahun ini, saya malah harus menghadapi fakta bahwa saya
mengidap Kolitis Ulseratif hingga harus melakukan biopsi untuk melihat apakah
ada sel kanker atau tidak. Masih segar dalam ingatan saya proses menjalani 2
kali kolonoskopi dengan semua prosedurnya, dan bagaimana tidak enaknya cairan
yang harus diminum agar proses itu bisa dilakukan. Pun saya yang harus
bolak-balik rumah sakit di Jakarta dan Jogja di saat varian Delta sedang
tinggi-tingginya. Sungguh sebuah pengalaman yang berkesan.
Saya tidak akan berbohong dengan
mengatakan bahwa saya kuat menghadapi itu semua, karena faktanya, pada saat itu
terjadi, saya ingin menyerah saja. Terbesit dalam pikiran saya untuk segera ‘pulang’ dan mengakhiri
ini semua sampai di sini. Saya merasa hidup tidak lebih dari sekedar checklist
yang harus saya lakukan tanpa tahu apa tujuannya.
Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada plot twist. Karena di saat saya kehilangan, di situ lah saya mendapatkan gantinya.
Ibarat adegan di film-film, saat
tokoh utama merasa tidak ada lagi pertolongan, justru di saat itulah
pertolongan datang. Di suatu sore tahun ini, seseorang mengajak saya berdiskusi
tentang masa depan dan membuka pikiran saya sebesar-besarnya tentang apa yang
seharusnya saya lakukan selanjutnya. Obrolan singkat yang terasa seperti
menemukan sekoci di tengah badai ketika saya terombang-ambing di lautan. Sebuah obrolan yang mengantarkan saya pada keputusan untuk putar haluan arah
kehidupan. Sebuah obrolan yang terasa seperti penerang di saat jalan hidup saya sangat berkabut. Obrolan yang saya syukuri tahun ini.
Walau tahun ini terasa seperti
badai, tapi saya juga perlu mengakui bahwa masih banyak hal baik yang terjadi dalam hidup saya. Saya
adalah satu diantara ‘sedikit’ yang tidak kehilangan pekerjaan di masa pandemi,
saya masih memiliki banyak teman-teman yang peduli, dan tinggal di apartemen yang
menjadi tempat paling aman dan nyaman di Ibukota. Saya perlu mengakui bahwa
banyak hal berjalan sebagaimana mestinya terlepas dari semua hal yang tidak menyenangkan
itu.
Satu hal yang juga saya pelajari tahun
ini adalah tidak semua badai datang untuk merusak. Badai kali ini datang untuk menjernihkan
pikiran saya, mengajarkan cara agar lebih mahir bertahan hidup, dan
mengantarkan pada tujuan yang baru. Tahun ini memang menjadi tahunnya melepaskan, tapi tahun ini juga menjadi tahunnya saya menentukan harapan baru.
'Cause it's not over, till it's over, say it one more time:
I wanna dance, the music's got me going, ain't nothing that can stop how we move. Let's break our plans and live just like we're golden and roll in like we're dancing fools.
We don't need to worry, 'cause when we fall, we know how to land.
Don't need to talk the talk, just walk the walk tonight….
Source picture: https://id.pinterest.com/pin/11118330321586416/ |
'Cause we don't need permission to dance!
Tidak ada komentar
Posting Komentar