Selasa, 31 Desember 2019

Untuk Semua Luka yang Terobati dan Untuk Kemenangan Atas Peperangan Dengan Diri Sendiri, Rayakanlah!

Cause everyone hurts, everyone cries, everyone tells each other all kinds of lies.
Everyone loves, everybody gets their hearts ripped out. 
Got to keep dancing when the lights go out. Hold tight for everyday life.
(Coldplay - Everyday life)

Setiap kali saya tugas lapangan atau ketika saya berpergian ke sebuah daerah, pasti ada saja perayaan-perayaan unik yang saya temui. Unik dari segi alasan penyelenggaraannya, maupun unik dari segi teknis penyelenggaraannya. Perayaan-perayaan itu beraneka macam bentuknya, mulai dari perayaan yang cukup populer seperti sunatan atau pernikahan yang diselenggarakan menurut tata cara adat setempat, sampai perayaan yang sepertinya hanya ada di lokasi itu saja, contohnya jahit kuping di Papua Barat. Setiap itu juga saya berusaha untuk bertanya apa motivasi di balik setiap perayaan itu kepada masyarakat lokal. Jawabanya sangat beragam. Ada yang diselenggarakan karena alasan spriritual, ada yang karena alasan mistis, dan yang paling standar adalah karena norma sosial yang sudah terjadi sejak lama.

Di setiap perayaan lokal tersebut, pasti diikuti dengan serangkaian kegiatan, seperti dangdutan atau apalah, yang dalam kacamata saya terkesan merepotkan dan bisa jadi membebani masyarakat itu sendiri. Saya pernah ngobrol dengan sebuah keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana di sebuah kampung kecil yang sudah mengeluarkan dana sekitar 11 juta untuk acara sunatan. Kan lumayan ya…

Tapi saya sendiri juga harus menghargai, karena perayaan kan memang bukan tentang seberapa besar usaha dan upaya yang dilakukan. Perayaan adalah tentang suka cita. Tentang sebuah harapan dan rasa syukur yang ingin dibagi-bagikan kepada orang lain. Atau mungkin tentang sebuah peristiwa yang hanya terjadi sekali seumur hidup atau malah jarang terjadi, sehingga layak untuk dikenang dan dirayakan bersama.

Saya jadi ingat waktu SMA dulu, saya punya teman yang setiap tanggal jadiannya harus dirayakan setiap bulan dan dia akan posting di laman friendsternya, “SeLaMaD 12 yAn9 k3 4 eAaa cyaNk.” Tentu saja saya bingung, saya pikir perayaan jadian itu dirayakan sekali saja tepat di bulan dan di tanggal yang sama, dengan syarat hubungan itu langgeng sampai setahun, lah kok ini setiap bulan? Mubazir amat. Ketika saya tanyakan alasannya pada teman saya itu, dia menjawab santai, “Yang lain juga gitu Peh kalau pacaran.” Oke sip.

Jawaban teman saya itu menarik sebenarnya! Artinya, perayaan bisa saja dilakukan walaupun itu artifisial, membosankan, atau bahkan tidak berkesan. Hmm...

Sayapun mencoba mengingat perayaan apa di hidup saya yang berkesan. Ulang tahun? Mmm… sepertinya sih tidak ada yang berkesan dari perayaan ulang tahun dan ditambah saya juga jarang merayakan ulang tahun. Bahkan di masa kecilpun, seingat saya, hanya dua kali ulang tahun yang dirayakan dengan mengundang teman-teman saya, selebihnya ya hanya makan atau tiup lilin di rumah, atau ya… ucapan dan doa dari keluarga. Jadi kalau perayaan ulang tahun dibilang berkesan? Engga deh, coret! Perayaan lain yang pernah saya lakukan adalah ketika saya wisuda, tapi kalau dibilang berkesan? Ya biasa aja sih. Lebih ke lega sih karena sudah merampungkan sebuah tanggung jawab pada diri sendiri, nusa dan bangsa, dan keluarga. Oh dan ada satu lagi perayaan yang berhasil saya ingat, itu adalah ketika waktu kecil, keluarga saya mengadakan syukuran di tempat anak yatim karena dalam tahun itu saya banyak ditimpa kemalangan, mulai dari tenggelam nyaris meninggal sampai sakit demam berdarah. Curiga saya mungkin sebenarnya saya mau diganti nama waktu itu. Syukurlah engga kejadian. Itu agak berkesan sih, tapi berkesan yang tidak menyenangkan. Jadi kalau dipikir-pikir, tidak banyak perayaan berkesan yang pernah saya lakukan dalam hidup saya. Eh, atau sayanya ya yang memang tidak berhasil mengingat? Ah entah.

Sebuah artikel menarik yang pernah saya baca adalah bagaimana mahalnya menjaga hubungan pertemanan di era saat ini. Ketika banyak sekali perayaan yang harus diikuti atau dilakukan atas nama pertemanan. Mulai dari bridal shower sampai nanti baby shower. Mending kalau teman kita hanya 2 atau 3 orang saja, lah kalau ada belasan atau puluhan, ya lumayan tekor juga kan. Artikel itu menarik, karena membahas bagaimana konstruksi sosial soal pertemanan yang sepertinya cukup artifisial, hingga bagaimana perayaan-perayaan baru dibuat entah dengan tujuan apa. Artikel itulah yang membuat saya berfikir ulang tentang makna perayaan. Apakah perayaan memang benar tentang suka cita? Apakah perayaan selalu tentang kejadian yang nampak-nampak saja? Kenapa kita harus merayakan sesuatu, atau kenapa sesuatu itu harus dirayakan? Dan dengan siapa sebenarnya perayaan itu seharusnya dilakukan?

Tentu saja tidak ada yang mengelak untuk mengakui bahwa lulus kuliah, pernikahan, memiliki anak, dapat beasiswa S2, punya mobil batu atau rumah baru, dapat pekerjaan, promosi, dan bahkan menang undian liburan adalah hal-hal dalam hidup yang menggembirakan. Sesuatu yang ingin kita rayakan sebagai luapan kegembiaraan dan juga rasa syukur. Bahkan untuk hal-hal tahunan seperti ulang tahun, pesta tahun baru, atau ritual keagamaan, semua itu dirayakan untuk memperingati sesuatu berulang tanpa kita tahu apa esensinya.  Jadi sebetulnya, apa itu perayaan?

Saya ingat sebuah kejadian di tahun lalu, saat saya masih ngantor di salah satu lembaga negara. Ketika jam pulang kantor, teman dekat saya yang juga satu kantor dengan saya, secara dadakan mentraktir makan di angkringan depan kantor. Dia bilang waktu itu, “Yuk Peh aku traktir, aku baru aja dapet atasan baru dan dia lebih manusiawi dari yang lama.” Maka kami pun jalan menuju angkringan. Di malam itu, kami berdua membahas dengan tuntas bagaimana dia merasa dizolimi dengan atasan lamanya dan merasa lega dengan dengan atasan barunya yang lebih baik. Dan untuk sebuah rasa syukur telah terbebas dari bos lama, teman saya mengadakan perayaan sederhana dengan hanya hanya mengeluarkan uang kurang dari 50 ribu rupiah saja. 

Teman saya lainnya pindah ke sebuah apartemen dengan anak-anaknya sesaat setalah proses cerai dengan suaminya resmi berjalan. Dia bilang, “Anak-anak udah engga bisa Peh ada di sini, inget ayahnya terus. Aku juga engga bisa di sini, terlalu nyakitin. Yuk main ke apartemen aku yuk.” Saya  pun singgah ke apartemennta, mencoba memberikan dorongan moral sebisanya, dan membelikan pizza untuk dimakan bersama. Sebelum pulang dia berkata, “Di sini lebih tenang, ya semoga awal yang baru untuk aku dan anak-anak ya Peh.”

Bagi saya, dua kejadian itu lebih terasa seperti sebuah perayaan. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk menjadikan hibup mereka lebih baik, ya dengan mentraktir saya makan angkringan sebagai tanda terbebas dari atasan menyebalkan, atau dengan pindah dari tempat lama menuju tempat baru demi menghindari rasa sakit.

Mungkin selama ini kita diajari bahwa perayaan adalah tentang capaian atau tentang kejadian langka. Kita terbiasa merayakan tahun baru, karena kita sudah mencapai satu tahun ke belakang dan siap untuk memasuki tahun baru. Tanpa peduli apakah kita jadi orang yang baru atau tidak. Kita terbiasa merayakan pernikahan, sunatan, lahiran, wisudaan karena itu semua adalah kejadian kasat mata yang berhasil kita jalani. Di hari itu, kita akan menerima ucapan-ucapan seperti,“Selamat ya bla bla bla” dan disambung dengan harapan-harapan, “Semoga bla bla bla.” Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa hal-hal seperti itu lah yang harus dirayakan. Kita tidak pernah diberitahukan sebelumnya, atau mencoba membiasakan diri bahwa kepahitanpun adalah hal yal yang harus dirayakan. 

Di sebuah hari di pertengahakn tahun, saya berbincang cukup intensif dengan seorang teman. Kami bercerita panjang tentang hal-hal di masa lalu dan trauma-trauma yang kami rasakan. Di tengah-tengah obrolan kami, dia bertanya sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab langsung saat itu. “Peh, kenapa kamu perbolehin orang lain untuk bikin kamu nelangsa. Maksudku, aku ga peduli alasan mereka ngelakuin hal-hal buruk itu ke kamu, pertanyaanku adalah, kenapa kamu perbolehin diri kamu terlalu lama sedih karena perlakukan buruk orang lain?” 

Pertanyaan itu tidak bisa saya jawab saat obrolan kami berlangsung, tidak bahkan beberapa hari setelahnyapun. Hingga akhirnya di sebuah pagi, saya terbangun dengan cukup lunglai dan merasa bahwa saya harus segera menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu seakan memaksa saya untuk menemukan bagian dari diri saya yang hilang.

Maka seperti mengendarai mesin waktu, di hari itu, tidak ada yang saya lakukan selain masuk ke dalam pikiran saya dan pergi ke masa-masa lalu, jauh ke masa-masa kecil saya. Hari itu saya putuskan untuk berani melihat kembali apa yang saya lewatkan. Melihat kembali apa yang terjadi, siapa yang terlibat, dan perlakukan seperti apa yang saya terima. Perjalanan ke masa lalu, ke masa-masa kecil, seperti biasa, selalu melelahkan. Tapi demi menjawab pertanyaan itu, saya siap membayar berapapun harganya. Seperti melihat di etalase kaca, saya yang sudah dewasa ini kembali melihat apa yang yang terjadi di masa lalu, dan disitulah saya menemukan sebuah kejadian. Kejadian yang tidak menyenangkan. Kejadian yang tidak saya sadari, telah menjadi pola yang terbentuk hingga saya dewasa. Kejadian yang sempat beberapa kali terjadi di masa kecil, tapi terlalu takut saya tanyakan kepada orang dewasa. 

Sekembalinya saya dari perjalanan mesin waktu ke masa lalu, saya koyak lahir dan batin. Saya seperti membuka satu luka yang selama ini tertutup. Menyakitkan pada awalnya, karena ibarat plester yang menempel pada kulit yang terlalu lama, saya menjerit saat plester di buka. Luka yang ada dibaliknya pun masih ternyata masih sangat basah dan bernanah karena selama puluhan tahun ini tertutup. Dan untuk mengakhiri perjalanan itu dan agar pertanyaan teman saya itu bisa terjawab, saya hanya tinggal melakukan satu hal: memastikan!

Saat sahabat saya, Ica, pulang dari kantor, di malam hari saya memberanikan diri untuk bercerita tentang perjalanan saya. Kata demi kata saya ucapkan dan saya bertanya sebuah pertanyaan pamungkas, “Itu wajar engga sih kalau terjadi ke anak kecil, Ca?” Ica hanya menatap saya dalam-dalam dan sambil menahan tangis dia berkata, “Engga, Peh”. Maka kami pun berpelukan sambil menangis, saya bisa mendengar Ica berkata lirih, “kamu kuat Peh.” 

Dan itulah dia, akhirnya saya menemukan apa jawabannya!

Saya remuk redam di hari setelah saya tahu apa yang terjadi dan kenapa saya tumbuh seperti ini. Tapi alih-alih menghindar dari kenyataan, malam itu sebelum tidur, saya menatap diri saya di cermin dan dengan menarik nafas super panjang, saya mengiyakan kejadian itu ada di hidup saya. Tidak akan saya tutupi dan tidak akan saya sembunyikan. Saya terima dengan lapang. Malam itu saya tidur dengan mata sembab setelah menangis seharian, tapi hati saya lega. Saya merasa sudah melakukan sesuatu yang berani karena bersedia menghadapi luka dan kejadian itu. Malam itu, saya sedang merayakan sesuatu.

Hari-hari setelahnya cukup berat dan saya membuat itu selayaknya perayaan pada umumnya. Sayapun merayakan dengan makan enak, membaca artikel menarik, atau menonton hal-hal random di YouTube agar pelan-pelan luka itu bisa mengering. Pun saya tidak merayakan ini seorang diri, saya bercerita pada beberapa orang terpercaya tentang apa yang saya alami, agar saya percaya bahwa saya tidak sendiri. Hingga setelahnya, pelan-pelan saya mulai bisa tersenyum lagi.

Malam itu mengajarkan saya tentang apa perayaan yang sebenarnya. Detik di mana kita mengenal diri kita sediri, itulah detik di mana kita harus merayakannya. Saat kita akhirnya berani berdamai dengan diri kita sendiri, dengan kajadian tidak menyenangkan, dengan hal-hal yang tidak bisa kita jangkau, maka saat itulah perayaan. Ketika kita merasa berani untuk memafkan, memulai sesuatu yang baru, atau bersedia menjadi lebih baik lagi, ketika itulah jugalah perayaan.

Perayaan memang tentang suka cita, karena siapa yang tidak bergembira saat kita berhasil mengenal diri kita lebih baik lagi atau saat kita berhasil memenangkan perang dengan iblis yang ada diri kita sendiri. Perayaan memang tentang kejadian langka, karena membuka luka lama dan berani mengobatinya adalah hal yang tidak setiap hari terjadi. Perayaan memang tentang rasa syukur, karena siapa yang tidak bersyukur ketika kita akhirnya diberikan penjelasan oleh Yang Memiliki Hidup. Rayakanlah dengan diri kita sendiri dan rayakanlah dengan manusia-manusia terbaik sebagai sebuah kisah yang bisa diceritakan. 

Untuk semua penerimaan diri, untuk semua kekuatan hingga kita sanggup berdiri, rayakanlah, kita layak untuk itu!

sumber: https://id.pinterest.com/pin/229683649733811672/

Senin, 30 Desember 2019

Melenturkan Diri

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk!
(Tan Malaka)


Semua orang yang sering berinteraksi dengan saya, pasti tahu kalau saya bukan orang yang mudah untuk dibujuk. Pun saya mengakui bahwa saya bukan orang yang mudah untuk mencoba hal-hal yang baru. Dua hal yang kalau dikombinasikan, cukup untuk mengkatagorikan saya sebagai tipe orang yang susah ‘move on’, bahkan untuk urusan yang sepele.

Kalaupun pada akhirnya saya melakukan eksperimen untuk mencoba sesuatu yang baru, bisa dipastikan itu karena saya sudah melakukan kontemplasi dalam waktu yang lama, bahkan bisa sampai membuat orang lain kesal karena saya terlalu lama mengambil keputusan. Sering bahkan, saya sampai membuat daftar pros dan cons hanya untuk mengambil satu keputusan yang sebetulnya remeh-temeh.

Namun begitu, predikat ‘bermain aman’ juga tidak sepenuhnya tepat mengambarkan kepribadian saya. Sering kali dalam hidup, saya mengambil banyak keputusan-keputusan yang membuat orang-orang di sekeliling saya geleng-geleng kepala karena bagi mereka apa yang saya lakukan itu terlalu berisiko. Tapi impulsif? Oh, sungguh tidak pernah ada di kamus hidup saya. Hingga tahun 2019 setidaknya, sepertinya tidak pernah ada hal spontanitas di hidup saya yang mengarah pada impulsifitas. Oh tidak… tidak!

Menariknya, di tahun ini akhirnya saya mencoba banyak sekali hal-hal yang baru, dan bagi saya hal itu adalah sebuah pencapaian! Hal yang akhirnya mendorong saya untuk mencoba hal-hal baru tersebut adalah karena saya ingin mengenal diri saya lebih baik lagi! Hanya itu motivasinya.

Percobaan pertama adalah pindah kamar! Di rumah saya di Jakarta (Sebenarnya sih kost-kostan, tapi saya lebih suka menyebutnya rumah, karena memang bentuknya adalah rumah lama yang kamarnya disewakan. Jadi hanya sedikit penghuninya dan semuanya saling kenal, saling sapa), awalnya kamar saya berada di lantai bawah. Kalau bisa saya deskripsikan, itu adalah kamar mungil yang pas bagi saya dan untuk semua barang-barang saya yang hanya sedikit itu. Dan hal yang paling membuat saya bahagia berada di kamar bawah adalah karena kamar itu memiliki akses sinar matahari yang paling banyak diantara semua kamar. Sebagai pencinta sinar matahari dan udara segar, kamar bawah itu seperti surga buat saya, walaupun ukurannya tidak sebesar kamar-kamar lain di rumah.

Tahun lalu, ada satu kamar di lantai dua yang akhirnya kosong karena penghuninya pindah tempat tinggal. Awalnya saya mau pindah ke kamar itu karena ukurannya 2 kali lebih luas dari kamar saya di bawah. Tapi setelah saya lihat kondisi kamarnya yang tidak punya akses sinar matahari sebanyak di kamar bawah, saya pun urung. Yuni, Putri, dan Ica, teman-teman saya di rumah, mencoba sekuat tenaga untuk membujuk saya pindah kamar. Katanya biar kalau rumpik lebih dekat, yaaa… secara mereka bertiga ada di lantai 2. Awalnya saya sempat saya tergiur untuk pindah karena ukuran kamar yang 2 kali lebih besar dari kamar saya di bawah, saking tergiurnya, saya bahkan sempat melakukan kontemplasi cukup lama, hingga sholat meminta petunjuk, tapi pada akhirnya, saya tetap kukuh dengan pendirian pertama dan tetap tidak jadi pindah. “Bodo amat ah sama ukuran yang lebih luas juga, aku cinta kamarku.” Kata saya diplomatis kepada 3 teman saya itu.

Lalu, di tahun ini, Yuni dan Putri (mereka sekamar) tidak lagi menghuni rumah ini, maka kamar mereka menjadi kosong. Ica sudah berkali-kali bilang sejak lama, kalau saya lebih baik pindah saja ke lantai dua. Terutama karena kami yang akhirnya cuma tinggal berdua, jadi kalau ada ‘apa-apa’ dekatan lokasinya. Kamar Yuni dan Putri juga luas, 1.5 kali dari kamar saya di bawah dan masih bisa mendapatkan sinar matahari yang cukup dan udara non AC. Best deal sebetulnya sih! Ya sudah, akhirnya saya bilang ke Koh Alung, pemilik rumah, kalau saya akan pindah ke lantai 2 dan menempati kamar Yuni dan Putri setelah mereka pindah nanti. Lagi, saya galau! Berkali-kali saya membandingkan antara kamar saya di bawah dengan kamar Yuni di atas. Sampai akhirnya, Koh Alung berkata, “Oke deh dedek Ipeh, nanti pindah ya kamar atas ya, biar kamar bawah nanti bisa ditempatin”, dan saya langsung sedih. Saya berfikir, nah loh, ini adalah keputusan yang salah!

Hingga di hari terakhir saya sudah harus pindah kamarpun, saya masih saja belum yakin. Atau lebih tepatnya saya engga bisa move on dari sebuah kamar! Saya sepertinya terlalu cinta dengan kamar bawah yang penuh kenangan itu. Dan juga, waktu saya masuk ke kamar atas yang sudah kosong, saya terbayang memori kami bertiga yang beraneka macam, mulai dari saya yang masih pakai baju kerja masuk ke kamar dengan cemberut karena hari saya agak off, kami yang begadang hingga larut malam hanya untu membahas masalah finansial setelah pernikahan, dan kami yang mencoba skin care Yuni yang banyak itu. Alih-alih saya jadi melanjutkan angkut-angkut, yang ada saya malah nangis dan merasa kamar itu terlalu memorial untuk saya huni. Jadi kalau tahun lalu saya engga mau pindah karena alasan sinar matahari, kali ini engga mau pindah karena memori, hadeuh banget kan saya ini?

Tapi saya ingat ancaman Ica, “Awas ya kamu kalau golau-galau ga jadi pindah. Jangan bikin aku males deh.” Maka saya lanjutkanlah untuk mengangkut barang-barang dari kamar bawah ke kamar atas. Tapi… di tengah-tengah pindahan, saya merasa kalau kamar di lantai atas terlalu besar dan kamar di bawah lebih pas buat saya. Saya nyaris mau membatalkan niat dan mau pindah lagi ke kamar bawah! Dan di saat itulah bagian dari diri saya berkata dengan sangat amat lantang, “Peh, pindah aja! Dan kamu bisa belajar SESUATU dari kepindahan ini, suka apa engga nantinya, anggap aja ini eksperimen kamu, nanti kamu bisa bikin jurnal mana yang berhasil dan mana yang engga dari eksperimen-eksperiman kamu. Udah, pindah aja!”

Seperti dibentak oleh diri sendiri, maka sayapun resmi pindah kamar dan jadi bagian dari lantai 2 yang hanya dihuni 4 orang termasuk saya itu.

Sebulan berjalan, dua bulan berjalan, tiga bulan, hingga hari ini. Semuanya ternyata tidak seheboh yang saya bayangkan. Memang butuh pembiasaan dari kamar bawah yang minimalis dengan kamar atas yang lebih lapang. Butuh pembiasaan memang untuk menempati kamar yang tadinya dihuni orang lain serta banyak kenangan lamanya dan menjadikan itu sebagai kamar baru saya. Tapi ternyata, hanya butuh pembiasaan hingga lama-lama kamar itu menjadi kamar ‘saya’ dengan kenangan-kenagan baru yang saya ciptakan di kamar atas.

Hal ini mengajarkan saya bahwa membiasakan diri pada hal-hal baru ternyata bukanlah hal yang rumit. Saya kini lebih mengenal diri saya sendiri bahwa jika nantinya saya mendapati kondisi dimana saya ditawarkan sesuatu yang lebih baik, tapi kok saya tidak mau beranjak hanya karena alasan kenangan dan rasa nyaman, maka yang harus saya lakukan adalah memaksimalkan kemampuan beradaptasi dan berhenti membayangkan hal-hal lama. Saya harus melihat bahwa hal baru berarti pengalaman baru, terlepas dari suka atau tidak. Siapa sangka, sesederhana memberanikan diri untuk pindah kamar, saya lebih menggenal diri saya ketika proses adaptasi. Awalnya memang sulit, tapi akhirnya saya juga menyadari bahwa hidup memang jauh lebih luas dari kenyamanan yang sudah saya rasakan.

Percobaan kedua adalah membeli sepatu dengan model yang berbeda. Model sepatu yang saya miliki sedari dulu hingga sekarang adalah sama: flat shoes. Waktu itu, saya dan teman saya tidak sengaja pergi ke salah satu tempat perbelanjaan di Jakarta yang terkenal dengan clearance store-nya. Saya yang memang sedang mencari sepatu warna hitam untuk menggantikan sepatu lama saya yang hampir usang itu, mencoba beberapa model sepatu. Akhirnya pilihan saya jatuh pada 2 pilihan model. Pilihan pertama adalah model sepatu yang persis sama dengan yang saya punya, bahkan yang saya pakai saat itu. Plek ketiplek. Dan pilihan kedua, ya masih sesuai dengan style saya sih, hanya dengan model yang jarang saya beli. Galau dong. Bagkan sampai akhirnya teman saya pamit duluan karena dia ada acara di tempat lain, saya masih saja belum bisa memutuskan mau membeli yang mana.

Setelah menarik nafas berkali-kali dan dengan mengingat pengalaman saat pindahan kamar, maka saya putuskan untuk kembali mencoba hal yang baru, yaitu membeli sepatu dengan model yang jarang saya beli. Ada perasaan tidak sreg sesampainya di rumah, tapi ah mungkin sayanya saja yang butuh adaptasi, lama-lama juga pasti suka. Begitu sugestinya. Sebulan setelah saya membeli sepatu itu, entah kenapa saya selalu terbayang model yang pertama. Rasa-rasanya kok gaya saya lebih cocok dengan model sepatu yang pertama yaa... Tapi ya karena sudah terlanjur dibeli, ya mau bagaimana, ya saya nikmati saja tapi dengan catatan, bahwa di masa depan, kalau saya membeli sepatu yang nyaman dengan harga yang lumayan, maka saya akan membeli model yang biasa saya beli. Lagi-lagi, saya akhirnya kembali mengenal diri saya sendiri bahwa ternyata, toleransi saya untuk pemilihan sepatu begitu rendah. Saya mungkin akan jadi tipe orang yang model sepatunya ya begitu-begitu saja hingga tua nanti, dan saya engga peduli pendapat orang tentang itu.

Sebagaimana saya katakan di awal, motivasi saya untuk mencoba hal-hal yang baru adalah sebagai upaya agar saya dapat lebih mengenal diri saya sendiri. Tidak harus melulu literlek seperti dua percobaan itu, ‘Oh pindah kamar adalah hal yang baik’, ‘oh, besok-besok harus tetap beli model sepatu yang sama’. Mencoba hal baru artinya saya mau belajar merekognisi respon saya terhadap sesuatu hal, seperti bagaimana saya menghadapi diri saya ketika saya sedang beradaptasi, bagaimana cara untuk bisa bertahan ketika saya mengambil solusi yang berbeda, atau bagaimana cara terbaik untuk bisa memberikan apresisasi pada diri sendiri. Sudah semestinya saya memahami itu semua.

Mengenal diri sendiri, juga sebagai cara agar saya bisa menghemat waktu dan menyimpan energi untuk hal-hal yang dibutuhkan saja. Dulu, ya anggaplah 5 tahun yang lalu, sebelum pelan-pelan mengenal diri saya sendiri, saya bisa membuang waktu untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak sanggup saya kendalikan, atau energi saya terkuras untuk sesuatu yang seharusnya bisa saya hindari.

Ya ibarat masak, kalau hari ini kita mencoba menggunakan lebih banyak bawang merah daripada bawang putih, maka besok kita bisa mencoba mengganti bawang-bawangan dengan rempah-rempah lainnya untuk tahu apa bedanya. Alasan sebenarnya bukan sekedar untuk mendapatkan resep yang tepat, tapi agar kita bisa tahu rasa apa yang dihasilkan dari bawang merah atau dan rasa apa yang keluar dari menggunakan rempah-rempah. Kalau sudah jago, barulah kita bisa mengkreasikan masakan sesuai dengan rasa yang kita mau.

Sama halnya dengan saya, mengingat bahwa hidup akan selalu menawarkan skenario dan pilihan yang berbeda di setiap saatnya, saya percaya bahwa cara terbaik menghadapi kejutan-kejutan itu adalah dengan mengenal diri saya dengan lebih baik lagi. Bukan semata untuk mencari komponen yang pas dalam menghadapi hidup, tapi yang terpenting adalah agar saya tau cara terbaik dalam mengendalikan diri saya sendiri. Kalau bukan saya yang mencari tahu, mau mengandalkan siapa?

Mungkin akan butuh waktu seumur hidup untuk bisa mengetahui diri saya sepenuhnya. Tapi yaaa… kita mulai saja dulu pelan-pelan.

Source: https://id.pinterest.com/pin/180003316349715173/


Sebuah Hari di Bulan Januari

Tak semua halaman merana namun yang kelam terlalu berarti.
Seperti aku tegap berdiri di atas kertas putih, seperti kencangnya berlari tanpa tujuan henti.
Halaman tawa yang aku cari telah hangus.
(Isyana Saraswati - Lembaran Buku)


Tidak banyak yang aku ingat di hari ketika aku akan menuju Garut. Hari itu aku harus pergi ke Garut karena kakek sakit, sebuah keputusan yang tepat karena tak lama beliau berpulang selamanya. Aku sedang duduk di sebuah warung sambil menungggu bis jurusan Garut, lalu di saat itulah pesan singkatmu datang.  

Pesan itu menyiratkan semua hal yang aku tunggu selama ini, yang aku paling takutkan dan kenyataan yang sudah lama aku prediksi akan datang.

Aku sibuk menghadapi perasaanku, entah harus bersedih karena kakek kritis atau karena pesanmu.

Waktu itu hujan sepanjang perjalan menuju Garut dari Jakarta. Di dalam bis, aku duduk di sebelah lelaki yang menatapku iba sambil bertanya, “Neng, engga apa-apa?”. Pertanyaan yang harus ditanyakan memang, harus ada yang bertanya bagaimana kondisiku karena aku tidak berhenti menangis, tidak bahkan berhari-hari setelahnya pun.

Sebuah lagu lokal teringat di kepalaku dan aku memasang headset mendengarkan lagu itu hingga sepertinya dadaku mau pecah saking sesaknya. Tidak apa-apa kataku pelan karena sudah semestinya emosi itu keluar.

Begitulah tahun ini dimulai, dengan sebuah penolakan semesta terbesar selama 5 tahun terakhir.

Kamu.

Sudah sejak lama aku berusaha untuk menyembuhkan diri, menyatukan kembali semua bagian dari diriku yang pecah, dan mencoba untuk berdamai dengan kondisi, walau aku lebih sering gagal. Tapi sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, di sebuah hari di bulan Januari, aku berjanji berusaha lebih keras lagi untuk berani menyudahi.


Beranikan diri tutup buku ini.
© RIWAYAT
Maira Gall