Minggu, 29 Januari 2017

Sampai Jumpa, bukan begitu?

"Melangkah sendiri, seringkali kau melihat kanan kiri.
Semua menyuruh tuk berlari.

Tak ada yang peduli kau sakit hati, berhenti atur nafas sendiri"
(Slow)

Semakin kesini, hidup semakin sadis dalam upayanya menutut manusia untuk mandiri, alih-alih mengatakan sendiri. Kadang, ketika kita merasa sudah memiliki tempat dan teman seperjalanan yang tepat, sudah berjalan cukup jauh bersama-sama, namun kemudian kita bertemu sengan sebuah persimpangan. Mau atau tidak, siap atau tidak, kita akan memilih diantara persimpangan itu, mana pilihan terbaik untuk hidup kita, dan sedihnya, seringkali pilihan kita sangat berbeda dengan mereka yang sudah berjalan bersama-sama.
Lagi-lagi, perpisahan!

Tentu saja akan ada teman baru dalam langkah kita kedepan. Dengan rasa dan sensasi yang pasti berbeda. Tapi berada di persimpangan, dengan menyaksikan bahwa kita akan mengambi langkah yang berbeda dengan mereka yang sudah sama-sama berjalan sepanjang jalan, cukup membuat hati ketar-ketir. Seperti cuplikan lagu Sherina dalam film anak Indonesia kesukaan saya sepanjang massa, ‘mungkinkahku temui persahabatan seperti disini…’.   

Adaptasi akan selalu jadi bagian paling menantang dalam kehidupan manusia. Terlebih saat tak banyak pilihan manusia ketika berada di persimpangan. Belum lagi kita dikejar waktu. Kita sebagai manusia akhirnya hanya pasrah saat dihadapakan pada keharusan untuk memilih. Toh akhirnyapun, kita akan menemukan dan berjalan pada jalan kita masing-masing. Mengantarkan kita pada babak baru pejalanan kita dengan bertemu orang-orang baru dan mulai beradaptasi lagi, sebelum akhirnya bertemu persimpangan selanjutnya.
Oh… sungguh sebuah siklus abadi yang kejam.

Seringkali saya merasa takut dan gamang pada jalan-jalan baru yang akan saya ambil. Ketika tidak ada lagi si A atau si B yang akan menemani saya padahal kami sudah melalui banyak hal-hal. Tapi apa daya, manusia tidak pernah diciptakan bebas dari perpisahan dan pilihan. Mungkin takdir akan membuat kita kembali beririsan suatu hari nanti, ah… siapa tahu? Semoga saja.

Dan disinilah saya sekarang, akan kembali memilih jalan persimpangan. Akan kembali berpisah, dan akan berjalan sendiri untuk sementara waktu. Ada semacam ketakutan besar untuk kembali sendiri dan memulai adaptasi. Tapi… saya yakin bahwa saya akan baik-baik saja pada akhirnya.

Pada sebuah malam, setelah obrolan panjang tentang persimpangan jalan, dengan seorang atasan kerja.



Hujan, Payung, dan Kita

Apakah mungkin, kita bisa mencintai lebih dari satu orang di waktu yang bersamaan? 

Duuuh! Pertanyaan rumit. Benda abstrak bernama cinta itu sulit sekali untuk diukur.

Tapi melihat bagaimana cinta itu juga ada kaitannya dengan aktivitas hormon dalam tubuh kita, jadi ya itu semua tergantung pada bagaimana kita memaknai cinta itu sendiri. Jadi ya mungkin-mungkin saja kita jatuh cinta pada lebih dari satu orang, atau mungkin saja kita jatuh cinta setiap harinya pada orang yang berbeda. Kalau pertanyaannya ‘munginkah?’, ya jawabannya ‘ya mungkin-mungkin aja’.

Apakah mungkin seseorang memiliki dua komitmen yang berbeda di waktu yang bersamaan? 

Nah! Ini… lebih rumit.  Saking rumitnya, bagaimana jika kita menjawab pertanyaan ini sambil berjalan-jalan di luar?

Mumpung sedang gerimis, sepertinya pas untuk mengambil payung dan menyusuri jalan sambil melihat pemandangan kota.

Yuk!  

Biar seru, sebelum jalan-jalan, ajaklah dua orang lainnya dan minta masing-masing membawa payungnya sendiri. Sementara kita, biarlah kita santai tanpa perlu membawa payung. Biarkan kita nebeng dan bebas memilih di payung siapa kita mau berteduh. Toh kita punya dua payung. Jadi, harusnya sih aman…

Hujan di bulan januari, memang kadang tidak tertebak. Kadang rintik-rintiknya deras, seperti hujan yang tidak terlalu deras, tapi kadang hanya seperti embun tapi deras. Jadi, menggunakan payung adalah pilhan yang cerdas!

Pertanyaannya, apakah bisa kita berjalan lurus dengan dua payung, dengan tiga orang tanpa berdesakan?

Karena kita adalah orang yang tidak membawa payung, alhasil kitalah yang harus mondar-mandir dari satu payung ke payung lain. Sehingga pilihannya adalah, yang satu akan berjalan di depan sementara yang satunya dibelakang. Jikapun bisa berjalan beriringan, paling hanya beberapa detik atau menit saja. Karena pasti payungnya mengenai satu sama lain dan membuat kita kesusahan sendiri untuk berjalan bersama dengan sejajar.
Yang paling ideal ya… salah satu akan berada di depan, dan satunya dibelakang dengan kita yang akan bergantian berteduh di dua payung itu bergantian.

Capek ya? Iya engga sih?

Kalau begitu, mari letakan satu payungnya, dan mari gunakan satu payung saja untuk bertiga. Biarkan semuanya berada di bawah satu kendali payung yang sama.

Sudah? Oke, mari lanjutkan perjalanan…

Hujan di bulan Januari yang tidak tertebak membuat kita bertiga harus mati-matian berdesakan. Karena bisa saja yang satu bilang ‘Ke kanan dikit dong, kena basah nih’ sementara yang paling kiri akan bilang ‘ayo cepet, ada genangan disini’, dan yang tengah akan mengikuti kanan dan kiri.

AH! Mungkin karena payungnya terlalu kecil.

Aah… bisa jadi. Mari kita letakan payung kecil itu, dan membeli satu payung yang besar agar muat untuk tiga orang.

Tapi apakah tidak terlalu berat di pegang oleh tiga orang? sementara payung kan hanya punya satu gagang? Tidakkah itu menjadi kewalahan?
Oh, kalau begitu, kita butuh orang lain lagi untuk berada di payung besar ini.
Tapi bagaimana jika nanti kita akan kesempitan lagi?

Arrrgh!

Baiklah, mari ambil dua payung kecil itu lagi, dan kita akan lanjukan sisa perjalanan. Dengan kata lain, akan ada satu orang yang akan bolak-balik untuk berteduh di satu payung. Dan karena bukan kita yang membawa payung, maka biarlah kita yang bolak-balik.

Dan sampailah kita kembali di rumah.

Fyuiih..

Jadi, apakah itu menjawab pertanyaan rumit itu? Apakah kita bisa berada di dua komitmen di waktu yang sama?
Mungkin jawabannya bukan bisa atau tidak, tapi sanggup atau tidak.

Saat hujan, dan berada di bawah payung yang sama hanya dengan seseorang, bukanlah sebuah romantisme kuno. Juga bukan masalah berapa banyak orang yang berada dibawah satu payung yang sama, atau berapa banyak payung yang kita punya. Tapi payung itu sendiri, diciptakan untuk melindungi orang yang berada di bawahnya.

Saat berjalan-jalan dengan seseorang atau dua orang di bawah payung itu, tentu kita akan beradu mulut, karena kita butuh agar payung itu melindungi kita sama baiknya dengan orang disamping kita. Kita ingin kendali yang jelas, apakah ke arah kanan atau kiri, karena jika tidak kompak, maka kita atau orang itulah yang akan basah terkena hujan.

Bukan berarti tidak bisa digunakan oleh lebih dari satu orang, tapi melelahkan ketika harus menyesuaikan keinginan dari banyak orang di bawah satu payung. Bisa sih bisa, asal berapapun banyaknya orang di bawah satu payung itu, bersedia berbagi. Harus ada yang mau sedikit berbasah-basah, karena di sisi lainnya sedang menghindari cipratan mobil, dan sebagainya, dan sebagainya. Payungnya kan cuma satu.

Sementara memiliki dua payung yang berbeda, agar kita bisa terlindungi?
Halaah… bukankah dari hasil jalan-jalan kita barusan, justru kitalah yang akhirnya kehujanan karena harus berpindah-pindah payung?

Kalau saya ditanya, mana yang akan saya pilih?

Well, saya tidak merasa harus memiliki dua payung, saat satu saja cukup. Dan jikapun harus berada di bawah satu payung, saya pastikan bahwa hujanlah yang akan saya nikmati, bukan berdesak-desakan yang tidak perlu. Lebih baik menikmati hujan berdua, dibanding menghawatirkan apakah kita semua terlindungi sama ratanya atau tidak.


Menjadi Bebas

“Apakah kita benar-benar bebas?”  

Beberapa orang bertanya dan mendiskusikan tentang hal itu beberapa hari belakangan ini. Saya jadi sedikit kepikiran, dan akhirnya memutuskan untuk menulis (agak panjang) tentang hal ini.  

Hmm... ternyata, sulit sekali menjawab pertanyaan pendek itu hanya dengan satu jawaban vokal: ya atau tidak. Paling mentok, jawaban yang bisa kita berikan adalah ‘tergantung….’, dan sepertinya itu pula satu-satunya jawaban yang paling ideal.  

Tapi marilah kita bahas sedikit demi sedikit, agar kita bisa sedikit lebih mengkongkritkan kata ‘tergantung’ menjadi sesuatu yang bisa memberi arti. #tsaaah  

Tentu saja, pembicaraan tentang kebebasan tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang pilihan dan aturan. Anggaplah semua pilihan dan aturan tidak pernah ada dalam hidup manusia, maka mungkin postingan kali ini akan berjudul ‘mengapa kita tidak terkurung saja?’, saking tidak ada nya hal yang tidak bisa atau tidak boleh kita lakukan.

Ibaratkan kita berada di sebuah perjalanan panjang, mengendarai sebuah mobil, menuju ke tempat manapun yang kita mau. Lalu bayangkan jika tidak akan ada perseneling di mobil itu, rem, dan mobil itu bahkan tidak membutuhkan bensin atau bahan bakar apapun.

Pertanyaannya, apakah kita akan sampai ke tempat yang kita tuju? Dengan keadaan mobil yang tidak perlu diisikan bensin, tidak bisa berhenti karna tidak punya rem, dan bahkan tidak punya persneling. Mungkinkah?

Lagi, coba bayangkan jika kita diundang untuk bermain di sebuah quiz di televisi. Biasanya, si presenter akan berkata dengan riang, ‘manakah pintu yang akan anda pilih?’ sambil menunjuk 5 pintu, dimana hanya satu (atau dua) yang berisikan hadiah, sisanya ZONK. Lalu kita akan sibuk bertanya pada para penonton, pintu mana yang kira-kira berisi hadiah.

Tapi coba bayangkan, jika quiz yang akan kita mainkan itu tidak punya aturan dan pilihan. Semua hadiah boleh dibawa pulang!

Saya kira, hidup seperti itu tidak akan membawa manusia kemana-mana selain kehampaan.

Kalau saya diberi kesempatan untuk bisa bebas sebebas-bebasnya tanpa perlu mempertanggung jawabkan pilihan-pilihan saya, dan yang paling penting, kalau pilihan saya salah tidak akan ada hukuman dan rasa bersalah, saya mungkin akan bahagia selama…. beberapa hari.
Tapi setelah itu saya akan berkata pada diri saya sendiri ‘oke, abis ini apa?’, dan saya mungkin akan milih untuk mati dibanding hidup.
Kurang seru kayaknya hidup. Karena engga akan ada yang diperjuangkan, engga akan ada yang dilawan, engga akan ada perasaan ‘ini hal yang benar’ atau ‘ini hal yang salah’, lah wong semuanya bebas…

Sepertinya, menjadi bebas bukan sesuatu yang tepat bagi manusia. Berabad-abad umat manusia bermasalah dengan keserakahan, jadi bagimana mungkin kita bisa hidup dengan sepenuhnya bebas? Sepertinya juga, manusia itu hanya terlalu malu, marah, enggan, gengsi, malas, takut, kesal, atau bosan diatur. Tapi percayalah, tidak ada yang benar-benar sanggup untuk menjadi bebas sepenuhnya, tanpa aturan, tanpa pilihan, dan tentunya tanpa konsekuensi.  

Muara dari tulisan ini sebenarnya tergantung pada bagaimana kita sebagai manusia mengambil pilihan-pilihan dalam hidup kita.

Saya percaya bahwa kematian adalah gerbang dari kehidupan yang sesungguhnya, jadi selama di dunia, kalaupun semua pilihan-pilihan itu terbuka selebar-lebarnya untuk saya, saya akan dengan sangat senang hati diberi tahu pilihan mana yang benar dan mana yang salah. Jika ada pedoman yang jelas tentang mana pilihan yang sebaiknya diambil dan mana yang tidak, buat saya itu akan mempermudah hidup saya, jadi saya engga perlu repot-repot buat jadi tersesat.

Tapi itu tidak lantas menjadikan saya orang yang engga bebas, atau tidak punya kebebasan untuk memilih. Saya hanya butuh pedoman, yang bagi beberapa orang disebut aturan. Bagi saya pedoman itu akan memandu, bagi sebagian lain itu adalah kekangan atau ‘omong kosong’.

Tapi aturannya siapa? Pedoman yang dibuat siapa? Kan, salah atau benar itu relatif…   

Betul! Untuk itulah kisanak, bijak-bijaklah mencari tau mana yang harus dijadikan pedoman untuk menentukan benar atau salah.

Diri sendiri juga boleh dong?

Tentu saja boleh, selama kita yakin kalau kita bisa konsisten untuk menjadikan itu pedoman seumur hidup kita. Dan selama itu tidak menjadikan kita malah makin bingung dan tersesat.
Kalau bisa, ya kenapa tidak?  

Kalau aku engga mau ngikutin mana yang dianggap benar atau salah?

Oh ya itu juga pilihan, silahkan saja, selama itu membuat hidup kita punya arah dan tujuan, silahkan saja. Hidup pilihan, kan? Dan inilah kebebasan. Kita bebas untuk tidak mau begini atau begitu. Mau menjalani hidup ala ini dan itu. Bebas… oh sungguh bebas.

Jadi… apakah kita benar-benar bebas?

Oh, itu tergantung!

Tergantung sebesar apa keyakinan kita untuk bebas lepas dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Tergantung sebesar apa keyakinan kita bahwa kita tidak akan perlu repot-repot mempertanggungjawabkan pilihan-pilihan kita.
Tergantung seberapa bahagia kita untuk menjadi benar-benar bebas.

Tapi mungkin pertanyaan yang sebenarnya adalah, jika bahkan kebebasan itu adalah sebuah pemberian atau hadiah, tidakkah itu juga harus dipertanggungjawabkan? Setidak-tidaknya untuk diri kita sendiri?  

But anyway,  

Selamat bertanggung jawab, wahai kebebasan.
Selamat menjadi bebas, wahai manusia.


Rabu, 25 Januari 2017

Lucunya perasaan ini, sudah berkali-kali dilatih mandiri, tetap saja kamu yang dicari-cari.

Aku rindu. Sudah itu saja.

Rabu, 18 Januari 2017

Rabu dan Sebuah Patah Hati Yang Sudah Ditunggu-tunggu

Kadang, aku merasa bahwa semesta hanya mempermainkan kita dalam satu hubungan yang sedemikian rumitnya. Merasa bahwa jarak, waktu, dan semua bentuk halangan dan rintangan hanya sebuah cara agar aku dan kamu tumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi yang baru.

Dengan atau tanpa memberitahumu, aku sering sekali rindu. Misalnya, di malam ketika aku datang ke sebuah rumah sakit dan aku melihat orang sedemkian mirip denganmu. Kupandangi saja lelaki gendut itu, hingga aku merasa bosan, barulah beranjak. Hitung-hitung penghilang rindu gratisan.

Pernah juga, aku tetiba mencium aroma yang entah kenapa begitu mirip dengan aromamu. Kamu pasti tidak sadar kalau memiliki aroma khusus, ya kan?. Tiba-tiba aku ingin sekali terbang, menghilang, atau bagaimanalah caranya agar bisa menemuimu.

Oh yang paling parah, sehabis aku menonton 'Cek Toko Sebelah', oh jangan tanya bagaimana rasanya jadi aku. Rindu berat!

Beberapa kali, aku merasa bahwa disana, atau dimanapun kamu berada, kamu juga rindu aku. Mungkin ketika tanpa sengaja kamu melihat wanita kecil mirip aku, atau kamu melihat seseorang sedang mengupil, atau nama yang mirip denganku. Kadang aku merasa, aku tidak pernah rindu sendirian. Pun kamu, pernah berkata demikian kan?

Denganmu, patah hati terasa monoton. Rindu dan pertengkaran justru terasa lebih menyenangkan. Tapi patah hati, entah mengapa terasa begitu membosankan. Entah mungkin karena denganmu aku sudah mengalami banyak sekali kalimat perpisahan yang pada akhirnya pun tetap tidak membawa kita pada sebuah perpisahan. Atau karena mungkin, patah hati yang sebenar-benarnya belum pernah terjadi. Coba saja kalau kamu ingat, jenis perpisahan macam apa yang belum pernah kita coba? 

Kadang aku merasa, bahwa semesta memiliki jalan tak kasat matanya yang menarikku padamu lagi dan lagi tanpa bisa tertolak. Seperti hari ini ketika aku kembali jatuh pada gravitasimu.

Kalau saja kamu tahu, aku sering membayangkan, apa jadinya kalau suatu hari nanti, aku harus berpapasan denganmu dan dia. Atau apa yang akan aku katakan, jika kamu datang dan berkata 'aku akan bersama dengannya, selamanya'. Mungkin itu akan jadi patah hati yang sebenarnya.

Tapi, aku belum pernah membayangkan,bagaimana jika... dengan tanpa sengaja, aku melihat sebuah foto dimana ada kamu dan dia sedang tersenyum bersama.

***

Tadinya aku ingin menulis tentang bagaimana kamu, yang selalu aku sederhanakan menjadi secangkir coklat panas di penghujung hari: hangat, manis, dan menenangkan.
Namun sekali lagi, semesta berbicara berbeda sore ini.

Fotomu dengannya dengan paras yang begitu sumringah, menjadi kejutan yang tidak terbayangkan sore ini. Menembus segala pertahanan, membuat kaku seketika.

Selasa, 03 Januari 2017

Eksplorasi

Minggu lalu, saya mencoba membeli kopi instant dengan rasa yang berbeda dan merek yang juga berbeda. Pikir saya, ah nyoba ah mana tau cocok. Maka belilah saya merek yang lain itu.
Paginya ketika hendak memulai hari, saya mencoba kopi merek baru itu, menyeduhnya dan menyeruputnya. Hmm.. Rasanya aneh. Enak sih, tapi aneh!
Entah karena lidah saya yang belum terbiasa, atau memang sayanya yang engga suka. Tapi saya masih bertahan satu hingga dua hari kedepan dengan kopi merek itu, sampai akhirnya, saya nyerah! Hari ketiga, saya pergi ke warung dan membeli kopi instant merek yang biasa saya beli. Langsung saya seduh, dan spontan saya berkata  “Ah... Aku kangen!”.

Masih ada hubungannya dengan kopi. Suatu ketik,a saya pernah mencoba mencari kedai kopi yang belum pernah saya datangi, tapi katanya mahsyur di kata orang. Dan saat itu juga kebetulan saya harus mengirim beberapa e-mail dan memang butuh tempat ngopi yang enak.
Maka saya putuskan, mencoba datang ke kedai kopi baru yang terkenal itu. Datanglah saya kesana. Dari pertama masuk aja, saya sudah merasa engga 'klik' sama tempatnya. Tapi yaudahlah, terlanjur, pikir saya.
Saya tanya pada mas-mas pekerja di sana, apakah ada spot yang agak mojok, buat satu orang dengan colokan. Masnya itu mengantarkan saya pada satu spot, yang tetap tidak memuaskan buat saya. Oke, gapapa, kata saya dalam hati. Lalu saya pun memesan minuman coklat, yang katanya paling direkomendasikan. Itupun ternyata, tidak sesuai dengan selera saya. Menyesal! Dan rasa-rasanya ingin langsung pergi saja ke kedai kopi langganan saya. Tapi karena ingat minuman coklatnya bahkan belum habis, mahal pula, urunglah saya.

Juga tentang kopi, saya selalu memesan jenis kopi yang sama ketika berada di kedai kopi kesayangan saya. Hanya satu jenis itu, engga mau berubah.
Kenapa? Karena rasa kopinya pas, manisnya pas, semuanya pas. Tapi suatu hari, saya penasaran ingin membuat sedikit perubahan, akhirnya memesan kopi jenis lain. Eh ternyata enak, dan saya suka. Sejak itupun, saya punya dua macam pilihan kopi yang bisa saya pesan bergantian.

Yak. Saya sedang bicara tentang eksplorasi.

Kita semua pasti pernah mencoba melakukan eksplorasi.
Dari yang menggunakan alasan paling umum: bosan, atau karena alasan lain seperti: ya biar hidup engga monoton aja.
Eksplorasi bahkan terjadi dari hal yang paling sederhana, dari mencoba jenis kopi instant sampai mencari pasangan baru.
Sepertinya mahluk yang bernama manusia tidak akan pernah bisa diam di satu titik tanpa melalukan eksplorasi pada hidupnya. Kita rasa-rasanya gatal untuk ingin menemukan sesuatu atau mencoba hal baru.
Hingga pada akhirnya, sebagai manusiapun kita sadar, bahwa segila, sejauh, atau sedalam apapun eksplorasi yang kita lakukan, sebetulnya hanya akan mengantarkan kita pada dua hal: menemukan hal baru, atau justu memberikan kita alasan untuk kembali pada hal lama.  

Jika eksplorasi telah sampai pada tujuannya, ia akan memberikan gambaran jelas pada manusia tentang apa yang ia harus lakukan setelahnya.
Apakah dia menemukan hal baru dan menyukainya, atau dia menemukan alasan kuat untuk kembali ke hal yang lama.
Keyakinan itu, tentu saja, hanya bisa diberikan kepada mereka yang telah melakukan eksplorasi.

Tapi mau sampai kapan?

Pertanyaan bagus. Karena pasti lelah untuk selalu melakukan eksplorasi kesana-kesini. Inilah yang sepertinya harus dipahami, bahwa eksplorasi bukanlah tentang seberapa lama, atau seberapa jauh. Tapi tentang kepekaan manusia itu sendiri untuk berhenti. Ingat juga, sebagai seorang manusia biasa, kita ini punya tenggat waktu.

Untuk itu, sebaiknya kita tahu pada titik apa eksplorasi kita telah sampai pada tujuannya. Lagipulan, mau sampai kapan sih?

Akhir kata, tuan dan puan, saya oecapkuen selamat bereksplorasi!

Semoga eksplorasi-eksplorasi yang dilakukan membawa kita pada satu keyakinan.
Dan semoga 2017 menjadi tahun yang baik untuk eksplorasi-eksploarsi penting kita.


Cheers,  

Alifah!


Percakapan kesebelas: pertahanan

When we came home, worn to the bones,  I told myself, "This could get rough..."  
And when, when I was off which happened a lot, you came to me and said, "That's enough..."  
Oh, I know that this love is pain, but we can't cut it from out these veins, No!

So I'll get the lights and you lock the doors. 
We ain't leaving this room 'til we both feel more. Don't walk away, don't roll your eyes. 
They say love is pain. 

Well, darling, let's hurt tonight!

(One Republic)

"Aku capek!", katanya singkat, sesaat ia tau aku datang.

Aku mendekatinya perlahan, meraihnya dari belakang, dan menguncinya aman di pelukku. Semakin detik berdetak, aku hanya mengencangkan rengkuhku padanya. Kurasakan getar hebat tubuhnya mengeluarkan semua emosi. Kurasakan panas air matanya yang jatuh. Dan semakin kuatlah aku menyimpannya di pelukku.

"Aku... bener-bener capek!", katanya patah-patah.

Maka biarlah semua kata-kata menguap, maka biarlah semua lelah-lelah itu mencapai puncaknya. 

Aku hanya akan menguncinya dipeluku malam ini. Baik aku atau dia, tidak ada dari kami yang boleh kalah malam ini. Kami bertahan. Kami sedang bertahan.



If this love is pain, then, honey, let's love tonight.

Percakapan kesepuluh: percaya

“Aku minta kamu buat percaya, seberapa susah sih itu buat kamu lakuin?” Kataku setengah berteriak.

Dia menunduk, matanya basah.

Kupelankan suaraku, kudekati dia, “Maaf, aku emosi...”

Dia masih saja tertunduk.

Diam diantara kami begitu lama, dengan aku yang masih harus meyakinkannya, dan dia dengan seribu pikirannnya, aku sungguh kelelahan.

Dia beranjak, menyeka air matanya “Aku selalu percaya, dan karena itu aku terluka!”  

Aku menahan nafas, menahan diri, menahan sekuat tenaga agar tidak ada kalimat yang akan membuatku menyesal nantinya. Aku sedang berperang antara ingin membalasnya dengan sumpah serapah atau pergi saja meninggalkannya.“Terus, kalau kamu engga lagi bisa percaya, apa yang harus kita pertahankan disini?”, sekuat tenaga kutahan emosi suaraku.

“Kamu minta aku percaya, dan kamu menjadikan itu murah. Kamu marah kalau kamu merasa, aku engga percaya sama kamu. Kamu bilang, kamu sayang sama aku, aku percaya. Kamu bilang, kamu akan nemuin jalannya, aku percaya. Kamu bilang kalau perasaan kita yang paling penting, aku percaya. Kapan kamu mau berhenti untuk bilang kalau aku engga percaya? Aku percaya! Aku percaya! Aku selalu percaya. Dan apa yang aku dapetin dari percaya? Kamu menjadikan ini murah. Terlalu murah bahkan!

“Masalahnya dimana sih?”  

“Masalahnya adalah karena aku percaya! Itu masalahnya. Bilang sama aku, kalau percaya sama kamu itu jalan keluar. Dan bilang sama aku kalau percaya sama kamu itu bukan hal bodoh yang aku lakuin” Kalimatnya meluncur jelas, seperti telah menjadi hal yang ingin ia sampaikan sejak lama.  

Logikaku terasa beku.

Lalu apa yang bisa kita lakukan tanpa rasa percaya? hatiku berbisik, namun kalimat itupun beku.

Kulihatnya berjalan, menjauh dari aku.


Pengulangan itu bernama ketakutan

Kadang saya berfikir bahwa ketakutan merupakan sebuah fase. Artinya, kalau kita berhasil mengatasi ketakutan kita pada hal tertentu di saat tertentu, maka ketakutan itu akan hilang dan tidak akan pernah datang lagi. Atau setidaknya bukan ketakutan yang sama, yang akan datang.  

Tapi ternyata, engga begitu realitanya.  

Misalnya, dulu saya punya ketakutan tentang gimana kalau seumur hidup, engga akan pernah ada lelaki yang berhasil tahan sama saya, atau bagaimana jika saya engga pernah bisa menikah karena semua lelaki di dunia ini kabur setelah dengar cerita-cerita saya. Sampai saya bertemu dengan lelaki yang berhasil tahan dengan saya, bahkan ketika sudah mendengar nyaris semua kisah-kisah saya.
Saya pikir, ketakutan itu sudah terpecahkan. Ketakutan jenis itu setidaknya, saya pikir sudah hilang dan tidak akan saya temui lagi.

Tapi nyatanya engga begitu.

Setelah saya dan lelaki itu tidak lagi bisa bersama, saya merasa dihampiri ketakutan yang sama. Lebih parah malah. Saya takut kalau saya tidak lagi punya kesempatan untuk bertemu laki-laki yang bisa tahan, bahkan setelah mendengar semua cerita-cerita saya.

Ah...

Sepertinya, ketakutan hanya akan hilang sejenak dan akan kembali lagi. Ia akan kembali menemui kita dalam bentuk yang berbeda. Engga peduli seberapa kuatnya kita mengalahkan ketakutan itu, dia akan kembali dengan caranya yang tidak tertebak.
Ketakutan yang lama, hanya sanggup memberikan kita gambaran untuk bertahan, tapi tidak pernah benar-benar bisa membuat kita terbebas dari ketakutan.

Ternyata, ketakutan hanyalah sebuah pengulangan.


Aku, Rabb, dan Sebuah Rahasia Kecil

 “Please... Please... Please, Let me get what I want this time. Lord know it would be the first time” (The Smith)    


Rabb, aku tau doaku terasa monton akhir-akhir ini. Dan jika aku tersungkur saking tidak tahunya apa yang harus aku lakukan, maka kalimat-kalimatku juga berbunyi sama.  

Rabb, bukankah Engkau yang menjanjikan untuk selalu menjadi loker paling aman dari semua rahasia terdalam hati manusia? Dan bukankah, saat semua ini berakhir, pada akhirnya kita semua akan kembali pada awal mula? Bukankah tidak ada yang paling sanggup mengabulkan semua keinginan paling tidak mungkin manusia selain Engkau?

Rabb, jadilah saksi atas apa yang ada didalam hatiku, atas apa yang jadi sebab aku tersungkur, atas apa yang selalu aku minta, atas alasan aku tersenyum.

Simpanlah baik-baik, jadikan ini rahasia kecil kita berdua. Suatu hari nanti, Kau boleh membukanya.

Bukankah, hari itu sudah Kau janjikan?


© RIWAYAT
Maira Gall