Selasa, 31 Desember 2019

Untuk Semua Luka yang Terobati dan Untuk Kemenangan Atas Peperangan Dengan Diri Sendiri, Rayakanlah!

Cause everyone hurts, everyone cries, everyone tells each other all kinds of lies.
Everyone loves, everybody gets their hearts ripped out. 
Got to keep dancing when the lights go out. Hold tight for everyday life.
(Coldplay - Everyday life)

Setiap kali saya tugas lapangan atau ketika saya berpergian ke sebuah daerah, pasti ada saja perayaan-perayaan unik yang saya temui. Unik dari segi alasan penyelenggaraannya, maupun unik dari segi teknis penyelenggaraannya. Perayaan-perayaan itu beraneka macam bentuknya, mulai dari perayaan yang cukup populer seperti sunatan atau pernikahan yang diselenggarakan menurut tata cara adat setempat, sampai perayaan yang sepertinya hanya ada di lokasi itu saja, contohnya jahit kuping di Papua Barat. Setiap itu juga saya berusaha untuk bertanya apa motivasi di balik setiap perayaan itu kepada masyarakat lokal. Jawabanya sangat beragam. Ada yang diselenggarakan karena alasan spriritual, ada yang karena alasan mistis, dan yang paling standar adalah karena norma sosial yang sudah terjadi sejak lama.

Di setiap perayaan lokal tersebut, pasti diikuti dengan serangkaian kegiatan, seperti dangdutan atau apalah, yang dalam kacamata saya terkesan merepotkan dan bisa jadi membebani masyarakat itu sendiri. Saya pernah ngobrol dengan sebuah keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana di sebuah kampung kecil yang sudah mengeluarkan dana sekitar 11 juta untuk acara sunatan. Kan lumayan ya…

Tapi saya sendiri juga harus menghargai, karena perayaan kan memang bukan tentang seberapa besar usaha dan upaya yang dilakukan. Perayaan adalah tentang suka cita. Tentang sebuah harapan dan rasa syukur yang ingin dibagi-bagikan kepada orang lain. Atau mungkin tentang sebuah peristiwa yang hanya terjadi sekali seumur hidup atau malah jarang terjadi, sehingga layak untuk dikenang dan dirayakan bersama.

Saya jadi ingat waktu SMA dulu, saya punya teman yang setiap tanggal jadiannya harus dirayakan setiap bulan dan dia akan posting di laman friendsternya, “SeLaMaD 12 yAn9 k3 4 eAaa cyaNk.” Tentu saja saya bingung, saya pikir perayaan jadian itu dirayakan sekali saja tepat di bulan dan di tanggal yang sama, dengan syarat hubungan itu langgeng sampai setahun, lah kok ini setiap bulan? Mubazir amat. Ketika saya tanyakan alasannya pada teman saya itu, dia menjawab santai, “Yang lain juga gitu Peh kalau pacaran.” Oke sip.

Jawaban teman saya itu menarik sebenarnya! Artinya, perayaan bisa saja dilakukan walaupun itu artifisial, membosankan, atau bahkan tidak berkesan. Hmm...

Sayapun mencoba mengingat perayaan apa di hidup saya yang berkesan. Ulang tahun? Mmm… sepertinya sih tidak ada yang berkesan dari perayaan ulang tahun dan ditambah saya juga jarang merayakan ulang tahun. Bahkan di masa kecilpun, seingat saya, hanya dua kali ulang tahun yang dirayakan dengan mengundang teman-teman saya, selebihnya ya hanya makan atau tiup lilin di rumah, atau ya… ucapan dan doa dari keluarga. Jadi kalau perayaan ulang tahun dibilang berkesan? Engga deh, coret! Perayaan lain yang pernah saya lakukan adalah ketika saya wisuda, tapi kalau dibilang berkesan? Ya biasa aja sih. Lebih ke lega sih karena sudah merampungkan sebuah tanggung jawab pada diri sendiri, nusa dan bangsa, dan keluarga. Oh dan ada satu lagi perayaan yang berhasil saya ingat, itu adalah ketika waktu kecil, keluarga saya mengadakan syukuran di tempat anak yatim karena dalam tahun itu saya banyak ditimpa kemalangan, mulai dari tenggelam nyaris meninggal sampai sakit demam berdarah. Curiga saya mungkin sebenarnya saya mau diganti nama waktu itu. Syukurlah engga kejadian. Itu agak berkesan sih, tapi berkesan yang tidak menyenangkan. Jadi kalau dipikir-pikir, tidak banyak perayaan berkesan yang pernah saya lakukan dalam hidup saya. Eh, atau sayanya ya yang memang tidak berhasil mengingat? Ah entah.

Sebuah artikel menarik yang pernah saya baca adalah bagaimana mahalnya menjaga hubungan pertemanan di era saat ini. Ketika banyak sekali perayaan yang harus diikuti atau dilakukan atas nama pertemanan. Mulai dari bridal shower sampai nanti baby shower. Mending kalau teman kita hanya 2 atau 3 orang saja, lah kalau ada belasan atau puluhan, ya lumayan tekor juga kan. Artikel itu menarik, karena membahas bagaimana konstruksi sosial soal pertemanan yang sepertinya cukup artifisial, hingga bagaimana perayaan-perayaan baru dibuat entah dengan tujuan apa. Artikel itulah yang membuat saya berfikir ulang tentang makna perayaan. Apakah perayaan memang benar tentang suka cita? Apakah perayaan selalu tentang kejadian yang nampak-nampak saja? Kenapa kita harus merayakan sesuatu, atau kenapa sesuatu itu harus dirayakan? Dan dengan siapa sebenarnya perayaan itu seharusnya dilakukan?

Tentu saja tidak ada yang mengelak untuk mengakui bahwa lulus kuliah, pernikahan, memiliki anak, dapat beasiswa S2, punya mobil batu atau rumah baru, dapat pekerjaan, promosi, dan bahkan menang undian liburan adalah hal-hal dalam hidup yang menggembirakan. Sesuatu yang ingin kita rayakan sebagai luapan kegembiaraan dan juga rasa syukur. Bahkan untuk hal-hal tahunan seperti ulang tahun, pesta tahun baru, atau ritual keagamaan, semua itu dirayakan untuk memperingati sesuatu berulang tanpa kita tahu apa esensinya.  Jadi sebetulnya, apa itu perayaan?

Saya ingat sebuah kejadian di tahun lalu, saat saya masih ngantor di salah satu lembaga negara. Ketika jam pulang kantor, teman dekat saya yang juga satu kantor dengan saya, secara dadakan mentraktir makan di angkringan depan kantor. Dia bilang waktu itu, “Yuk Peh aku traktir, aku baru aja dapet atasan baru dan dia lebih manusiawi dari yang lama.” Maka kami pun jalan menuju angkringan. Di malam itu, kami berdua membahas dengan tuntas bagaimana dia merasa dizolimi dengan atasan lamanya dan merasa lega dengan dengan atasan barunya yang lebih baik. Dan untuk sebuah rasa syukur telah terbebas dari bos lama, teman saya mengadakan perayaan sederhana dengan hanya hanya mengeluarkan uang kurang dari 50 ribu rupiah saja. 

Teman saya lainnya pindah ke sebuah apartemen dengan anak-anaknya sesaat setalah proses cerai dengan suaminya resmi berjalan. Dia bilang, “Anak-anak udah engga bisa Peh ada di sini, inget ayahnya terus. Aku juga engga bisa di sini, terlalu nyakitin. Yuk main ke apartemen aku yuk.” Saya  pun singgah ke apartemennta, mencoba memberikan dorongan moral sebisanya, dan membelikan pizza untuk dimakan bersama. Sebelum pulang dia berkata, “Di sini lebih tenang, ya semoga awal yang baru untuk aku dan anak-anak ya Peh.”

Bagi saya, dua kejadian itu lebih terasa seperti sebuah perayaan. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk menjadikan hibup mereka lebih baik, ya dengan mentraktir saya makan angkringan sebagai tanda terbebas dari atasan menyebalkan, atau dengan pindah dari tempat lama menuju tempat baru demi menghindari rasa sakit.

Mungkin selama ini kita diajari bahwa perayaan adalah tentang capaian atau tentang kejadian langka. Kita terbiasa merayakan tahun baru, karena kita sudah mencapai satu tahun ke belakang dan siap untuk memasuki tahun baru. Tanpa peduli apakah kita jadi orang yang baru atau tidak. Kita terbiasa merayakan pernikahan, sunatan, lahiran, wisudaan karena itu semua adalah kejadian kasat mata yang berhasil kita jalani. Di hari itu, kita akan menerima ucapan-ucapan seperti,“Selamat ya bla bla bla” dan disambung dengan harapan-harapan, “Semoga bla bla bla.” Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa hal-hal seperti itu lah yang harus dirayakan. Kita tidak pernah diberitahukan sebelumnya, atau mencoba membiasakan diri bahwa kepahitanpun adalah hal yal yang harus dirayakan. 

Di sebuah hari di pertengahakn tahun, saya berbincang cukup intensif dengan seorang teman. Kami bercerita panjang tentang hal-hal di masa lalu dan trauma-trauma yang kami rasakan. Di tengah-tengah obrolan kami, dia bertanya sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab langsung saat itu. “Peh, kenapa kamu perbolehin orang lain untuk bikin kamu nelangsa. Maksudku, aku ga peduli alasan mereka ngelakuin hal-hal buruk itu ke kamu, pertanyaanku adalah, kenapa kamu perbolehin diri kamu terlalu lama sedih karena perlakukan buruk orang lain?” 

Pertanyaan itu tidak bisa saya jawab saat obrolan kami berlangsung, tidak bahkan beberapa hari setelahnyapun. Hingga akhirnya di sebuah pagi, saya terbangun dengan cukup lunglai dan merasa bahwa saya harus segera menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu seakan memaksa saya untuk menemukan bagian dari diri saya yang hilang.

Maka seperti mengendarai mesin waktu, di hari itu, tidak ada yang saya lakukan selain masuk ke dalam pikiran saya dan pergi ke masa-masa lalu, jauh ke masa-masa kecil saya. Hari itu saya putuskan untuk berani melihat kembali apa yang saya lewatkan. Melihat kembali apa yang terjadi, siapa yang terlibat, dan perlakukan seperti apa yang saya terima. Perjalanan ke masa lalu, ke masa-masa kecil, seperti biasa, selalu melelahkan. Tapi demi menjawab pertanyaan itu, saya siap membayar berapapun harganya. Seperti melihat di etalase kaca, saya yang sudah dewasa ini kembali melihat apa yang yang terjadi di masa lalu, dan disitulah saya menemukan sebuah kejadian. Kejadian yang tidak menyenangkan. Kejadian yang tidak saya sadari, telah menjadi pola yang terbentuk hingga saya dewasa. Kejadian yang sempat beberapa kali terjadi di masa kecil, tapi terlalu takut saya tanyakan kepada orang dewasa. 

Sekembalinya saya dari perjalanan mesin waktu ke masa lalu, saya koyak lahir dan batin. Saya seperti membuka satu luka yang selama ini tertutup. Menyakitkan pada awalnya, karena ibarat plester yang menempel pada kulit yang terlalu lama, saya menjerit saat plester di buka. Luka yang ada dibaliknya pun masih ternyata masih sangat basah dan bernanah karena selama puluhan tahun ini tertutup. Dan untuk mengakhiri perjalanan itu dan agar pertanyaan teman saya itu bisa terjawab, saya hanya tinggal melakukan satu hal: memastikan!

Saat sahabat saya, Ica, pulang dari kantor, di malam hari saya memberanikan diri untuk bercerita tentang perjalanan saya. Kata demi kata saya ucapkan dan saya bertanya sebuah pertanyaan pamungkas, “Itu wajar engga sih kalau terjadi ke anak kecil, Ca?” Ica hanya menatap saya dalam-dalam dan sambil menahan tangis dia berkata, “Engga, Peh”. Maka kami pun berpelukan sambil menangis, saya bisa mendengar Ica berkata lirih, “kamu kuat Peh.” 

Dan itulah dia, akhirnya saya menemukan apa jawabannya!

Saya remuk redam di hari setelah saya tahu apa yang terjadi dan kenapa saya tumbuh seperti ini. Tapi alih-alih menghindar dari kenyataan, malam itu sebelum tidur, saya menatap diri saya di cermin dan dengan menarik nafas super panjang, saya mengiyakan kejadian itu ada di hidup saya. Tidak akan saya tutupi dan tidak akan saya sembunyikan. Saya terima dengan lapang. Malam itu saya tidur dengan mata sembab setelah menangis seharian, tapi hati saya lega. Saya merasa sudah melakukan sesuatu yang berani karena bersedia menghadapi luka dan kejadian itu. Malam itu, saya sedang merayakan sesuatu.

Hari-hari setelahnya cukup berat dan saya membuat itu selayaknya perayaan pada umumnya. Sayapun merayakan dengan makan enak, membaca artikel menarik, atau menonton hal-hal random di YouTube agar pelan-pelan luka itu bisa mengering. Pun saya tidak merayakan ini seorang diri, saya bercerita pada beberapa orang terpercaya tentang apa yang saya alami, agar saya percaya bahwa saya tidak sendiri. Hingga setelahnya, pelan-pelan saya mulai bisa tersenyum lagi.

Malam itu mengajarkan saya tentang apa perayaan yang sebenarnya. Detik di mana kita mengenal diri kita sediri, itulah detik di mana kita harus merayakannya. Saat kita akhirnya berani berdamai dengan diri kita sendiri, dengan kajadian tidak menyenangkan, dengan hal-hal yang tidak bisa kita jangkau, maka saat itulah perayaan. Ketika kita merasa berani untuk memafkan, memulai sesuatu yang baru, atau bersedia menjadi lebih baik lagi, ketika itulah jugalah perayaan.

Perayaan memang tentang suka cita, karena siapa yang tidak bergembira saat kita berhasil mengenal diri kita lebih baik lagi atau saat kita berhasil memenangkan perang dengan iblis yang ada diri kita sendiri. Perayaan memang tentang kejadian langka, karena membuka luka lama dan berani mengobatinya adalah hal yang tidak setiap hari terjadi. Perayaan memang tentang rasa syukur, karena siapa yang tidak bersyukur ketika kita akhirnya diberikan penjelasan oleh Yang Memiliki Hidup. Rayakanlah dengan diri kita sendiri dan rayakanlah dengan manusia-manusia terbaik sebagai sebuah kisah yang bisa diceritakan. 

Untuk semua penerimaan diri, untuk semua kekuatan hingga kita sanggup berdiri, rayakanlah, kita layak untuk itu!

sumber: https://id.pinterest.com/pin/229683649733811672/

Senin, 30 Desember 2019

Melenturkan Diri

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk!
(Tan Malaka)


Semua orang yang sering berinteraksi dengan saya, pasti tahu kalau saya bukan orang yang mudah untuk dibujuk. Pun saya mengakui bahwa saya bukan orang yang mudah untuk mencoba hal-hal yang baru. Dua hal yang kalau dikombinasikan, cukup untuk mengkatagorikan saya sebagai tipe orang yang susah ‘move on’, bahkan untuk urusan yang sepele.

Kalaupun pada akhirnya saya melakukan eksperimen untuk mencoba sesuatu yang baru, bisa dipastikan itu karena saya sudah melakukan kontemplasi dalam waktu yang lama, bahkan bisa sampai membuat orang lain kesal karena saya terlalu lama mengambil keputusan. Sering bahkan, saya sampai membuat daftar pros dan cons hanya untuk mengambil satu keputusan yang sebetulnya remeh-temeh.

Namun begitu, predikat ‘bermain aman’ juga tidak sepenuhnya tepat mengambarkan kepribadian saya. Sering kali dalam hidup, saya mengambil banyak keputusan-keputusan yang membuat orang-orang di sekeliling saya geleng-geleng kepala karena bagi mereka apa yang saya lakukan itu terlalu berisiko. Tapi impulsif? Oh, sungguh tidak pernah ada di kamus hidup saya. Hingga tahun 2019 setidaknya, sepertinya tidak pernah ada hal spontanitas di hidup saya yang mengarah pada impulsifitas. Oh tidak… tidak!

Menariknya, di tahun ini akhirnya saya mencoba banyak sekali hal-hal yang baru, dan bagi saya hal itu adalah sebuah pencapaian! Hal yang akhirnya mendorong saya untuk mencoba hal-hal baru tersebut adalah karena saya ingin mengenal diri saya lebih baik lagi! Hanya itu motivasinya.

Percobaan pertama adalah pindah kamar! Di rumah saya di Jakarta (Sebenarnya sih kost-kostan, tapi saya lebih suka menyebutnya rumah, karena memang bentuknya adalah rumah lama yang kamarnya disewakan. Jadi hanya sedikit penghuninya dan semuanya saling kenal, saling sapa), awalnya kamar saya berada di lantai bawah. Kalau bisa saya deskripsikan, itu adalah kamar mungil yang pas bagi saya dan untuk semua barang-barang saya yang hanya sedikit itu. Dan hal yang paling membuat saya bahagia berada di kamar bawah adalah karena kamar itu memiliki akses sinar matahari yang paling banyak diantara semua kamar. Sebagai pencinta sinar matahari dan udara segar, kamar bawah itu seperti surga buat saya, walaupun ukurannya tidak sebesar kamar-kamar lain di rumah.

Tahun lalu, ada satu kamar di lantai dua yang akhirnya kosong karena penghuninya pindah tempat tinggal. Awalnya saya mau pindah ke kamar itu karena ukurannya 2 kali lebih luas dari kamar saya di bawah. Tapi setelah saya lihat kondisi kamarnya yang tidak punya akses sinar matahari sebanyak di kamar bawah, saya pun urung. Yuni, Putri, dan Ica, teman-teman saya di rumah, mencoba sekuat tenaga untuk membujuk saya pindah kamar. Katanya biar kalau rumpik lebih dekat, yaaa… secara mereka bertiga ada di lantai 2. Awalnya saya sempat saya tergiur untuk pindah karena ukuran kamar yang 2 kali lebih besar dari kamar saya di bawah, saking tergiurnya, saya bahkan sempat melakukan kontemplasi cukup lama, hingga sholat meminta petunjuk, tapi pada akhirnya, saya tetap kukuh dengan pendirian pertama dan tetap tidak jadi pindah. “Bodo amat ah sama ukuran yang lebih luas juga, aku cinta kamarku.” Kata saya diplomatis kepada 3 teman saya itu.

Lalu, di tahun ini, Yuni dan Putri (mereka sekamar) tidak lagi menghuni rumah ini, maka kamar mereka menjadi kosong. Ica sudah berkali-kali bilang sejak lama, kalau saya lebih baik pindah saja ke lantai dua. Terutama karena kami yang akhirnya cuma tinggal berdua, jadi kalau ada ‘apa-apa’ dekatan lokasinya. Kamar Yuni dan Putri juga luas, 1.5 kali dari kamar saya di bawah dan masih bisa mendapatkan sinar matahari yang cukup dan udara non AC. Best deal sebetulnya sih! Ya sudah, akhirnya saya bilang ke Koh Alung, pemilik rumah, kalau saya akan pindah ke lantai 2 dan menempati kamar Yuni dan Putri setelah mereka pindah nanti. Lagi, saya galau! Berkali-kali saya membandingkan antara kamar saya di bawah dengan kamar Yuni di atas. Sampai akhirnya, Koh Alung berkata, “Oke deh dedek Ipeh, nanti pindah ya kamar atas ya, biar kamar bawah nanti bisa ditempatin”, dan saya langsung sedih. Saya berfikir, nah loh, ini adalah keputusan yang salah!

Hingga di hari terakhir saya sudah harus pindah kamarpun, saya masih saja belum yakin. Atau lebih tepatnya saya engga bisa move on dari sebuah kamar! Saya sepertinya terlalu cinta dengan kamar bawah yang penuh kenangan itu. Dan juga, waktu saya masuk ke kamar atas yang sudah kosong, saya terbayang memori kami bertiga yang beraneka macam, mulai dari saya yang masih pakai baju kerja masuk ke kamar dengan cemberut karena hari saya agak off, kami yang begadang hingga larut malam hanya untu membahas masalah finansial setelah pernikahan, dan kami yang mencoba skin care Yuni yang banyak itu. Alih-alih saya jadi melanjutkan angkut-angkut, yang ada saya malah nangis dan merasa kamar itu terlalu memorial untuk saya huni. Jadi kalau tahun lalu saya engga mau pindah karena alasan sinar matahari, kali ini engga mau pindah karena memori, hadeuh banget kan saya ini?

Tapi saya ingat ancaman Ica, “Awas ya kamu kalau golau-galau ga jadi pindah. Jangan bikin aku males deh.” Maka saya lanjutkanlah untuk mengangkut barang-barang dari kamar bawah ke kamar atas. Tapi… di tengah-tengah pindahan, saya merasa kalau kamar di lantai atas terlalu besar dan kamar di bawah lebih pas buat saya. Saya nyaris mau membatalkan niat dan mau pindah lagi ke kamar bawah! Dan di saat itulah bagian dari diri saya berkata dengan sangat amat lantang, “Peh, pindah aja! Dan kamu bisa belajar SESUATU dari kepindahan ini, suka apa engga nantinya, anggap aja ini eksperimen kamu, nanti kamu bisa bikin jurnal mana yang berhasil dan mana yang engga dari eksperimen-eksperiman kamu. Udah, pindah aja!”

Seperti dibentak oleh diri sendiri, maka sayapun resmi pindah kamar dan jadi bagian dari lantai 2 yang hanya dihuni 4 orang termasuk saya itu.

Sebulan berjalan, dua bulan berjalan, tiga bulan, hingga hari ini. Semuanya ternyata tidak seheboh yang saya bayangkan. Memang butuh pembiasaan dari kamar bawah yang minimalis dengan kamar atas yang lebih lapang. Butuh pembiasaan memang untuk menempati kamar yang tadinya dihuni orang lain serta banyak kenangan lamanya dan menjadikan itu sebagai kamar baru saya. Tapi ternyata, hanya butuh pembiasaan hingga lama-lama kamar itu menjadi kamar ‘saya’ dengan kenangan-kenagan baru yang saya ciptakan di kamar atas.

Hal ini mengajarkan saya bahwa membiasakan diri pada hal-hal baru ternyata bukanlah hal yang rumit. Saya kini lebih mengenal diri saya sendiri bahwa jika nantinya saya mendapati kondisi dimana saya ditawarkan sesuatu yang lebih baik, tapi kok saya tidak mau beranjak hanya karena alasan kenangan dan rasa nyaman, maka yang harus saya lakukan adalah memaksimalkan kemampuan beradaptasi dan berhenti membayangkan hal-hal lama. Saya harus melihat bahwa hal baru berarti pengalaman baru, terlepas dari suka atau tidak. Siapa sangka, sesederhana memberanikan diri untuk pindah kamar, saya lebih menggenal diri saya ketika proses adaptasi. Awalnya memang sulit, tapi akhirnya saya juga menyadari bahwa hidup memang jauh lebih luas dari kenyamanan yang sudah saya rasakan.

Percobaan kedua adalah membeli sepatu dengan model yang berbeda. Model sepatu yang saya miliki sedari dulu hingga sekarang adalah sama: flat shoes. Waktu itu, saya dan teman saya tidak sengaja pergi ke salah satu tempat perbelanjaan di Jakarta yang terkenal dengan clearance store-nya. Saya yang memang sedang mencari sepatu warna hitam untuk menggantikan sepatu lama saya yang hampir usang itu, mencoba beberapa model sepatu. Akhirnya pilihan saya jatuh pada 2 pilihan model. Pilihan pertama adalah model sepatu yang persis sama dengan yang saya punya, bahkan yang saya pakai saat itu. Plek ketiplek. Dan pilihan kedua, ya masih sesuai dengan style saya sih, hanya dengan model yang jarang saya beli. Galau dong. Bagkan sampai akhirnya teman saya pamit duluan karena dia ada acara di tempat lain, saya masih saja belum bisa memutuskan mau membeli yang mana.

Setelah menarik nafas berkali-kali dan dengan mengingat pengalaman saat pindahan kamar, maka saya putuskan untuk kembali mencoba hal yang baru, yaitu membeli sepatu dengan model yang jarang saya beli. Ada perasaan tidak sreg sesampainya di rumah, tapi ah mungkin sayanya saja yang butuh adaptasi, lama-lama juga pasti suka. Begitu sugestinya. Sebulan setelah saya membeli sepatu itu, entah kenapa saya selalu terbayang model yang pertama. Rasa-rasanya kok gaya saya lebih cocok dengan model sepatu yang pertama yaa... Tapi ya karena sudah terlanjur dibeli, ya mau bagaimana, ya saya nikmati saja tapi dengan catatan, bahwa di masa depan, kalau saya membeli sepatu yang nyaman dengan harga yang lumayan, maka saya akan membeli model yang biasa saya beli. Lagi-lagi, saya akhirnya kembali mengenal diri saya sendiri bahwa ternyata, toleransi saya untuk pemilihan sepatu begitu rendah. Saya mungkin akan jadi tipe orang yang model sepatunya ya begitu-begitu saja hingga tua nanti, dan saya engga peduli pendapat orang tentang itu.

Sebagaimana saya katakan di awal, motivasi saya untuk mencoba hal-hal yang baru adalah sebagai upaya agar saya dapat lebih mengenal diri saya sendiri. Tidak harus melulu literlek seperti dua percobaan itu, ‘Oh pindah kamar adalah hal yang baik’, ‘oh, besok-besok harus tetap beli model sepatu yang sama’. Mencoba hal baru artinya saya mau belajar merekognisi respon saya terhadap sesuatu hal, seperti bagaimana saya menghadapi diri saya ketika saya sedang beradaptasi, bagaimana cara untuk bisa bertahan ketika saya mengambil solusi yang berbeda, atau bagaimana cara terbaik untuk bisa memberikan apresisasi pada diri sendiri. Sudah semestinya saya memahami itu semua.

Mengenal diri sendiri, juga sebagai cara agar saya bisa menghemat waktu dan menyimpan energi untuk hal-hal yang dibutuhkan saja. Dulu, ya anggaplah 5 tahun yang lalu, sebelum pelan-pelan mengenal diri saya sendiri, saya bisa membuang waktu untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak sanggup saya kendalikan, atau energi saya terkuras untuk sesuatu yang seharusnya bisa saya hindari.

Ya ibarat masak, kalau hari ini kita mencoba menggunakan lebih banyak bawang merah daripada bawang putih, maka besok kita bisa mencoba mengganti bawang-bawangan dengan rempah-rempah lainnya untuk tahu apa bedanya. Alasan sebenarnya bukan sekedar untuk mendapatkan resep yang tepat, tapi agar kita bisa tahu rasa apa yang dihasilkan dari bawang merah atau dan rasa apa yang keluar dari menggunakan rempah-rempah. Kalau sudah jago, barulah kita bisa mengkreasikan masakan sesuai dengan rasa yang kita mau.

Sama halnya dengan saya, mengingat bahwa hidup akan selalu menawarkan skenario dan pilihan yang berbeda di setiap saatnya, saya percaya bahwa cara terbaik menghadapi kejutan-kejutan itu adalah dengan mengenal diri saya dengan lebih baik lagi. Bukan semata untuk mencari komponen yang pas dalam menghadapi hidup, tapi yang terpenting adalah agar saya tau cara terbaik dalam mengendalikan diri saya sendiri. Kalau bukan saya yang mencari tahu, mau mengandalkan siapa?

Mungkin akan butuh waktu seumur hidup untuk bisa mengetahui diri saya sepenuhnya. Tapi yaaa… kita mulai saja dulu pelan-pelan.

Source: https://id.pinterest.com/pin/180003316349715173/


Sebuah Hari di Bulan Januari

Tak semua halaman merana namun yang kelam terlalu berarti.
Seperti aku tegap berdiri di atas kertas putih, seperti kencangnya berlari tanpa tujuan henti.
Halaman tawa yang aku cari telah hangus.
(Isyana Saraswati - Lembaran Buku)


Tidak banyak yang aku ingat di hari ketika aku akan menuju Garut. Hari itu aku harus pergi ke Garut karena kakek sakit, sebuah keputusan yang tepat karena tak lama beliau berpulang selamanya. Aku sedang duduk di sebuah warung sambil menungggu bis jurusan Garut, lalu di saat itulah pesan singkatmu datang.  

Pesan itu menyiratkan semua hal yang aku tunggu selama ini, yang aku paling takutkan dan kenyataan yang sudah lama aku prediksi akan datang.

Aku sibuk menghadapi perasaanku, entah harus bersedih karena kakek kritis atau karena pesanmu.

Waktu itu hujan sepanjang perjalan menuju Garut dari Jakarta. Di dalam bis, aku duduk di sebelah lelaki yang menatapku iba sambil bertanya, “Neng, engga apa-apa?”. Pertanyaan yang harus ditanyakan memang, harus ada yang bertanya bagaimana kondisiku karena aku tidak berhenti menangis, tidak bahkan berhari-hari setelahnya pun.

Sebuah lagu lokal teringat di kepalaku dan aku memasang headset mendengarkan lagu itu hingga sepertinya dadaku mau pecah saking sesaknya. Tidak apa-apa kataku pelan karena sudah semestinya emosi itu keluar.

Begitulah tahun ini dimulai, dengan sebuah penolakan semesta terbesar selama 5 tahun terakhir.

Kamu.

Sudah sejak lama aku berusaha untuk menyembuhkan diri, menyatukan kembali semua bagian dari diriku yang pecah, dan mencoba untuk berdamai dengan kondisi, walau aku lebih sering gagal. Tapi sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, di sebuah hari di bulan Januari, aku berjanji berusaha lebih keras lagi untuk berani menyudahi.


Beranikan diri tutup buku ini.

Rabu, 30 Oktober 2019

Pertanyaan

Meminjam semua lirik milik Nadin Amizah dalam lagunya yang berjudul Rumpang. 
Aku bersembunyi di balik semua kata dalam lagu itu.


Sempat ku berpikir masih bermimpi, bertahun berlanjut tanpa henti...
Kulitmu yang memudar saksinya, tetap rasaku tak pernah hilang.

Aku takut sepi, tapi yang lain tak berarti...

Katanya mimpiku akan terwujud, mereka lupa akan mimpi buruk...
Tentang kata, "Maaf, sayang aku harus pergi"

Sudah kuucap semua pinta sebelum ku memejamkan mata...
Tapi selalu saja, kamu tetap harus pergi.

Saat malam-malam itu ada di antara kita.
Dan semua kata-kata itu, terucap.
Hingga waktu terasa berlari...

Apakah kamu...
Kamu,
bahagia?

Banyak yang tak ku ahli...
Begitu pula menyambutmu pergi.

Aku harap, kamu bahagia.
Oh... semoga saat itu, kamu bahagia.


Begitu juga menyambutmu tak kembali.


Terimakasih Nadin sudah boleh meminjam Rumpang.
Sama seperti kamu, aku juga tidak ahli menyambutnya tidak kembali.

Senin, 21 Oktober 2019

Cobalah Mulai Belajar Hal-Hal yang Seharusnya Tidak Harus Dipelajari

Di suatu pagi menjelang siang, seorang teman bercerita pada saya dengan nada sedikit geram. Ternyata, agenda kopi darat yang akan dia lakukan dengan seorang lelaki gagal terlaksana. Begini ceritanya, teman saya itu sedang menghadiri pesta pernikahan temannya yang lain di luar kota, kebetulan di kota yang sama itu jugalah si lelaki itu tinggal. Maka si teman saya itu berpikiran bahwa inilah saat yang tepat untuk mereka saling bertemu. Awal mula si teman saya dan lelaki itu saling mengenal adalah karena campur tangan keluarga besar mereka masing-masing. Berhubung keduanya sedang mencari pasangan hidup, maka bagi teman saya itu, ide kopi darat ini pas untuk dilakukan. Saya sebagai temannya, sudah sibuk mencie-cie kan dia sejak sebelum dia berangkat ke luar kota. Dan berhubung si teman saya itu sedang aktif berkopi darat sana-sini, kesempatan ini bukan hal yang  baru. Biasa aja...

Tapi rencana tinggalah rencana, karena pertemuan itu gagal total. "Dia masa bilang ya Peh... di posisi aku udah siap nunggu dia, 'Lah, aku kira engga jadi'. Langsung aja aku screenshot WA kita, aku kirimin ke dia, biar dia tau kalau aku engga pernah membatalkan apapun.", katanya menggebu.

Saya yang melihat screenshot itu juga harus setuju, bahwa teman saya ini tidak membatalkan janjinya untuk bertemu. Bahkan dia dengan tegas bertanya melalui pesan singkat itu, 'besok jadi kan?' dan dibalas 'insha Allah'. 

Maka sayapun balik bertanya, "Kok dia  bisa berpendapat kamu batalin sih?"
"Kan aku pasang status gambar singa itu loh Peh, tahu kan? nah dia komen, dia bilang 'kucing garong'. Ya udah engga aku bales chat dia lagi. Lagian mau bales apa juga kan? Nah... mungkin aja dia ngerasa karena aku engga bales, itu artinya aku engga jadi ketemuan sama dia"
"Kok aneh sih? Trus kamu bales apa pas dia bilang 'kirain engga jadi' itu?"
"Ya aku nasehatin dia lah, abis ku sebel banget. Aku bilang aja, jangan diulangi lagi ke siapapun karena itu engga baik. Aku bilang kalau aku ini tamu dan dia itu tuan rumah, ya kalau tuan rumah emang engga mau ketemu, jangan nawarin bukain pintu, jangan malah tamu yang disuruh nunggu. Aku juga bilang sama dia, 'tahu gitu kan aku pulang ke Jakartanya sore aja, engga usah malem. Aku kan pulang malem karena kamu ngajak ketemuannya malem'."

Saya ngangguk-ngangguk...

"Dia terus bilang kalau di tempat dia ujan, Peh. Ya emang ujan sih Peh... tapi cuma bentar. Jadi alesannya juga aneh. Abis itu, abis aku nasehati dia, eh dia malah bales gini... 'terserah kamu mau anggap aku apa, aku minta maaf ya"
"Kamu tanggepin?"
"Aku jawab pas di kereta, aku bilang aku maafin tapi jangan diulangi, trus aku hapus chatnya. Sebel deh. Trus aku sugesti diri kalau dia itu ga worth it bikin aku marah lama-lama. Dia juga kan bukan siapa-siapa..." 

Kita terdiam sejenak...

"Apa gitu loh susahnya bilang kalau emang dia engga mau ketemu. Kan aku bisa susun rencana lain. Kayak gitu kan basic ya..."
"Mungkin bagi dia, kamu engga bales itu... bisa diartikan kalau kamu ngebatalin janji....?"
"Ya kan dia bisa mastiin lagi. Lagian engga ada kalimat yang bilang kalau aku engga jadi ketemu sama dia. Ya kan? Childish banget dia tuh. Tahu gitu kan aku pulangnya sore aja. Hih sebel!"

Saya dan teman saya akhirnya melanjutkan pembicaraan kami siang itu sambil makan tahu baxo khas Semarang yang dia bawa sebagai oleh-oleh. 

Di hari yang sama, tetiba mama saya Whatsapp dan meminta tolong untuk menghubungi adik bungsu saya, Enzo. Mama saya bilang kalau si Enzo ngambek dan engga mau diajak pergi, dan berharap saya bisa membujuk dia supaya ngambeknya tidak terlalu lama. Maka sayapun coba hubungi Enzo. Awalnya saya cerita basa-basi kalau madu yang saya beli, pas dibuka tutupnya eh meledak (ini beneran).

Enzo awalnya menimpali dengan lucu, eh lama-lama... tanpa saya mintapun akhirnya dia mau curhat. Remaja kelas 1 SMP ini bilang kalau harusnya dia punya janji main basket dengan adik perempuan saya Pasha di hari Sabtu, tapi mama tetiba muncul dengan agenda lain dan ngotot. Enzo engga dikasih ruang buat menjelaskan agendanya dan yang ada mama malah maksa. Dengan polosnya Enzo berkata, "Kan aku jadi engga jadi basket, mama semua-semuanya diurusin deh." Kekecewaan yang sangat beralasan bagi saya. Ya siapa sih yang suka jadwalnya dibongkar-pasang mendadak begitu? Bahkan bagi Enzo si remaja tanggung ini, hal-hal seperti itu seharusnya engga kejadian. Kayak... ya kalau orang udah punya agenda, ya tanya dulu dong kalau mau ngerubah. Basic gitu...

Pernah sekali waktu saya jalan-jalan ke sebuah mall dan kebelet pipis. Kebetulan di kamar mandi perempuan antriannya panjang. Kami semua mengantri dengan model berbaris satu garis, jadi nantinya kalau ada pintu toilet manapun yang terbuka duluan, maka orang yang paling depan yang akan masuk lebih dulu. Lalu tetiba, ada seseorang yang nyelonong dan berdiri di salah satu pintu kamar mandi dan mengantri di situ. Beruntungnya, dia tidak harus lama mengantri karena pintu toilet itu terbuka sehingga dia bisa langsung masuk. Semua wanita yang mengantri, termasuk saya cuma bisa geleng-geleng kepala melihat perilaku mbak yang satu itu. Dalam hati kami semua mungkin berkata,  'Tjuy! Engga liat apa ini kita semua ngantri panjang? Situ langsung aja ngantri depan toilet'. Kayak.... hal seperti itu kan  basic banget ya... masa sih harus juga diajarin?

Mau contoh kasus lebih banyak? Coba deh cek twitter. Di twitter banyak kejadian bagaimana hal-hal yang mungkin basic tapi nyatanya tidak basic bagi orang lain. Ada orang yang tidak mau membayar pesanan makanannya di aplikasi online dan malah memarahi driver online-nya. Ada orang yang malah marah waktu ditegur karena naik motor di trotoar. Ada orang yang ketika makan food court, meja yang harusnya untuk umum, malah dipakai untuk makan sendirian padahal sedang banyak orang yang tidak kebagian tempat. Ada orang menyerobot naik kendaraan umum, dia lupa peraturan dasar bahwa penumpang yang hendak keluar seharusnya diberi jalan terlebih dahulu, barulah penumpang yang akan naik itu bisa masuk. Dan lain-lainnya yang kalau saya tulis semua bisa jadi lembaran manuskrip.

Basic loh ini padahal, engga perlu lagi diajarin lagi kalau sudah dewasa seharusnya, tapi kenapa kasusnya makin beragam ya? 

Mencoba melihat dari perspektif sebaliknya. Saya jadi ingat ketika saya berada di posisi yang tidak memahami ke 'basic' an ini. Pernah suatu ketika, saat ulang tahun radio tempat saya dulu bekerja mengadakan acara ulang tahun, seluruh penyiar dan crews mengadakan acara makan malam di sebuah restoran sambil membuat foto bersama. Sebagai salah satu yang menggagas idenya, di hari H tersebut saya jutsru datang terlambat nyaris 1 jam lebih. Dan bukan karena kesalahan teknis, tapi karena saya keasikan nonton drama series. Tapi sebentar, belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, anak-anak radio saya ini punya kebiasaan telat yang gila-gilaan. Jadi saya berfikir bahwa mungkin kali ini juga akan telat seperti yang sudah-sudah. Dan dari info terakhir yang saya pahami, acaranya akan berlangsung sampai malam, makanya saya agak santai dan malas-malasan. 

Sampai di sana, semua orang sudah memasang muka engga enak. Dan saya masih lempeng-lempeng saja... sampai salah satu rekan kerja saya bilang, "Kamu engga sadar ya Peh, salah kamu apa?" Saya langsung deg. Di titik itu saya merasa bahwa keterlambatan saya cukup fatal. Saya akhirnya meminta maaf dan mencoba untuk menjelaskan kondisinya dengan perasaan carut marut. Jadi ternyata, sebagai bagian dari kerjasama, pihak restoran tersebut hanya menyediakan waktu 2 jam saja untuk kami. Untuk itu acara dimulai tepat jam 4 sore sampai jam 6 sore saja, dan selebihnya adalah acara bebas yang tidak termasuk dalam paket kerjasama ulang tahun. Ada salah pemahaman yang saya tangkap. Dan berhubung saya datang sudah mendekati jam 5 lebih, ya tentulah semua orang keki, karena acara ulang tahun itu tidak bisa terlaksana dengan ideal karena menunggu kedatangan saya.

Tapi baru kali itu mereka semua datang tepat waktu, makanya saya kaget! Saya tahu kok kalau datang terlambat itu engga baik, tapi toh mereka juga selalu datang terlambat selama ini, jadi saya kira ya akan biasa saja. Nah... dari sini lah akhirnya saya menyadari konsep basic ini semakin ke sini, semakin bias dan ambigu. Dan karenanya, kita sering memberikan banyak toleransi pada diri kita sendiri untuk melalukan hal-hal yang sebenarnya kurang menyenangkan bagi orang lain, serambi berkata dengan santainya:

"Aku ngaret 2 jam, biasa aja tuh..."
"Biasa aja ah, engga usah terimakasih kayak apa, emang udah tanggung jawab dia kali buat ngelakuin itu"
"Dasar A@&88909--hjk, gua doain ketabrak..."
"Engga usah lebay deh, gitu aja dipermasalahin"
"Iya udah iya maaf, lagian kan udah kejadian kan, ya udah lah..."
"Jangan baper deh, aku kalau digituin juga bakal biasa aja kok"
"Ah elah... bohong-bohong dikit gapapa kali"

Di sinilah pemakluman itu terjadi. Saya baru saja pertama kali melihat anak-anak radio saya itu on time, saya engga punya ekspektasi itu akan jadi msalah. Si lelaki yang seharusnya diajak kopi darat oleh teman saya itu, mungkin dia baru pertama kali mendapat pengalaman melakukan kopi darat dan akhirnya merasa grogi sehingga berperilaku begitu. Mama saya mungkin engga tahu bagaimana caranya  untuk berkomunikasi dengan anak remaja. Dan si mbak-mbak penyerobot di toilet itu, mungkin itu adalah  pengalaman pertamanya masuk toilet di mall, jadi cuma itu yang dia tahu, kalau ngantri ya di depan pintunya langsung. Sehingga saya dan orang-orang ini, kami belum memahami dengan baik apa itu basic.

Tapi tenang saja... toh semesta tidak akan tinggal diam dan semua orang akan punya pelajaran pertamanya. Di satu titik, satu per satu kejadian dan perilaku tidak mengenakan yang sadar atau tidak sadar kita lakukan itu, nantinya akan berbalik menyerang diri kita sendiri. Dan di saat itulah kita akan berkata:

"Gilak ya... ada loh orang, udah tau dia yang salah, eh masih bisa ngeles..."
"Dia yang bikin ini ribet, dia juga yang ngegas"
"Masa ya dia engga bisa ngeliat kalau apa yang dia lakuin itu ngerugiin orang?"
"Apa sih susahnya ngomong? Kan tinggal di jelasin aja kan?"
"Udahlah dia salah, masih loh gengsi, trus marah-marah..."
"Ada loh ya... orang udah dibantu kayak apa, masih aja lempeng, terimakasih engga... apa kek..."
"Wow, udah dinasehatin dengan baik, masih aja defense! Mantab!"

HA!

Dan di sini lah penyamaan persepsi itu terjadi. Beginilah cara manusia belajar untuk lebih peka pada hal-hal yang basic: yaitu saat mereka sudah kena batunya.  Saat akhirnya kita tahu bagaimana tidak enaknya saat janji dibatalkan tanpa pemberitahuan, saat kita akhirnya merasa terluka saat difitnah, saat kita akhirnya gemas sendiri dengan perilaku orang lain yang tidak tahu rasanya berterimakasih, saat itulah hukum sebab akibat berlaku.

Saya pun sebenarnya juga bingung bagaimana harus menjelaskan arti kata 'basic' ini, ya karena itu tadi, rupanya tiap-tiap orang mempunyai standar dan nilainya masing-masing dalam berperilaku. Tapi idealnya... sebagai manusia, kita semestinya lebih tahu bagaimana cara memperlakukan spesies yang sama dengan diri kita sendiri, tanpa perlu diajari berkali-kali, atau sampai mengikuti kelas-kelas kepribadian. Ya... hal-hal basic. Hal-hal yang secara alami bisa kita rasakan sejak lahir. 

Misalnya, kalau kita merasa lebih senang ditraktir dan merasa kesal kalau dihutangi (apalagi tanpa ada niatan membayar dari orang yang bersangkutan), ya tentunya orang lain yang berspesies manusia juga akan merasakan hal yang sama dengan kita. Basic. Semua orang yang dibohongi dan injak-injak harga dirinya akan marah, dan sebaliknya, jika seseorang itu dipuji, maka dia akan sumringah. Basic. Walaupun dalam beberapa konteks, hal itu bisa menjadi lebih rumit karena perbedaan kultur, budaya, pola asuh, lingkungan, dan lain sebagainya. Tapi terlepas dari itu semua, saya yakin bahwa semua manusia pasti punya satu garis merah yang sama, yang tidak akan berubah hingga mentari tak bersinar lagi, yaitu semua manusia selalu suka diberi hal-hal yang baik dan benci mendapat hal-hal yang buruk. Basic. 

Kecuali tiga kondisi: Dia belum merasakan hal tersebut menimpa dirinya, dia memang terlahir anomali, atau dia luar biasa bebal!

Sebuah ucapan kuno 'perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlalukan', mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah penjelasan yang lengkap tentang bagaimana kita bisa menerapkan basic ini ke siapapun. 

Ini memang tentang interaksi dengan sesama manusia. Kita akan diminta untuk selalu bertanya pada intuisi, bahwa kalau kita saja tidak nyaman diperlakukan demikian, kenapa kita berharap orang lain akan merasa nyaman? Dan kalaupun kita yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan itu, coba maklumi saja, mungkin itu kali pertama dia melakukan itu sehingga persepsi akan basic ini tidak sama. Shantay...


PS: Jangan pakai tas ransel di punggung kalau sedang naik transjakarta, tapi taruh di depan, karena orang lain jadi susah masuk dan geraknya, dan kamu engga bisa monitor ruang gerak penumpang lain! Ini sungguhlah basic! Kecuali kalau kamu baru pertama kali naik transjakarta, ya oke lah, aku maklum.

Jumat, 18 Oktober 2019

Hei, Tarik Nafas...!

Hidup saya jauh dari sempurna, bahkan dalam pikiran dan definisi saya tentang kesempurnaan sajapun, hidup saya masih tidak sempurna. Coreng-moreng di sana-sini, kegagalan di sana-sini, sungguh jauh dari kesempurnaan. 

Tiap saatnya, ada saja hal-hal yang membuat saya sedih dan kecewa. Mau itu yang levelnya tinggi atau rendah, tapi tetap saja hadir dalam bentuk kekecewaan. Sesuatu yang akan membuat saya terdiam dan sedih. Kebanyakan memang berasal dari ekspektasi saya sendiri, atau saya yang salah dalam mengkalkulasi keadaan. Sebagiannya yang lain, terjadi di luar keinginan atau di luar kontrol saya sebagai manusia. 

Tapi dibalik ketidaksempurnaan itu, saya merasa hidup saya lengkap. Pernah di satu hari, saat saya salah mengkalkulasi keadaan dan akhirnya berujung pada rasa kecewa yang harus saya telan sendiri,  saya ingat bahwa teman dekat saya, Aghnia akan memasakan saya spaghetti dengan taburan keju permesan yang banyak diatasnya. Seketika saya merasa hari saya bersinar kembali karena dia mau memasakan saya spaghetti dan kita bisa ngobrol panjang lebar sambil leyeh-leyeh di kosanya. 

Pernah juga, saya mengalami hari yang panjang karena melakukan ini dan itu, lalu saya ingat bahwa Icha ada di kosan dan kami bisa makan snack berdua sambil karokean. 

Mungkin sampai di ambang waktu yang ditentukan untuk saya ada di dunia ini, kesempurnaan itu entah akan terwujud atau tidak. Tapi saya yakin bahwa pertolongan itu dekat, dan itu berwujud pada hal-hal kecil yang selalu ada di sekitar saya. Hal-hal sederhana yang akan selalu menjadi pelengkap dan tidak bisa saya bayar dengan cara apapun juga.

Pun dikatakan dua kali, bahwa setelah kesusahan pasti ada kemudahan. 


Siap? Apa Itu Siap?


Banyak dari kita semua memulai harinya dengan mempersiapkan sesuatu. Entah itu seorang ibu yang menyiapkan sarapan sederhana bagi keluarganya, seorang anak yang mencoba mengerjakan pekerjaan rumahnya padahal 15 menit lagi harus berangkat, seorang pekerja yang sedang menyetrika bajunya, atau bahkan seorang pedagang yang sudah siap menyambut pelanggannya. Setiap pagi datang, maka setiap dari kita akan bersiap untuk memulai hari itu.

Seperti awal yang baru, pagi hari belum memiliki warna tertentu. Ya kalaupun ada, warnanya adalah putih polos tanpa sentuhan apapun. Seakan memberikan kesan bahwa kita tidak pernah mengetahui apapun yang akan terjadi di penghujung hari itu. Setelah hari itu terlewati, barulah kita bisa memberikan warna yang tepat. Setiap pagi datang, seakan menjadi sebuah kerahasiaan, sesuatu yang tidak bisa kita tebak kemana arah larinya. Dan walaupun begitu, walaupun misterius, kita tetap saja mencoba mempersiapkan sebuah hari dengan baik.

Tapi apakah kita akan benar-benar siap menghadapi sebuah hari? Apakah seorang anak yang sudah mengerjakan PR dan memakan sarapannya, seorang pedang yang sudah siap dengan uang kembalian dan barang dagangannya, serta seorang pegawai dengan baju klimis rapi yang dikenakannya, menjadi siap menghadapi apapun yang akan terjadi di hari itu? Mungkin juga tidak. Karena mungkin, hari si anak itu akan berakhir dengan si guru tidak jadi datang dan PR yang dikerjaan tidak jadi dikumpulkan. Seorang pegawai ternyata kecipratan kuah bubur ayam saat sarapan di pinggir jalan padahal dia punya rapat penting, dan si pedagang… pedagang itu ternyata harus lari ke sana-kemari karena pasarnya di razia oleh petugas sosial. Jadi, apakah persiapan yang dilakukan itu menjadi sia-sia?

***

Di akhir bulan yang lalu, saya sempat pulang ke Jogja. Kepulangan saya ke Jogja saat itu salah satunya juga dalam rangka rehat dan memupuk semangat. Cukup lama saya menghabiskan waktu di sana. Mencoba sedemikian rupa agar punya energi untuk kembali menghadapi ibukota. Sayapun makan gudeg kesukaan, makan kue non-gluten di kafe Jalan Prawirotaman, sampai sekedar naik motor sendirian. Saya bahkan menunda kepulangan saya ke Jakarta beberapa hari karena saya merasa belum siap kembali dan masih butuh rehat. Hingga tiba akhirnya, waktu untuk kembali ke Jakarta. Duh berat sekali rasanya…

Di malam sebelum saya kembali ke Jakarta, saya membuang nafas berat berkali-kali karena menyadari bahwa sebentar lagi saya akan kembali ke kota yang tingkat polusinya gila-gilaan itu, serambi memberikan sugesti diri bahwa saya sudah mendapatkan istirahat yang cukup, dan siap melanjutkan semua kegiatan di sana. Tapi ternyata itu semua tidak cukup. Buktinya, saat kereta saya sudah memasuki area Jabodetabek, saya menangis tersedu entah kenapa. Saya mau kembali ke Jogja lagi rasanya, entahlah… rasanya seperti ada yang mengganjal di hati, ya atau memang karena sayanya aja yang belum siap kembali ke Jakarta walaupun itu harus.

Atau jangan-jangan manusia memang tidak akan pernah siap untuk hal apapun? Bahkan ketika dia sudah mempersiapkan diri dengan seabrek persiapan ini dan itu, tapi kalau harus ditanyakan kembali ke manusia tersebut, ‘Jadi gimana, siap atau engga?’, jawabannya mungkin akan ‘Ya… siap engga siap, ya gimana, tetep harus dijalani kan?’.

Ah… saya jadi ingat ketika dulu, ketika masih SMA, masa-masa di mana saya mencoba Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kala itu saya belajar hampir sepanjangan hari selama berbulan-bulan, belum lagi tiap minggu saya ikut try out agar bisa lebih siap menghadapi ujian. Seminggu menjelang hari ujian, saya sudah muak dengan semua materi yang harus dikuasai seperti algoritma dan gradien tegak lurus. Rasanya saya mau segera ujian, segera pengumuman, dan saya bisa move on. Dengan tingkat kemuakan yang tinggi, saya ada di posisi pasrah pada semua hasil belajar saya selama berbulan-bulan itu, saya engga tahu apakah saya benar-benar siap atau tidak, yang jelas saya sudah mempersiapkan yang terbaik yang bisa saya lakukan, dan saya mau segera ujian! Tapi entah karena grogi atau apa, H - beberapa hari, masih saja terbesit dalam pikiran saya materi yang belum sempat saya pelajari, dan sayapun berharap saya bisa punya lebih lama lagi untuk belajar. Hadeuh…

Untuk sesuatu yang sudah dipersiapkan saja, kita masih bisa merasa tidak siap, lalu apa kabar jika bahkan kita tidak mempersiapkan apapun untuk sesuatu yang kita tidak tahu akan terjadi di depan mata? Apa jadinya saat kita harus berhadapan dengan sesuatu yang kita tidak tahu apa bentuknya dan bagaimana bentuk persiapannya? Lalu tiba-tiba hal itu terjadi dan kita tidak punya pilihan apapun selain menjalaninya, siap atau tidak siap.

Sebuah keluarga yang sangat saya kagumi, sebuah keluarga yang cukup dekat dengan saya karena dalam pandangan saya mereka memiliki nilai-nilai keluarga yang baik, baru-baru ini mengabarkan pada saya bahwa mereka sedang dalam proses perceraian. Bagaikan kepeleset dari puncak Gunung Everest, saya merasa kaget dan agak terguncang. Ya bagaimana tidak, saya engga begitu punya banyak potret rumah tangga yang bisa saya jadikan model, dan mereka adalah salah satu yang bisa saya teladani. Ada bagian dari diri saya yang juga ikut terluka karena keputusan mereka.

Terlepas dari apapun alasan yang mendasarinya, nyatanya tidak ada yang benar-benar mempersiapkan perceraian sampai itu benar-benar terjadi, tidak si pasangan atau bahkan saya yang hanya orang luar. “Aku engga nyiapin ini semua, Peh. Aku pikir yaudah, aku sama dia udah tinggal nunggu anak-anak dewasa dan kita bisa tua bareng-bareng. Masih kayak mimpi di aku, kita berdua pisah begini,” Kata si istri itu menjelaskan. Si istri bahkan meminta tolong pada saya untuk membenahi CV dan cover letter karena dia akan kembali bekerja setelah belasan tahun vakum. Sesuatu yang tidak pernah ada dalam agenda hidupnya setelah melahirkan anak pertamanya, bahwa dia akan berpisah setelah belasan tahun bersama dan kembali bekerja. Semuanya terjadi begitu saja, dengan cepat, dan tidak menyisakan ruang apapun untuk bersiap. Seakan kesiapan kami tidak lagi penting untuk ditanyakan, karena yang terpenting adalah menjalani hidup kedepannya dengan kondisi yang telah terjadi. Menyebalkan? Oh sangat!

Menakutkan lebih tepatnya! Bagaimana bisa kita harus merasa siap pada sesuatu yang tidak kita persiapkan sebelumnya? Pada sesuatu yang tidak pernah dicobakan terlebih dahulu? Terlebih saat sesuatu itu datang tiba-tiba? Masih mending tes SNMPTN karena saya masih bisa ikut try out dan bimbingan belajar, masih mending ketika saya bisa meniatkan diri untuk rehat di Jogja agar bisa lebih siap menghadapi Jakarta, tapi persiapan macam apa yang harus saya lakukan untuk kondisi yang saya sendiripun tidak bisa membayangkan akan terjadi?

Lucunya adalah, kita sebenarnya sudah tahu bahwa hal-hal yang telah menjadi kodrat itu ya pasti akan terjadi, seperti pertemuan-perpisahan contohnya. Bahwa ungkapan ‘tidak ada yang bertahan selamanya’, juga sesuatu yang kita hapal di luar kepala. Tapi ya tetap saja, kita tidak pernah benar-benar siap saat hal itu benar-benar terjadi.

Saya sering membaca istilah bahwa tidak ada waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu, jadi jangan tunggu hingga siap, lakukan saja sekarang. Begitu katanya. Kini saya semakin sepakat, karena menunggu hingga manusia siap memang ambigu. Kita tidak akan benar-benar bisa tahu dan yakin bahwa kita sedang ada dalam posisi siap menghadapi sesuatu. Kalau mau ditunggu sampai siap, ya kapankah itu waktu siapnya?

Walau begitu, manusia tetap akan mempersiapkan banyak hal untuk sesuatu yang akan dihadapinya. Seperti seseorang yang perlu membawa baju hangat ketika akan pergi hiking, atau seseorang tetap harus membuat presentasi dan laporan ketika akan menghadapi presentasi, atau semua orang akan membawa payung jika terlihat di luar sana sudah mendung gelap. Bentuknya seperti persiapan teknis, sesuatu yang kita lakukan agar kita merasa lebih siap menghadapi sesuatu yang bisa kita prediksi. Semacam memberikan ruang antisipasi kalau-kalau hal-hal teknis itu terjadi, maka kita akan siap dalam bereaksi. Pun dalam hal mempersiapkan hati, misalnya kita mencoba menurunkan ekspektasi, tidak terlalu mengandalkan orang lain, atau mencari cara-cara penyelesaian masalah yang paling efektif. Kita bersiap untuk sesuatu yang bisa terjadi kapanpun, dalam bentuk apapun. Urusan bagimana kesiapan kita sesungguhnya, itu nanti!

Seorang teman baik saya, baru-baru ini diterima di salah satu media internasional sebagai data jurnalis. Dari ceritanya, dia juga tidak benar-benar siap untuk melakoni peran barunya sebagai manager. Dia merasa kemampuan dia belum memenuhi apa yang diharapkan oleh media itu, tapi ternyata dia diterima dan akan segera bekerja di akhir tahun ini. Ya siap atau tidak, memang sudah begitu jalannya, kan?

Saya juga, pada suatu hari merasa kelabakan menghadapi sebuah kejadian. Selama nyaris 4 tahun, saya mencoba menata hati, mental dan semua ekspektasi, agar saya bisa memiliki hati yang tegar dan lebih kuat, kalau-kalau suatu hari nanti saya akan kembali bertemu dengan seseorang di masa lalu saya. Namun nyatanya, di suatu hari yang mendung, tanpa ada prediksi apapun, saya harus menghadapi dia, melihat dia secara langsung, mendengar suara dia, dan bahkan tertawa dia itu. Ternyata, tidak peduli seberapa banyak hal yang sudah saya lakukan selama ini untuk mempersiapkan diri, itu juga belum cukup. Saya tetap saja tidak siap. Saya tetap saja pulang dengan perasaan gontai. Besok paginya, saya bangun tetap perasaan yang campur aduk. Deuuh… engga selesai-selesai

Saya pikir, hal terbaik yang bisa manusia lakukan adalah secara sadar melangkah dan memperhitungkan risiko yang akan terjadi dari setiap langkah yang akan dia tempuh. Sekedar memetakan kemampuan diri sendiri dan membaca pola yang mungkin akan terjadi. Sebatas itu saja, tanpa bisa dikatakan bahwa kita benar-benar siap untuk menghadapi sesuatu. Kemudian kita akan berjalan ke depan, menghadapi apapun yang harus dihadapi.

Saya jadi ingat sebuah jargon terkenal di acara kriminal, bahwa kejahatan ada bukan karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Sebuah jargon yang juga bisa diterapkan untuk perkara lain dalam hidup, mulai dari pekerjaan, pertemanan, hingga percintaan. Kadang kita tidak meniatkan sesuatu itu terjadi, tapi kalau tetiba ada kesempatan atau ada sebuah kejadian terjadi di depan mata kita, ya mau bagaimana lagi, ya tetap juga harus dihadapi, ya kan?

Tapi tenang saja, walaupun kesiapan itu sulit diukur, tapi pelan-pelan kita akan berlatih bahwa ‘siap atau tidak siap’ bukanlah hal yang penting untuk diketahui, tapi lebih ke bagaimana kita membiasakan diri menghadapi kondisi apapun. Lagipula, siapa yang akan siap jika tanpa pemberitahuan, tetiba besok kita akan ditinggalkan semua orang yang kita sayangi? Pun kita diberi tahu bahwa besok kita akan sendirian tanpa orang-orang yang kita sayangi, memangnya kita akan siap juga? Jika memang sudah harus begitu jalannya, pilihan yang kita miliki juga hanya menerima dengan lapang kan?

Dijalani saja dulu, hidup kan memang selalu begitu, tidak ada angin, tidak ada hujan, lalu... knock.. knock… SURPRISE!!


Kamis, 18 Juli 2019

Ketantruman Ini, Tolonglah Cepat Berlalu...


Waktu sedang pergi ke salah satu swalayan, saya melihat sebuah pemandangan yang cukup lumrah terjadi, yaitu ada seorang anak yang tantrum lengkap dengan satu paket teriakan, tangisan, dan rengekannya. Saya yang kebetulan berada dalam satu lorong yang sama dan juga sedang mencari beberapa makanan ringan, cuma bisa menatap iba ke arah ibunya yang sepertinya juga bingung harus melakukan apa. Anak itu sepertinya mau membeli makanan ringan, entah coklat atau entah apa tapi dilarang oleh ibunya. Dan larangan itu berbuah cukup fatal karena akhirnya semua orang melihat ke arah mereka dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Si ibu akhirnya menyerah ketika teriakan si anak semakin kencang, sambil menaikan nada bicaranya dia akhirnya mau membelikan keinginan si anak, “Iya udah, mama beliin tapi diem. Oke, mama beliin. Diem sekarang….!”. Entah apa lagi yang terjadi setelah itu karena saya sudah kabur ke tempat lain. Saya sendiri memang kurang nyaman kalau harus mendengar anak kecil yang menangis terlampau keras.

Serupa, hanya berbeda kasus dengan si anak di swalayan itu, saya punya seorang teman yang kalau dipikir-pikir sering sekali tantrum. Bedanya ya tentu saja si teman saya ini tidak tantrum dengan duduk di lantai dan teriak-teriak sambil menangis, tapi ya esensinya sama, ngambek karena keinginannya tidak dituruti. Waktu itu kami pernah janjian di salah satu kefe kesukaanya karena katanya ada menu dessert yang musti saya coba. Tapi naasnya, kebetulan si dessert itu sedang tidak dibuat. Maka alih-alih menerima fakta itu dengan mengganti menu lain dan menjelaskan kondisinya pada saya, dia terlebih dahulu malah menceramahi si petugas kasir dan penjaga tokonya dengan berkata bahwa seharusnya, pihak toko memberikan informasi mengenai menu yang tidak tersedia di media sosial mereka. Agak malu saya melihat itu, dan akhirnya saya menarik tangannya sambil berkata, “Halah, engga apa-apa, kita kan bisa ke sini lagi lain waktu. Sans aja cin…..”.

Saya sendiri akhirnya berkesimpulan bahwa tantrum memang bisa terjadi pada siapa saja. Tidak peduli berapa usianya atau bahkan apa latar pendidikanya, jika manusia sudah berkeinginan terhadap sesuatu dan ternyata tidak bisa dia dapatkan, mau sudah tua atau masih muda, usia TK atau lulus S3, semua bisa meledak.

Tapi apakah harus, setiap kali kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita mau, lantas kita menjadi tantrum?

Kembali pada anak-anak, saat lebaran tahun ini, saya dan beberapa sepupu pergi berlibur ke pantai. Dalam satu mobil itu, ada sepasang om dan tante saya yang masih memiliki anak usia 3 tahunan. Sepupu saya yang berusia 3 tahunan itu sebenarnya cukup manis dan kooperatif sepanjang perjalanan, namun ya… yang namanya anak balita, ada saja ulahnya. Si anak ini diminta untuk tidur oleh ibunya karena khawatir kecapekan, tapi si anak ini menolak karena masih mau main dengan kami semua, dan tantrumlah dia. Saat tantrum, dia refleks memukul ibunya dengan kencang, dan ibunya menegurnya dengan cukup tegas. Kaget ditegur ibunya, si anak menangis semakin kencang.
Tante saya, si ibu anak ini iba karena anaknya tidak berhenti menangis. Tapi di satu sisi, tante saya mau anaknya  ini meminta maaf karena telah memukulnya. Maka mulailah pembujukan itu terjadi.

“Adli, mama minta Adli minta maaf sama mama, kan sakit dipukul. Lagian Adli harus nurut sama mama. Adli harus bobo, katanya mau main di Pantai”, kata ibunya menegur.
Si anak tetap konsisten menangis dan menolak, “Engga mau….”
“Ya udah, kalau engga mau, Adli engga usah main di Pantai”
Si anak semakin menangis, “Kok mama gitu sih…. Adli mau main di Pantai”
“Ya kalau mau main di Pantai, Adli isitarahat sekarang, dan Adli minta maaf karena udah mukul mama…” katanya lembut
“Engga….” katanya dengan nada keras
“Adli engga mau minta maaf? Engga mau istirahat juga?”
“Engga mau…. ”
“Oh yaudah, Adli engga main di Pantai ya…”
“ENGAAAAAAAAAAA…. MAMA JAHAAAATTT, AADLIIII… MMMAAAUU… MAAIIIIIN, ENGAAA MAU BOBOOOO!!”
“Adli, nanti Adli kecapekan. Udah bobo sekarang sama mama, dan minta maaf sama mama juga, ‘mama, Adli salah mukul mama, Adli minta maaf ya ma…’”, sambil tetap menasehati dan mencontohkan. Hingga 10 menit kedepan, si ibu masih sabar membujuk anaknya untuk minta maaf dan agar mau tidur, hingga kami satu mobil lelah dan kegelian sendiri mendengarnya.

Tapi apa yang dilakukan oleh tante saya itu adalah hal yang tepat, karena tante saya sedang melatih anaknya satu pelajaran penting yang akan dia pakai dalam kehidupannya kelak, yaitu bagaimana caranya bernegosiasi.

Siapapun dari kita pasti memiliki keinginan, kondisi yang kita anggap ideal, atau hal-hal yang akan membuat kita bahagia jika kita bisa memiliknya. Dan juga bukan hal yang terlarang untuk merasakan itu semua. Tapi sebenarnya, di usia yang masih belia pun, kita sudah belajar bahwa realitas seringkali berada pada sisi sebaliknya. Kita sebenarnya sudah tahu dari kecil, bahwa tidak semua yang kita mau, akan selalu kita dapatkan. Menyebalkan memang, tapi itu faktanya.

Jika kita masih balita, saat kita merengek meminta sesuatu dan tidak diberi, kita bisa menambah volume rengekan kita, serta mendramatisir aksi dengan menghentak-hentak kaki atau bergulingan di lantai, atau bahkan menarik-narik baju orang tua atau orang dewasa di sekililing kita, hingga robek kalau perlu. Seakan kita ingin berkata bahwa, mereka bertanggung jawab atas kekecewaan kita terhadap sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan. Semakin kencang teriakan, maka semakin baik pikir kita, karena kemungkinan besar, mereka akan menyerah dan memberikan pada kita apa yang kita mau.

Pun akhirnya kita mendapatkan apa yang kita mau, sebenarnya kita telah memaksa agar keinginan tersebut dapat terwujud dengan cara yang menyebalkan. Coba saya tanya, siapalah yang kuat dan senang hati melihat anak kecil ngamuk di tempat umum sambil teriak-teriak dan susah dikendalikan begitu? Lalu apa solusinya agar dia diam? Ya sudah turuti saja, daripada semakin menjadi, ya kan? Tapi apakah si anak mengerti bahwa sebenarnya, tidak semua keinginan itu baik untuk dia?

Apakah kita juga akan tantrum seperti anak-anak, saat sebenarnya tidak terwujudnya keinginan kita itu, adalah karena alasan yang baik?

Untuk itulah negosiasi perlu dilakukan untuk menjembatani antara keinginan-keinginan kita dengan realitas yang harus kita hadapi. Saat kekecawaan datang di saat kita telah menjadi manusia dewasa, kita akan memainkan peran ganda, yaitu sebagai anak kecil yang tantrum sekaligus orang tua yang harus mengkontrol anaknya. Tujuannya sederhana, agar kita bisa lebih tenang bersikap jika ada sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan saat itu.

Dalam hidup saya, tidak terhitung berapa banyak hal-hal yang tidak saya dapatkan. Kalau bisa diibaratkan sebagai petinju, hati saya sudah babak belur karena jatuh berkali-kali dari keinginan-keinginan yang tidak terwujud. Tidak terhitung juga berapa banyaknya saya tantrum. Mengunci diri dari kehidupan sosial, kecewa pada entah siapa, dan hingga harus memandang rendah diri sendiri. Hingga di satu titik, saya tersadar bahwa tantrum tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi negosiasi justru akan mengantarkan saya pada satu titik baru dalam hidup.

Salah satu negosiasi terbesar saya hingga saat ini adalah saat saya merelakan keinginan saya di awal lulus kuliah untuk dapat bekerja di dunia iklan, sesederhana karena setelah saya mencicipinya, dan ternyata itu bukan hal yang ingin saya jalani. Berat rasanya melepaskan semua hal yang sudah saya raih dan pelajari dan harus berbelok arah yang tidak tahu kemana. Tapi kepasrahan saya bernegosiasi dengan kondisi, justru megantarkan saya di satu kehidupan yang malah lebih tepat untuk saya.

Oh dan saya ingat betul keputusan saya beberapa tahun yang lalu untuk akhirnya resign dari radio tempat saya bekerja. Galau bukan kepayang rasanya. Saat itu saya takut kalau-kalau saya tidak akan menemukan tempat bekerja semenyenangkan di radio. Dan nyatanya, hingga saat ini, ya memang tidak ada tempat semenyenangkan itu he..he…he…. Tapi sekali lagi, negosiasi yang berani saya lakukan saat itu, justru membuat saya merasakan keseruan dengan jenis yang berbeda.

Atau saat garis hidup mempertemukan saya dengan beragam tipe manusia, dan saya harus mengalami berkali-kali sakit hati, saat itulah saya harus bernegosiasi dengan kondisi. Saya misalnya yang harus terdepak dari kelompok pertemanan, karena kami tidak lagi memiliki pandangan yang sama, saya yang berkali-kali menemukan teman bekerja yang klop tapi akhirnya harus merenggang karena faktor ini dan itu, bahkan saya harus bersedia bernegosisasi tentang lelaki seperti apa yang akan saya nikahi kelak.

Keberanian kita melakukan negosiasi pada realita hidup yang harus dihadapi, sebenarnya menjadi cara terbaik untuk mengatur kembali keinginan-keinginan agar lebih sesuai untuk kita. Terlebih dengan kita yang secara konsisten akan menemukan hal-hal menyenangkan dan menginginkan banyak harapan, kita sering kali harus diingatkan bahwa hidup akan selalu berputar dan kondisi akan selalu berubah. Maka dari itu, lihailah bernegosiasi.

Kita akan kecewa dengan banyak keinginan yang tidak terwujud hingga memaksa kita mengelus dada, menarik nafas, dan tantrum. Saat itu terjadi, jangan dilawan. Kita boleh tantrum, silahkan saja tantrum selama tidak didepan umum, tapi jangan lupa bahwa sebagai manusia dewasa kita bisa memainkan peran lain dalam diri kita untuk bernegosiasi dengan segala macam kondisi. Semakin handal kita bernegosiasi, semakin mudah kita menghadapi tantrum.

Semoga kita tidak menjadi seperti bocah kecil, meraung-raung keras hanya untuk keinginan-keiniginan yang sebetulnya, akan berdampak buruk untuk hidup kita. 






Ya kan, menggemaskan sekaligus menyebalkan?

© RIWAYAT
Maira Gall