Senin, 30 Desember 2019

Sebuah Hari di Bulan Januari

Tak semua halaman merana namun yang kelam terlalu berarti.
Seperti aku tegap berdiri di atas kertas putih, seperti kencangnya berlari tanpa tujuan henti.
Halaman tawa yang aku cari telah hangus.
(Isyana Saraswati - Lembaran Buku)


Tidak banyak yang aku ingat di hari ketika aku akan menuju Garut. Hari itu aku harus pergi ke Garut karena kakek sakit, sebuah keputusan yang tepat karena tak lama beliau berpulang selamanya. Aku sedang duduk di sebuah warung sambil menungggu bis jurusan Garut, lalu di saat itulah pesan singkatmu datang.  

Pesan itu menyiratkan semua hal yang aku tunggu selama ini, yang aku paling takutkan dan kenyataan yang sudah lama aku prediksi akan datang.

Aku sibuk menghadapi perasaanku, entah harus bersedih karena kakek kritis atau karena pesanmu.

Waktu itu hujan sepanjang perjalan menuju Garut dari Jakarta. Di dalam bis, aku duduk di sebelah lelaki yang menatapku iba sambil bertanya, “Neng, engga apa-apa?”. Pertanyaan yang harus ditanyakan memang, harus ada yang bertanya bagaimana kondisiku karena aku tidak berhenti menangis, tidak bahkan berhari-hari setelahnya pun.

Sebuah lagu lokal teringat di kepalaku dan aku memasang headset mendengarkan lagu itu hingga sepertinya dadaku mau pecah saking sesaknya. Tidak apa-apa kataku pelan karena sudah semestinya emosi itu keluar.

Begitulah tahun ini dimulai, dengan sebuah penolakan semesta terbesar selama 5 tahun terakhir.

Kamu.

Sudah sejak lama aku berusaha untuk menyembuhkan diri, menyatukan kembali semua bagian dari diriku yang pecah, dan mencoba untuk berdamai dengan kondisi, walau aku lebih sering gagal. Tapi sejak perjalanan dari Jakarta menuju Garut, di sebuah hari di bulan Januari, aku berjanji berusaha lebih keras lagi untuk berani menyudahi.


Beranikan diri tutup buku ini.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall