Kamis, 31 Juli 2014

Hai.

"You can see there's something in the way
I've tried to show you, my door is open
I don't know how much more I can take
Since you've chosen, to leave me frozen
Am I the only one, who sees what you've become?
Will you drift away?
We're running out of time, two wrongs can make it right
Could I make you stay?" 
(Clear Bandit-Extraordinary)

Dalam diam, apakah terasa jika aku memperjuangkanmu?

Cukupkah?

Lelaki itu, aku temui pada sebuah malam, dengan kondisi yang tidak begitu menggembirakan. Tubuhnya lemah karena terlalu lelah berjalan.Pakaiannya compang tak karuan, rambutnya acak-acakan, dan yang paling menyedihkan adalah ia tengah menggendong seorang anak perempuan. 
Kuhampiri dia, lalu kuberikan apa yang sekiranya bisa kuberikan untuknya. Dia tersenyum, begitu tulus. Kutanya berapa umur anaknya, dia menjawabnya dengan lirih "10 tahun mbaak, mboten saged jalan niki".
Ingin aku tanya mengapa, namun urung. Aku takut itu membuatnya sedih karna harus bercerita, atau sedih karena terpaksa menggali hati untuk hanya untuk menjawab pertanyaanku. Usai memberikan sedikit yang bisa aku berikan, aku tawarkan lelaki itu tumpangan kemanapun dia mau. Angin malam tak pernah baik untuk paru-paru, setidaknya, aku ingin ia tidur dibawah atap dan berhenti berjalan. Namun lagi-lagi gagal. Lelaki itu bersikeras untuk berjalan ketempat tujuannya, yang tak jelas dimana. Tak berhak memaksa, maka kupeluk erat dan kudoakan ia agar selamat sampai tempat tujuan. Melajulah aku membelah malam dengan bayangan lelaki itu yang semakin mengecil dalam kaca spionku. 

Lemah.

Aku menangis.

Kubayangkan dia, lelaki itu, menjaga anak perempuannya sekuat tenaga. Menggendongnya siang dan malam. Setiap malam akan berbisik pelan padanya, "Nak, apakah nyaman posisi tidurmu?"
Kubayangkan betapa doa dan harap lelaki itu pada anak perempuannya. Pastilah dibelai selalu rambutnya tiap pagi seraya berdoa "Nak, nyenyak tidurmu untuk menjalani hari ini?"

Sungguh anak perempuan yang sangat beruntung.
Dapat berada di pelukan ayahnya tiap malam, di doa ayahnya tiap pagi, dan berada di resah ayahnya yang akan selalu bertanya "Nak, apakah cukup hangat hatimu hari ini?"



*Al Fatihah untuk Ahyar Anwar*

Alasan

The end
"I don't know what to say," he said
"it's okay," She replied. "I know what we are-- and I know what we're not"
(Lang Leav)

Kalau perpisahan adalah hal yang paling konstan yang ada di hidup ini, maka 'alasan' menjadi hal yang paling dicari oleh manusia yang merasa kehilangan. 
Unik. Bicara perpisahan selalu unik. Dibumbui dengan perasaan yang kerap sangat melodramatik, tidak masuk akal, mengada-ada, dan berlebihan. Dahsyatnya kehilangan, sanggup membuat nalar manusia mati. Membuatnya tak enak makan, tak nyenyak tidur, menghabiskan waktu untuk sibuk berfikir 'kenapa'.


Lelaki itu pergi ketika puas bereksperimen dengan pikirannya. Ya, ia punya pikiran serumit prosesor komputer. Bermain dalam pikirannya mampu membuat siapapun tersesat. Hanya dia yang mempunyai kuncinya, hanya dia yang tau jalan keluarnya, hanya dia yang sanggup bertahan. Jika baginya, telah cukup membawa orang lain menjelajahi pikirannya maka dia akan pergi, dengan mudah.
Jangan tanya berapa banyak rindu yang ia sisakan, jawabannya adalah tak terhingga. Jangan pula tanyakan betapa bingungnya aku saat itu, karna tak akan terjawab.
Berkali-kali aku coba mencari rasionalnya, mencoba menjawab pertanyaan dengan mengintip isi otaknya. Namun yang aku temukan lagi dan lagi tersesat. Hingga kuputuskan saja untuk diam.
Dan secara tak diduga, alasan itu datang dengan sendirinya.

Terhenyak!

Hari itu, kuputuskan untuk tak lagi mencari tahu alasan pada setiap kepergian.
Semakin jelas bahwa kepergian ada begitu banyak macamnya. 

Namun yang pasti, ada beberapa kepergian yang tidak perlu diketahui alasanya. Biarkan saja pergi. Lebih baik begitu, pergi tanpa kita pernah tahu apa alasannya. Selamanya. Karena beberapa kepergian memiliki alasan yang tidak rasional. Jadi untuk apa kita harus mengeyam alasannya, saat menikmati kepergiannya saja, sanggup membuat kita meronta-ronta kesakitan. Kepergian selalu memiliki alasan bagi mereka yang pergi, maka cukuplah disimpan oleh mereka yang pergi. 
Bersikeras mengetahui alasannya akan semakin membuat kita semakin gencar bertanya "Tapi, kenapa?". Belum tentu kita paham tentang alasannya. Jikapun kita paham, atau mencoba paham, apa lantas membuatnya tetap tinggal? Bukankah lebih baik jika alasan itu direlakan sejalan dengan kepergian itu sendiri?

Percayalah, jika memang ditakdirkan kembali, maka kepergian itu akan beralasan. 
Jika tidak, maka ringan hatilah untuk melepaskan.



Lepaskan.
© RIWAYAT
Maira Gall