Kamis, 31 Juli 2014

Alasan

The end
"I don't know what to say," he said
"it's okay," She replied. "I know what we are-- and I know what we're not"
(Lang Leav)

Kalau perpisahan adalah hal yang paling konstan yang ada di hidup ini, maka 'alasan' menjadi hal yang paling dicari oleh manusia yang merasa kehilangan. 
Unik. Bicara perpisahan selalu unik. Dibumbui dengan perasaan yang kerap sangat melodramatik, tidak masuk akal, mengada-ada, dan berlebihan. Dahsyatnya kehilangan, sanggup membuat nalar manusia mati. Membuatnya tak enak makan, tak nyenyak tidur, menghabiskan waktu untuk sibuk berfikir 'kenapa'.


Lelaki itu pergi ketika puas bereksperimen dengan pikirannya. Ya, ia punya pikiran serumit prosesor komputer. Bermain dalam pikirannya mampu membuat siapapun tersesat. Hanya dia yang mempunyai kuncinya, hanya dia yang tau jalan keluarnya, hanya dia yang sanggup bertahan. Jika baginya, telah cukup membawa orang lain menjelajahi pikirannya maka dia akan pergi, dengan mudah.
Jangan tanya berapa banyak rindu yang ia sisakan, jawabannya adalah tak terhingga. Jangan pula tanyakan betapa bingungnya aku saat itu, karna tak akan terjawab.
Berkali-kali aku coba mencari rasionalnya, mencoba menjawab pertanyaan dengan mengintip isi otaknya. Namun yang aku temukan lagi dan lagi tersesat. Hingga kuputuskan saja untuk diam.
Dan secara tak diduga, alasan itu datang dengan sendirinya.

Terhenyak!

Hari itu, kuputuskan untuk tak lagi mencari tahu alasan pada setiap kepergian.
Semakin jelas bahwa kepergian ada begitu banyak macamnya. 

Namun yang pasti, ada beberapa kepergian yang tidak perlu diketahui alasanya. Biarkan saja pergi. Lebih baik begitu, pergi tanpa kita pernah tahu apa alasannya. Selamanya. Karena beberapa kepergian memiliki alasan yang tidak rasional. Jadi untuk apa kita harus mengeyam alasannya, saat menikmati kepergiannya saja, sanggup membuat kita meronta-ronta kesakitan. Kepergian selalu memiliki alasan bagi mereka yang pergi, maka cukuplah disimpan oleh mereka yang pergi. 
Bersikeras mengetahui alasannya akan semakin membuat kita semakin gencar bertanya "Tapi, kenapa?". Belum tentu kita paham tentang alasannya. Jikapun kita paham, atau mencoba paham, apa lantas membuatnya tetap tinggal? Bukankah lebih baik jika alasan itu direlakan sejalan dengan kepergian itu sendiri?

Percayalah, jika memang ditakdirkan kembali, maka kepergian itu akan beralasan. 
Jika tidak, maka ringan hatilah untuk melepaskan.



Lepaskan.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall