Jumat, 13 Oktober 2017

Cobalah Untuk Setia

“You hope for the best and you stick with it, day in and day out. Even if you are tired, even if you want to walk away. You don’t!
Because you are a pioneer. But nobody ever said it wold be easy” 
(Grey Anatomy - Season 10 Eps 11)


Di pertengahan tahun ini, di sebuah senja yang cukup random, tanpa sengaja saya bertemu seorang teman lama, Fian, yang sedang ambil S2 komunikasi di UGM. Dari semua hal yang kami bicarakan, ada satu ucapannya yang paling membekas, “Tau engga sih Peh, lebih sedih kalo kita lagi bahagia tapi kita engga bisa ngerayain sama siapa-siapa, dibanding kalau kita lagi sedih dan ditinggal sendiri”.

Saya mengangguk diam, dan tak lama kami mengahiri obrolan panjang itu tepat disaat langit senja Jogja sedang sendu-sendunya.

Setelah pertemuan itu, beberapa kali ucapannya muncul tanpa sebab di kepala saya, entah kenapa.  Dan butuh waktu yang cukup lama, untuk akhirnya saya bisa memahami arti dari ucapan sepintas lalu itu. 

Terimakasih kepada Mbak Affi Asegaff, vlogger yang juga CEO Dailybeauty.com yang memberikan sedikit pencerahan. Mbak Affi Asegaf adalah vlogger yang selalu bicara tentang perwatan kulit dan memberikan tips serta review produk skincare yang bagus (dan seringnya mahal). Dalam salah satu videonya, dia pernah berkata, “Jadi, yang paling penting dalam merawat kulit adalah rutin! Saya sih engga percaya ya, kalau ada skincare yang berani kasih perubahan dalam beberapa hari aja. Efek vitamin C aja, baru bisa bikin perubahan dalam waktu minimal 21 hari setelah pemakaian rutin setiap hari. Jadi, percuma aja kalau skincarenya mahal tapi makenya engga rutin, engga akan bikin dampak apa-apa buat kulit kamu”, katanya dengan manis.

Terimakasih juga pada Kenneth Biller, sutradara Genius. yang juga membantu saya untuk paham. Melalui drama series Genius, saya mendapat pemahaman secara gamblang tentang bagaimana  Albert Einstein, tidak hanya konsisten dalam membuktikan teori relativitasnya, tapi juga setia dalam menjaga identitasnya sebagai ilmuwan, bukan politisi.

Jadi ternyata, ini semua adalah tentang konsistensi. 

Tentang konsistensi dan betapa manusia sering kalah di dalam pergulatannya. Mencoba lari, memulai dari awal, menggebu di awal, kelelahan di tengah-tengah, belum sampai pada titik akhir tapi sudah lari, dan mencoba hal lain dari awal. Hingga seterusnya, hingga seterusnya…. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa selain waktunya terbuang, dia seakan mengaklmasi ketidaksabaran akan dirinya sendiri.

Jika ternyata kita berada pada jalan yang kita sendiri tidak merasa nyaman menjalaninya, tentu saja kondisinya menjadi berbeda. Karena jika demikian, tentu saja jalan terbaik adalah putar balik dan mencari jalan lain. Tapi jika kita berbicara tentang nilai-nilai yang kita perjuangkan, atau mimpi-mimpi yang kita percaya, maka konsisten adalah satu-satunya cara. Karena bagaimana mungkin kita bisa sampai pada titik yang ingin kita tuju, jika terlalu sering mampir atau putar arah?

Teman saya yang kini sedang menggeluti dunia seni peran pernah berkata, “Pantes aja ya Reza Rahardian itu jago banget. Dia belajar ekspresi wajah aja tahunan. Engga kayak artis kabiran yang cuma dateng workshop trus acting”. 

Atau teman saya yang pernah ketemu Nicholas Saputra, dia berkata, “Si Nico itu sampe bilang gini, ‘Kamu jadilah professional dalam apapun itu. Model, kalau dia professional bayarannya ratusan juta’”

Apa yang Fian bicarakan di sebuah senja itu, mengingtkan saya akan kegelisahan Emma Stone dan Ryan Gosling di akhir film LALA LAND. Kegelisahan bahwa mereka pernah menemani satu sama lain di saat-saat tersulit saat menjalani mimpi masing-masing, tapi justru tidak bisa merayakan keberhasilan itu bersama-sama pada akhirnya. Begitulah harga dari sebuah pilihan.

Sekarang saya paham kenapa manusia membutuhkan orang lain, justru disaat dia senang, bahagia, atau ingin merayakan kegembiraan. Mungkin itu diartikan sebagai ucapan terimakasih untuk mereka yang setia menemani dalam proses menuju momen bahagia. Sebagai pengakuan bahwa mereka berjasa. Mungkin karena mereka turut menemani saat kita saat sedang terpuruk. Mungkin juga mereka pernah berkata, “Hei, jangan menyerah!”. Bisa juga karena mereka membuat kita kembali percaya, bahwa kita harus bertahan satu hari lagi untuk hal-hal yang ingin kita tuju. Atau mungkin karena kita akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan kita, sedikit banyak mengorbankan kebahagian mereka. Entah mana yang paling mendekekati.

Tapi sepertinya memang, kebahagiaan yang tidak bisa dirayakan memang lebih menyedihkan dibanding kesedihan itu sendiri.

"Climb these hills I'm reaching for the heights and chasing all the lights that shine.
 And when they let you down, you'll get up off the ground.
Cause morning rolls around, and it's another day of sun"
(Another Day Of Sun)

Dan tentu saja, konsistensi dibutuhkan dalam mencintai, apapun, siapapun.

Senin, 02 Oktober 2017

Layar Sentuh dan Rusaknya lagu Yogyakarta milik kla project

Saya baru bisa mengendarai motor saat masuk kuliah di tahun 2009. Sebelumnya, saya adalah seorang duta nebeng internasional yang rendah hati dan bersedia mengabdi di Yogyakarta. Menjadi duta nebeng adalah perkara yang tidak mudah. Bayangkan saja, saya harus tau siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk bisa ditebengi dan menyelaraskan dengan tujuan serta waktu-waktu mobilitas saya yang super padat kala itu. Saya harus tau, jikalau mau mengunjungi tempat A, jam sekian, lantas harus minta tolong kepada siapa. Jangan lupa, pemilihan bahasa itu penting dan harus sopan, seperti mengatakan meminta tolong atau pernyataan bahwa ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Pun memilih orang yang bisa masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi' juga harus teliti. Harus kuat hatinya dan uang bensinnya.

Sekali lagi, menjadi duta nebeng itu tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, saya kehabisan stock orang yang bersedia mengantar hingga membuat saya batal pergi atau harus pergi naik angkot. Saya pribadi sih engga begitu masalah dengan naik angkot. Hanya saja, eksistensi angkot di Yogyakarta ini bikin saya senewen. Ya bagaimana tidak, jam operasional serta rute angkot di Yogyakarta itu terbatas, dan itu jelas membatasi gerak perempuan muda nan aktif macam saya ini.

Hingga di tahun 2009, saya membeli motor dan belajar mengendarai motor. Dan sejak itu lah saya pensiun dari predikat duta nebeng internasional. Walau sedih harus berpisah dengan mereka yang sudah masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi', saya bersyukur karena akhirnya bisa menikmati menjadi wanita mandiri seutuhnya.

Delapan tahun kemudian, saya takjub campur kesal karena banyak sekali di Yogyakarta yang kini menjadi duta nebeng. Dan yang paling bikin saya kesal, mereka tidak menggunakan prosedur yang pas untuk menjadi duta nebeng internasional cabang Yogyakarta.

Begini saya jelaskan singkat. Yogyakarta ini, kotanya kecil dan damai. Kemana-mana sungguh dekat. Tidak seperti Ibukota yang mungkin bisa bikin anak lahir di jalan saking macetnya. Jalan di Jogja pun ramping-ramping, tidak ada jalur bebas hambatan kecuali jalan ring road. Seharusnya, prosedur menebeng yang paling tepat digunakan adalah dengan mengadaptasi cara saya: meminta tolong baik-baik pada mereka yang hatinya tulus mau menolong dan bensinnya cukup untuk mengantar.

Tapi mungkin cara itu kampungan dan tidak kekinian. Tidak seperti menyentuh layar, memilih tempat destinasi yang dituju, melihat harga, dan menekan tombol 'Pesan Sekarang', lalu datanglah seseorang dengan jaket hijau atau orange yang siap mengantarkan seseorang ke mana pun, lengkap dengan sapaannya, “sesuai aplikasi ya mbak?”.

Saya mungkin bisa memahami sistem itu di Jakarta. Ya... kita memang harus memaklumi Jakarta, kota yang memang ruwet itu, sudah darisananya macet. Sudah macet, kendaraan umum susah didapati, jalan kaki tidak memadai, maka meminta tebengan dengan cara itu, sudah pasti jadi solusi. Apalagi kan rumornya, orang Jakarta itu individualis, mana mau mereka bermanis-manis menggunakan cara nebang ala saya.

Tapi ini kan Jogja. Kemana-mana sungguh dekat, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu kenapa harus ada sistem nebeng macam itu? Dan laku pula!

Mungkin saya akan dihajar oleh semua duta nebeng yang ada di Yogyakarta, karena bersikap angkuh. Oh atau mungkin mereka merasa bahwa saat ini, inilah yang dibutuhkan oleh Yogyakarta. Ah tapi saya kok sanksi, masa iya, Yogyakarta butuh cara nebeng yang membuat macet di semua titik dan membuat banyak pojokan terisi oleh tongkrongan hijau-hijau, hingga bahkan di depan gang rumah saya.

Atau dengan dalih pariwisata? Tapi kan, kalau kita datang ke Swedia, dan masyarakat di sana terbiasa berjalan kaki, kita juga engga akan berkata 'Aduh, saya terbiasa nebang motor nih'. Lalu kenapa kita yang harus mengakomodir wisatawan dengan tebengan yang bisa bikin perjalanan menuju Malioboro dari Jalan Kaliurang menjadi 1 jam lebih lamanya?

Bertahun-tahun sudah lamanya Katon Bagaskara bernyanyi 'Di persimpangan langkahku terhenti.. ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera...'. Lalu, apa tanggung jawab kita kalau ada yang bernyanyi 'Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja...'. Saat kini, tiap sudut isinya macet, macet, dan macet. Bagian mananya yang masih seperti dulu?

Tapi saya paham, bahwa tidak ada yang bisa menolak perubahan. Antara saya yang sakit hati karena Jogja berubah, atau saya yang memang terbiasa tanpa kemacetan di Jogja, atau saya yang sebetulnya sensi dengan si penyedia sistem. Semua menjadi tumpang tindih memang.

Ingin rasanya menyalahkan si pembuat sistem ini. Tapi saya lupa, mereka adalah pihak yang sanggup melihat pangsa pasar. Awalnya mungkin baik: mencoba membantu citizen Ibukota. Tapi mereka lupa dan kita semua terlena, bahwa itulah awal mula keran yang terbuka dan kini sudah semakin susah untuk ditutup kembali. Bahkan hingga sekarang, keran itu bukan hanya terbuka, tapi bocor kemana-mana, meluber hingga luar Ibukota. Seakan menyelesaikan masalah transportasi, tapi nyatanya menambah rumit masalah lalu lintas. Belum lagi gesekan sosial sana-sini akibat sistem ini. Bayangkan saja, si pembuat sistem mampu memindahkan lapangan pekerjaan ke jalan raya, yang meleng sedikit saja bisa tewas. Seakan membuat kita tertolong, padahal nyatanya kita akan terjebak pada kemacetan di jalan. Padahal ini di Yogyakarta, sekali lagi, ini di Yogyakarta. Kota dengan slogan ‘berhati nyaman’, bukan ‘berjalan lamban’.

Dahsyatnya, mereka bahkan sanggup membuat hal-hal menjadi lebih mutakhir lagi, seperti mengantarkan makanan atau bahkan barang. Hingga sekali waktu, saya pernah melihat dalam satu traffic light, isinya hanyalah jaket hijau. Di Yogyakarta yang sungguh apa-apa dekat ini, pemandangan itu sungguh sangat mengganggu saya.

Harapan saya hanya bertumpu pada seorang Raja yang bermukim di 0 kilometer itu. Tidakah dengan kota sekecil ini, yang dibutuhkan hanyalah sistem angkutan kota yang lebih baik? Tidakah ada yang bisa mengatur agar hijau-hijau itu tidak menjadi lumut dan akhirnya membuat kotor Yogyakarta? Kalau tidak mungkin dihentikan, maka tidakkah bisa regulasinya diatur? Bukankah kita daerah Istimewa? Jika tidak, saya khawatir dunia tidak bisa lagi menyanyikan lagu Yogyakarta karya Kla Project dengan mengenang masa-masa berjalan kaki dengan gebetan, atau membicarakan masa depan dengan seseorang.

Dan tentu saja pada semua duta nebeng di Yogyakarta, pesan saya, menebeng dengan cara konvensional itu banyak manfaatnya: menajamkan kemampuan mbribik!

© RIWAYAT
Maira Gall