Saya baru bisa mengendarai motor saat masuk kuliah di tahun 2009. Sebelumnya, saya adalah seorang duta nebeng internasional yang rendah hati dan bersedia mengabdi di Yogyakarta. Menjadi duta nebeng adalah perkara yang tidak mudah. Bayangkan saja, saya harus tau siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk bisa ditebengi dan menyelaraskan dengan tujuan serta waktu-waktu mobilitas saya yang super padat kala itu. Saya harus tau, jikalau mau mengunjungi tempat A, jam sekian, lantas harus minta tolong kepada siapa. Jangan lupa, pemilihan bahasa itu penting dan harus sopan, seperti mengatakan meminta tolong atau pernyataan bahwa ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Pun memilih orang yang bisa masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi' juga harus teliti. Harus kuat hatinya dan uang bensinnya.
Sekali lagi, menjadi duta nebeng itu tidak semudah yang dibayangkan. Kadang, saya kehabisan stock orang yang bersedia mengantar hingga membuat saya batal pergi atau harus pergi naik angkot. Saya pribadi sih engga begitu masalah dengan naik angkot. Hanya saja, eksistensi angkot di Yogyakarta ini bikin saya senewen. Ya bagaimana tidak, jam operasional serta rute angkot di Yogyakarta itu terbatas, dan itu jelas membatasi gerak perempuan muda nan aktif macam saya ini.
Hingga di tahun 2009, saya membeli motor dan belajar mengendarai motor. Dan sejak itu lah saya pensiun dari predikat duta nebeng internasional. Walau sedih harus berpisah dengan mereka yang sudah masuk dalam daftar 'Orang yang Bisa Ditebengi', saya bersyukur karena akhirnya bisa menikmati menjadi wanita mandiri seutuhnya.
Delapan tahun kemudian, saya takjub campur kesal karena banyak sekali di Yogyakarta yang kini menjadi duta nebeng. Dan yang paling bikin saya kesal, mereka tidak menggunakan prosedur yang pas untuk menjadi duta nebeng internasional cabang Yogyakarta.
Begini saya jelaskan singkat. Yogyakarta ini, kotanya kecil dan damai. Kemana-mana sungguh dekat. Tidak seperti Ibukota yang mungkin bisa bikin anak lahir di jalan saking macetnya. Jalan di Jogja pun ramping-ramping, tidak ada jalur bebas hambatan kecuali jalan ring road. Seharusnya, prosedur menebeng yang paling tepat digunakan adalah dengan mengadaptasi cara saya: meminta tolong baik-baik pada mereka yang hatinya tulus mau menolong dan bensinnya cukup untuk mengantar.
Tapi mungkin cara itu kampungan dan tidak kekinian. Tidak seperti menyentuh layar, memilih tempat destinasi yang dituju, melihat harga, dan menekan tombol 'Pesan Sekarang', lalu datanglah seseorang dengan jaket hijau atau orange yang siap mengantarkan seseorang ke mana pun, lengkap dengan sapaannya, “sesuai aplikasi ya mbak?”.
Saya mungkin bisa memahami sistem itu di Jakarta. Ya... kita memang harus memaklumi Jakarta, kota yang memang ruwet itu, sudah darisananya macet. Sudah macet, kendaraan umum susah didapati, jalan kaki tidak memadai, maka meminta tebengan dengan cara itu, sudah pasti jadi solusi. Apalagi kan rumornya, orang Jakarta itu individualis, mana mau mereka bermanis-manis menggunakan cara nebang ala saya.
Tapi ini kan Jogja. Kemana-mana sungguh dekat, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu kenapa harus ada sistem nebeng macam itu? Dan laku pula!
Mungkin saya akan dihajar oleh semua duta nebeng yang ada di Yogyakarta, karena bersikap angkuh. Oh atau mungkin mereka merasa bahwa saat ini, inilah yang dibutuhkan oleh Yogyakarta. Ah tapi saya kok sanksi, masa iya, Yogyakarta butuh cara nebeng yang membuat macet di semua titik dan membuat banyak pojokan terisi oleh tongkrongan hijau-hijau, hingga bahkan di depan gang rumah saya.
Atau dengan dalih pariwisata? Tapi kan, kalau kita datang ke Swedia, dan masyarakat di sana terbiasa berjalan kaki, kita juga engga akan berkata 'Aduh, saya terbiasa nebang motor nih'. Lalu kenapa kita yang harus mengakomodir wisatawan dengan tebengan yang bisa bikin perjalanan menuju Malioboro dari Jalan Kaliurang menjadi 1 jam lebih lamanya?
Bertahun-tahun sudah lamanya Katon Bagaskara bernyanyi 'Di persimpangan langkahku terhenti.. ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera...'. Lalu, apa tanggung jawab kita kalau ada yang bernyanyi 'Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja...'. Saat kini, tiap sudut isinya macet, macet, dan macet. Bagian mananya yang masih seperti dulu?
Tapi saya paham, bahwa tidak ada yang bisa menolak perubahan. Antara saya yang sakit hati karena Jogja berubah, atau saya yang memang terbiasa tanpa kemacetan di Jogja, atau saya yang sebetulnya sensi dengan si penyedia sistem. Semua menjadi tumpang tindih memang.
Ingin rasanya menyalahkan si pembuat sistem ini. Tapi saya lupa, mereka adalah pihak yang sanggup melihat pangsa pasar. Awalnya mungkin baik: mencoba membantu citizen Ibukota. Tapi mereka lupa dan kita semua terlena, bahwa itulah awal mula keran yang terbuka dan kini sudah semakin susah untuk ditutup kembali. Bahkan hingga sekarang, keran itu bukan hanya terbuka, tapi bocor kemana-mana, meluber hingga luar Ibukota. Seakan menyelesaikan masalah transportasi, tapi nyatanya menambah rumit masalah lalu lintas. Belum lagi gesekan sosial sana-sini akibat sistem ini. Bayangkan saja, si pembuat sistem mampu memindahkan lapangan pekerjaan ke jalan raya, yang meleng sedikit saja bisa tewas. Seakan membuat kita tertolong, padahal nyatanya kita akan terjebak pada kemacetan di jalan. Padahal ini di Yogyakarta, sekali lagi, ini di Yogyakarta. Kota dengan slogan ‘berhati nyaman’, bukan ‘berjalan lamban’.
Dahsyatnya, mereka bahkan sanggup membuat hal-hal menjadi lebih mutakhir lagi, seperti mengantarkan makanan atau bahkan barang. Hingga sekali waktu, saya pernah melihat dalam satu traffic light, isinya hanyalah jaket hijau. Di Yogyakarta yang sungguh apa-apa dekat ini, pemandangan itu sungguh sangat mengganggu saya.
Harapan saya hanya bertumpu pada seorang Raja yang bermukim di 0 kilometer itu. Tidakah dengan kota sekecil ini, yang dibutuhkan hanyalah sistem angkutan kota yang lebih baik? Tidakah ada yang bisa mengatur agar hijau-hijau itu tidak menjadi lumut dan akhirnya membuat kotor Yogyakarta? Kalau tidak mungkin dihentikan, maka tidakkah bisa regulasinya diatur? Bukankah kita daerah Istimewa? Jika tidak, saya khawatir dunia tidak bisa lagi menyanyikan lagu Yogyakarta karya Kla Project dengan mengenang masa-masa berjalan kaki dengan gebetan, atau membicarakan masa depan dengan seseorang.
Dan tentu saja pada semua duta nebeng di Yogyakarta, pesan saya, menebeng dengan cara konvensional itu banyak manfaatnya: menajamkan kemampuan mbribik!
Delapan tahun kemudian, saya takjub campur kesal karena banyak sekali di Yogyakarta yang kini menjadi duta nebeng. Dan yang paling bikin saya kesal, mereka tidak menggunakan prosedur yang pas untuk menjadi duta nebeng internasional cabang Yogyakarta.
Begini saya jelaskan singkat. Yogyakarta ini, kotanya kecil dan damai. Kemana-mana sungguh dekat. Tidak seperti Ibukota yang mungkin bisa bikin anak lahir di jalan saking macetnya. Jalan di Jogja pun ramping-ramping, tidak ada jalur bebas hambatan kecuali jalan ring road. Seharusnya, prosedur menebeng yang paling tepat digunakan adalah dengan mengadaptasi cara saya: meminta tolong baik-baik pada mereka yang hatinya tulus mau menolong dan bensinnya cukup untuk mengantar.
Tapi mungkin cara itu kampungan dan tidak kekinian. Tidak seperti menyentuh layar, memilih tempat destinasi yang dituju, melihat harga, dan menekan tombol 'Pesan Sekarang', lalu datanglah seseorang dengan jaket hijau atau orange yang siap mengantarkan seseorang ke mana pun, lengkap dengan sapaannya, “sesuai aplikasi ya mbak?”.
Saya mungkin bisa memahami sistem itu di Jakarta. Ya... kita memang harus memaklumi Jakarta, kota yang memang ruwet itu, sudah darisananya macet. Sudah macet, kendaraan umum susah didapati, jalan kaki tidak memadai, maka meminta tebengan dengan cara itu, sudah pasti jadi solusi. Apalagi kan rumornya, orang Jakarta itu individualis, mana mau mereka bermanis-manis menggunakan cara nebang ala saya.
Tapi ini kan Jogja. Kemana-mana sungguh dekat, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu kenapa harus ada sistem nebeng macam itu? Dan laku pula!
Mungkin saya akan dihajar oleh semua duta nebeng yang ada di Yogyakarta, karena bersikap angkuh. Oh atau mungkin mereka merasa bahwa saat ini, inilah yang dibutuhkan oleh Yogyakarta. Ah tapi saya kok sanksi, masa iya, Yogyakarta butuh cara nebeng yang membuat macet di semua titik dan membuat banyak pojokan terisi oleh tongkrongan hijau-hijau, hingga bahkan di depan gang rumah saya.
Atau dengan dalih pariwisata? Tapi kan, kalau kita datang ke Swedia, dan masyarakat di sana terbiasa berjalan kaki, kita juga engga akan berkata 'Aduh, saya terbiasa nebang motor nih'. Lalu kenapa kita yang harus mengakomodir wisatawan dengan tebengan yang bisa bikin perjalanan menuju Malioboro dari Jalan Kaliurang menjadi 1 jam lebih lamanya?
Bertahun-tahun sudah lamanya Katon Bagaskara bernyanyi 'Di persimpangan langkahku terhenti.. ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera...'. Lalu, apa tanggung jawab kita kalau ada yang bernyanyi 'Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja...'. Saat kini, tiap sudut isinya macet, macet, dan macet. Bagian mananya yang masih seperti dulu?
Tapi saya paham, bahwa tidak ada yang bisa menolak perubahan. Antara saya yang sakit hati karena Jogja berubah, atau saya yang memang terbiasa tanpa kemacetan di Jogja, atau saya yang sebetulnya sensi dengan si penyedia sistem. Semua menjadi tumpang tindih memang.
Ingin rasanya menyalahkan si pembuat sistem ini. Tapi saya lupa, mereka adalah pihak yang sanggup melihat pangsa pasar. Awalnya mungkin baik: mencoba membantu citizen Ibukota. Tapi mereka lupa dan kita semua terlena, bahwa itulah awal mula keran yang terbuka dan kini sudah semakin susah untuk ditutup kembali. Bahkan hingga sekarang, keran itu bukan hanya terbuka, tapi bocor kemana-mana, meluber hingga luar Ibukota. Seakan menyelesaikan masalah transportasi, tapi nyatanya menambah rumit masalah lalu lintas. Belum lagi gesekan sosial sana-sini akibat sistem ini. Bayangkan saja, si pembuat sistem mampu memindahkan lapangan pekerjaan ke jalan raya, yang meleng sedikit saja bisa tewas. Seakan membuat kita tertolong, padahal nyatanya kita akan terjebak pada kemacetan di jalan. Padahal ini di Yogyakarta, sekali lagi, ini di Yogyakarta. Kota dengan slogan ‘berhati nyaman’, bukan ‘berjalan lamban’.
Dahsyatnya, mereka bahkan sanggup membuat hal-hal menjadi lebih mutakhir lagi, seperti mengantarkan makanan atau bahkan barang. Hingga sekali waktu, saya pernah melihat dalam satu traffic light, isinya hanyalah jaket hijau. Di Yogyakarta yang sungguh apa-apa dekat ini, pemandangan itu sungguh sangat mengganggu saya.
Harapan saya hanya bertumpu pada seorang Raja yang bermukim di 0 kilometer itu. Tidakah dengan kota sekecil ini, yang dibutuhkan hanyalah sistem angkutan kota yang lebih baik? Tidakah ada yang bisa mengatur agar hijau-hijau itu tidak menjadi lumut dan akhirnya membuat kotor Yogyakarta? Kalau tidak mungkin dihentikan, maka tidakkah bisa regulasinya diatur? Bukankah kita daerah Istimewa? Jika tidak, saya khawatir dunia tidak bisa lagi menyanyikan lagu Yogyakarta karya Kla Project dengan mengenang masa-masa berjalan kaki dengan gebetan, atau membicarakan masa depan dengan seseorang.
Dan tentu saja pada semua duta nebeng di Yogyakarta, pesan saya, menebeng dengan cara konvensional itu banyak manfaatnya: menajamkan kemampuan mbribik!
Tidak ada komentar
Posting Komentar