Jumat, 31 Mei 2019

Kita Sebagai Baut-Baut Kehidupan


Sebelum lulus kuliah, saya sempat bekerja di salah satu agensi iklan sebagai strategic account executive. Bagi saya yang memang merupakan mahasiswa komunikasi pada saat itu, bergabungnya saya dengan salah satu agensi iklan yang saat itu menjadi salah satu yang terbaik, adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Saya juga merasa bahwa kesempatan bisa bekerja di sektor periklanan merupakan salah satu pencapaian yang penting dalam hidup saya, terlebih karena memang dari awal masuk kuliah, hal itulah yang saya idam-idamkan. Saat itu saya berpikir bahwa saya akan memiliki kehidupan karir yang cemerlang, yang akan melejit dan membanggakan. Belum lagi pada saat itu saya berpikir betapa beruntungnya saya karena sudah bisa mulai bekerja di tempat yang baik, sementara teman-teman sepantaran saya, kebanyakan bahkan masih bingung mau melakukan apa setelah lulus. Jiwa kompetisi saya seakan berkata, “Bagus Alifah, kamu memang selalu selangkah lebih maju”.

Jiwa muda yang penuh dengan ambisi dan kesoktahuan memang.

Namun ternyata, kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Memang betul saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan juga sesuai dengan rencana yang sudah saya rakit sejak awal masa perkuliahan. Memang betul bahwa saya selangkah lebih maju dibanding kebanyakan teman-teman saya, yang lulus saja belum. Tapi senyatanya, bergabung di agensi iklan tersebut justru malah membuat saya seperti menjalani kehidupan yang tidak dirancang untuk saya. Alhasil, alih-alih mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dimana karir gemilang siap dimulai, pengalaman itu justru menjelma menjadi salah satu titik terendah dalam kehidupan saya di awal usia 20 tahunan. Jika harus kembali mengingat bagaimana saya pernah berada di titik itu, saya akan selalu ingat bagaimana saya merasa kerdil karena terhempas dari mimpi-mimpi yang sudah saya rakit sejak lama.

Saya merasa hilang arah saat itu.

Di tengah-tengah kebingungan saya dalam menentukan arah tujuan setelah lulus kuliah, salah satu teman kuliah saya, panggilan akrabnya Bunda, dia bertanya pada saya bagaimana pengalaman bekerja di agensi iklan. Maka tanpa babibu dan basa-basi, saya dengan fasih menceritakan bagaimana tidak sesuainya saya dengan pekerjaan di agensi, lengkap dengan semua keluh kesah dan duka nestapanya. Bunda yang mendengarkan saat itu tidak banyak komentar, hanya menganggung-angguk saja.

Hidupun akhirnya memberikan saya angin baru. Saya mengistilahkan sebagai putar haluan kapal kehidupan. Setelah setahun kebingungan mau membawa hidup ke mana, sebuah saran yang berharga dari Mas Aji dan Mbak Nina, pasangan suami istri kesayangan saya, membawa saya berkenalan dengan sektor pembangunan sosial. Awal mula saya menapaki kaki di sektor ini, saya sendiri kebingungan bukan main. Kata saya waktu itu, “Ini sebenernya apaan sih, kerjaan kok random begini?”. Saya sendiri awalnya tidak segitu inginnya untuk menekuni sektor ini. Awalnya saya berfikir karena sektor ini tidak begitu sesuai dengan apa yang saya pelajari di kuliah, mungkin juga karena saya masih asing dengan tipe pekerjaannya, atau mungkin juga karena mimpi menjadi seorang strategic planner di salah satu agensi multinasional di Jakarta masih menggebu-gebu saat itu. Tapi semua asumsi itu kandas karena justru hingga sekarang, saya masih betah-betah saja bekerja sektor ini.

Lagi, saya dibuat tidak paham dengan alur kehidupan.

Kurang lebih 5 tahun berlalu sejak semua kebingungan di awal usia 20 tahunan, beberapa waktu yang lalu, setelah cukup lama tidak berjumpa, saya dan Bunda janjian untuk bertemu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Saya mengajaknya bertemu karena dia melakukan lompatan signifikan dalam hidupnya dengan berhenti bekerja dan memilih untuk sementara waktu menjadi ibu rumah tangga. Maka bertemulah kami, di bulan puasa, di salah satu kafe. Seperti biasa, saya tidak banyak bercerita, hanya sedikit memberitahukannya intisari dari apa yang sedang saya kerjakan sekarang. Sedangkan dia, dia bercerita panjang lebar soal kehidupannya, baik pilihannya untuk sementara ini menjadi ibu rumah tangga hingga hal-hal pribadi lainnya.

Siapa yang menyangka, Bunda yang 5 tahun lalu mendapatkan testimoni kurang menyenangkan dari saya yang bekerja di agensi iklan, kini malah memiliki rekam jejak pekerjaan di bidang periklanan yang membanggakan. Dia bahkan pernah nyaris akan menerima pekerjaan di Malaysia, yang akhirnya harus dia tolak karena dia akan menikah. Sedangkan saya, yang tadinya justru berpikir akan menggeluti bidang periklanan, malah putar haluan di sektor pembangunan sosial. Tiap kali bertemu dengan Bunda, saya selalu takjub dengan betapa berbedanya kami dalam menyikapi satu tipe pekerjaan yang sama. Saya bisa segitu kapoknya bekerja di sektor periklanan, sedangkan Bunda bisa sangat melejitnya. Kebalikannya, teman-teman yang saya ketahui dulunya berasal dari Jurusan Antropologi atau Sosiologi, yang seharunsya bekerja di tempat saya bekerja saat ini, malah kebanyakan menjadi content adviser atau social media officer di perusahaan-perusahaan startup.

Mungkin inilah yang dinamakan life will find the way.

Dulu saya sempat memiliki klasifikasi pekerjaan yang bagi saya menarik dan yang tidak menarik, saya bahkan memiliki kategori pilihan hidup yang tepat atau tidak tepat berdasarkan definisi yang saya buat sendiri. Misalnya, saya tidak habis pikir kenapa di usia yang sangat muda, seseorang bisa memutuskan untuk menjadi PNS yang notabene pekerjaan jangka panjang, kenapa dia tidak menikmati hidup dia dulu? Atau kenapa seseorang bisa putar haluan menjadi pebisinis saat jabatannya di kantor sedang bagus-bagusnya? Kenapa seseorang memilih untuk tinggal di desa saja dan kenapa tidak pindah ke kota yang lebih banyak kesempatan? Tanpa saya sadari klasifikasi itu justru malah membuat saya melakukan penilaian subjektif atas pilihan-pilihan hidup seseorang. Butuh waktu yang cukup lama, hingga akhirnya saya sadar bahwa setiap manusia pada dasarnya hanya akan menjalani kehidupan yang memang sudah dirancang untuk dirinya sendiri. Dimana jalur kehidupan setiap orang akan sangat berbeda satu sama lainnya. Sayapun kini meyakini bahwa pilihan hidup apapun yang dipilih oleh setiap orang dalam hal menentukan tipe pekerjaan yang dia mau, menjadi jawaban akan peran yang sedang dia jalankan.

Jika kehidupan bisa saya ibaratkan, mungkin saya akan mengibaratkan hidup seperti halnya sebuah jam dinding rakasasa dengan semua komponen di dalamnya, mulai dari jarum menit, jarum detik, jam jam, angka-angka penunjuk, baterai, mesin penggerak, rangka, hingga background pemanisnya. Dengan memahami bahwa setiap dari komponen jam tersebut memiliki fungsinya masing-masing, seharusnya tidak ada yang pada akhirnya mengatakan bahwa jarum jam lebih penting dari baterai. Apa pentingnya juga mengukur siapa yang lebih berjasa dari siapa, toh pada akhirnya kita akan bertanya ‘jam berapa sih ini?’ dan melihat jam sebagai sebuah komponen utuh.

Sama juga. Seseorang yang memilih tinggal di desa atas dasar pertimbangan yang matang, artinya dia sedang menjalani porsi denyut kehidupan yang harus dijalankan dari desa. Seseorang yang pada akhirnya harus pindah ke kota, artinya dia sedang menjalani perannya di kota yang memang harus dijalani. Harus ada yang menjadi PNS dan dengan suka hati menjalaninya, dan harus ada yang menjual gorengan dan juga merasa itu sebagai pilihan hidupnya.

Seorang mantan teman siaran saya yang kini bermukim di Bali, memiliki pandangan hidup bahwa jika setiap dari kita pada akhirnya mengetahui dimana dia harus bertindak dalam alam semesta yang sebesar ini, maka seharunya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan berlebihan. Saya sepaham dengan apa yang dia pikirkan, maka itulah saya merasa bahwa hidup akan selalu menjani perannya dengan melakukan plot twist yanga akan mengejutkan kita. Tiba-tiba saja kita disuruh ke kanan atau kiri, ke depan atau ke belakang, yang pada akhirnya mengantarkan kita pada peran kita masing-masing di jam besar bernama kehidupan.

Sebagai manusia, kita butuh untuk bisa berlapang dada dan juga bersedia untuk bersabar agar bisa memahami di mana seharusnya kita berada. Dan jika sudah menemukan, maka jangan lagi mencoba untuk menjalani peran orang lain, jalani saja peran kita sebaik mungkin jika ingin membantu kehidupan ini tetap berjalan secara manis.

Ini memang tidak seliterlek jam dinding yang saya ibaratkan, tapi ini cukup untuk menggambarkan bagaimana setiap orang, jika fokus mencari perannya masing-masing, akan memandang hidup seperti sebuah kesatuan yang utuh. Tidak ada peran yang sangat menonjol dibanding yang lain, tidak ada pilihan hidup yang lebih superior dibanding yang lain, semuanya sesuai dengan posrsinya dalam memutar kehidupan.

Di akhir pertemuan saya dengan Bunda, kami akhirnya mendiskusikan tentang pekerjaan di bidang komunikasi yang sekarang sedang naik daun karena banyaknya perusahaan startup, serta jika harus dibandingkan dengan tipe pekerjaan yang sedang saya geluti saat ini, maka seperti apa bandingannya. Namun seperti yang Bunda katakan, “Kerjaan itu engga dirancang untuk semua orang”, maka kamipun mengamini bahwa semua orang memiliki jalan kehidupannya masing-masing dan akan sangat membingungkan jika kita harus membandingkan peran kita dengan orang lain melalui kacamata materialistis.

Tidak apple to apple istilahnya.

Kehidupan memang berjalan dengan harmoni yang cantik seperti halnya jam dinding yang berputar. Kita dan peran yang kita jalani adalah bagian dari komponen kehidupan itu sendiri. Ada baiknya jika kita menerima plot twist kehidupan ini dengan semua syukur yang kita punya, dan menjalaninya sebaik-baiknya. Toh ini juga tidak akan lama, cepat atau lambat peran yang kita jalani ini akan tergantikan oleh orang lain. Di waktunya nanti, kita harus siap untuk menuju pada satu-satunya pemberi peran dalam hidup kita, dan akhirnya menyadari bahwa peran-peran kecil yang kita jalani selama ini tidak akan lebih besar dari peran yang sesungguhnya melekat pada diri kita: yaitu sebuah ciptaan.



Menemukan Itu Sekali, Selebihnya Adalah Negosiasi

Beberapa tahun yang lalu, aku akhirnya menemukan sebuah kafe kecil, dengan ornamen kekinian, dan rasa kopi yang enak. Hingga kinipun, kafe itu menjadi kafe kesukaanku untuk melamun hingga mengerjakan hal-hal besar. Tidak lagi aku berpikiran untuk mencari kafe atau berpindah-pindah kafe lagi. Kafe itu selalu menjadi kesukaanku. Saat aku membutuhkan tempat untuk sekedar melamun atau melakukan hal-hal besar, sedangkan aku tidak berada di kotaku, maka aku akan membayangkan berada di kafe itu, dan memesan kopi kesukaan. Rasanya menyenangkan bisa menemukan kafe yang sudut ruangannya bisa sanyaman itu dengan suguhan rasa kopi yang pas.

Aku pernah juga, waktu itu menemukan satu tempat makan mie ayam yang dijual di pinggir jalan. Rasanya enak sekali dan harganya murah. Lama tak pernah lagi aku datangi, tempat itu kini tak ada lagi. Aku coba bertanya pada orang-orang di sekitar, mereka menjawab bahwa bapak itu pindah namun tidak tahu di mana. Sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana rasa enak mie ayam itu. Aku menemukan beberapa mie ayam yang juga enak, namun mie ayam gerobak itu, tetap saja idolaku.

Aku seringkali berganti-ganti produk perwatan wajah. Mulai dari Korea hingga yang berasal dari Eropa, aku mencobanya dengan sabar. Beberapanya malah membuat wajahku jerawatan, namun beberapanya bisa membuat kulit wajah menjadi lebih lembab. Rasanya lega sekali mengakhiri masa pencarian produk perawatan wajah dan bisa dengan rutin membelinya jika habis.

Aku menemukan banyak sekali hal di masa yang berbeda-beda. Ada perasaan tenang dalam hati saat akhirnya menemukan sesuatu seperti yang selama ini dicari. Ada semacam perasaan lega bahwa akhirnya penantian dan pencarian itu menemukan jawabannya. Walau seringkali pencarian itu harus tergantikan karena satu dan lain hal, namun pengalaman menemukan sesuatu itu, selalu saja menjadi hal yang menyenangkan.

Di suatu masapun, aku menemukan kita.

Hidup entah akan mengarahkan ke mana lagi setelah aku menemukan kita. Rasa-rasanya, kata menemukan hanya diciptakan sekali saja, selebihnya adalah aku yang bernegosiasi dengan segenap jiwa raga untuk dapat berdamai dengan arah kehidupan, yang kalau-kalau tidak lagi ada kita didalamnya. 


Selasa, 21 Mei 2019

kereta saat itu

Saat itu bulan sedang bulat, dan dia tidur bersandar pada jendela kereta.
Saat itu dini hari dan dia terbangun.

Diam sejenak dan dia terisak.

Entah lewat apa, boleh udara, boleh juga bisikan. Tapi beritahu, beritahukanlah, bahwa dia ingin sekali meminta maaf, karena dia tidak menyebutkan sepatah kata, atau bahkan melempar sesimpul senyum saat dia tahu bahwa dia sebenarnya mau dan mampu.

Dia terisak, berharap maafnya sampai pada pemiliknya.

Dia terisak.

Hingga reda rindunya dan lapang hatinya.

Dia terisak di sudut malam di sebuah perjalanan kereta menuju kotanya.


Bukan Kanan, Bukan Kiri, Tidak Depan, Tidak Belakang. Ya terus?

 “Redam badai, lakukan dengan tenang”
(Jikustik)

Salah satu hal yang saya pelajari dari perjalanan umroh yang sempat saya lakukan beberapa waktu yang lalu adalah, betapa manusia diajarkan untuk dapat tegar menghadapi ketidakpastian hidup. Saya merenungi hal ini ketika melakukan Sa’i, yaitu berjalan kaki 7 kali bolak balik dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah yang setara dengan 3,5 kilo. Sa’i sendiri bisa dikatakan seperti napak tilas perjalanan seorang perempuan bernama Siti Hajar yang ditinggal sendiri dengan bayi mungilnya, Ismail, tanpa petunjuk apapun ribuan tahun yang lalu.

Saya sendiri mencoba membayangkan bagaimana jika saya menjadi seorang Siti Hajar, berada di gurun pasir, sendirian, ditemani dengan seorang bayi mungil yang menangis karena kehausan. Saya mencoba membayangkan betapa clueless nya Siti Hajar saat itu. Detik demi detik yang dia habiskan dalam proses mencari air, dilakukan tanpa kepastian. Mungkin pada saat itu yang dia bayangkan adalah dia harus berjalan kaki seharian demi mencari air, atau mungkin dia membayangkan bahwa bayi mungilnya akan meninggal dunia karena dia gagal mendapatkan air. Dalam ketidakpastian itu, tidak ada yang memberitahukannya bahwa sebenarnya dia hanya cukup berjalan 3,5 kilo bolak-balik di bawah sengatan matahari dan di padang pasir yang gersang. Serta tidak ada yang memberikannya petunjuk bahwa ternyata, air yang dia cari justru keluar tidak jauh dari tempat Ismail di letakkan. Mungkin jika Siti Hajar tidak memiliki sopan santun, dia akan mengadahkan kepalanya ke langit, dan berkata, ‘Ya Rabb, jauh-jauh jalan, ujung-ujungnya cuma di sini airnya?’.

Siti Hajar dan usahanya naik turun bukit sebanyak 7 kali demi mencari air, menyadarkan saya bahwa dalam kondisi terbingung manusia saat berada dalam ketidakpastian hidupnyapun, usaha yang dilakukan manusia sering kali meleset dengan hasil yang dia terima.

Tahun 2018, saya sempat bekerja di salah satu institusi pemerintah, dan salah satu teman kerja saya pada saat itu sedang dalam usaha untuk menemukan tempat kerjaan lain, yang menurut dia lebih stabil. Dia pun mencoba berbagai macam lowongan, mulai dari CPNS, BUMN, Seleksi Bank Indonesia, dan banyak hal. Saat proses mencoba mencari peruntungannya, saya kerap melihat dia uring-uringan. Sedikit-sedikit mengecek website untuk mencari tahu apakah dia lolos tahap selanjutnya atau tidak. Bahkan kalau sedang hari pengumuman, dia tidak bisa bekerja dengan fokus, yang dia lakukan hanyalah menghela nafas berkali-kali dan menjadi sangat berisik. Di hari pengumuman, dia selalu berkata ‘Duh buruan pengumuman dong, biar gue tenang nih’. Hidup dalam ketidakpastian ternyata mampu membuat dia lunglai seharian.

Hal yang sama juga dialami oleh junior saya di radio, yang curhat panjang lebar tentang ketidakpastian hidup setelah lulus kuliah. Dia merasa bahwa bekerja di bank bukan hal yang dia inginkan, tapi jika dia memutuskan untuk keluar, dia juga bingung harus menghidupi diri dengan seperti apa. Tipikal masalah fresh graduate memang. Dia merasa resah menatap masa depannya yang sangat kabur. Maka sayapun membalas kegalauan hatinya dengan bercerita bahwa sayapun pernah mengalami kegalauan yang persis seperti yang dia hadapi saat baru lulus kuliah. Saat itu juga saya merasa hidup ke depan menjadi sangat berkabut. Tidak tahu apakah di depan sana ada jurang atau jalan searah, bahkan lebih dari itu, saya tidak tahu harus berjalan ke kanan atau ke kiri. Saya katakan dengan cukup diplomatis bahwa pada akhirnya, waktu akan menjawab semua keresahan itu, dan sambil menunggu itu semua, yang bisa dia lakukan adalah mencoba berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan hidup yang dia inginkan.

Tapi hidup memang tidak pernah menjadi pasti, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah itu semua.

Dalam pengalaman saya mengalami puluhan kali ketidakpastian hidup, saya merasa bahwa yang pada akhirnya yang membuat menderita adalah karena tidak adanya kepastian kapan ini semua akan berkahir. Dengan kata lain, menunggu sebuah kepastian dalam proses ini, sungguh luar biasa menantang. Jangankan ketidakpastian dalam skala besar, menunggu kepastian apakah bapak atau ibu gojeg akan menjemput saya atau tidak saja, bisa menjadi waktu yang meresahkan. Sehingga saya menyadari bahwa bukan ketidakpastiannya yang menyakitkan, atau menyulitkan untuk dilalui, tapi waktu yang berjalan di tengah-tengah ketidakpastian itulah yang sangat meresahkan.

Jikalau Siti Hajar diberitahu bahwa dia hanya akan mendaki bukit sebanyak 7 kali, dan pada akhirnya mata air yang dia cari ada di dekat anaknya, mungkin dia tidak akan merasa kelelahan dan seketakutan itu. Mantan teman kantor saya itu misalnya, yang saat ini dia sudah diterima di salah satu BUMN. Jika pada akhirnya dia diberitahu bahwa dia hanya akan melewati proses panjang itu selama 3 bulan saja, mungkin dia akan berkata ‘oh 3 bulan, bentar lah…’. Saya yakin dia pasti tidak akan sedemikian resah gelisah dan bersikap menyebalkan selama 3 bulan dalam menghadapi proses mencari kerja baru. Atau jika saya diberitahu dari awal bahwa hanya berselang satu tahun saja setelah saya lulus, saya akan mendapatkan pekerjaan yang menarik, pasti saya akan menjalani setahun dengan banyak tertawa dan bersenda gurau, tidak perlu segitunya bercemas.

Mungkin sebagai manusia, kita merasa bahwa akan lebih memudahkan jika kita diberitahu sedikit bocoran tentang waktu, atau tentang jawaban yang kita tunggu dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Tapi mungking, jika itu dilakukan, kita tidak akan pernah belajar mengenai satu nilai penting dalam kehidupan. Kita tidak akan belajar bahwa ketidakpastian sengaja dihadirkan sebagai pengingat, bahwa sebagai manusia, kita punya keterbatasan untuk mengkontrol banyak hal, termasuk mengkontrol hidup kita sendiri.

Semua orang berjuang dalam ketidakpastian, bertahan dalam kebingungan, dan mencoba sekuat tenaga untuk tetap berjalan walau jalan di depan mata terlihat sangat remang-remang. Namun kabar baiknya adalah, pada waktunya, itu akan menjadi jelas dan terang.

Siapapun yang pernah berada dalam ketidakpastian pasti tahu bagaimana cemasnya menjalani hidup di setiap detiknya. Mereka yang menganggur misalnya, pasti akan sangat cemas memikirkan apakah dia bisa membiayai hidupnya esok hari atau tidak tanpa memiliki pekerjaan. Mereka yang mencoba program bayi tabung, berharap-harap cemas apakah program ini akan menjadikan mereka memiliki keturunan atau tidak. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang bisa dilakukan manusia selain sekuat tenaga berjalan ke depan, mencoba melalukan seribu satu usaha, dan berharap esok hari sedikit kepastian akan terbuka.

Ketidakpastian menjadi sebuah sistem di alam ini untuk mengajarkan manusia agar mau memahami, bahwa pada dasarnya, terbuka atau tidaknya sebuah jalan, bukan bagian dari intervensi manusia itu sendiri. Setidaknya, inilah cara termudah agar manusia mau merendah dan mengakui keterbatasannya.

Lantas jika hidup kita yakini sebagai sebuah proses panjang, di mana kita akan berjalan dari satu ketidakpastian menuju ketidakpastian lainnya, lalu bagaimana cara terbaik agar manusia dapat bertahan?

Di akhir tahun 2018, saya dan beberapa teman merencanakan untuk pergi berlibur. Mengingat bahwa kami berempat tidak memiliki waktu yang panjang, maka diputuskanlah bahwa kami akan melakukan glamping (berkemah tapi fancy) saja di Ciwidey, yang murah dan dekat. Mengantisipasi ramainya orang yang akan datang ke Ciwidey untuk Glamping dan harga yang melonjak karena peak season, maka kamipun melalukan pemesanan tenda 2 bulan sebelum berlibur. Alasan sederhana, biar ada kepastian sehingga liburan tetap jadi dilakukan. Selama 2 bulan menunggu waktu liburan, rasanya beban ‘mau berlibur di mana’ sudah terjawab, PR selanjutnya kala itu hanyalah mengurusi hal-hal teknis seperti itenari perjalanan dan mau pake baju apa.

Sudah menjadi tabiatnya bahwa manusia akan senantiasa mencari kepastian-kepastian kecil yang akan membuat hidupnya sedikit lebih tenang. Bukankah itu alasan kita melakukan reservasi beberapa jam sebelumnya untuk bisa makan di sebuah restoran saat jam makan siang? Atau membayar uang DP sebagai jaminan memiliki properti pilihan kita? Atau bertanya berulang kali pada anggota group WhatsApp, siapa yang bisa hadir dalam acara buka bersama? Karena kita butuh mendapatkan sedikit saja kepastian dalam mengarungi ketidakpastian hidup ini. Tidakkah ini menunjukan bahwa pada akhirnya manusia membutuhkan janji dalam menjalani ketidakpastian? Membutuhkan Penjamin bahwa dalam proses menunggunya, kita bisa tenang melewatinya?

Lalu jika tidak tidak mau berpegang pada hal-hal yang pasti, atau meyakini pada satu janji bahwa ini akan terlewati, lantas bagaimana cara manusia menjalani detik demi detik proses dalam ketidakpastian dengan waras?

Ataukah mungkin ada cara lain?


Jumat, 10 Mei 2019

Hidup Tidak Akan Menjadi Obesitas

Kita selalu hidup dengan pilihan. Tapi entah kenapa, semakin ke sini, pilihan yang tersedia bukannya semakin membantu, tapi malah semakin membingungkan.

Saat saya harus bergelut mencari pilihan jurusan, kampus serta beasiswa yang sesuai dengan idealisme saya untuk melanjutkan sekolah master, saya dibuat mabuk kapayang dengan banyaknya jurusan dan kampus yang menurut saya menarik. Sama halnya seperti mencari baju lebaran di Thamrin City, yang setiap tenantnya membuat saya mampir sebentar untuk bertanya harganya, saya ini cukup mudah terdistraksi dengan program-program yang berkaitan dengan manusia dan tindak-tanduknya. Maka jadilah, saya menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya hanya untuk membaca program descriptions dan course syllabuses dari program yang mayoritasnya tidak sesuai dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan saya. Saya pernah ingin putar haluan dan belajar mind and humanity, padahal itu sebenarnya jurusan untuk lulusan psikologi klinis. Hingga akhirnya seorang teman mengingatkan saya, “Kan ada filternya, kamu pake dong filternya, pilih aja yang sesuai tujuan kamu belajar. Kamu mau mendalami apa, jangan dibaca semuanya, abis waktunya”

Saat dia berkata ‘habis waktunya’, saya agak sedikit kesal mendengarnya. Di satu sisi saya merasa dia tidak menghargai usaha saya untuk membaca dengan teliti semua program master yang menarik bagi saya. Tapi di sisi lainnya, saya merasa dia benar, bahwa saya akan menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan membaca program jurusan yang saya sendiri tidak akan keterima, sederhananya karena tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya. Maka sesuai dengan sarannya, sayapun menggunakan fitur filter dengan baik. Saya memasukan semua kata kunci yang sesuai, dan hasilnya, jurusan yang saya inginkan justru hanya sedikit dan bahkan di beberapa negara dan kampus tertentu, jurusan yang saya inginkan malah tidak tersedia. Dan barulah saya menyadari bahwa pembatasan adalah yang baik. Limitasi adalah hal yang sesungguhnya akan membantu saya sebagai manusia untuk dapat memilih.

Namun jika pembatasan adalah hal yang berguna, apakah semua orang bersedia dibatasi atau diberi batasan? Terutama para manusia dewasa yang ketika semakin banyak melihat dunia, dan semakin sering berinterasi, maka semakin menganggap bahwa tanpa batas adalah sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia yang merdeka. Menganggap bahwa dengan memiliki pilihan yang tanpa batas maka sebagai manusia, mereka akan lebih merasakan esensinya, dan berdalih ‘memangnya kenapa kalau aku mau melakukan ini, ini kan hidup aku’.

Semua orang pasti pernah berada dalam masa-masa hidup dimana dia ingin melakukan eksplorasi pada hidupnya, mencoba semua hal, melawan semua batasan, ingin ini dan ingin itu, hanya untuk mencari tahu tujuan hidup. Kalau begitu, mari kita tanyakan pada mereka yang telah melakukan eksplorasi itu, tanyakan pada meraka satu pertanyaan, ‘Coba deh kasih tau aku, what is your life hack”, dan mari dengar jawaban mereka. Saat saya mencoba ini kepada beberapa teman-teman dan saudara, mayoritas dari mereka menjawab dengan menggunakan kata jangan.

Mantan teman kerja saya, seorang lelaki, dia berkata Jangan pernah ngelakuin friend with benefit habis putus. Intinya jangan pernah nyari rebound deh. Bukannya ngobatin, malah bikin runyam”. Yang lain pernah berkata “Kalau masih muda, jangan dulu lah ngejar gaji gede, yang penting bosnya enak, mau mentoring dan bagi ilmunya, trus job desk kerjaanya kamu banget. Uang gede ntaran lah…”. Atau kalau kata tante saya yang dulunya terkenal super engga bisa diatur berkata, Jangan ngelawan orang tua”.

Seakan-akan dengan kata ‘jangan’ yang mereka gunakan, meraka ingin memberikan sebuah batasan bahwa hal-hal tersebut bukan hal yang baik untuk dilakukan. Tapi apakah sebagai manusia, lantas kita akan menurut begitu saja? Padahal, semua life hacks yang mereka katakan itu sama maknanya dengan nasihat kehidupan dari jaman dulu, hanya beda redaksinya saja. Ini membuktikan apa? Kalau pada dasarnya, mungkin memang kitanya saja yang kalau belum kena getahnya, belum mau dibatasi?

Hidup memang cukup membosankan dengan adanya pembatasan, terlebih bagi mereka yang pada dasarnya percaya pada prinsip-prinsip hidup tertentu. Tapi pengalaman mengajarkan pada saya, bahwa justru dengan adanya pembatasan, hidup saya menjadi lebih mudah untuk dijalani. Mengutip apa yang selalu teman saya lakukan saat memesan makanan di restoran, dia akan selalu bertanya pada pramusajinya, ‘apa yang habis atau lagi engga ada di menunya mbak/mas?’. Saat saya tanya alasannya, dia menjawab, ‘ya ketimbang aku harus mendengar jawabaan ‘oh yang itu lagi kosong mbak…’, kan buang-buang tenaga, mending fokus sama makanan dan minuman yang tersedia aja’.

Sebenarnya, tidak semua pembatasan itu mengekang, dan tidak semua hal yang membebaskan itu memerdekakan. Sering kejadian, justru kekacauan terjadi saat semua hal dibebaskan, dan keteraturan terjadi saat pembatasan dilakukan. Itu juga yang kita rasakan saat menunggu lampu merah, bukan? Apa jadinya jika pada sebuah perempatan, lalu semua pengguna jalan bebas jalan ke semua arah tanpa mengikuti lampu lalu lintas?

Di sebuah malam, saya pernah melakukan reuni kecil-kecilan dengan beberapa teman kuliah. Saat sudah semakin malam, kami berempat beralih dari topik soal kerjaan ke topik asmara. Topiknya waktu itu adalah bagaimana caranya kita tahu bahwa dari milyaran manusia, seseorang itu adalah jodoh kita. Klise, bukan? Saya bilang begini, “katanya orang-orang sih… you know, when you know. When you know, you know”. Perkataan saya langsung dibantai oleh seorang teman saya, dia bilang, “itu abstrak banget, harus ada indikator konkritnya. Kalau aku, aku akan nentuin dulu deal breakernya, misalnya nih, aku engga suka sama perempuan yang bau ketek. Kalau setiap hari dia bau ketek, ya itu udah deal breaker buatku. Berarti bukan dia”. Saya jawab lagi, “Tapi kalau kamunya nyaman? Hayo?”. Dan dia menjawab, “aku ga nyaman. Makanya itu deal breaker”. “Trus kalau dia bisa jadi perempuan yang wangi?”, tanya saya lagi. “Ya aku bisa sama dia”.

Pada akhirnya, kita harus menentukan dulu apa yang kita cari, sebelum menentukan filter atau deal breakernya, atau sebelum kita dibuat kebingungan dengan semua pilihan hidup. Jika kita sudah tau apa yang kita cari, kita sebenarnya bisa mengatur hidup yang kita mau. Anggaplah tujuan kita adalah ‘ingin hidup sehat’, maka pastilah pilihan kita menjadi terbatas pada mengkonsumsi makan-makanan sehat, rutin olahraga, atau lainnya. Atau kalau tujuan kita adalah ‘memilik hati tenang’, mungkin pilihannya menjadi terbatas pada jangan punya hutang kartu kredit, atau jangan jadi pelakor. Akan runyam perkaranya jika kita mencoba makan makanan berlemak setiap harinya tapi berharap sehat tanpa kolestrol atau asam uart. Atau bagaimana bisa bertemu tujuan memiliki hati yang tenang jika kita selalu hidup selalu dengan kepura-puraan? Akan tetapi, kalaupun kita sudah menetapkan tujuan dan hidup pada akhirnya memberikan kita banyak batasan, pertanyaannya yang harus dijawab adalah: akankah kita menurutinya?

Saya pribadi melihat bahwa hidup itu sendiri sudah memiliki keterbatasan, begitupun saat kita hadir di dunia, kita hadir dengan pilihan yang terbatas. Dengan waktu yang juga terbatas, kematian bisa terjadi kapan saja, manusia sebenaranya tidak dibiarkan untuk mencoba semua pilihan dan menderita karenanya. Untuk itulah kita lahir dengan akal dan perasaan untuk dapat menilai mana pilihan yang tepat dan mana yang tidak. Untuk belajar menerima bahwa pembatasan itu, dibuat untuk mempermudah hidup manusia. Dan tentunya agar waktu kita tidak terbuang percuma hanya untuk pindah dari satu kebingungan ke kebingungan lainnya.

Namun apalah daya, sesuai kodratnya, manusianya yang sering kali tidak mau tahu, atau tidak mau diberitahu, dan akhirnya mencoba menerabas batasan. Memang betul bahwa semua orang pasti akan belajar dari kesalahan yang diperbuatnya, dan itu bukan menjadi sesuatu yang sia-sia. Tapi jika pada dasarnya kita sendiri yang menolak dibatasi untuk sesuatu yang memang buruk untuk hidup kita, tidakkah itu namanya kita membuang waktu untuk menderita secara sia-sia?


Kita saat tidak mengerti apa-apa

 “Lihat segalanya lebih dekat dan ku bisa menilai lebih bijaksana.
Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir, mengapa dunia berputar.
Lihat segalanya lebih dekat dan kau akan mengerti”
(Sherina - Lihat Lebih Dekat)


Beberapa minggu yang lalu, saya sempat melihat video menarik berjudul ‘How To Choose A Partner Wisely’ dari channel youtube ‘The School of Life’. Awalnya saya berpikir bahwa video itu hanya akan menjelaskan tips-tips mencari pasangan hidup melalui teori-teori psikologi pada umumnya, ya katakanlah seperti bagaimana kita harus menyesuaikan karakter kita dengan pasangan atau hal-hal semacam itu. Namun rupanya, video itu menjelaskan keterkaitan antara masa kecil dan remaja kita dengan preferensi kita setelah menjadi orang dewasa dalam mencari pasangan hidup dan menjalin hubungan. Secara singkat, video itu memberikan saran agar kita mau untuk duduk sejenak, mengingat masa lalu kita saat masih kecil, lalu menuliskan hal-hal apa saja yang kita anggap sebagai kasih sayang, siapa yang kita anggap sebagai pribadi yang menyenangkan, hingga hal-hal apa saja yang mengecawakan bagi kita.

Dalam bagian akhirnya, si narator berkata “Examining our personal histories, we learn that we can't just be attracted to anyone. Ultimately, we stand to be liberated to love different people to our initial types. When we find the qualities we like and the ones, we very much fear can be found in different constellations from those we encountered in the people who first thought us about affection. Long ago, in a childhood, we should strive to understand and in many ways free ourselves from


Bertepatan dengan itu, di hari minggu yang lalu, teman baik saya, datang ke saya dan bercerita.

“Aku barusan ngabisin waktu satu jam buat telfonan sama mama dan adekku, tahu ga tadi mamaku bilang apa? Dia bilang, mungkin alasan kenapa sampe sekarang aku belum ketemu sama jodohku, itu karena aku masih marah sama papahku soal kejadian waktu dia selingkuh, waktu aku masih SMP”

“Hah?” Kata saya bingung

“Iya, katanya mamaku, bisa aja karena aku masih belum maafin papahku, aku sekarang susah ketemu jodohku. Aku kan bingung ya, makanya aku tanya ke mama, ‘lah yang harus minta maaf itu aku atau papah si ma?’. Kata mamaku ‘ya kamu lah’. Trus aku jawab ‘aku udah maafin sejak lama, aku malah udah lupa kejadiannya’. Coba deh, aneh banget kan si mama? Kamu kan liat sendiri, aku sama papaku baik-baik aja. Ya kan?”

Saya menggangguk tanda setuju.

Ya emang sih… aku tuh lebih deket sama mamaku, tapi aku juga masih sering kok diskusi sama papa, apalagi untuk urusan-urusan yang ada hubungannya sama masa depan.”

“Tapi kamu sendiri gimana? Sejujurnya udah maafin papahmu?” Tanya saya menyelidiki.

“Udah kok… ya biasa aja sekarang, aku anggap sebagai kejadian di masa lalu. Bukan jadi beban gitu loh” Katanya dengan nada tenang, lalu melanjutkan dengan berkata, “Tapi kalau itu yang mamaku mau, ya gapapa aku jabanin. Pas pulang ke rumah, aku nanti minta maaf sama papa”

Lalu kamipun berdiskusi tentang perselingkuhan yang sempat mewarnai kehidupan remaja teman saya itu, dan bagaimana dia dan mamanya menghadapi kejadian itu.

Setelah selesai, saya terdiam dan berkata padanya, “Aku sekarang bisa lebih ngerti sih, kenapa kamu suka sama lelaki-lelaki yang terlalu rasional dan logis, dan kamu sendiri juga engga suka berada di hubungan yang terlalu menye-menye. Dan kamu punya banyak standar dan kesannya heartless banget sama lelaki. Ya gimana engga, kamu di usia sebelia itu, harus jadi yang paling kuat, ngurusin adek-adekmu, ngurusin mamamu, dan tetap harus hormat sama papamu. Di saat yang bersamaan, kamu juga harus tetap menjaga mimpimu masuk ke SMA favorit. Kamu harus jadi yang paling logis dan rasional saat itu, supaya tetep ada orang yang waras. Kamu udah jalanin peran pemimpin kayak gitu di usia yang semuda itu… ya pantes aja kalau kamu selalu tertarik sama lelaki yang bisa diandalin, yang engga banyak rayuan gombal, dan kamu sendiri juga tumbuh jadi anak yang practical banget. Mungkin masa kecilmu itu kebawa sampe sekarang, yang ngebentuk kamu sekarang ini” Kata saya panjang lebar mencoba menjadi analis gadungan.

Obrolan menarik dengan teman saya itu lantas membuat saya sendiri ikut merenung dan berbalik ke belakang, mengintip masa-masa kecil dan remaja saya. Saya mencoba mengingat perlakukan apa yang saya alami, cinta pertama seperti apa yang saya rasakan, hingga siapa yang berperan paling besar dalam pertumbuhan emosi saya.

Saya mencoba membuat garis merah dari kehidupan masa kecil dan remaja yang saya alami dengan hubungan percintaan saya. Dan hasilnya, cukup membuat saya akhirnya menyadari beberapa hal.

Saya baru tersadar, bahwa lelaki-lelaki yang saya ijinkan masuk dalam hidup saya, terlepas dari apakah kami punya status hubungan atau tidak, adalah mereka yang mengejar saya hingga titik darah penghabisan dan yang telah mencoba 1001 cara supaya mereka bisa dekat dengan saya. Dulu, seorang teman bahkan pernah memarahi saya karena saya hobi membuat perasaan lelaki seperti bermain layang-layang. Kalau sudah jauh ditarik, kalau terlalu dekat diulur, kalau sudah bosan diputus sepihak. Baru sekarang semua itu terasa masuk akal dan saya merasa itu memang ada hubungnnya dengan kehidupan di masa kecil dan remaja saya.

Waktu kecil, saya mengalami banyak peristiwa yang membuat saya merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan oleh siapa-siapa. Dan karena tidak ada yang memberikan penjelasan pada saya apa yang sedang terjadi saat itu, maka kejadian itu terekam dalam pikiran saya dan sedikit banyak terbawa hingga dewasa. Jadilah kini saya sulit sekali berada di suatu hubungan. Saya bisa dekat dengan banyak lelaki, tapi tidak sampai punya hubungan kuat. Ada bagian dalam diri saya yang berkata bahwa saya harus melihat dia berdarah-darah dulu agar saya yakin, dan kalau dia pergi saat saya belum merasa yakin (dan ini sering kejadian), saya tidak akan mencari dia atau melunakan sikap saya.

Teman-teman sayapun merasa bahwa saya mempunyai standar dan kriteria yang terlalu tinggi, padahal sebenarnya, saya hanya ingin merasakan sebuah perasaan di mana saya merasa bahwa saya ini diingkan. Bahkan dalam hubungan asmara saya yang terakhir, tiap kali tugas lapangan, saya akan memberikan jadwal keluar lapangan dan memintanya untuk menelfon saya tepat waktu. Mungkin itu ada kaitannya dengan betapa inginnya saya merasakan perasaan bahwa saya dicari, bahwa saya ini ada. Parasaan masa kecil dimana saya merasa diabaikan dan ditinggalkan, mungkin menjadi sebuah indikator bagi saya dalam menentukan keseriusan seorang lelaki.

Tapi sebenarnya hal ini tidak adil bagi saya. Karena bisa jadi, saya melewatkan kesempatan bersama dengan lelaki-lelaki baik hati, hanya karena di mata saya seseorang itu belum berusaha sekuat tenaga untuk menunjukan keseriusannya. Padahal mungkin saja, mereka itu, ya sudah berusaha sedemikian keras menurut versi mereka. Hmmm…

Tidak hanya berkaitan dengan percintaan saja sepertinya, saya yakin masa-masa kecil dan remaja juga berdampak pada aspek lainnya di kehidupan orang dewasa.

Baru-baru ini salah satu teman kos tercinta saya menonton drama korea berjudul, New Castle. Katanya, itu adalah drama korea yang menceritakan obsesi keluarga untuk mendidik anak-anak mereka agar meneruskan reputasi orang tuanya yang sudah mahsyur. Salah satu tokohnya, akhirnya tumbuh menjadi seorang anak yang angkuh bukan main, merasa bahwa dia berasal dari gen keluarga yang berkualitas.

Maka di malam senin sambil menikmati keong rebus dan makaroni panggang, kami bertiga di kos, membahas drama korea itu dan mengaitkan dengan perlakukan orang tua kami saat kami masih SD. Dan kasus yang kami angkat adalah momen kenaikan kelas.

Saat Wahyuni menceritakan kisahnya, barulah saya paham kenapa dia bisa tumbuh jadi anak periang dan pekerja keras di saat yang bersamaan, katanya, “Waktu aku SD, aku kan mau ya kalau namaku dipanggil di aula karena masuk 3 besar. Tapi aku ngerasa aku ga bisa dapet rangking 3 besar. Aku bilang ke bapakku, yang intintinya aku takut kalau nanti bikin dia malu pas rapotan. Trus bapakku ngomong, ‘kamu lulus aja, udah bikin bapak seneng kok’. Trus pas bagi rapot, kan siswa-siswanya engga boleh masuk ya, cuma boleh ngintip di jendela aja. Pas bapakku masuk, aku ngintip tuh, dari luar aku liat bapakku ngacungin jempolnya, dan itu udah cukup bikin aku lega. Abis bapakku ngasih jempolnya, aku bisa main sama teman-temenku”. Saya dan Ica yang mendengar cerita itu hanya serempak memberikan suara terharu ‘aaa…..’

Sebuah artikel menarik dari TIME berjudul ‘They Were Orphaned by the Rwandan Genocide. 25 Years Later, They’re Interviewing the Perpetrators’ menceritakan seorang fotografer, David Jiranek, yang membuat sebuah workshop bernama Through the Eyes of Children. Workshop itu dibuat agar anak-anak yang selamat dari genosida dapat bercerita tentang perasaannya. Saat karya itu di pamerkan di keduataan besar Rwanda di Kigali, di kantor pusat United Nations di New York, serta di semua museum Holocaust di seluruh dunia, Joanne McKinney, project director Through the Eyes of Children berkata, “When you give a child a chance to tell their story from their perspective, it tells them they matter, and that their story matters,”.

Namun tentu saja, apa yang sudah terjadi di masa-masa kecil dan remaja kita, tidak akan bisa diubah lagi. Dan jadilah kita, sebagai produk masa kecil. Dan sayangnya juga, tidak akan ada organisasi kemanusiaan yang bersedia meluangkan waktunya untuk satu persatu mendatangi seluruh manusia dewasa dan membuat mereka semua mau berdamai dengan masa kecil mereka, terutama jika masa-masa itu memberikan beban yang besar bagi kehidupan dewasanya. Kita sendiri adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk membereskan semua masa kecil kita, dan berdamai dengan itu semua.

Hidup adalah proses pajang yang akan selalu berjalan. Sebagai manusia dewasa, kita tidak bisa menjadikan masa kecil kita sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kita, atau menghalangi kita memiliki kebahagiaan yang sebenarnya. Jadi walaupun masa-masa itu tidak bisa diulang, tapi kita bisa memperbaikinya sekarang. Jika di masa kecil kita tidak punya banyak pilihan, hari ini kita bisa memilih untuk menjadi manusia dewasa seperti yang kita inginkan.

Saya jadi teringat adegan Robin Williams dan Matt Damon di film Good Will Hunting (1997) pada saat akhirnya Robin menyadari bahwa masa kecil Matt dipenuhi dengan kekerasan fisik. Robbin hanya berkata, ‘it is not your fault’ sebanyak lebih dari 5 kali hingga Matt memahami bahwa apa yang terjadi di masa kecilnya, bukan salahnya. Saya setuju dengan Robin, tidak boleh ada penghakiman untuk masa lalu. We learn and we grow.

Maka kembali lagi pada korelasi hubungan percintaan dengan masa kecil kita. Jika pada akhirnya kita memilih untuk bersama dengan seseorang yang entah mengapa membuat kita merasa utuh, sedang diri kita tidak mengetahui secara pasti apa alasannya, mengutip istilah dari Ica, katakan pada diri kita sendiri dan mereka yang bertanya, ‘soalnya dia itu my childhood’.

Dan semoga kita bisa bersama dengan seseorang yang membuat kita bersedia untuk pelan-pelan membawanya ke masa-masa kecil dan remaja kita, mengenalkannya pada semua emosi-emosi pertama yang kita rasakan sebagai manusia, dan berkata padanya, “Banyak hal dari aku yang masih eror, dan aku masih berjuang buat menerima hidupku apa adanya. Biar kamu paham, bahwa aku yang hari ini, terbentuk dari aku yang kemaren. Tapi dalam proses aku tumbuh dan berkembang sebagai manusia, aku sedang belajar untuk mencintai hal baru, mencintai kita”


© RIWAYAT
Maira Gall