Jumat, 31 Mei 2019

Kita Sebagai Baut-Baut Kehidupan


Sebelum lulus kuliah, saya sempat bekerja di salah satu agensi iklan sebagai strategic account executive. Bagi saya yang memang merupakan mahasiswa komunikasi pada saat itu, bergabungnya saya dengan salah satu agensi iklan yang saat itu menjadi salah satu yang terbaik, adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Saya juga merasa bahwa kesempatan bisa bekerja di sektor periklanan merupakan salah satu pencapaian yang penting dalam hidup saya, terlebih karena memang dari awal masuk kuliah, hal itulah yang saya idam-idamkan. Saat itu saya berpikir bahwa saya akan memiliki kehidupan karir yang cemerlang, yang akan melejit dan membanggakan. Belum lagi pada saat itu saya berpikir betapa beruntungnya saya karena sudah bisa mulai bekerja di tempat yang baik, sementara teman-teman sepantaran saya, kebanyakan bahkan masih bingung mau melakukan apa setelah lulus. Jiwa kompetisi saya seakan berkata, “Bagus Alifah, kamu memang selalu selangkah lebih maju”.

Jiwa muda yang penuh dengan ambisi dan kesoktahuan memang.

Namun ternyata, kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Memang betul saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan juga sesuai dengan rencana yang sudah saya rakit sejak awal masa perkuliahan. Memang betul bahwa saya selangkah lebih maju dibanding kebanyakan teman-teman saya, yang lulus saja belum. Tapi senyatanya, bergabung di agensi iklan tersebut justru malah membuat saya seperti menjalani kehidupan yang tidak dirancang untuk saya. Alhasil, alih-alih mendapatkan kehidupan yang menyenangkan dimana karir gemilang siap dimulai, pengalaman itu justru menjelma menjadi salah satu titik terendah dalam kehidupan saya di awal usia 20 tahunan. Jika harus kembali mengingat bagaimana saya pernah berada di titik itu, saya akan selalu ingat bagaimana saya merasa kerdil karena terhempas dari mimpi-mimpi yang sudah saya rakit sejak lama.

Saya merasa hilang arah saat itu.

Di tengah-tengah kebingungan saya dalam menentukan arah tujuan setelah lulus kuliah, salah satu teman kuliah saya, panggilan akrabnya Bunda, dia bertanya pada saya bagaimana pengalaman bekerja di agensi iklan. Maka tanpa babibu dan basa-basi, saya dengan fasih menceritakan bagaimana tidak sesuainya saya dengan pekerjaan di agensi, lengkap dengan semua keluh kesah dan duka nestapanya. Bunda yang mendengarkan saat itu tidak banyak komentar, hanya menganggung-angguk saja.

Hidupun akhirnya memberikan saya angin baru. Saya mengistilahkan sebagai putar haluan kapal kehidupan. Setelah setahun kebingungan mau membawa hidup ke mana, sebuah saran yang berharga dari Mas Aji dan Mbak Nina, pasangan suami istri kesayangan saya, membawa saya berkenalan dengan sektor pembangunan sosial. Awal mula saya menapaki kaki di sektor ini, saya sendiri kebingungan bukan main. Kata saya waktu itu, “Ini sebenernya apaan sih, kerjaan kok random begini?”. Saya sendiri awalnya tidak segitu inginnya untuk menekuni sektor ini. Awalnya saya berfikir karena sektor ini tidak begitu sesuai dengan apa yang saya pelajari di kuliah, mungkin juga karena saya masih asing dengan tipe pekerjaannya, atau mungkin juga karena mimpi menjadi seorang strategic planner di salah satu agensi multinasional di Jakarta masih menggebu-gebu saat itu. Tapi semua asumsi itu kandas karena justru hingga sekarang, saya masih betah-betah saja bekerja sektor ini.

Lagi, saya dibuat tidak paham dengan alur kehidupan.

Kurang lebih 5 tahun berlalu sejak semua kebingungan di awal usia 20 tahunan, beberapa waktu yang lalu, setelah cukup lama tidak berjumpa, saya dan Bunda janjian untuk bertemu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Saya mengajaknya bertemu karena dia melakukan lompatan signifikan dalam hidupnya dengan berhenti bekerja dan memilih untuk sementara waktu menjadi ibu rumah tangga. Maka bertemulah kami, di bulan puasa, di salah satu kafe. Seperti biasa, saya tidak banyak bercerita, hanya sedikit memberitahukannya intisari dari apa yang sedang saya kerjakan sekarang. Sedangkan dia, dia bercerita panjang lebar soal kehidupannya, baik pilihannya untuk sementara ini menjadi ibu rumah tangga hingga hal-hal pribadi lainnya.

Siapa yang menyangka, Bunda yang 5 tahun lalu mendapatkan testimoni kurang menyenangkan dari saya yang bekerja di agensi iklan, kini malah memiliki rekam jejak pekerjaan di bidang periklanan yang membanggakan. Dia bahkan pernah nyaris akan menerima pekerjaan di Malaysia, yang akhirnya harus dia tolak karena dia akan menikah. Sedangkan saya, yang tadinya justru berpikir akan menggeluti bidang periklanan, malah putar haluan di sektor pembangunan sosial. Tiap kali bertemu dengan Bunda, saya selalu takjub dengan betapa berbedanya kami dalam menyikapi satu tipe pekerjaan yang sama. Saya bisa segitu kapoknya bekerja di sektor periklanan, sedangkan Bunda bisa sangat melejitnya. Kebalikannya, teman-teman yang saya ketahui dulunya berasal dari Jurusan Antropologi atau Sosiologi, yang seharunsya bekerja di tempat saya bekerja saat ini, malah kebanyakan menjadi content adviser atau social media officer di perusahaan-perusahaan startup.

Mungkin inilah yang dinamakan life will find the way.

Dulu saya sempat memiliki klasifikasi pekerjaan yang bagi saya menarik dan yang tidak menarik, saya bahkan memiliki kategori pilihan hidup yang tepat atau tidak tepat berdasarkan definisi yang saya buat sendiri. Misalnya, saya tidak habis pikir kenapa di usia yang sangat muda, seseorang bisa memutuskan untuk menjadi PNS yang notabene pekerjaan jangka panjang, kenapa dia tidak menikmati hidup dia dulu? Atau kenapa seseorang bisa putar haluan menjadi pebisinis saat jabatannya di kantor sedang bagus-bagusnya? Kenapa seseorang memilih untuk tinggal di desa saja dan kenapa tidak pindah ke kota yang lebih banyak kesempatan? Tanpa saya sadari klasifikasi itu justru malah membuat saya melakukan penilaian subjektif atas pilihan-pilihan hidup seseorang. Butuh waktu yang cukup lama, hingga akhirnya saya sadar bahwa setiap manusia pada dasarnya hanya akan menjalani kehidupan yang memang sudah dirancang untuk dirinya sendiri. Dimana jalur kehidupan setiap orang akan sangat berbeda satu sama lainnya. Sayapun kini meyakini bahwa pilihan hidup apapun yang dipilih oleh setiap orang dalam hal menentukan tipe pekerjaan yang dia mau, menjadi jawaban akan peran yang sedang dia jalankan.

Jika kehidupan bisa saya ibaratkan, mungkin saya akan mengibaratkan hidup seperti halnya sebuah jam dinding rakasasa dengan semua komponen di dalamnya, mulai dari jarum menit, jarum detik, jam jam, angka-angka penunjuk, baterai, mesin penggerak, rangka, hingga background pemanisnya. Dengan memahami bahwa setiap dari komponen jam tersebut memiliki fungsinya masing-masing, seharusnya tidak ada yang pada akhirnya mengatakan bahwa jarum jam lebih penting dari baterai. Apa pentingnya juga mengukur siapa yang lebih berjasa dari siapa, toh pada akhirnya kita akan bertanya ‘jam berapa sih ini?’ dan melihat jam sebagai sebuah komponen utuh.

Sama juga. Seseorang yang memilih tinggal di desa atas dasar pertimbangan yang matang, artinya dia sedang menjalani porsi denyut kehidupan yang harus dijalankan dari desa. Seseorang yang pada akhirnya harus pindah ke kota, artinya dia sedang menjalani perannya di kota yang memang harus dijalani. Harus ada yang menjadi PNS dan dengan suka hati menjalaninya, dan harus ada yang menjual gorengan dan juga merasa itu sebagai pilihan hidupnya.

Seorang mantan teman siaran saya yang kini bermukim di Bali, memiliki pandangan hidup bahwa jika setiap dari kita pada akhirnya mengetahui dimana dia harus bertindak dalam alam semesta yang sebesar ini, maka seharunya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan berlebihan. Saya sepaham dengan apa yang dia pikirkan, maka itulah saya merasa bahwa hidup akan selalu menjani perannya dengan melakukan plot twist yanga akan mengejutkan kita. Tiba-tiba saja kita disuruh ke kanan atau kiri, ke depan atau ke belakang, yang pada akhirnya mengantarkan kita pada peran kita masing-masing di jam besar bernama kehidupan.

Sebagai manusia, kita butuh untuk bisa berlapang dada dan juga bersedia untuk bersabar agar bisa memahami di mana seharusnya kita berada. Dan jika sudah menemukan, maka jangan lagi mencoba untuk menjalani peran orang lain, jalani saja peran kita sebaik mungkin jika ingin membantu kehidupan ini tetap berjalan secara manis.

Ini memang tidak seliterlek jam dinding yang saya ibaratkan, tapi ini cukup untuk menggambarkan bagaimana setiap orang, jika fokus mencari perannya masing-masing, akan memandang hidup seperti sebuah kesatuan yang utuh. Tidak ada peran yang sangat menonjol dibanding yang lain, tidak ada pilihan hidup yang lebih superior dibanding yang lain, semuanya sesuai dengan posrsinya dalam memutar kehidupan.

Di akhir pertemuan saya dengan Bunda, kami akhirnya mendiskusikan tentang pekerjaan di bidang komunikasi yang sekarang sedang naik daun karena banyaknya perusahaan startup, serta jika harus dibandingkan dengan tipe pekerjaan yang sedang saya geluti saat ini, maka seperti apa bandingannya. Namun seperti yang Bunda katakan, “Kerjaan itu engga dirancang untuk semua orang”, maka kamipun mengamini bahwa semua orang memiliki jalan kehidupannya masing-masing dan akan sangat membingungkan jika kita harus membandingkan peran kita dengan orang lain melalui kacamata materialistis.

Tidak apple to apple istilahnya.

Kehidupan memang berjalan dengan harmoni yang cantik seperti halnya jam dinding yang berputar. Kita dan peran yang kita jalani adalah bagian dari komponen kehidupan itu sendiri. Ada baiknya jika kita menerima plot twist kehidupan ini dengan semua syukur yang kita punya, dan menjalaninya sebaik-baiknya. Toh ini juga tidak akan lama, cepat atau lambat peran yang kita jalani ini akan tergantikan oleh orang lain. Di waktunya nanti, kita harus siap untuk menuju pada satu-satunya pemberi peran dalam hidup kita, dan akhirnya menyadari bahwa peran-peran kecil yang kita jalani selama ini tidak akan lebih besar dari peran yang sesungguhnya melekat pada diri kita: yaitu sebuah ciptaan.



Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall