Selasa, 21 Mei 2019

Bukan Kanan, Bukan Kiri, Tidak Depan, Tidak Belakang. Ya terus?

 “Redam badai, lakukan dengan tenang”
(Jikustik)

Salah satu hal yang saya pelajari dari perjalanan umroh yang sempat saya lakukan beberapa waktu yang lalu adalah, betapa manusia diajarkan untuk dapat tegar menghadapi ketidakpastian hidup. Saya merenungi hal ini ketika melakukan Sa’i, yaitu berjalan kaki 7 kali bolak balik dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah yang setara dengan 3,5 kilo. Sa’i sendiri bisa dikatakan seperti napak tilas perjalanan seorang perempuan bernama Siti Hajar yang ditinggal sendiri dengan bayi mungilnya, Ismail, tanpa petunjuk apapun ribuan tahun yang lalu.

Saya sendiri mencoba membayangkan bagaimana jika saya menjadi seorang Siti Hajar, berada di gurun pasir, sendirian, ditemani dengan seorang bayi mungil yang menangis karena kehausan. Saya mencoba membayangkan betapa clueless nya Siti Hajar saat itu. Detik demi detik yang dia habiskan dalam proses mencari air, dilakukan tanpa kepastian. Mungkin pada saat itu yang dia bayangkan adalah dia harus berjalan kaki seharian demi mencari air, atau mungkin dia membayangkan bahwa bayi mungilnya akan meninggal dunia karena dia gagal mendapatkan air. Dalam ketidakpastian itu, tidak ada yang memberitahukannya bahwa sebenarnya dia hanya cukup berjalan 3,5 kilo bolak-balik di bawah sengatan matahari dan di padang pasir yang gersang. Serta tidak ada yang memberikannya petunjuk bahwa ternyata, air yang dia cari justru keluar tidak jauh dari tempat Ismail di letakkan. Mungkin jika Siti Hajar tidak memiliki sopan santun, dia akan mengadahkan kepalanya ke langit, dan berkata, ‘Ya Rabb, jauh-jauh jalan, ujung-ujungnya cuma di sini airnya?’.

Siti Hajar dan usahanya naik turun bukit sebanyak 7 kali demi mencari air, menyadarkan saya bahwa dalam kondisi terbingung manusia saat berada dalam ketidakpastian hidupnyapun, usaha yang dilakukan manusia sering kali meleset dengan hasil yang dia terima.

Tahun 2018, saya sempat bekerja di salah satu institusi pemerintah, dan salah satu teman kerja saya pada saat itu sedang dalam usaha untuk menemukan tempat kerjaan lain, yang menurut dia lebih stabil. Dia pun mencoba berbagai macam lowongan, mulai dari CPNS, BUMN, Seleksi Bank Indonesia, dan banyak hal. Saat proses mencoba mencari peruntungannya, saya kerap melihat dia uring-uringan. Sedikit-sedikit mengecek website untuk mencari tahu apakah dia lolos tahap selanjutnya atau tidak. Bahkan kalau sedang hari pengumuman, dia tidak bisa bekerja dengan fokus, yang dia lakukan hanyalah menghela nafas berkali-kali dan menjadi sangat berisik. Di hari pengumuman, dia selalu berkata ‘Duh buruan pengumuman dong, biar gue tenang nih’. Hidup dalam ketidakpastian ternyata mampu membuat dia lunglai seharian.

Hal yang sama juga dialami oleh junior saya di radio, yang curhat panjang lebar tentang ketidakpastian hidup setelah lulus kuliah. Dia merasa bahwa bekerja di bank bukan hal yang dia inginkan, tapi jika dia memutuskan untuk keluar, dia juga bingung harus menghidupi diri dengan seperti apa. Tipikal masalah fresh graduate memang. Dia merasa resah menatap masa depannya yang sangat kabur. Maka sayapun membalas kegalauan hatinya dengan bercerita bahwa sayapun pernah mengalami kegalauan yang persis seperti yang dia hadapi saat baru lulus kuliah. Saat itu juga saya merasa hidup ke depan menjadi sangat berkabut. Tidak tahu apakah di depan sana ada jurang atau jalan searah, bahkan lebih dari itu, saya tidak tahu harus berjalan ke kanan atau ke kiri. Saya katakan dengan cukup diplomatis bahwa pada akhirnya, waktu akan menjawab semua keresahan itu, dan sambil menunggu itu semua, yang bisa dia lakukan adalah mencoba berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan hidup yang dia inginkan.

Tapi hidup memang tidak pernah menjadi pasti, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah itu semua.

Dalam pengalaman saya mengalami puluhan kali ketidakpastian hidup, saya merasa bahwa yang pada akhirnya yang membuat menderita adalah karena tidak adanya kepastian kapan ini semua akan berkahir. Dengan kata lain, menunggu sebuah kepastian dalam proses ini, sungguh luar biasa menantang. Jangankan ketidakpastian dalam skala besar, menunggu kepastian apakah bapak atau ibu gojeg akan menjemput saya atau tidak saja, bisa menjadi waktu yang meresahkan. Sehingga saya menyadari bahwa bukan ketidakpastiannya yang menyakitkan, atau menyulitkan untuk dilalui, tapi waktu yang berjalan di tengah-tengah ketidakpastian itulah yang sangat meresahkan.

Jikalau Siti Hajar diberitahu bahwa dia hanya akan mendaki bukit sebanyak 7 kali, dan pada akhirnya mata air yang dia cari ada di dekat anaknya, mungkin dia tidak akan merasa kelelahan dan seketakutan itu. Mantan teman kantor saya itu misalnya, yang saat ini dia sudah diterima di salah satu BUMN. Jika pada akhirnya dia diberitahu bahwa dia hanya akan melewati proses panjang itu selama 3 bulan saja, mungkin dia akan berkata ‘oh 3 bulan, bentar lah…’. Saya yakin dia pasti tidak akan sedemikian resah gelisah dan bersikap menyebalkan selama 3 bulan dalam menghadapi proses mencari kerja baru. Atau jika saya diberitahu dari awal bahwa hanya berselang satu tahun saja setelah saya lulus, saya akan mendapatkan pekerjaan yang menarik, pasti saya akan menjalani setahun dengan banyak tertawa dan bersenda gurau, tidak perlu segitunya bercemas.

Mungkin sebagai manusia, kita merasa bahwa akan lebih memudahkan jika kita diberitahu sedikit bocoran tentang waktu, atau tentang jawaban yang kita tunggu dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Tapi mungking, jika itu dilakukan, kita tidak akan pernah belajar mengenai satu nilai penting dalam kehidupan. Kita tidak akan belajar bahwa ketidakpastian sengaja dihadirkan sebagai pengingat, bahwa sebagai manusia, kita punya keterbatasan untuk mengkontrol banyak hal, termasuk mengkontrol hidup kita sendiri.

Semua orang berjuang dalam ketidakpastian, bertahan dalam kebingungan, dan mencoba sekuat tenaga untuk tetap berjalan walau jalan di depan mata terlihat sangat remang-remang. Namun kabar baiknya adalah, pada waktunya, itu akan menjadi jelas dan terang.

Siapapun yang pernah berada dalam ketidakpastian pasti tahu bagaimana cemasnya menjalani hidup di setiap detiknya. Mereka yang menganggur misalnya, pasti akan sangat cemas memikirkan apakah dia bisa membiayai hidupnya esok hari atau tidak tanpa memiliki pekerjaan. Mereka yang mencoba program bayi tabung, berharap-harap cemas apakah program ini akan menjadikan mereka memiliki keturunan atau tidak. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang bisa dilakukan manusia selain sekuat tenaga berjalan ke depan, mencoba melalukan seribu satu usaha, dan berharap esok hari sedikit kepastian akan terbuka.

Ketidakpastian menjadi sebuah sistem di alam ini untuk mengajarkan manusia agar mau memahami, bahwa pada dasarnya, terbuka atau tidaknya sebuah jalan, bukan bagian dari intervensi manusia itu sendiri. Setidaknya, inilah cara termudah agar manusia mau merendah dan mengakui keterbatasannya.

Lantas jika hidup kita yakini sebagai sebuah proses panjang, di mana kita akan berjalan dari satu ketidakpastian menuju ketidakpastian lainnya, lalu bagaimana cara terbaik agar manusia dapat bertahan?

Di akhir tahun 2018, saya dan beberapa teman merencanakan untuk pergi berlibur. Mengingat bahwa kami berempat tidak memiliki waktu yang panjang, maka diputuskanlah bahwa kami akan melakukan glamping (berkemah tapi fancy) saja di Ciwidey, yang murah dan dekat. Mengantisipasi ramainya orang yang akan datang ke Ciwidey untuk Glamping dan harga yang melonjak karena peak season, maka kamipun melalukan pemesanan tenda 2 bulan sebelum berlibur. Alasan sederhana, biar ada kepastian sehingga liburan tetap jadi dilakukan. Selama 2 bulan menunggu waktu liburan, rasanya beban ‘mau berlibur di mana’ sudah terjawab, PR selanjutnya kala itu hanyalah mengurusi hal-hal teknis seperti itenari perjalanan dan mau pake baju apa.

Sudah menjadi tabiatnya bahwa manusia akan senantiasa mencari kepastian-kepastian kecil yang akan membuat hidupnya sedikit lebih tenang. Bukankah itu alasan kita melakukan reservasi beberapa jam sebelumnya untuk bisa makan di sebuah restoran saat jam makan siang? Atau membayar uang DP sebagai jaminan memiliki properti pilihan kita? Atau bertanya berulang kali pada anggota group WhatsApp, siapa yang bisa hadir dalam acara buka bersama? Karena kita butuh mendapatkan sedikit saja kepastian dalam mengarungi ketidakpastian hidup ini. Tidakkah ini menunjukan bahwa pada akhirnya manusia membutuhkan janji dalam menjalani ketidakpastian? Membutuhkan Penjamin bahwa dalam proses menunggunya, kita bisa tenang melewatinya?

Lalu jika tidak tidak mau berpegang pada hal-hal yang pasti, atau meyakini pada satu janji bahwa ini akan terlewati, lantas bagaimana cara manusia menjalani detik demi detik proses dalam ketidakpastian dengan waras?

Ataukah mungkin ada cara lain?


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall