Jumat, 27 Maret 2020

Saya Pikir Saya Ketinggalan, Ternyata Tidak. Tidak Sama Sekali!



Kalau ada satu kata yang paling mendekati untuk mewakili hidup saya selama tahun 2019, maka kata itu adalah penolakan! Hampir di semua aspek yang coba saya perjuangkan dalam hidup selama 2019, semuanya berakhir dengan penolakan. Saya akan coba ceritakan beberapanya.

Pertama adalah tentang beasiswa S2. Kalau bisa diibaratkan, perjuangan saya untuk mendapatkan beasiswa sudah seperti permainan roller coaster. Dari yang mengebu-gebu, pasrah, demotivasi, hingga kembali menggebu-gebu. Dari menulis motivation letter dengan penuh idealisme ingin mengubah dunia dan menjadikannya tempat yang lebih baik, hingga motivation letter yang pragmatis dan realistis. Dari yang sangat amat berharap, sampai ada di titik, yaudahlah-kita-coba-aja-berhasil-atau-engga-mah-bebas. Belum lagi tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk seleksinya (ada beberapa tipe beasiswa yang harus sejalan dengan pendaftaran kampus yang dituju), tes kemampuan bahasa inggrisnya, dan biaya prikitilan lainnya, yang kalau dikalkulasi sangat lumayan nominalnya. Kenapa perjuangan S2 ini akhirnya masuk dalam kategori penolakan? Karena IELTS saya kadaluarsa di Januari 2020. Jadi ketika di akhir 2019 tidak satupun aplikasi beasiswa yang dinyatakan lolos, maka apa yang sudah saya mulai sejak 2015 untuk sekolah master, harus saya mulai lagi dari awal, dari tes IELTS lagi!

Kedua adalah penolakan demi penolakan demi penolakan pada posisi-posisi pekerjaan yang saya idam-idamkan sejak lama. Tidak hanya satu, banyak! Pattern-nya bahkan hampir semuanya seragam. Saya apply, lalu ada e-mail yang menyatakan bahwa saya adalah kandidiat terpilih, saya diundang untuk wawancara dan setelah itu mereka akan memberikan penilaian yang baik. Bahkan ada yang sampai berkata bahwa saya adalah kandidat yang paling tepat untuk mengisi posisi itu, bukan kandidat lain. Tapi pada akhirnya semuanya berakhir sama, mereka tetiba menghilang dan ketika saya tanyakan kabar kepastian proses seleksinya, jawabannya mengambang. Ngeselin.

Dan penolakan-penolakan lainnya yang tidak bisa saya ceritakan satu per satu karena terlalu banyak dan cukup menguras emosi kalau harus diingat kembali.

Perlu saya tegaskan bahwa selama hidup saya, belum pernah saya mendapati penolakan sebanyak dan seintens tahun 2019. Sebelumnya, paling-paling saya mengalami beberapa kali kegagalan di satu hal di hidup saya saja, tapi di sisi kehidupan lainnya semuanya berjalan cukup baik. Tapi penolakan demi penolakan yang cukup intens terjadi tahun lalu itu, berbeda. Terjadi secara maraton dan mengantarkan saya pada titik demotivasi. Tahun lalu saya kehilangan semua gairah untuk bermimpi dan tidak memiliki keinginan untuk bisa bangkit berdiri lagi, bisa jadi karena saking banyaknya penolakan yang terjadi hampir di semua lini. Saya seperti di lockdown olehNya.

Pikiran yang paling mendominasi saya waktu itu adalah saya tertinggal dari semua target-target hidup yang saya rancang sendiri. Saya merasa bahwa saya membuang-buang waktu. Saya seperti berada bukan pada jalur yang seharusnya.

Barulah ketika awal tahun 2020, ketika saya sudah mempunyai aktivitas yang baru dan semua perlahan-lahan memiliki titik terang, saya mulai bisa melihat skenario besar dari semua penolakan tersebut. Bahwa ternyata, dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang manusia, semua penolakan di 2019 mengajarkan saya untuk diam. Benar-benar diam. Tidak terdistraksi oleh hal-hal lain.

Semua penolakan yang saya alami pada dasarnya menyiratkan dua hal. Pertama, saya mempunyai banyak hal yang saya perjuangankan dalam hidup. Artinya saya tetap berusaha hingga di titik di mana semua keputusan akhir itu berada di luar kemampuan saya. Kedua, ada sesuatu yang hanya bisa dipahami kalau saya benar-benar dalam kondisi diam dan tidak sibuk melakukan apapun.

Dengan semua penolakan yang gila-gilaan itu, menjadikan saya memiliki waktu untuk berdiam diri lebih banyak. Dan tanpa saya sadari, saya jadi punya banyak waktu untuk bertemu dengan banyak orang. 2019 mempertemukan saya dengan beberapa orang yang akhirnya membantu saya untuk menemukan diri saya sendiri. Saya cukup kaget bahwa tanpa diduga-duga, saya bisa memiliki teman-teman baru dan kami bisa berbicara banyak hal soal hidup. Mereka bahkan yang menjadi sebab saya bisa menyembuhkan diri. Tanpa saya duga juga, saya memiliki banyak percakapan kaya makna yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya.

Hal yang paling terasa dalam diam adalah ketika saya mau tidak mau harus banyak berhadapan dengan diri saya sendiri. Saya seperti dipaksa untuk benar-benar duduk dengan semua kekecewaan lama, luka lama dan trauma lama yang sebenarnya sudah saya kenali. Bedanya kali ini, saya diberikan waktu untuk menyembuhkan luka, trauma, dan kekecewaan itu. Saya tidak menyadari bahwa saya sedang diberikan kesempatan untuk sembuh dan melapangkan hati atas semua hal itu. Dalam diam, saya akhirnya belajar tentang bagaimana menciptakan boundaries, saya belajar apa itu mindfulness, saya akhirnya menyadari bahwa saya memiliki banyak definisi yang kurang tepat tentang hubungan yang sehat, konsep kepercayaan diri, dan juga konsep mencintai diri sendiri.

Harus saya akui bahwa benar-benar diam dan proses untuk duduk kembali dengan semua luka-luka itu berat, begitu juga belajar untuk bisa sembuh dan berdamai dengan diri sendiri. Itulah kenapa saya bilang bahwa ternyata ada hal yang tidak bisa dipelajari jika tidak dalam kondisi benar-benar diam. Dalam diam itu, justru yang saya rasakan adalah kesibukan luar biasa secara mental dan kejiwaan, dan pun sisa energi lainnya sudah saya habiskan untuk melakukan pekerjaan yang memang harus saya lakukan.

Di akhir 2019, saya sudah mulai terbiasa dengan kondisi diam ini. Tidak ada lagi dalam pikiran saya bahwa saya telah membuang-buang waktu atau apapun yang nadanya menyalahkan diri. Konsep membuang waktu adalah ketika saya tidak melakukan apapun, tapi kan ini tidak, saya demotivasi karena saya mengalami banyak penolakan, dan penolakan itu berarti saya telah mencoba melakukan banyak hal dalam hidup. Dan dalam diam ini, justru banyak hal dalam diri saya yang akhirnya pulih. Saya menjadi tersadar bahwa saya tidak bisa terdistraksi dengan banyak kesibukan jika saya ingin menyembuhkan apa yang ada di dalam diri saya.

Ketika saya sudah lebih terbiasa dengan kondisi diam dan mulai tenang, ketika itu juga semua hal yang saya inginkan datang tanpa saya melakukan usaha apapun. Di akhir 2019, sebuah international agency mengkontak saya untuk sebuah posisi yang cukup strategis. Sebuah posisi yang sebenarnya kalau dibaca dari ToR nya, saya bukan orang tepat karena saya belum S2 dan saya belum punya pengalaman sebanyak yang diinginkan dalam ToR. Tapi karena saya sudah diundang untuk panel interview, tentu saja tetap saya jalani. Singkat cerita, saya diterima untuk posisi itu dan mulai bekerja per Januari 2020. Oh betapa hidup ya…. Setahun terkahir saya pontang-panting apply sana-sini untuk posisi yang saya inginkan, semuanya ditolak. Dan ini, saya malah mendapat posisi yang lebih baik dari yang saya bayangkan tanpa saya harus melakukan usaha apapun. Saya seperti diajak lompat dua langkah sekaligus, seperti masuk pada kelas akselerasi.

Saya kira, dengan semua penolakan yang terjadi itu, saya terlambat dan membuang-buang waktu. Saya kira, target hidup saya yang begini dan begitu itu tidak akan pernah tercapai karena tidak ada satupun keberhasilan terjadi. Tapi rupa-rupanya, tidak ada yang terlambat dan saya tidak ketinggalan apapun. Semuanya terjadi tepat pada jalurnya. Sayanya saja yang sok tahu dengan menganggap bahwa 2019 adalah waktu saya untuk keterima beasiswa, dapat pekerjaan yang seperti ini itu, memenuhi target ini itu. Rupa-rupanya target 2019 yang sebenarnya adalah menyembuhkan luka batin dan trauma masa kecil. Dan untuk mencapai target itu, saya harus fokus dan tidak bisa terdistraksi oleh kesibukan pekerjaan atau apapun.

Bukan penolakan yang sebenarnya terjadi di tahun 2019 tapi kesempatan untuk benar-benar diam dan menjadi pribadi yang sehat secara mental dan kejiwaan. 2019 mengajarkan pada saya bahwa tidak akan pernah ada keterlambatan selama kita bergerak. Bahkan penolakan sekalipun, itu semua diijinkan terjadi untuk sebuah mencapai target yang lebih baik.

Hal ini mungkin serupa dengan kondisi hari ini, saat satu dunia dipaksa untuk diam. Saya bisa memahami betapa kagetnya dunia hari ini, ketika awalnya kita hanyut dalam sibuk, dan kini harus diam tanpa kepastian. Tapi tidakah kalau saja kita mau memahami, bahwa mungkin memang bukan target dalam angka yang harus kita kejar tahun ini. Mungkin kita semua saat ini sedang berada dalam target untuk kembali menjadi manusia. Untuk kembali mengenal bahwa tidak ada hal yang benar-benar bisa kita kontrol. Untuk kembali memahami bahwa mungkin saja, semua kesibukan kita selama ini telah menjadi distraksi dari tujuan kita yang sebenarnya di dunia.

Diam saja dulu. Percayalah, kita tidak akan ketinggalan apapun.  

Source: https://id.pinterest.com/pin/229683649734175670/


Kamis, 26 Maret 2020

Sebuah Tantangan Untuk Diri Sendiri

Seperti halnya semua orang yang ada di hampir satu dunia, yang sedang berada di kediamannya masing-masing, berdiam diri sambil menunggu tanpa kepastian kapan virus ini selesai mengintai, begitu juga saya. Tentunya, seperti halnya semua orang, sayapun bosan, kadang gelisah, dan ingin bertemu dengan dunia luar.

Salah satu teman dekat mewanti-wanti saya bahwa fenomena Covid-19 ini bisa sangat berpengaruh pada mentalitas dan emosional seorang empath (Dr. Judith Orloff, a pioneer in the field, describes empaths as those who absorb the world's joys and stresses like “emotional sponges") di mana saya punya kecenderungan seperti itu. Dan benar saja, di minggu pertama saat saya sudah mulai harus work from home, hampir sebagian besar kegiatan yang saya lakukan adalah membuka Twitter, membaca semua berita, dan menangis sendirian di kamar merasa bersalah. 

Hingga akhirnya, pada awal minggu ini, saya putuskan untuk memberi tantangan pada diri sendiri, yaitu saya tidak akan secara sadar membuka media apapun termasuk Twitter untuk mencari tahu soal Covid-19. Tantangan ini semata agar saya tidak perlu meyerap emosi yang berlebihan dan tidak harus merasa gelisah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, agar semakin tenang dan mempunyai pelampiasan emosi yang tepat, saya putuskan untuk membuat tulisan-tulisan selama masa karantina. Tulisan-tulisan lama yang masih tertulis di draft, akan saya publikasikan satu demi satu. Saya pun akan menghubungi Kamalia, ilustrator kesayangan saya, agar saya boleh membuat cerita dari gambar-gambar yang dia hasilkan. Sambil tentu saja, saya harus tetap merampungkan kewajiban pekerjaan, komitmen merampungkan beberapa buku dan jurnal, dan film. Hidup tetap harus berjalan, bukan?

Semoga saya dapat menghadapi masa karantina dengan lebih produktif. Tantangan untuk diri sendiri ini akan saya mulai hari ini. 

© RIWAYAT
Maira Gall