Kamis, 21 Desember 2017

Apa-apa yang tampak dan apa-apa yang manusia ingin lihat

"What is essential is invisible to the eye"
(Chapter 21 - The Little Prince)


Salah seorang teman saya sedang galau. Bukan galau asmara, tapi lebih kepada galau persahabatan. Dia galau karena ada seorang teman dekatnya, yang secara ajaib menjauh dari dia dan teman-temannya yang lain. Saking anehnya, si yang bersangkutan mengambil langkah ekstrem jaman now: keluar dari group chatting, untuk alasan yang entah apa. 

Teman saya mempunyai beberapa spekulasi. Pertama, dia curiga si temannya ini mengikuti pengajian atau salah menerjemahkan Islam. "Dia itu lagi hijrah gitu..". Kedua, bisa jadi karena si temannya itu ingin segera menikah, tapi urgensi keterburu-buruannya tidak bisa dipahami oleh teman saya dan gengnya, sehingga membuat dia ingin, atau merasa harus, menjauh. Maka jadilah si teman saya dan gengnya resah, dongkol, dan sedih jadi satu gegera hal ini.

Saat hal ini dibahas dengan saya, saya juga hanya manggut-manggut. Karena kalau bicara bab pernikahan dalam Islam, sebenarnya sih tidak ribet sama sekali. Selain kalau sudah dapat calonnya, hanya butuh prosesi akad nikah, dan walihamahan yang walaupun sederhana, juga bisa terlaksana. Jadi tidak perlu uring-uringan, sampai  harus menginggalkan group chatting sebenarnya. Kalau memang dia sedang hijrah dan ingin segera menikah, datangi saja KUA. Selesai perkara. Tapi ya... Kalau si teman saya saja bingung, apalagi saya, orang asing yang hanya mendengar ceritanya sepintas lalu.

Tapi apa yang menimpa temannya teman saya itu adalah satu satu contoh paling nyata bagaimana manusia selalu dan selalu saja fokus pada apa yang nampak, dibanding apa isi atau esensinya.

Contoh lain misalnya, santet. Santet adalah jalan pintas bagi siapapun yang ingin memaksakan esensi. Bertolak belakang dari kasus yang pertama, mereka yang menggunakan santet, percaya betul bahwa jika indera manusia tidak bisa membuat hati seseorang percaya, dukun pastilah bisa membantu. Sebenarnya orang-orang tipe ini sudah benar cara berfikirnya, hanya kadang terlalu percaya diri. Di satu sisi dia tau bahwa indera manusia bisa salah tafsir, sementara hati tidak. Namun di sisi lain, dia lupa bahwa hati adalah abstraksi yang dibuat di dapur rahasia milik Sang Pencipta. Tidak bisa diintervensi, tidak bisa disetir.

Pernah dengar istilah urip kui wang sinawang?

Wang sinawang adalah adalah satu ucapan Jawa klasik yang saya kagumi. Artinya kurang lebih adalah apa yang bisa kita lihat dari hidup orang lain, hanya terbatas pada indera kita saja. Misalnya, kita melihat si A selalu pake baju jelek, dan kita merasa dia itu tidak tahu fashion, oh atau miskin. Atau kita dengar si B dapat beasiswa ke Luar Negeri, dan kita merasa dia itu beruntung. Sekedar itu dan hanya sebatas itu. Yang pastinya kita tidak tahu adalah ternyata si A menyimpan uangnya untuk beli rumah daripada beli baju, atau si B dapat beasiswa setelah peristiwa pahit yang datang dihidupnya selama bertahun-tahun. 

Wang sinawang bukan sekedar mengajarkan pada saya untuk tidak boleh menilai orang semau logika saya saja, tapi menantang saya untuk memahami esensi dari banyak hal yang di dunia ini, mulai dari masalah romansa hingga agama. Karena tentu saja, jika yang selalu kita cermati adalah bungkusnya saja, kapan kita mau mempelajari isinya?

Sulit memang untuk sampai di titik dimana kita akhirnya memahami esensi dari hal-hal yang diharuskan atau dilarang tanpa punya basis yang jelas. Tapi mengapa esensi itu penting? 

Ada artikel pendek berjudul, If work dominated your every moment would life be worth living? yang ditulis oleh Andrew Taggart. Tulisan pendek tentang bagaimana hampanya hidup manusia saat kita bahkan tidak tahu lagi untuk apa dan mengapa kita bekerja selain karena uang. 

Memahami apa itu esensi seperti berfokus untuk mencari kado yang pas untuk diberikan kepada orang-orang terdekat kita, daripada menghabiskan waktu untuk memilih kertas kado mana yang layak. Dan seperti wang sinawang, mustahil memahami esensi hanya dengan menggunakan panca indera manusia yang serba terbatas ini. 

Seperti juga obrolan soal pasangan hidup, andai menemukan apa yang jiwa dan hati kita mau itu sesederhana swipe right or left melalui Tinder, atau menaruh biodata kepada Uztad, atau mendaftar speed dating, tanpa perlu menjalani proses panjang yang kadang berhasil, kadang tidak, maka pastilah tidak akan ada puisi dan romansa cinta yang ditulis oleh pujangga-pujangga. Pujangga-pujanngga itu seakan tahu betapa panjang dan melelahkannya sebuah jiwa untuk bisa bertemu belahannya. Pun bertemu, kadang takdir berkehendak lain. Pelik. 

Banyak sekali hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan. Tentang kenapa ini begini dan kenapa  itu begitu. Tapi belajar memahami esensi, kalau bagi saya, membuat saya belajar tentang apa itu kejujuran. Kadang kita dibuat kabur atau bahkan buta oleh hal-hal yang tertangkap oleh indera. Namun saya percaya satu hal, tidak ada yang mampu membohongi hati. Kalau itu terasa salah, mungkin itu memang salah. Apa yang terasa benar, mungkin memanglah benar. Manusia sering terjebak  dengan logikanya, seringnya hanya mau melihat apa yang tampak, seringnya bersender pada apa yang bisa dibuktikan. Sementara esensi, hanya bisa dilihat melalui hati. Sekali-kali, atau cobalah walau sekali, percaya pada hati.



Sabtu, 02 Desember 2017

"Badai Tuan sudah berlalu...."


Beberapa cerita memang sengaja tidak diceritakan lengkap, bukan karena tidak punya kata, tapi menjaga agar tetap pada maknanya.

Beberapa kisah memang sengaja tidak dibagi, bukan karena tidak berkesan, tapi menjaga agar tidak sembarang dikomentari.

Beberapa perasaan memang sengaja tidak diungkap, bukan karena tidak penting, tapi agar tidak kehilangan intinya.

Beberapa kenangan bertahan, bukan karena menyandang predikat ‘terlalu’, tapi sengaja disimpan untuk sebuah alasan.

Beberapa hal tidak akan pernah pergi, bukan karena sengaja dijaga, tapi kerena mereka selalu saja punya cara untuk kembali.

Beberapa doapun tetap pada tempatnya: semoga lekas tahu apa yang harus dicari tahu.





"Badai Puan sudah berlalu..."
© RIWAYAT
Maira Gall