Jumat, 25 Januari 2019

Bukan Manusia yang Bebal, Tapi Harapan Adalah Harapan

Dalam sebuah makan malam bersama seorang teman baik, dia menceritakan pada saya sebuah kisah, bahwa pada suatu malam, seorang wanita kenalanya menelfonnya tersedu-sedu. Karena bingung harus menjawab apa, si teman saya itu hanya mampu menjadi pendengar yang baik saat si wanita itu berbicara dengan susah payah sambil menangis.  "Yang aku inget cuma dia bilang, 'ini itu engga ada harapan... aku tau ini engga ada harapan'", Kata teman saya menirukan si wanita. Teman saya itu lalu menceritakan pada saya sedikit kisah si wanita itu, bahwa si perempuan itu jatuh cinta pada seorang lelaki yang telah memiliki istri. "Dia itu ya dari awalnya udah sadar kalau engga ada harapan, tapi ya... engga tau juga kenapa masih aja dilanjutin", Kata teman saya antara tidak mengerti tapi kashian.

Saya mengangguk.

Beberapa malam yang lalu, saya bertemu dengan teman baik lainnya, Fian, kali itu dia bercerita soal novel hantu Belanda yang telah selesai dia baca. Di novel itu, si hantu itu bercerita pada si penulis mengapa dia masih belum mau pulang ke haribaan ruh. Usut punya usut, ternyata sebelum dia meninggal, orang tua angkatnya berjanji akan kembali datang untuk membawakannya dokter terbaik dari Belanda. Si anak yang kesakitan karena menderita kanker, percaya bahwa hal itu akan terjadi. Diapun menunggu dan menunggu hingga akhirnya meninggal dunia. "Dia masih berharap sampai sekarang orang tuanya bakal dateng beneran, bawain dia dokter, makanya dia masih gentayangan"

Saya mengangguk.

Sejak kecil hingga dewasa, kita selalu diajarkan untuk berjuang dan berusaha. Kita seakan diberitahu bahwa hidup adalah perjuangan dan bahan bakarnya adalah harapan. Maka selama masih ada harapan, maka hidup akan terus berjalan, dan perjuangan belum selesai. Itu bukan hal yang salah, tapi kurang lengkap, karena manusia  juga perlu belajar bagaimana caranya menyerah.

Baru kali ini selama saya hidup, saya mempelajari benda abstrak bernama harapan, yang digadang-gadang sebagai kekuatan utama manusia. Awalnya sederhana, pertanyaan saya tentang move on yang tidak kunjung bisa saya jawab dan putuskan. 

Dulu teman saya pernah berkata bahwa move on adalah perkara 'mau atau tidak', bukan 'bisa atau tidak'. Tapi rasa-rasanya, move on bukanlah sebuah kesanggupan atau keinginan, melainkan sebuah keberanian. Karena dia yang harus menghadapi dirinya sendiri, dan menikam mati harapannnya. Itu move on. Bisakah?

Saat heboh #10yearschallenge, saya tertegun melihat sebuah ilustrasi yang memperlihatkan bahwa selama 10 tahun berjalan, setiap hari kamis, seorang wanita tegap berdiri menggunakan baju warna hitam, membawa payung dan menuntut keadilan atas sanak saudaranya yang hilang. Dia adalah segelintir yang masih melakuan aksi #kamisan. Ini sedikit mengingatkan saya pada Amba, sosok fiktif di Novel Amba yang juga menunggu kekasih hatinya pulang saat pengakapan komunis tahun 65, hingga pada saat ia meninggal dunia pun, wasiatnya kepada anaknya adalah mencari si kekasih hatinya.

Beranikah kita, lantas berkata pada wanita yang tegap berdiri setiap hari kamis, atau kepada Amba, sebuah kalimat klise berbunyi, 'Sudahlah.... move on!'. Pada titik ini, tidakkah kita harus mengakui bahwa perkara move on bukan tentang hal-hal fisik. Ini tentang harapan. Ini tentang bahan baku manusia yang tidak dengan mudah bisa dimatikan.

Saya memiliki keyakinan bahwa Istri Almarhum Munir tidak lagi bersedih akan kematian suaminya, atau mereka yang berdiri tiap hari kamispun tidak lagi berharap sanak sudaranya masih hidup. Mereka semua sudah dipaksa sanggup menerima kenyataan bahwa secara fisik, mereka telah tiada. Bukan kesedihan merongrong macam itu yang mereka hadapi sekarang. Jadi kalau move on memiliki tingkatan, mereka telah lulus pada tingkatan pertama, tingkatan fisik. Tapi jika mereka dipaksa untuk membunuh harapan mereka yang hanya tinggal satu-satunya,  dipaksa untuk move on pada tingkatan ini, saya yakin mereka lebih memilih untuk mati saja.

Mungkin jika kita bisa mendampingi seseorang yang berharga dalam hidup kita menghadapi kematian, mulai dari menghembuskan nafas terakhir hingga masuk ke liang lahat, kita bisa menerima satu paket kehilangan, dan move on dengan suka cita. Atau ketika kalung berharga seharga milyaran milik kita jatuh dari ketinggian 1000 M dan hancur berkeping-keping. Maka sudah ya sudah, wong sudah hancur. Tapi bagaimana jika kita dipaksa untuk bertahan hidup dengan mengenggam harapan bahwa mungkin suatu hari, mereka atau sesuatu itu akan kembali? Mereka harus berhadapan dengan ketidakmungkinan yang dibungkus dengan harapan.

Memangnya apa lagi sih yang diharapkan? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan. Jawabannya tentu saja beragam. Mungkin bagi mereka yang memiliki kasus pada masa orde baru, harapannya terletak pada pengusutan keadilan. Mungkin bagi mereka yang tidak mungkin lagi menjadi seorang atlet karena satu dan lain hal, berharap anak keturunannya bisa mendapat medali emas. Mungkin bagi mereka yang tidak bisa melihat jasad orang yang mereka sayangi meninggal saat kecelakaan pesawat, berharap mendapat informari paling akurat tentang penyebabnya. Dengan beragam macam jenis harapan itu, mereka berharap bisa menentukan langkah selanjutnya, apakah terus berjalan atau berhenti berusaha. Dan bagi kita yang tidak berada dalam posisi itu, tugas kita hanya satu: meng-har-ga-i. Karena harapan adalah harapan.

Pernah ada yang mengatakan pada saya, bahwa harapan jangan pernah digantungkan kepada manusia, tapi pada Tuhan. Justru itulah poin pembicaraan ini, justru karena saking tingginya harapan mereka, mereka tidak lagi berharap pada manusia melainkan langsung menghubungi Yang Maha Kuasa. Inilah yang menjadikan sebuah harapan mempunyai kedudukan yang sulit untuk dihapus, karena bagaimana bisa manusia menghapus nama besar Tuhan sebagai sandaran semua harapan?

Jadi mungkinkah, untuk hal seabastrak harapan, juga harus kita kembalikan padaNya? Lalu apa yang tersisa dari manusia, jika harapan saja harus dikembalikan?

Di malam saya bertemu dengan Fian, dia bekata, 'Tapi semua harapanku tuh Peh, dikabulin. Cuma yaaa.. waktu sama kondisinya aja yang beda. Dulu pas S1, aku mau banget masuk UGM. Aku engga keterima, keterimanya di UPN. Ya udah, aku engga lagi berharap. Aku matiin harapanku. Tapi pas aku S2, semunya serba mudah, dan aku masuk UGM. Kayak... harapanku dikembaliin, dan aku diingetin lagi"

Perkataan Fian membuat saya menyadari bahwa harapan pun ternyata, adalah sebuah bentuk permainan antara kita dan Dia. Bisa jadi, saat harapan itu diminta kembali oleh pemiliknya, itu adalah titik awal harapan baru akan muncul di hidup kita. Bisa jadi, saat kita dengan lapang menyerahkan harapan kita padaNya, maka dia akan mengembalikan dengan jawaban yang kita tunggu, di waktu yang tepat. Bisa jadi, kita diminta menggenggam harapan itu, dan Dia sendiri yang memberi paket lengkap berupa kekuatan dan jalan keluar. Bisa jadi, harapan itu merupakan pertanyaan atas kesanggupan kita bertahan. Bisa jadi, saat harapan itu berdebu, maka Dia sendiri yang akan membersihkan. Bisa jadi, harapan itu kembali dengan wujud yang berbeda.

Lalu haruskah kita move on? Bisakah harapan itu mati, dimatikan? 

Saya memilih untuk menjawab tidak bisa. Karena harapan adalah udara yang tidak bisa dibunuh. Harapan adalah bahan bakar manusia. Maka hal terbaik yang harus manusia lakukan dengan harapannya, selain berusaha adalah, menunggu dengan pasrah.

Pada akhirnya, harapan hanya milik mereka yang percaya, yang dengan kelapangan hatinya, bersedia untuk ikhlas menunggu, hingga waktu dan jawaban itu akhirnya tiba. Juga milik mereka yang berjiwa besar untuk menerima, saat harapan itu akhirnya tidak hadir dalam bentuk keterkabulan seperti yang dia harapkan.

Mungkin bersyukur menjadi kata yang tepat, karena harapan tidak akan pernah hadir pada mereka yang dengan mudah berputus asa. Dengan memahami bahwa harapan adalah pemberian dariNya agar kita, walau berat, tetap merengek, dan tetap bergantung padaNya, kita dipaksa  untuk memahami bahwa ketika kita bicara soal harapan, kita tidak bicara soal berapa lamanya seseorang menunggu atau bertahan, tapi seberapa kuat dia percaya.

Hanya butuh waktu untuk memahami. Dan untuk itulah, manusia harus belajar bagaimana caranya berpasrah. Tapi berikan keyakinan, bertahanlah untuk yakin, bahwa semua harapan pasti memiliki jawaban.

Minggu, 06 Januari 2019

Sebuah kesoktahuan manusia yang itu-itu lagi, semoga kapok ya!

Sebuah refleksi akhir tahun.

Kata mereka, hidup tidak pernah memberikan hal-hal yang yang kita inginkan, tetapi hidup akan selalu memberikan hal-hal yang kita butuhkan. Sebuah ucapan lama nan klise yang kerap saya baca atau dengar dari banyak sumber, tapi tidak pernah merasa ada hikmah apapun dibalik ucapan itu. Namun kalau saya dapat merangkum kehidupan saya selama setahun kebelakang, di tahun 2018 ini, maka ucapan itulah yang ternyata paling relevan. Di akhir tahun ini, saya baru saja menyadari bahwasanya hidup selalu memberikan semua hal yang saya butuhkan, tapi saya, selalu saja fokus pada hal yang saya inginkan. 

Ini adalah tahun dimana kemampuan mengendalikan emosi saya dinaikan beberapa level dan janji-janji yang dulu saya ucapkan ke diri sendiri dipertanyakan. Ini adalah tahun pertama saya akhirnya menghirup udara lain di luar oksigen Jogja, tahun pertama saya merasakan puasa, ulang tahun, dan bahkan musim hujan pertama di luar Jogja. Semuanya serba baru, mulai dari rutinitas hingga cara pandang, semuanya sedang larut dalam sebuah episode hidup bernama adaptasi. 

Proses adapatasi, seperti yang dialami oleh banyak orang, pasti memiliki banyak tantangan. Sayapun tidak terkecuali. Saya ingat pagi pertama saya harus mengantri busway dan kapan untuk pertama kalinya saya membentak seseorang karena menyerobot antrian. Saya ingat sore pertama melangkah keluar dari komplek perkantoran dan merasa super kelelahan. Saya ingat rasanya belanja bulanan pertama di supermarket di Rawamangun dan menyusuri satu persatu bagian untuk mengecek apakah masih ada yang harus dibeli atau tidak. Saya akhirnya tahu bagaimana leganya ketika hari Jumat tiba dan bagaimana malasnya hari senin. Saya ingat ketika saya sedang mengalami hari yang buruk, saya kemudian duduk di busway menyusuri kota ini di malam hari, mengambil tempat duduk di paling belakang dan melamun. Namun yang paling menantang dari proses adaptasi ini adalah, ketika ada beberapa hal, di luar kapasitas saya sebagai manusia, yang akhirnya terjadi. Hal-hal yang membuat saya dengan mata nanar menengadah ke langit, dan berkata lirih, 'Wahai Rabb, aku engga paham sama ini semua...'. 

Dengan proses adapatasi dan hal-hal menantang yang harus saya jalani, di tangah-tengah proses ini, saya merasa buta dengan tujuan akhirnya. Saya tidak mengerti proses ini akan mengantarkan saya pada apa dan kemana? Tidak hanya itu, saya sempat berfikir bahwa prosesnya harusnya tidak seperti ini. Saya merasa ini semua skenario yang tidak tepat. Langit mungkin telah salah memberikan takdirnya. Saya ingin naik banding!

Hingga setahun berjalan, dan jawaban atas semua ketidakmengertian saya akhirnya terjawab satu per satu. Dan ketika jawaban itu telah datang, saya harus menyadari bahwa saya gagal hingga titik ini. Bukan karena proses adapatasinya, tapi karena saya gagal melihat apa yang seharusnya dilihat. Saya, sekali lagi, menjadi tidak sabaran karena ingin segera mengetahui apa ujung dari adaptasi ini. Saya, kembali memburu-buru sebuah proses.

Kembali ke ucapan klise bahwa hidup akan selalu memberikan kita semua hal yang kita butuhkan, maka di situlah saya akhirnya paham, apa yang sebenarnya saya butuhkan sebagai manusia.

Saya (ternyata) membutuhkan udara segar.

Saya memang tidak mendapatkan hal-hal yang saya inginkan atau hal-hal yang saya bayangkan jika saya pindah ke Jakarta, yaitu pekerjaan yang super meyenangkan yang membuat saya berkembang secara kemampuan berfikir, lengkap dengan gaji yang cukup untuk menyewa apartemen seorang diri. Saya tidak mendapatkan pekerjaan dimana saya berada di tim kerja yang mengurusi hal-hal pemting, dan setelah pulang kerja menghabiskan waktu dengan makan di mall. Saya tidak mendapatkan semua hal yang saya inginkan atau saya bayangkan. Tidak sama sekali. Dan untuk alasan itulah, saya merasa kesal, 'masa engga ada yang sesuai ekspektasiku sih', kata saya waktu itu.

Tapi itulah manusia, yang kalau melihat sesuatu, selalu saja linear.  Saya tidak melihat bahwa ternyata, saya mendapatkan semua hal yang seharusnya. Semua hal yang saya pikir tidak saya butuhkan, tapi nyatanya saya butuhkan. Semuanya. 

Saya memiliki teman kerja menyenangkan, dan kami selalu tertawa lepas setiap hari. Terlepas dari tipe pekerjaanya, tapi saya tidak harus mendengarkan hal-hal 'lama' yang bisa membuat saya bersedih di tempat kerja. Saya menjadi pribadi baru, yang tidak perlu lagi merasa malu dengan apa yang sudah terjadi. Itulah udara segar. 

Ketika saya pulang, saya punya 3 orang dengan karakter berbeda-beda, yang sanggup membuat saya ingin pulang saja tanpa mampir-mampir yang tidak perlu. Sebuah kamar dengan luas yang pas, serta obrolan-obrolan yang menyenangkan hampir setiap hari. Sebuah tempat tinggal dengan kehidupan di dalamnya. Itulah udara segar.

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, beberapa kajian rutin di Blok M mampu membuat saya tetap tenang dan logis. Dan itu merupakan udara segar yang selalu saya tunggu.

Sedihnya, saya baru menyadari itu samua di penghujung tahun. Persis seperti anak murid yang akhirnya diberi tahukan jawaban dari soal ujian ketika nilai ujian sudah keluar. Saya gagal melihat apa yang seharusnya, dan bersikap tidak bersyukur. Padahal langit tidak pernah salah dan  saya selalu saja kurang sabar menanti jawaban. Ah, andai saya bisa mengulang dari awal proses ini dan lebih menikmati semuanya dengan lapang...

Maka begitulah tahun ini berjalan. Di luar kamampuan saya yang samakin handal dalam menghapal jalur Transjakarta, atau cara saya memadang sesuatu yang kini jauh lebih tenang, saya merasa bahwa kedepannya, saya harus lebih menikmati sebuah proses. Saya harus belajar untuk sabar dan percaya bahwa seberat atau semanis apapun yang akan terjadi di depan nanti, pasti akan terjadi dengan kadar dan tujuan yang tepat. Ingat itu baik-baik, anak muda!

Hidup akan berjalan lebih gila lagi sehabis ini, tapi semoga saya selalu bisa ingat bahwa hidup akan selalu dan selalu dan selalu memberikan pada saya hal-hal yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan. Dan tentu saja, karena manusia tidak selalu tahu apa yang dibutuhkan, maka cara terbaik menjalani kehidupan di tahun yang baru nanti, adalah dengan jeli melihat apa yang sudah ditakdirkan olehNya. 

Tenang... semua pasti ada jawabannya, ini prosesnya, dijalani saja dulu. 

Cheers!


© RIWAYAT
Maira Gall