Minggu, 28 Juni 2020

25 Juni ke 29 kalinya


Five hundred twenty-five thousand six hundred minutes, how do you measure a year?
In daylights? In sunsets? In midnights? In cups of coffee? 
In inches? In miles? In laughter? In strife?
In five hundred twenty-five thousand six hundred minutes, how do you measure a year in the life?
How about love? 
Measure in love.
(Rent-Seasons of Love)

Coba bayangkan sebuah iklan krim anti penuaan. Sudah? Visualisasikan dengan jelas iklan itu, yang biasanya dimulai dengan adegan seorang model wanita yang sedang bercermin sambil memegang matanya yang telah muncul kerutan halus. Setelah memegang kerutan halus tersebut, muncul adegan yang menampilkan kesedihan si wanita karena dia merasa telah menua dan dilanjutkan dengan tampilan produk krim anti penuaan yang akhirnya digunakan oleh si model. Tak lama, adegan berubah dengan menampilkan senyum manis si model sesaat setelah menggunakan produk tersebut, dan terakhir akan muncul sebuah tagline untuk mempersuasi penonton membeli produknya.

Terbayang jelas? Nah, seperti itulah yang kira-kira saya alami di sebuah malam. Di malam ketika saya sedang membersikan wajah di depan cermin, dan adegan iklan krim anti penuaan itu akhirnya saya alami sendiri. Saya memegang mata, lebih mendekat kearah cermin, dan menyadari bahwa beberapa kerutan halus sudah muncul di sana. Juga persis seperti adegan dalam iklan tersebut, sayapun seketika menjadi muram. Hanya bedanya, jika di dalam iklan krim anti penuaan itu tidak ada adegan yang menceritakan mengapa si wanita itu bersedih, sehingga seakan-akan alasan wanita itu bersedih adalah semata karena muncul kerutan, sementara saya dalam kenyataannya, justru duduk termenung dan menyadari bahwa setahun lagi, saya akan memasuki kepala 3.

Tidak saya sangka bahwa insight yang dipakai dalam membuat iklan krim anti penuaan yang berdurasi 30 hingga 60 detik itu benar-benar nyata. Yaitu tentang kecemasan seorang wanita yang menyadari bahwa usianya tidak lagi remaja dan mulai berpikir tentang hal-hal besar seperti pernikahan, memiliki anak, dan bagaimana membagi hidup antara mimpi pribadi dan kodrat alaminya sebagai wanita. Walaupun iklan tersebut tidak menampilan secara gambling kecemasan-kecemasan macam itu, tapi saya yakin, kerutan menjadi sebuah simbol yang diamini semua wanita bahwa dia harus lebih “serius” lagi dalam menentukan keputusan untuk hidupnya kedepan.

Saya ingat waktu saya masih berusia 12 tahun, saya sering membaca majalah Femina yang mama beli. Bagian yang selalu saya baca adalah bagian kolom curhat dari wanita-wanita berusia antara 25-35 tahun. Biasanya mereka akan curhat masalah rumah tangga, keuangan, pekerjaan, dan bahkan seks yang akan dijawab oleh pakar psikologi. Muncul dalam pikiran saya saat membaca itu adalah betapa rumitnya menjadi wanita dewasa, masalah mereka menyeramkan, belum lagi banyak konteks-konteks yang belum saya pahami, seperti mertua yang tidak akur dengan menantulah, hingga perkara hutang piutang. Jika sudah begitu, saya akan langsung menutup majalah Femina dan kembali membaca serial Oki dan Nirmala di Majalah Bobo.

Hingga akhirnya adegan kerutan halus itu muncul dan mengingatkan saya bahwa ternyata saya sudah masuk dalam kategori wanita dewasa menurut versi saya saat berusia 12 tahun.  Tidak terasa juga ya waktu berjalan. Saya jadi berpikir, jangan-jangan saya sudah mendengar sendiri masalah-masalah kehidupan yang dulu saya baca di majalah Femina melalui teman-teman saya, atau malah mengalaminya sendiri beberapanya. Hmm…

Jadi, bagaimana sebetulnya menjadi wanita dewasa itu? Apakah benar menyeramkan dan rumit?

Hal terbaik yang bisa saya katakan tentang menjadi wanita dewasa adalah soal tanggungjawab dan mencintai diri sendiri. Walaupun klise, tapi saya membenarkan bahwa tidak ada ukuran atau indikator tertentu yang bisa mengatur jalan hidup seorang wanita dewasa. Menikah contohnya, bukan berarti karena sudah 29 tahun seorang wanita harus menikah, tapi lebih kepada kalau sudah berada pada “titik” nya dia ingin menikah karena alasan-alasan yang bisa dia pertanggungjwabakan, maka menikahlah. Jadi sangat penting bagi saya untuk menjalani kehidupan sebagai wanita dewasa, dengan selalu berpikir bahwa saya harus bisa bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan hidup saya tanpa merepotkan orang lain, dan belajar untuk bisa mencintai diri sendiri dengan cara yang tepat.

Namun begitu, tidak bisa dipungkiri, kecemasan tetap saja kecemasan. Apalagi menuju usia 30, di saat kebanyakan wanita sebaya saya bahkan sudah hamil anak kedua, tentu saja ada bagian dari diri saya yang resah. Apakah saya juga akan menikah dan punya anak? Atau apakah saya akan seperti ini terus?

Hingga suatu hari ketika saya naik bus transjakarta yang sepi, sambil melihat hiruk-pikuk Jakarta, saya tersadarkan bahwa mungkin saja saya ini sedang diberikan waktu yang lebih lama untuk menyenangkan diri saya sendiri sepuas-puasanya sebelum menikah. Mungkin memang Rabb melihat bahwa hal yang paling saya butuhkan saat ini adalah bagaimana saya belajar mencintai dan memanjakan diri sendiri dulu. Mungkin ini adalah waktu yang diberikan sebagai hadiah karena saya belum pernah benar-benar memikirkan hidup saya sendiri selama ini. Dan saya menyusukuri hal itu dengan sungguh-sungguh. Saya menikmati momen-momen saya bisa membeli barang dan makanan apapun yang saya mau. Saya menikmati waktu yang saya curahkan untuk diri saya sendiri. Saya mensyukuri kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bisa mengenal diri saya lebih baik lagi dan untuk menyembuhkan trauma-trauma masa lalu. Saya senang diberi kesempatan untuk bisa pelan-pelan selesai dengan diri saya sendiri.

Sebenarnya ini mirip dengan iklan krim anti penuaan. Bedanya, saya tidak tersenyum karena sebuah produk, tapi saya tersenyum karena saya menjadi wanita dewasa dalam keadaan sehat, memiliki pekerjaan yang baik, dikelilingi teman-teman yang suportif, tidak memiliki hutang dan masalah keuangan, serta baru saja merasa terbebas dari kisah asmaara yang berbeli-belit. Saya tersenyum karena saya memiliki lebih dari cukup hal-hal yang bisa membuat saya tersenyum.

Saya menjadi wanita dewasa dengan sosok yang saya banggakan. Tidak sempurna menurut standar kehidupan pada umumya, tapi saya merasa cukup dan bersyukur dengan hidup saya sendiri. Alhamdulilah..

Hari ini saya resmi berusia 29 tahun. Untuk itu, ijinkanlah saya menghaturkan harap agar perlahan-lahan, semua mimpi yang saya upayakan dapat terwujud. Ingin ini-ingin itu banyak sekali. Terlebih, keinginan terbesar saya saat ini agar diberikan jalan dan kesempatan untuk kembali mencintai, dan dapat memiliki keluarga kecil yang saling cukup-mencukupi. Di mana kelak, pernikahan menjadi ternyaman bagi saya dan pasangan sebagai tempat pulang. Juga agar keberadaan satu sama lainnya dapat saling membantu untuk bisa tumbuh sebagai manusia yang lebih baik lagi. Semoga Rabb membukakan jalanNya dengan waktu yang disegerakan.

Aamiin.


https://id.pinterest.com/pin/229683649733547810/

Sabtu, 20 Juni 2020

Cendol Duren dan Koordinat Bahagia

You could sustain or are you comfortable with the pain? 
You've got no one to blame for your unhappiness, you got yourself into your own mess. 
Lettin' your worries pass you by. Don't you think it's worth your time to change your mind?
(Hold On - Wilson Phillips)

Untuk pertama kalinya, di minggu kedua Bulan Juni, pimpinan saya akhirnya mencari cara agar kami dalam satu unit dapat bekerja di kantor walau hanya beberapa jam saja. Tentu kami semua merespon usulan itu dengan gembira. Bayangkan saja, setelah nyaris 3 bulan harus bekerja di rumah masing-masing, rasanya sangat senang bisa kembali ke kantor dan bertemu dengan semua orang di tim. Kamipun mengatur hari serta agendanya, kami mencoba untuk membuat fasilitasi dengan daerah secara daring, tetapi kali ini kami melakukannya dengan semua anggota tim lengkap berkumpul di ruang rapat.

Beberapa hari sebelum itu, saya merasa bahwa suasana hati saya kembali tidak menentu, acak-acakan dan tidak bisa diajak kompromi. Mungkin saya yang tidak sadar mengalami burnout atau mungkin metabolisme tubuh yang kurang baik dikarenakan periode menstruasi yang berantakan dan ditambah dengan saya yang berpuasa juga saat itu. Atau bisa juga karena saya yang segitu kesepiannya sehingga saya miliki ekspektasi yang berlebihan untuk bisa bertemu dengan seseorang saat itu. Intinya saya seperti harus berjuang untuk tidak terus-terusan bertahan dengan perasaan seperti itu, hingga usulan untuk bisa kembali ke kantor walau sejenak terdengar begitu menyenangkan.

Hingga tibalah di hari H saat kami semua akhirnya datang ke kantor. Saat melihat satu per satu anggota tim yang terdiri dari 5 orang itu datang semua, saya benar-benar terharu. Akhirnya bisa kembali berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Di tengah-tengah konsultasi virtual, pimpinan saya membisikan pada saya, “Alifah, kamu sudah cendol duren engga?” Saya menjawab dengan juga berbisik, “SUKA DONG PAK!’ Lalu beliau berkata, “Tunggu ya kira-kira 10 menit.” Katanya sambil berlagak melihat jam tangannya. Dan benar saja, tidak lama kemudian, satu kardus cendol duren datang untuk satu tim. Di hari itu saya sebenarnya sedang berpuasa, tapi melihat ekspresi pemimpin saya yang sebegitu semangatnya menyuruh saya mencoba es cendol, saya tidak tega. Ditambah lagi, salah satu anggota tim yang lain juga berencana untuk mentraktir kita semua makan siang, maka semakin besarlah keinginan saya untuk membatalkan puasa dan menikmati semua sajian hari itu.

Saya pun akhirnya mengambil satu gelas cendol tersebut, membukanya, dan menuangkan gula merah kental ke dalamnya, serta mengaduknya perlahan. Saya meminum es cendol duren itu dengan takzim karena rasanya yang enak sekali! Seketika, suasana hati saya kembali membaik dan saya seperti dapat energi tambahan. Mungkin karena hormon PMS dan saya yang tadinya sedang berpuasa, sehingga ketika mendapat asupan gula, tubuh saya menjadi lebih bersemangat. Atau bisa juga karena karena saya tersadar bahwa saya menjadi salah satu yang beruntung hari itu karena memiliki pemimpin super loyal serta tidak termasuk dari mereka-mereka yang dirumahkan di masa pandemi ini.
Hari itu berjalan yang cukup lancar. Konsultasi virtual dengan daerah berjalan dengan tanpa kendala, setelahnya kami sempat melakukan briefing singkat tentang apa yang kami lakukan pada bulan ini dan bulan depan, dan berakhir dengan makan bersama satu tim dengan makanan yang lezat dibeli dari aplikasi daring.

Tetapi hari itu belum selesai. Sesampainya di kosan, setelah mandi dan bebersih, saya masih harus mengikuti satu sesi conference call hingga sore dan berjanji untuk menelpon sahabat saya di Jogja setelahnya. Maka sesuai janji, setelah sesi conference call selesai dilakukan, saya berbincang panjang dengan sahabat saya. Dia bercerita tentang rencananya melakukan inseminasi kehamilan dan perjuangannya agar tetap waras ditengah gempuran ibu mertua yang memaksanya untuk segera hamil. “Aku belum pernah cerita ini nih sebelumnya, semuanya aku pendem sendiri, lega banget bisa cerita sama kamu akhirnya sist.” Katanya sambil menangis. Saya yang mendengar hanya bisa memberikannya ruang untuk mengeluarkan semua emosinya saja sambil sesekali berkata, “Gapapa…. Keluarin aja sist.” Rupanya, bagi teman saya itu, bercerita dengan saya adalah salah satu hal yang ia nantikan, salah satu hal yang menjadi hiburannya.

Hari itu saya kembali diingatkan bahwa rasa syukur memang tentang perspektif dan kebahagiaan adalah tentang sudut pandang. Dalam satu hari itu, sebetulnya ada banyak hal yang membuat hati saya uring-uringan, tapi rupanya, sesederhana 3 gelas cendol duren yang saya minum dan mendengarkan teman baik saya bercerita dapat membuat saya kembali tersenyum dan bersyukur karenanya.

Terkadang, kita memang tidak perlu untuk melihat satu hari secara utuh. Untuk apa juga? Toh sering kali kita gagal memahami apa yang terjadi sepenuhnya dalam satu hari itu. Kenapa ini begini, kenapa itu begitu, kita lebih sering merasa bingungnya daripada memahaminya. Mungkin semua yang kita gerutukan hari ini, akan terjawab di hari lain. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah membuat kordinat tertentu, menyerongkan sudut pandang, dan melihat sisi di mana kita bisa merasa bahagia dan bersyukur di hari itu. Tidak perlu melihat dari atas, hanya perlu menggeser sudut pandang dan merasa cukup atas apa yang terjadi. Jadi misalnya, kalau hari itu saya mempunyai cendol duren, mungkin besok saya bisa tersenyum dan bersyukur hanya karena saya bisa tidur dengan nyenyak dengan memeluk guling yang empuk. 


Minggu, 14 Juni 2020

Perihal Beradaptasi Seorang Diri (1)



Di masa pandemi seperti ini, saya yakin semua orang memiliki tantangannya masing-masing. Pernah satu ketika, saya menyapa salah satu teman yang bekerja di bidang event organizer. Dia bercerita tentang bagaimana pandemi ini membuat aspek finansialnya berantakan, karena tentu saja, tidak ada satupun event yang bisa dijalankan karena semua orang menghindari keramaian. “Aku bahkan sampe cari cara buat bikin konten online loh. Trus sekarang aku juga jualan online barang-barang yang aku beli dari luar negeri biar ada tambahan income.” Dia juga menambahkan bahwa kondisi seperti ini kemungkinan besar akan berlangsung hingga akhir tahun, yang artinya dia harus melakukan penghematan besar-besaran demi menjaga kelangsungan hidup. Teman saya yang lain, harus mendapat episode hidup yang tidak kalah mengaggetkan. Selain rencana pernikahannya yang harus dijalankan secara virtual karena pandemi, dia juga harus menerima fakta bahwa tunangannya didiagnosa kanker pangkreas. Di saat semua orang menghindari datang ke rumah sakit karena takut terpapar virus covid-19, si teman saya dan tunangannya justru harus harus bolak-balik dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya untuk mencari perawatan yang tepat. Tidak hanya harus menjaga kesehatan fisik, tapi dia juga harus menjaga kesehatan mentalnya dan tunangannya tetap stabil. Sungguh bukan perkara yang mudah. Ada juga teman saya yang lain, dia baru saja pindah kerja dari bidang jurnalistik ke perbankan. Dia bercerita bahwa belum juga dia memulai pekerjaan barunya secara langsung, dia kini harus beradaptasi dengan sistem work from home yang seumur-umur belum pernah dia lakukan. Alhasil, dia mengaku kesulitan untuk melakukan pekerjaan barunya dengan maksimal, serta kebingungan bagaimana caranya harus berkenalan dengan rekan kerjanya di kantor baru dengan kondisi semua serba virtual. “Duh, Peh, lumayan stress loh aku, engga bisa catch up gini sama kerjaan dan orang-orang baru.”

Semua orang berjuang dengan tantangannya masing-masing, tidak terkecuali saya.

Di masa pandemi seperti ini, beruntung saya tidak mengalami masalah finansial karena sektor pekerjaan saya bukan salah satu yang terdampak, tidak juga harus berjuang untuk menyesuaikan ritme kehidupan dengan sistem work from home karena saya sudah terbiasa melakukannya sejak awal saya bekerja, pun saya tidak dalam kondisi sakit atau memiliki tanggungan orang sakit yang mengharuskan saya untuk bolak-balik ke rumah sakit dengan resiko terpapar virus covid-19. Saya tidak mengalami itu semua, memang betul, tapi saya harus menjalani masa pandemi ini, melakukan karantina ini, sendirian. Sen-di-ri-an.

Ica, teman baik saya yang juga tinggal satu rumah kos dengan saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman bahkan sebelum status PSBB resmi diterapkan pemerintah. Saya ingat di suatu sore saat dia mengetuk kamar saya dan mengatakan bahwa dalam 2 atau 3 hari kedepan dia akan pulang dan mungkin akan kembali ke Jakarta setelah semua ini reda, yang mana entah kapan itu terjadi. Bisa 2 bulan, 3 bulan, atau entah kapan. Jujur, berat awalnya untuk menerima keputusan itu. Sulit bagi saya membayangkan bahwa nanti di Bulan Ramadhan dan bahkan lebaran, saya harus menjalani semuanya sendiri. Saking sulitnya saya menerima keputusan itu, saya bahkan puasa bicara dengannya hingga H-1 sebelum dia pulang. Di hari H saat Ica pulang, perasaan saya campur aduk, tidak karu-karuan. Saya putuskan hari itu untuk ke kantor walaupun tidak ada orang dan dilanjutkan jalan-jalan keliling Jakarta dengan seorang teman saya yang lain. Saya butuh mempersiapkan diri menghadapi kesendirian yang cukup panjang.

Saya tidak bisa pulang kampung atau lebih tepatnya memilih untuk tidak pulang untuk banyak sekali alasan. Alasan terbesar adalah karena saya merasa lebih aman dan nyaman menjalani karantina di Jakarta, di kamar saya yang luas ini dibandingkan di tempat manapun. Hingga detik ini, saya tidak menyesali keputusan untuk tidak pulang, saya hanya perlu menelan konsekuensi dari pilihan yang telah saya buat ini.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti menaiki roller coaster. Ada hari di mana saya menangis sesenggukan hingga sesak nafas, ada hari di mana saya tidak mau melakukan apapun selain membuka hal-hal tidak bermanfaat di sosial media, ada hari di mana saya bisa bekerja dengan efektif, ada hari di mana saya sangat bergembira, dan ada hari di mana saya merasa kebas dan hanya ingin melamun tanpa diganggu virtual meeting, WhatsApp chats, atau komunikasi apapun. Hari-hari berjalan dengan tantangannya masing-masing.

Saya mencoba berbagai cara untuk tetap waras. Mulai dari mencoba menu masakan baru, lebih banyak membaca, mendengarkan musik-musik alternatif, memperkuat nilai-nilai hidup, memasang target harian, membeli barang-barang yang bisa mempercantik kamar, menonton film dan drama televisi, olahraga, dan bahkan memulai proyek menulis bersama seorang teman. Tapi rupanya, kesepian tetap saja tidak terelakan. Bahkan sesering apapun video call yang saya lakukan dan sebanyak apapun percakapan yang terjadi melalui whatsapp, nyatanya tidak bisa menggantikan bagaimana menyenangkannya dapat berbincang dengan manusia secara langsung. Ketika saya membeli sayur di tukang sayur, saya benar-benar menikmati percakapan secara langsung dengan abang tukang sayur. Sesuatu yang terasa seperti meminum kelapa muda dingin di siang hari yang terik. Menyegarkan bagi jiwa.

Sebenarnya sih, secara teknis, saya tidak benar-benar sendirian. Masih ada 2 orang yang juga bertahan di sini, satu di atas dan satu di bawah, serta si pemilik kosan. Tapi kami jarang sekali berinteraksi lansgung, sehingga bagi saya itu tidak berarti apa-apa, jadi bisalah saya dikatagorikan seorang diri di masa pandemi seperti ini.

Ibarat perjalanan, ada masa-masa terberat yang saya rasakan di masa karantina ini, dan itu adalah ketika awal dan akhir puasa. Wah, jangan tanya bagaimana rasanya. Kalau ada orang yang bisa muak dengan kesendirian, saya salah satunya. Rasanya seperti menginginkan sesuatu yang tidak bisa saya beli dengan uang. Seperti ada yang kurang tapi saya tidak tahu harus melakukan apa agar itu terasa lengkap. Di malam takbiran, saat saya mengambil paket makanan lebaran di pos satpam yang dikirimkan oleh teman baik saya, Mbak Nina, saya ingat bagaimana saya menatap langit malam dengan gemeteran dan akhirnya menangis sejadi-jadinya di jalan. Itu titik puncak saya marasa sangat kesepian. Sungguh jika interaksi itu bisa dibeli, sudah pasti akan saya beli berkardus-kardus dan memasukannya ke freezer kulkas agar tidak basi dan bisa saya hangatkan sewaktu-waktu. Pada saat menangis itu, berputar dalam pikiran saya bagaimana Bulan Ramadhan tahun ini juga berlalu tanpa saya bisa mengunjungi mesjid sekalipun, tanpa ada buka puasa bersama, bahkan tanpa bisa bertemu siapa-siapa di penghujungnya. Lengkap sudah. Saya tidak bisa lagi membandingkan mana yang lebih nestapa, mereka yang tidak memiliki makanan enak di hari lebaran tapi dikelilingi orang-orang tercinta, atau memiliki makanan lebaran tapi sendirian. Hidup memang tidak pernah menawarkan paket lengkap.

Untunglah di hari lebaran itu, saya dan seorang teman kos, kami sepakat untuk merayakan lebaran bersama. Kami berbincang dari pagi hingga malam tentang banyak hal. Rasanya sungguh menyenangkan, sekalipun kami berdua harus membagi waktu dengan silaturahmi online yang tidak habis-habisnya di hari lebaran. Malam harinya, di hari yang sama, saya putuskan untuk mengungsi ke rumah sahabat saya yang lain dan menghabiskan waktu beberapa hari di sana. Alasannya sederhana, saya masih butuh interaksi nyata dengan manusia.

Hari-hari setelah lebaran berjalan serupa. Perasaan kesepian itu perlahan-lahan kembali muncul. Kesepian yang entah bagaimana harus saya hadapi. Hal ini malah semakin diperburuk dengan hormon menstruasi yang acak-acakan, sehingga membuat saya semakin berantakan moodnya.

Baru kali ini saya merasakan bagaimana kesepian bisa sebegitu menyiksanya. Dulu saya beranggapan bahwa hidup seorang diri mungkin saja lebih mudah ketimbang harus diribetkan dengan urusan emosi-emosi dengan manusia lainnya, tapi rupanya saya harus merivisi kembali padangan itu. Sekuat-kuatnya seorang introvert bertahan, ternyata tumbang juga dihantam kesepian berkepanjangan. Dari dulu saya selalu menikmati kesendirian dan kesibukan yang saya lakukan seorang diri, namun baru kali ini saya merasa overdosis dengan kesendirian dan semua hal yang berkait dengan virtual. Saya ingin berbincang, berpelukan, menggegam tangan, meninju halus bahu seseorang, dan bahkan bersalaman hormat pada orang lain. Lebih dari itu, saya ingin ditemani oleh manusia yang saya kenal. Saya tidak ingin sendiri, tolong.

Hal ini membuat saya memandang sinis pada mereka yang beranggapan bahwa bertahan sendirian di masa pandemi menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka yang tetap harus mencari nafkah di luar sana sehingga memungkinkan dia terpapar virus covid-19, karena bagi saya, semua orang berjuang dengan tantangannya masing-masing.

Saya sendiri tidak bisa membandingkan mana yang lebih berat dari tantangan-tantangan yang dihadapi orang-orang di masa pandemi ini, apakah mereka yang harus berpikir seribu cara agar tetap bisa membayar listrik, ataukah mereka yang harus dilanda kesedihan karena keluarga atau teman terdekat mereka sakit atau bahkan meninggal dunia, mereka yang harus bersusaha keras agar dapat bekerja dengan baik dan imbang di rumah, atau meraka yang seperti saya, sendiri digerogoti kesepian. Pun saya juga tidak bisa sebegitu yakinnya apakah jika saya diuji dengan ketidakstabilan finansial akan lebih baik dibandingkan kalau saya sendiri seperti ini. Ini memang bukan tentang perlombaan siapa yang lebih sulit kondisinya di masa pandemi, ini tentang bagaimana menyadari bahwa semua orang sedan berjuang dengan tantangannya masing-masing, dengan kondisi yang tidak bisa kita tebak kapan berakhirnya. Dan saat inilah, kita perlu sedikit lebih sensitif dalam merespon tantangan masing-masing orang yang mungkin berbeda dengan kita. Jika seseorang itu tidak dipecat di masa pandemi ini, bukan berarti dia sepenuhnya baik-baik saja, bisa jadi dia tersiksa dengan kesendirian.

Lalu apa yang bisa dilakukan jika kesendirian menjadi tantangan yang harus dihadapi? Saya juga gelagapan tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan ini. Mungkin hal terbaik yang bisa saya sarankan sebagai seorang praktisi adalah dengan menjadikan kesepian sebagai sebuah kondisi yang temporer, bukan permanen. Ini hanya sebuah kondisi yang harus dijalani saat ini. Memang tidak enak, memang menyesakan, tapi jangan berpikir ini akan selamanya. Ini hanya sementara.



source: https://id.pinterest.com/pin/229683649734454559/

Senin, 18 Mei 2020

Sebuah Percakapan


Dia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Dia akan kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. AC nya kadang dinyalakan sebentar lalu dimatikan. Sekitar jam 9 atau 10 pagi, kadang juga bisa lebih awal, dia akan membuka jendela kamar dan menyibakan gorden. Di hari kerja, dia sering rapat virtual, bahkan sering seharian. Lalu dia akan keluar untuk mencari makan dan pulang tak lama setelahnya. Pilihan lagu-lagunya cukup monoton, lagu-lagu berbahasa Indonesia yang itu-itu saja, Dewa 19, Letto, atau ya lagu-lagu cinta. Kadang dia mengeluarkan suara seperti gemas ketika sedang menonton sesuatu, kemungkinan besar pertandingan bola. Dia juga sering terdengar mengaji. Beberapa kali dia membelikanku makanan yang ditaruhnya di meja atau di kulkas. Pernah suatu hari aku pergi dan dia bertanya aku ada di mana, karena kamarku sepi katanya. Pun saat sudah lebih dari jam 8 malam aku tidak melihat lampu kamarnya menyala, aku sedikit cemas menanti kapan dia pulang.

Walau dia ada di balik dinding kamarku, aku tidak begitu mengenalnya. Kami juga sangat jarang berbincang-bincang, kecuali jika harus berpapasan di dapur atau di garasi. Saat ini, hanya tinggal tersisa kami berdua, sehingga semua suara yang dia hasilkan dan semua rutinitas yang dia kerjakan adalah percakapan terbaik selama masa berdiam diri ini.

Bagi siapapun yang sedang berada dalam masa-masa seperti ini dan tidak begitu tahu harus pulang kemana, pasti setuju bahwa kehadiran seorang lainnya akan sangat dibutuhkan. Begitu juga aku. Aku sudah merasa sangat tenang hanya dengan melihat sendalnya ada di depan kamarnya atau ketika mendengar ponsel genggamnya mengeluarkan nada dering. 

Dengan semua kegaduhan yang dia hasilkan, dia menemaniku dan membuatku tidak merasa sendirian.

Source: https://id.pinterest.com/pin/672443788100502495/


Di Sebuah Hari Bersama dengan Lelaki yang Lahir di Bulan November




Saat awal-awal mengenalnya, aku sempat bertanya apakah namanya itu memang ada kaitannya dengan Bulan November? Seperti jika seseorang bernama Julia, dia mungkin lahir di bulan Juli, atau Agustina yang bisa jadi lahir di bulan Agustus, apakah namanya juga berarti demikian? Dia pun mengiyakan. Maka semenjak itu, aku selalu mengingat bulan November sebagai bulan kelahirannya. Walau tidak pernah mengucapkan secara langsung, tapi aku masih ingat tanggal pastinya kapan dia berulang tahun.

Perkenalan kami sudah terjadi lama sekali. Waktu itu aku masih menjadi seorang siswi di sekolah menengah atas dan dia adalah seorang alumni yang jaraknya cukup jauh dari aku, 4 atau 5 tahun kalau tidak salah. Aku bertemu dengannya pertama kali di acara reuni akbar yang mengundang alumni dari tahun 90an hingga alumni yang baru lulus di tahun itu. Aku sedang mengobrol dengan seorang alumni lainnya saat dia memasuki ruangan yang sama. Aku sadar dia menatapku dan setelah itu dia semacam mencoba masuk ke dalam percakapan antara aku dan alumni yang sedang aku ajak bicara. Agak mengganggu sebenarnya. Itu kali pertama semesta mengirimkannya padaku. Aku masih berumur kalau tidak 15 ya 16 tahun. Masih belia pokoknya.

Selanjutnya adalah kisah yang panjang. Sangat panjang, sampai-sampai di pagi hari saat aku menuliskan ini, aku harus berkali-kali diam sejenak, membuang nafas berat karena ingatanku akan dia berloncatan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, dan dari satu emosi ke emosi lainnya.

Aku juga tidak tahu apakah aku harus menyebut ini sebuah kisah asmara atau kisah apa, tapi yang jelas, pernah ada satu masa di mana semua tulisanku hanya berkisar pada dia saja. Bahwa dalang dibalik semua emosi-emosiku pada saat itu adalah dia. Seorang teman yang mengenal kami berdua pernah berkata, “Kalian itu selalu aja begini selama bertahun-tahun, kalau yang satu suka, yang satunya biasa aja. Kalau yang satunya gantian suka, yang satunya udah sama yang lain. Kalau yang satu ketemu aku, pasti bakal nanyain yang satunya, yang satunya kalau dikasih tau kalau dia ditanyain, terus jadi gantian nanya juga. Gitu aja terus…” Mungkin kalau kisah ini diangkat jadi sinetron di layar kaca, ratingnya sudah anjlok karena terlalu monoton ritmenya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada kami juga bukan sesuatu yang mudah aku bahasakan. Sulit sekali untuk menyimpulkan perasaanku padanya, perasaan dia padaku, atau bagaimana kami bisa ada di satu kisah yang sangat panjang. Tapi kami sepertinya harus sepakat bahwa ada masa dalam hidup kami berdua, di mana kami berharap satu sama lain bisa menemani kehidupan satu sama lainnya. Sayangnya, sama seperti yang teman kami katakan itu, kami tidak pernah ada dalam satu waktu yang sama saat keinginan itu ada. Selalu saja, takdir membuat kami beririsan.

Terlepas dari apa yang kami rasakan, dia adalah lelaki pertama yang membuat emosiku jatuh bangun. Aku tidak bicara soal cinta pertama karena memang bukan dia orangnya, aku sedang bicara tentang bagaimana aku mengenal keterikatan emosi pada lawan jenis untuk pertama kalinya. Mungkin ini lebih tepat dikatakan sebagai pengalaman pertamaku mengenal emosi dalam bentuk rasa suka.

Waktu aku mengenalnya dan kisah ini pertama kali ada, aku masih berusia belasan tahun sementara dia seorang mahasiswa. Beberapa alumni yang sering menjadi pembimbing ekstrakurikuler di sekolah dulu sempat beberapa kali memberitahuku tentang perasaanya, tapi pada saat itu, jujur aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Bahkan hingga bertahun-tahun setelahnyapun, aku masih saja gagap, bingung harus bersikap seperti apa. Kesalahan terbesar dari ketidaktahuanku menghadapi dia adalah caraku yang menggantungkan dia dan semua perasaannya dalam waktu yang lama. Aku bertindak seolah-olah aku tertarik padanya, padahal sebenarnya aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Kami sama-sama awam dalam memahami ini, terutamanya aku.

Pola seperti itu terjadi cukup lama. Aku antara ada dan tiada baginya, dan dia yang akan selalu ada buatku. Hingga di satu titik, akhirnya diapun melangkah maju dan memiliki kehidupannya sendiri. Aku sempat merasa tertinggal saat mengetahui dia sudah memiliki kehidupan baru yang tidak ada kaitannya dengan aku. Lama-kelamaan, kamipun berjarak, tapi tidak benar-benar hilang. Aku tumbuh menjadi manusia dewasa dengan semua mimpi yang aku kejar dan kisah-kisah baru dengan lelaki-lelaki lain. Begitu pula dengan dia. Tapi setiap kali mengingat dia, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Aku seperti dihantui hutang penjelasan atas semua sikapku padanya selama bertahun-tahun. Selalu saja muncul keinginan untuk bertemu dengannya dan berbicara panjang tentang hal ini, mamun aku juga tidak tahu harus memberikan penjelasan apa. Aku tidak punya kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi karena aku juga tidak tahu kenapa itu terjadi. Maka akupun pasrah dan membiarkan keganjalan ini tetap ada di hidupku selama bertahun-tahun lamanya.   

Kepasrahanku rupanya membuahkan hasil. Pelan tapi pasti, waktu dan rangkaian kejadian seakan memberikan keping demi keping pemahaman yang membuatku bisa memahami semua perasaan mengganjal ini. Hingga akhirnya, semua kepingan itu membentuk sebuah penjelasan yang utuh tentang dia, aku, dan apa yang sebenarnya terjadi.

Maka di sebuah hari di bulan Desember tahun 2019, setelah lebih dari 10 tahun kami saling mengenal, aku memberikannya sebuah penjelasan. Aku tidak tahu sebenarnya apakah penjelasan itu adalah hal yang penting atau tidak, dan apakah hal itu dia butuhkan atau tidak. Yang aku tahu adalah aku harus menyampaikan ini untuk diriku sendiri. Seperti sebuah hutang, aku merasa perlu memberikannya penjelasan.

Kami sepakat bertemu di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan. Aku berangkat di jam yang tepat, agar aku tidak membuatnya menunggu. Cukup deg-degan sebenarnya. Aku pun sampai di tempat yang dia arahkan, dan dari kejauhan aku sudah bisa melihat sosoknya yang masih sama, tinggi menjulang! Diapun menyapaku ramah. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara dan ketawanya itu. Dia memboncengku dengan motor tuanya yang sangat retro, khas dia. Dia masih menjadi seorang copywriter, posisi yang sejak dulu selalu dia inginkan, dan dia masih memiliki hobi yang sama, melahap banyak buku dan karya seni. Sepintas, dia masih menjadi sosok yang sama dari terakhir kali kami bertemu.

Kami duduk dan makan siang di rumah makan yang dia pilih. Lalu akupun mulai bercerita, memberikannya penjelasan yang memang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Saat berbicara, kadang-kadang aku menerawang dan nafasku tetiba memburu. Sedang dia, dia takzim mendengar. Akhirnya dengan susah payah, aku dapat menyelesaikan semua penjelasanku. Dia tidak banyak berkomentar, walau raut mukanya banyak berubah. Aku mencoba memahami kalau tentu saja tidak banyak hal yang bisa dia sampaikan padaku. Dia toh harus mencerna dan mengatur emosinya juga. Walau sejujurnya aku ingin mendengar dia mengatakan sesuatu tentang apa yang dia rasakan. Tapi nihil.

Karena sudah telalu lama di tempat makan, kamipun pindah ke sebuah kedai kopi di salah satu pusat pembelanjaan di daerah Setiabudi. Hari itu, entah ada skenario apa, kami bertemu dengan teman baiknya yang juga merupakan alumni yang aku kenal baik. Kebetulan alumni itu sedang mampir ke Jakarta bersama dengan istri, ipar, dan anak-anaknya. Maka kamipun melakukan reuni kecil-kecilan sambil berbincang ringan. Agak sedikit canggung sebenarnya karena sudah sangat lama aku tidak pernah bertemu dengan si alumni itu. Tidak lama, rombongan dari Jogja itupun pamit pulang dan menyisakan kembali aku dan dia.

Karena dia tidak juga mengatakan apapun, aku hendak mengakhiri hari itu dengan berpamitan. Aku berkata bahwa aku akan pulang naik transjakarta karena toh sudah sore. Mendengar itu, raut mukanya seperti enggan tapi akhirnya dia setuju. Dia membujuk untuk menemaniku berjalan hingga halte transjakarta. Aku menolak awalnya karena aku butuh waktu untuk berjalan sendiri, tapi dia memaksa, maka kamipun berjalan menuju halte.

Ada sebuah bangku panjang di pinggir jalan dekat dengan jembatan penyebarangan menuju halte transjakarta yang akan aku tuju. Kamipun memutuskan untuk duduk sebentar di situ. Pas sekali karena langit sore waktu itu sedang cerah dan lalu lintas Jakarta juga tidak padat. Cocok memang untuk duduk-duduk sore.

Kamipun duduk.

Sama-sama diam.

Kayaknya daritadi aku terus ya yang ngomong? Engga mau cerita apa gitu?” tanyaku. Dia menggeleng.

Kesabaranku seketika hilang. Aku tidak tahu kenapa aku harus duduk menikmati langit sore Jakarta dengan seseorang yang sudah aku lukai perasaanya, sementara dia diam saja. Seperti menyiksa diri dengan melihat dia tetap diam sementara aku butuh waktu untuk bernafas. Akhinya terjadilah yang tidak aku rencanakan, sesuatu yang aku sesali hingga hari ini, aku memaksanya berbicara. Dengan nada agak tinggi aku berkata, “At least tell me what you feel!” Dia akhirnya berkata beberapa hal yang menurutku hanya karena keterpaksaan saja, selebihnya dia kembali diam.

Aku tidak tahan.

Di akhir waktu kami di bangku itu, dia bertanya apakah dia bisa mengajaku pergi lagi. Aku pribadi tidak tahu apakah itu ide yang bagus atau tidak untuk kami saling bertemu setelah hari itu, tapi aku katakan bahwa tentu saja aku tidak akan menolak kalau dia mengajaku pergi di lain hari. Walau sebenarnya aku sanksi hari itu akan terjadi.

Setelah kebisuan yang panjang dan emosikupun sudah terkuras habis, maka aku berpamitan padanya. Aku memintanya untuk tidak menemaniku berjalan. Dia setuju.

Ketika menaiki jembatan penyebrangan menuju halte transjakarta, dadaku terasa ringan, semua keganjalan itu seperti pecah. Aku tersenyum di sore itu, lega. Aku sudah mengakui kesalahanku, semua sikap kekanak-kanakanku, mengakui akar masalahnya. Aku merasa hutang itu telah terbayar. Ada memang perasaaan tidak enak muncul ketika membayangkan bahwa mungkin dia terluka dengan pertemuan ini. Sempat ada hasrat untuk menghubunginya lagi, sekedar untuk bertanya kabarnya, tapi aku urung. Apapun yang dia rasakan harus dia hadapi sendiri. Setidaknya aku tidak perlu ikut campur untuk bagaimana cara dia menghadapi pertemuannya denganku. Karena kalau tidak, aku masih menjadi orang yang sama yang membuat kami hanya berputar-putar di situ-situ saja.

Maka di hari itu, kisah panjang inipun memiliki sebuah penjelasan diakhirnya. Sesuatu yang aku syukuri karena tidak semua kisah memilikinya. Dan kini setiap kali aku melintas di area Setiabudi dan melihat bangku di pinggir jalan itu, aku akan selalu mengingat bagaimana bangku itu telah menjadi saksi bisu dua emosi manusia yang pecah di sebuah sore.

Begitulah satu hari yang panjang bersama dengan lelaki yang pernah bertanya, “Lagi baca buku apa bulan ini?” dengan intonasi yang benar-benar tulus karena dia juga seorang kutu buku. Lelaki pertama yang mengajaku menonton teater dan berbicara panjang lebar tentang seni. Lelaki yang mengenalkanku pada dunia periklanan dan Efek Rumah Kaca. Lelaki yang pernah membuat degup jantung berdebar kencang dan air mataku tumpah berhari-hari karenanya. Dia adalah lelaki yang lahir di bulan November dan aku akan selalu mengenangnya sebagai satu dari sangat sedikit lelaki yang membentukku hingga menjadi aku di hari ini.

Aku sangat bersyukur kisah antara aku dan dia pernah ada. 

Source: https://id.pinterest.com/pin/229683649734409349/


Jumat, 08 Mei 2020

Ketika Masakan Terhidang

Waktu KKN tahun 2012, saya belum ada kepikiran apa-apa soal pekerjaan domestik rumah tangga, mulai dari memasak, beres-beres, atau bahkan belanja bulanan. Mungkin karena waktu itu saya masih membayangkan kehidupan saya setelah lulus kuliah nanti adalah sebagai wanita karir papan atas ibukota, sehingga saya merasa tidak perlu bersentuhan dengan pekerjaan domestik rumah tangga macam itu. Saat itu saya berpikir bahwa melakukan pekerjaan domestik itu ribet, melelahkan dan terlebih saya juga tidak bisa melakukannya dengan baik. Maka ketika saya KKN dan harus tinggal satu rumah dengan 9 orang lainnya di Papua Barat yang sangat pelosok itu, saya sebenarnya merasa sedikit was-was, bagaimana kalau akhirnya saya ini dicibir oleh anggota tim lainnya karena payah melakukan pekerjaan domestik? Padahal saya kan, perempuan? Perempuan kok tidak bisa memasak, menyapu, dan beres-beres? 

Tapi seperti halnya KKN di daerah terpencil, kami memang harus melakukan semua kegiatan sendiri sebagai tim. Mulai dari menjalankan program KKN hingga kegiatan domestik tim, semuanya harus saling gotong-royong. Untuk itulah, komandan unit saya pun membuat jadwal dan tim piket memasak dan beres-beres agar kami semua kebagian jatah. Dan sedikit info, kelompok KKN saya ini saya hanya terdiri dari 4 perempuan yang mana 3 diantaranya dipandang bisa melakukan aktivitas domestik dengan baik, terutama memasak. Sementara saya, saya dipandang lebih jago untuk melaksanakan program-program KKN. Sebuah asumi yang tepat. 

Maka jadilah, mau tidak mau, suka tidak suka, ya saya tetap harus melaksanakan jadwal masak dan beres-beres. Untuk memasak, saya masuk di 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang di dalamnya ada teman perempuan saya yang jago memasak. Orang Medan pula, jadi masakannya selalu kaya rasa. Sementara kelompok kedua berisi dua lelaki yang juga tidak bisa memasak sama sekali seperti saya. Kalau kebagian jadwal piket masak di kelompok pertama, saya dan satu teman lelaki hanya akan kebagian tugas potong-potong bahan masakan saja, selebihnya kami hanya ngobrol di dapur yang kecil itu sambil menemani si orang medan ini masak. Tapi kalau sudah masuk di kelompok masak tim kedua, wah jangan tanya, kami hanya akan masak olahan mie dan sarden saja. Hal yang sama saya rasakan ketika kebagian jadwal beres-beres rumah pastori (tempat kami semua tinggal) dan cuci piring. Rasanya ingin barter saja dengan memberikan sosialisasi ke satu Papua daripada harus berhadapan dengan piring kotor 10 orang, panci-panci kotor habis masak, dan masih harus jalan ke sungai di dekat bukit untuk mencuci itu semua pula! Deuh...

Melihat betapa payahnya saya melakukan kegiatan domestik, terlebih urusan memasak, salah seorang teman lelaki saya berkata begini, "Peh, perempuan itu harus bisa masak biar disayang suami. Ntar cari istri lagi loh dia." Entah dia itu sedang memberikan motivasi atau memang pikirannya saja yang patriarki, masih jadi pertanyaan saya  hingga hari ini. Tapi biar cepat, saya iyakan saja perkataan dia itu dengan ketus. Namun begitu, saya ya juga tidak bisa marah dengan dia, karena jujur saja, saya kagum kalau melihat teman-teman perempuan saya itu dan bahkan beberapa teman lelaki saya, bisa memasak dengan baik di saat kami memang sangat membutuhkan asupan yang lezat dan bergizi. Bagaimana bisa mereka meracik semua bahan-bahan mentah lalu menjadikannya masakan enak? Bahkan Mas Yoyok saja bisa membuat sayur daun singkong santan dan ikan kuah yang.... luar biasa rasanya! Saat itulah akhirnya saya mempunyai tantangan untuk diri sendiri, bahwa suatu hari nanti saya pasti bisa memasak. 

Hingga 8 tahun kemudian setelah ucapan itu diucapkan, dan tantangan itu saya gaungkan, saya merasa ada banyak perubahan dalam hidup saya soal kegiatan domestik, terutama perkara memasak. Bahkan alasan yang mendorong saya menulis tulisan ini adalah karena saya baru saja membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Yap, saya lebih sering memasak sekarang. Dalam beberapa hari ke depan, saya berencana mau bikin kue kering dan basah. Apakah itu  karena saya inpulsif tidak ada kerjaan di masa pandemi ini? Tidak juga sih. Sama sekali tidak ada kaitanya dengan impulsifitas. Alasannya adalah karena sejak dua tahun terakhir, tanpa saya duga-duga, saya menikmati melakukan kegiatan domestik, mulai dari beres-beres, belanja di pasar tradisional, dan memasak! Terutama di masa pandemi ini, saya malah bersyukur karena lebih punya banyak alasan untuk berkreasi dengan resep-resep. Sebuah kejutan, bukan?

Sebenarnya perkenalan saya dengan memasak dan pekerjaan domestik itu dimulai sejak kepindahan saya ke Jakarta. Motivasi awalnya memang dilakukan sebagai upaya bertahan hidup, tapi lama kelamaan saya menikmati melakukan itu semua. Alhasil, saya sudah berhasil membuat masakan-masakan rumah yang rasanya cukup memuaskan dan bahkan membuat kue-kue sederhana tanpa oven. Pun beres-beres adalah hal yang saya lakukan tanpa mengeluh.

Jadi apakah saya akhirnya mempertimbangkan saran teman KKN saya itu untuk belajar memasak agar suami saya kelak tidak mencari istri lain? Ya tentu bukan! Bukan itu motivasinya. Ketika saya akhirnya bisa memasak dan tidak merasa keberatan melakukan pekerjaan domestik lainnya, itu semua saya lakukan karena saya ternyata menikmatinya. Kemampuan memasak yang ingin saya asah ini adalah karena saya memang menyukainya, bukan karena keterpaksaan.

Teman dekat saya, perempuan juga, dia ngekos di tempat lain di Jakarta, seorang data jurnalis handal Indonesia, pernah sekali waktu mengirimkan pesan singkat di masa pandemi ini yang isinya, "Aku happy hari ini, aku engga usah masak. Hari ini aku go-food. Ternyata aku engga suka masak. Masak bikin stress." Tidak hanya wanita yang seumur dengan saya, ketika saya memamerkan hasil masakan-masakan saya kepada bunda, bunda merespon dengan "Iya nih, Bunda juga sedang belajar mencintai dapur". Kalau mama saya, wah jangan tanya, dia adalah dalang kenapa saya tidak mengenal dapur dan masak. Mama tidak pernah mengajak saya ke dapur karena kegiatan memasak itu bukan mama banget. Dia sendiri pada dasarnya tidak nyaman dengan dapur yang berantakan ketika memasak dan itu alasan terbesarnya mengapa tidak pernah mengenalkan saya dengan dapur. Beda dengan nenek. Nenek adalah wanita yang sangat handal dalam memasak. Semua masakannya enak dan dia bisa memasak makanan apa saja. Waktu kecil, saya permah berpikir bahwa kalau nenek meninggal, maka saya bisa mati kelaparan.

Di titik ini, saya jadi berpikir bahwa semua manusia pada dasarnya mempunyai kompetensi untuk melakukan semua hal di dunia ini, tanpa peduli dia lelaki atau perempuan. Termasuk perempuan dan keahlian memasak itu sendiri. Saya merasa bahwa stigma yang diberikan pada perempuan bahwa kami harus pandai memasak, bersolek, mengambil hati pria, cerdik melihat harga, dan mengatur rumah itu adalah keahlian yang sangat mudah bisa dilakukan oleh perempuan manapun. Semua perempuan bisa melakukan itu semua selama dia mau.

Saya tidak percaya bahwa ada perempuan yang tidak bisa melakukan pekerjaan domestik, bagi saya yang ada hanyalah perempuan yang merasa tidak nyaman dan berat hati dalam melakukannya. Mereka bisa, hanya tidak menikmati melakukannya karena satu dan lain hal. Keahlian macam masak, beres-beres, belanja, menjahit, dandan, bikin kue, menyetir, bikin laporan keuangan, hingga menggerakan pesawat bisa dipelajari oleh siapapun. Semuanya bisa melakukannya, perkara dia mahir atau tidak, dia menyukainya atau tidak, nah baru menjadi hal lain. Jadi apakah kita, perempuan terutama, harus suka memasak? tentu saja tidak! 

Saya tidak menikmati merias wajah tapi saya bisa dandan untuk acara-acara tertentu yang mengharuskan saya dandan. Teman saya yang data jurnalis itu, bukan berarti tidak bisa masak, dia pernah membuatkan saya spaghetti carbonara yang lezat. Masakan lebaran mama mulai dari opor dan sambel goreng atinya pun sangat lezat kami santap di setiap lebaran, walaupun dia uring-uringan selama memasak. Teman saya yang lain, hanya bisa memasak masakan yang tidak ada rasanya, tapi bagi dia, dia sudah memasak. Jadi yang perlu diingat oleh semua orang adalah, keahlian itu pilihan untuk dipelajari, tapi bukan berarti seseorang itu harus benar-benar menyukainya. Motivasinya bisa saja berbeda, dan itu tidak ada kaitannya dengan menguasi sebuah keahlian tertentu. Jadi kalau mau berbicara soal menghargai keahlian perempuan dalam hal memask, justru saya yang harusnya lebih menghargai mama yang tidak suka memasak tapi tetap memasak opor, dibanding nenek yang memang pada dasarnya suka memasak. Itu artinya mama saya mau berkorban untuk membuat opor yang enak saat lebaran. 

Jika seorang perempuan akhirnya turun ke dapur dan memasak, itu bisa jadi untuk beragam alasan. Mungkin untuk alasan ekonomi, sebuah hobi, cara pelampiasan stress, aktualisasi diri, atau karena dia menghormati perannya sebagai istri dan ibu. Seorang perempuan boleh saja mempelajari cara memasak, tetapi tidak ada yang boleh mengkoyak identitasnya sebagai perempuan hanya gara-gara urusan bisa memasak atau tidak, bisa melakukan pekerjaan domestik dengan baik atau tidak. Lagipula, mau sepayah apapun seorang perempuan dalam memasak, semua anak dan suami pasti punya masakan favorit yang dibuat langsung oleh ibu atau istri mereka. Coba saja tanya mereka. Karena kan ini bukan soal keahlian, masakan yang terhidang itu soal perhatian dari perempuan yang menjalankan perannya.

Ditambah... Tidak ada yang benar-benar harus di muka bumi ini kecuali hal-hal mendasar seperti bernafas, makan, minum, buang air besar, tidur, dan hal-hal alamiah lainnya yang merupakan kebutuhan manusia. Selebihnya, semua hal itu adalah pilihan, tidak ada yang benar-benar menjadi sebuah keharusan.

Ini adalah salah satu desain dapur idaman saya. Sederhana tapi siap diberantakan dengan tepung atau kunyit.
Source: https://i.pinimg.com/564x/4b/88/95/4b8895a5bb7da8d641acaddf7eaca83f.jpg

Rabu, 29 April 2020

Empat - Bulan Ramadhan


Sebagai orang Indonesia dan beragama Islam, aku selalu mengingat dan melihat bulan Ramadhan dengan semarak. Mungkin karena di sini, Ramadhan dirayakan secara terang-terangan lengkap dengan semua ritual dan tradisinya. Mari kita sebutkan beberapanya seperti, ramainya jalanan menjelang berbuka puasa dengan aneka takjil yang enak-enak dan dijual murah, masjid-masjid yang ramai dengan beragam macam kegiatannya, berbagai macam lingkar pertemanan akan sibuk mengajak berbuka puasa bersama walaupun sering kali wacana, menu makan sahur yang semakin akhir semakin ala kadarnya, hingga ritual mudik dan maaf-maafan di penghujungnya.

Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kenangan yang berbeda-beda dengan Bulan Ramadhan. Mungkin ada yang mengingat Ramadhan sebagai bulan yang sulit mencari makan siang, bulan yang lemas dan tidak begitu produktif, bulan harga sembako akan naik, bulan dicairkannya Tunjangan Hari Raya, atau bulan di mana iklan-iklan sirup marjan banyak ditayangkan.

Begitu juga aku. Kenangan Ramadhan selalu hadir dalam ingatan yang berbeda-beda dari tahun ke tahun.

Waktu aku masih kecil, aku ingat kenangan saat berlari kecil dari masjid selepas sholat tarawih menuju rumah kontrakan untuk makan es mony. Aku juga ingat ketika SD dan aku harus mencari tandatangan penceramah sholat tarawih untuk diisikan di buku kegiatan Ramadhan. Rasanya malas sekali harus menyelinap di belakang mimbar dan berdesakan dengan anak lainnya untuk meminta tanda tangannya.

Beranjak remaja, aku ingat bulan Ramadhan yang harus dilalui dengan mengerjakan Ujian Tengah Semester SMA dan betapa aku harus berjuang untuk bisa bangun pagi setelah tidur habis sahur. Agak menyiksa sebenarnya. Kenangan Ramadhan saat remaja juga dihiasi dengan ucapan-ucapan “Sudah sahur belum?” atau “Selamat berbuka ya” dari cowo-cowo gebetan. Bahkan telepon genggam saat itu tidak pernah sepi dari gombalan-gombalan cowo-cowo untuk mengajak buka puasa bersama.

Saat masa kuliah, bulan Ramadhan selalu saja disibukan dengan menghadiri undangan berbuka puasa di luar, jarang sekali berbuka di rumah bersama keluarga. Apalagi saat masih harus kerja paruh waktu, aku bahkan lebih sering berbuka puasa di gerai toko tempat saya bekerja daripada di rumah. Oh tapi itu pengalaman yang seru sekali. Rasanya menyenangkan bisa menutup toko 15 menit lalu kita semua berkumpul dan memakan makanan bukaan bersama-sama. Dan tentu saja Ramadhan tidak bisa dipisahkan dari kenangan saat siaran sahur dan buka puasa di radio. Siaran sahur yang dimulai dari jam 2 pagi membuatku harus berangkat dari rumah jam 1.45 pagi, menggunakan motor sambil menahan kantuk. Lalu saat siaran, jika sudah jam 3.30 pagi, di tengah-tengah lagu, aku akan keluar studio dan naik motor untuk membeli nasi gudeg yang dijual di Jalan Demangan sebagai menu sahur kesukaanku. Ketika sudah closing siaran di jam 5 pagi, tim siaran sahur akan berebut tempat di sofa dan baru akan bangun jam 7 atau bahkan jam 8 pagi.  

Sejak aku kecil hingga usiaku menginjak 20 tahun awal, kenangan Ramadhan lebih kepada kegiatan yang aku lakukan, rutinitas yang harus sesuaikan, dan ritual berbeda yang aku kerjakan. Saat itu, aku sebenarnya tidak benar-benar melihat Ramadhan sebagaimana esensinya. Tentang mengapa seorang muslim harus berpuasa, memperbanyak membaca Al-Quran, dan sebagainya. Aku tidak begitu ngeh soal itu. Baru dimulai pada tahun 2015 lah akhirnya Ramadhan membawa ingatan dan makna yang berbeda di hidupku. Ramadhan tidak lagi melulu soal rutinitas dan ritual, Ramadhan juga soal mengingat kembali makna diri.

Tahun 2015 adalah tahun pertamaku beritikaf di 10 hari terakhir. Itikaf adalah kegiatan berdiam diri di mesjid dan memperbanyak melakukan ibadah. Ya semacam kontemplasi diri dengan ilahi. Aku selalu mengingat perasaanku di tahun 2015 karena yang aku rasakan adalah perasaan tenang dan lega karena bisa bersimpuh di hadapan Rabb. Aku ingat saat itu, aku memohon agar aku tidak dipisahkan dengan keyakinanku untuk apapun harga dan kondisinya. Ramadhan kala itu berjalan dengan syahdu karena aku lebih sering berbuka puasa di rumah ketimbang bersama teman dan aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan beribadah. Kali pertama aku memperlakukan Ramadhan dengan berbeda, dengan lebih serius. Setelah Ramadhan 2015, hidupku kemudian berjalan sebagaimana doaku. Seakan menjawab keinginanku, setelah itu hidupku berada dalam masa-masa semi kritis. Aku bertemu lelaki dan dia menguji keimananku nyaris pada titik nadir. Hingga akhirnya aku menyambut Ramadhan 2016 dengan satu harapan bahwa aku tetap bisa mempertahankan imanku sekaligus aku bisa untuk tetap mempertahankan perasaanku. Ramadhan di tahun itu hanya diisi dengan helaan nafas panjang dan harapan yang selalu aku ulang-ulang. Ibarat kurva, hidupku menukik pada titik terendah setelah Ramadhan 2016 dan aku saat memasuki Ramadhan 2017, aku datang dengan luka-luka yang butuh disembuhkan. Tidak ada yang benar-benar aku inginkan selama Ramadhan 2017 selain minta ditenangkan dan dilapangkan hatinya. Dan jadilah, aku menggunakan Ramadhan 2017 dengan sangat maksimal untuk menangis sejadi-jadinya. Aku sangat sedikit bertemu orang lain di luar keluarga dan hanya sibuk manata hati dan emosi. Tahun 2018, hidupku semakin membaik dan tahun itu menjadi Ramadhan pertama setelah kepindahanku ke Jakarta. Aku melihat Ramadhan dengan sangat berbeda di tahun itu karena mempunyai lingkungan baru, suasana baru dan teman-teman baru. Di Ramadhan tahun 2018, aku meminta kejelasan dan penyelesaian atas semua pertanyaanku dan perasaan lama yang berputar di situ-situ saja. Hingga memasuki tahun 2019, sebagaimana memang tahun itu adalah tahunnya aku berkontemplasi, saat Ramadhan datang, aku meminta tolong pada Rabb untuk membantuku ikhlas dan berani melepas semua perasaan dan harapan-harapanku yang sudah terjawab pada akhir tahun lalu.

Dan kini, saat satu Indonesia sedang dipaksa untuk tetap berada di rumah, aku seperti kembali pada Ramadhan 2015, di mana untuk pertama kalinya aku memasuki bulan Ramadhan tanpa memiliki keinginan tertentu seperti yang aku alami 4 tahun berturut-turut sebelumnya. Di Ramadhan kali ini, yang aku inginkan adalah agar diberikan waktu bermesraan dengan Rabb selama dan seintens mungkin. Aku berharap agar aku diilhamkan doa-doa terbaik yang bisa aku sampaikan di malam hari. Ada perasaan yang lebih syahdu dan personal di tahun ini, terutama saat semua orang juga berada di rumahnya masing-masing. Ada juga perasaan lega yang aku rasakan karena kini aku tidak lagi datang dengan topik yang sama seperti 4 Ramadhan sebelumnya. Enteng sekali aku rasakan di hati dalam menyambut Ramadhan tahun ini.

Seperti itulah aku merayakan Ramadhan. Kedatangannya selalu mengingatkanku pada perasaan pulang. Walaupun setiap tahunnya aku selalu merasakan pengalaman yang berbeda, tapi tetap saja, ada satu perasaan yang sama, yang amat sangat sulit aku ungkapkan, perasaan tenang dan damai, aku menyebutnya perasaan Ramadhan. Tidak peduli aku berada di mana, melakukan apa, atau sedang dalam kondisi apa, ketika memasuki Bulan Ramadhan, aku seperti memasuki rumah yang aman. Rumah yang menbuatku dapat beristirahat sejenak dan hanya berhubungan denganNya.

Aku selalu merasa aman di Bulan Ramadhan.

Marhaban ya Ramadhan.



Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.

Rabu, 22 April 2020

Siapakah Kontak Darurat Itu?


Minggu ini ada beberapa tumpukan kertas di meja setrikaan di lantai bawah rumah kosan saya. Karena tidak ada pemberitahuan apa-apa dari pemilik rumah kosan, saya jadi tidak memiliki keharusan untuk mengitip apa isi kertas-kertas itu. Saya diamkan saja ada di sana selama beberapa hari. Hingga suatu ketika, saya iseng bertanya dengan salah satu penghuni rumah yang kamarnya paling dekat dengan meja setrikaan. Ternyata itu adalah formulir data diri seluruh penghuni kos yang ada di kecamatan saya ini. Sayapun akhirnya membaca formulir itu dengan seksama. Selain formulir yang kosong, ada satu formulir milik salah satu penghuni kosan yang sudah terisi. Ada dua hal yang saya perhatikan dari formulir yang tersisi itu. Pertama, si teman kosan saya itu menulis status hubungannya adalah menikah; kedua, kontak darurat yang dicantumkan adalah nomor kakaknya. 

Saya jadi bertanya-tanya, kenapa bukan pasangannya saja ya yang dimasukan sebagai kontak darurat?

Dua hal itu sedikit banyak mempengaruhi saya. Bukan karena saya penasaran dengan kehidupan pribadi si teman kosan saya itu, tapi lebih kepada, siapa sebetulnya yang dapat dijadikan sebagai kontak darurat dan kenapa harus orang itu?

Ah iya, saya belum bercerita tentang alasan kita semua harus mengisi biodata sebagai penghuni kosan. Di lembar pertama formulir itu, dijelaskan bahwa di salah satu kosan di kecamatan ini, ada seseorang yang ditemukan tewas di kamarnya seorang diri. Naasnya, si pemilik kos tersebut bahkan tidak mengetahui nomor keluarga atau siapapun yang bisa dihubungi. Entah bagaimana akhirnya, yang jelas kejadian itulah yang membuat pihak kelurahan akhirnya melakukan pendataan, lengkap dengan kontak darurat yang bisa dihubungi.

Padahal baru saja beberapa hari yang lalu, saya juga mendapat sebuah surat elektronik dari kantor yang mengharuskan saya untuk mengisi data kontak darurat. Tertulis dalam penjelasanya bahwa data itu dibutuhkan perusahaan jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diingkan.
Jadi kembali ke pertanyaan saya di awal, siapa sebenarnya kontak darurat itu dan apa alasan pemilihannya?

Saya sempat bertanya kepada beberapa teman melaui WhatsApp tentang hal ini. Seorang teman yang sudah menikah menjawab bahwa kontak darurat yang dia masukan adalah suaminya, lalu ibunya. Teman saya yang belum menikah kebanyakan menjawab keluarganya di rumah. Alasannya cukup klise… “Ya karena suamiku lah Peh. Siapa lagi?

Lalu saya melanjutkan pertanyaan pada mereka tentang apa alasan seseorang yang sudah menikah tapi tidak mencantumkan pasangannya sendiri sebagai kontak darurat. Ada yang menjawab, mungkin karena si pasangan itu sedang tinggal berjauhan atau long distance marriage, dan kontak darurat yang dibutuhkan adalah seseorang yang bisa menolong dengan cepat tanpa terkendala jarak. Jadi dipilihlah orang lain yang tinggal satu kota sekalipun itu bukan pasangannya. Ada juga yang berpendapat mungkin dia tidak mau membuat pasangannya khawatir.

Tapi sebentar…. Sepertinya kita harus mundur sedikit dan membahas tentang kondisi darurat itu sendiri. Memangnya kondisi darurat itu apa?

Beberapa teman saya mengatakan jawaban yang umum seperti kecelakaan, kerampokan, bencana alam atau kalau tetiba kita sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Ada juga yang menjawab kondisi darurat itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan pihak berwajib, seperti kita digerebek oleh polisi kerena pesta narkoba atau meninggal dunia karena bunuh diri atau dibunuh.

Uhm… Saya juga bukan seorang ahli yang bisa mengklasifikasikan jenis situasi darurat seperti apa yang membutuhkan bantuan macam apa. Tapi menurut saya, kondisi darurat adalah sebuah kondisi di mana kita tidak mampu untuk memutuskan sesuatu atau bertindak dengan justifikasi kita sebagaimana normalnya. Karena kejadian itu terjadi cepat dan diluar control kita. Coba sekarang bayangkan, di sebuah pagi misalnya, kita mendapat kejahatan seksual. Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang harus kita putuskan? Kalau itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya akan menangis dan minta dijemput. Ah, tidak usahlah terlalu jauh perkara yang seperti itu, ada teman saya yang hapenya kecopetan di Stasiun Duri saja, seharian dia gemeteran dan tidak bisa bekerja. Dia baru tenang setelah menghubungi keluarganya dan diberi saran untuk jangan pulang dengan KRL. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, dibutuhkan orang lain sebagai pengambil keputusan atau setidaknya menenangkan kita yang sedang panik. Kita butuh diwakilkan sementara waktu.

Kalau begitu, bagi saya kontak darurat memang tidak harus seseorang yang memiliki hubungan keluarga, tetapi seseorang yang benar-benar mengenal saya dan tidak ada perasaan sungkan di hati saya untuk meminta tolong padanya saat kondisi darurat. Tidak wajib juga seseorang yang tinggal satu kota atau berada di radius yang dekat, tapi seseorang yang mampu memberikan instruksi pada siapapun yang menghubunginya saat itu, dan saya percayakan semua instruksi yang dia berikan. Seseorang itu mungkin juga panik saat dihubungi, tapi kehadirannya, walaupun itu hanya lewat suara, membuat saya tidak merasa sendiri. Dan yang terpenting adalah seseorang yang sebisa mungkin memprioritaskan saya saat kondisi darurat itu terjadi. Seperti itu kriteria yang saya bayangkan sebagai kontak darurat.

Saya bukan seseorang yang ahli membaca hubungan antar manusia, namun urusan kontak darurat ini membuat saya sedikit banyak berpikir tentang posisi seseorang di hidup manusia. Kontak darurat saya adalah teman dekat saya, Ica. Di semua formulir yang mengharuskan saya mengisi kontak darurat, maka nama dan nomor telepon Ica yang akan saya cantumkan, barulah jika ada opsi kedua, saya akan meletakan nama dan nomor mama saya.

Selain tiga alasan itu, kontak darurat adalah orang yang juga akan ikut bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah dia ambil. Saya ingat waktu Ica akhirnya memutuskan untuk menginapkan saya di rumah sakit bulan Desember lalu, dia jugalah orang yang bolak-balik mengurus saya selama opname. Memilih Ica sebagai kontak darurat juga dengan pertimbangan yang sangat matang. Ica saat ini adalah satu-satunya orang yang paling memahami emosi saya, siapa keluarga saya yang harus dihubungi, dan fakta bahwa kami memang tinggal satu rumah membuat aktivitas saya terpantau jelas olehnya. Kami sebagai dua temanpun sudah melewati cukup banyak kejadian, sehingga bagi saya, tidak ada yang paling bisa saya percayakan untuk mengambil keputusan di saat mengalami kondisi genting selain dia. Setidaknya hingga hari ini, dia adalah kontak darurat saya.

Pemilihan kontak darurat akan berbicara banyak tentang siapa orang yang bisa menerima kita di kondisi tidak terduga. Tentang siapa orang yang akan menerima hutang budi kita seumur hidup. Tentang siapa orang yang membantu kita untuk kembali tenang. Sungguh bukan posisi yang ringan.

Untuk itu, mari kita bayangkan sejenak, jika ada formulir di depan mata kita sekarang dan kita harus mencantumkan maksimal dua orang sebagai kontak darurat, siapakah mereka?


Source: https://id.pinterest.com/pin/739082988820747989/


Rabu, 15 April 2020

Tiga - Kampung Santri


Seorang ibu dapat diartikan dengan banyak makna. Bagi sebagian orang, ibu adalah sosok yang dapat memberikan kehangatan dan kelembutan yang tidak akan pernah bisa ditukar dengan apapun atau siapapun. Tapi bagi sebagian yang lain, sosok ibu justru dipandang sebagai sumber ketakutan dan kesedihanya. Malah adapula yang melihat peran ibu sebagai peran yang janggal dan hilang sehingga tidak banyak yang bisa dideskripsikan darinya.

Tidak peduli seberapa berbedanya kita dalam menggambarkan sosok seorang ibu, kita harus sepakat bahwa kita semua berasal dari rahim seorang wanita. Entah apa sebutannya, entah bagaimana proses kita mengenalnya, tapi dialah orang yang mengandung kita dalam rahimnya dan dengan nafasnya mencoba sekuat tenaga melahirkan kita. Mungkin karena alasan itu pula, karena kita sudah tinggal di rahimnya sekian bulan, berbagi makanan dengannya, dan menjadi bagian dari pengorbanannya, wanita yang melahirkan kita itu akan selalu ada di hati setiap dari kita. Sering kali, saat manusia sudah berjalan sangat jauh, hingga akhirnya merasa lelah dan sendirian, yang dia inginkan adalah menemui ibunya, bercerita tentang hari-harinya yang panjang, bersandar sejenak dalam pelukannya, dan meminta didoakan agar bisa selalu bertahan.

***

Namanya Jina. Dia adalah anak terakhir dari 6 bersudara. Bukan hanya kelahirannya yang paling terakhir, tapi jarak kelahirannya dengan kakak-kakaknya pun juga cukup berjauhan. Ayahnya sudah lama meninggal saat dia belum tahu banyak hal, di usia 4 tahun lebih tepatnya. Hingga tidak heran, Jina memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya. Dia lahir dan besar di lingkungan pesantren, sehingga dia terbiasa memiliki penampilan dengan identitas keislaman yang cukup kuat. Rok dan baju atasan yang panjang serta jilbab yang dijulurkan hingga depan. Anaknya cukup manis dengan postur tubuh sedang standar Indonesia.

Tahun 2012, takdir mempertemukan kami karena kami menjalani KKN bersama di Papua Barat. Sempat ada sedikit drama tentang urusan asmara, yang mana sangat lucu dan menghibur kalau harus diingat sekarang, tapi selebihnya kami justru menjadi sepasang teman dekat. Dia adalah teman berkelanaku keliling Indonesia selama 4 tahun lebih. Lucu memang kalau diingat. Aku yang serba cepat, realistis, dan suka menyendiri, sementara dia yang agak lambat, emosional, dan apa-apa harus selfie. Harusnya sih kami berantem di jalan, tapi nyatanya akur-akur saja tuh hingga detik ini.

Di satu ketika, saat kami berdua sedang dalam perjalanan ‘Jelajah Sumatra’ tahun 2016, kami duduk di tempat makan kecil serambi menunggu seorang teman kami datang dari Medan untuk sama-sama menyebrang ke Pulau Samosir. Di tempat itu, entah bagaimana awalnya, kami akhirnya bercerita tentang keluarga kami masing-masing. Sebelumnya, kami sangat jarang untuk masuk ke topik obrolan yang sangat personal, maka itulah kali pertama kami berbincang dengan lebih jujur dan terbuka tentang keluarga kami.

Setelah selesai dengan ceritaku, diapun memulai ceritanya, “Aku engga tahu ya… tapi menurutku, ini adalah saat terberat loh sist di hidupku. Aku masih adaptasi sama hidupku setelah mimi meninggal dunia. Sampe sekarang tuh aku masih kaget sama semua perubahan di hidupku. Masih nyoba buat nerima kondisi kalau udah engga ada lagi mimi di hidupku”

Sambil mencemil makanan, aku bertanya, “Segitu deketnya ya kamu sama ibumu?”

“Deket banget! Aku tuh dimanja banget sama dia sist. Mungkin karena aku anak terakhir dan semua kakak-kakakku udah pada menikah kali ya… jadi kayak disayang banget gitu. Semuanya tuh disiapin sama mimi kalau aku pulang kampung. Pokoknya aku diperhatiin banget deh. Sampe sekarang aja aku masih engga kuat kalau harus pulang kampung. Masih aneh rasanya pulang kampung, pulang ke rumah sementara mimi udah engga ada…. Kayak bukan rumah.”

Diapun melanjutkan, “Ada satu hal yang bikin aku galau banget…”

“Apa?” Kataku mendekat.

“Sebelum mimi meninggal, dia itu ngasih wasiat kalau dia itu engga setuju tentang hubunganku sama Deka.”

“Wah, serius?”

“Iya…. Padahal kamu tahu kan aku udah serius sama dia sejak KKN itu… tapi ya gimana dong sist, aku engga bisa dong bantah mimiku. Mana semua kakak-kakakku juga udah jadi saksinya lagi, jadi akan sangat susah banget kalau ngelanjutin hubunganku sama dia.”

“Jadi kamu mau putus?”

“Iya. Tapi aku engga bisa sih kasih tau itu alasannya sih ke dia… ya tapi intinya aku akan putus dari dia.”

Aku yang juga kisah asmaranya tidak lebih baik dari dia hanya bisa diam. Aku jujur tidak tahu harus menghibur atau memberikan dukungan seperti apa. Rumit.

Setelah perbincangan itu, kehidupan Jina berjalan dengan amat sangat tidak mulus. Pertama dia harus menghadapi patah hati yang cukup dahsyat karena harus sengaja memutuskan hubungannya dengan lelaki yang sudah lama dia cintai. Setelah itu, Jina harus mengalami beberapa kali diputuskan sepihak oleh dua lelaki yang awalnya sudah siap untuk menikahinya. Belum lagi cukup waktu untuk mengobati patah hatinya, desakan kakak-kakak Jina tetap saja tidak mereda untuk menyuruhnya segara menikah. Rasanya kehidupan Jina saat itu hanya berputar-putar di masalah menikah dan menikah saja. Tidak ada hal lain. Padahal aku tahu, dia sebenarnya punya banyak mimpi yang ingin dia kejar. 

"Mungkin kalau mimi masih hidup, ceritanya bakal berbeda kali ya sist?" Katanya bertanya suatu ketika.

Setelah 2 tahun masa penantiannya, Jina akhirnya menikah dengan seorang lelaki baik hati, anak tunggal, lahir dan besar di lingkungan yang sama dengan Jina, di lingkungan pesantren. Bahkan sebagai hadiah pernikahannya, dia diberangkatkan umroh oleh keluarga suaminya di bulan Ramadhan. Sebuah hadiah yang pantas dia dapatkan. Aku sangat senang waktu mendengar kabar itu. Aku pikir kehidupannya berjalan baik-baik saja setelah dia menikah. Jina akhirnya menemui akhir yang indah dan akan memulai hidup barunya sebagai seorang istri. Sejak saat itu, aku juga sudah mulai jarang berkomunikasi dengan dia. Aku dengan hidupku sendiri di Jakarta dan dia di Jogjakarta.

Hingga suatu hari saat aku pulang ke Jogja, aku sempatkan untuk datang ke rumahnya.  Aku ingat sekali, saat itu adalah di bulan Ramadhan tahun 2018.

“Jadi gimana rasanya menikah? Sesuai sama ekspektasi engga?” Kataku penasaran.
“Gimana ya sist… aku takut nih kalau aku cerita malah jadi engga bersyukur”
“Eh loh? Kamu kenapa?” Aku yang malah tidak menduga dia akan menjawab dengan nada seperti itu.

Dia pun akhirnya bercerita panjang tentang hubungan dengan ibu mertuanya, termasuk apa yang diharapkan dari keluarga suaminya tentang kehadiran seorang cucu dari rahimnya. Dengan nada tertekan, dia mencoba untuk kuat sambil menyembunyikan perasaan tersudutkan karena keharusan menjadi seorang ibu. “Sist, aku nikah tuh baru… masa ya udah dipaksa harus hamil?”

Dia kembali bercerita bahwa beberapa kali dia harus pergi ke dokter kandungan dan bukannya mendapatkan solusi, dia malah menemui banyak kendala. Dia menyebutkan padaku tentang bagaimana proses penetrasi yang justru malah menimbulkan pendarahan hebat karena dilakukan dengan terburu-buru. Dengan nada tercekat dia bercerita, “Aku sampe dikasih saran sama dokter untuk sebulan sekali atau dua kali ke hotel biar lebih rileks ngelakuinnya.”

Cerita Jina sangat emosional dan lagi-lagi, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya bisa tersenyum dan mencoba mengingatkannya betapa berliku perjalanan asmaranya hingga ada di titik ini. Berharap apa yang aku katakan bisa meringankan bebannya, walaupun aku tahu itu mustahil.

Satu hal yang paling membuat Jina tersiksa adalah kenyataan bahwa dia harus tinggal bersama dengan mertuanya dan menuruti semua aturan yang dibuat oleh keluarga suaminya. Tidak ada yang neko-neko sih sebenarnya, hanya saja dia tidak diperbolehkan lagi untuk berpergian. Jangankan keliling Indonesia bersamaku, untuk sekedar makan di luar bersama temannya saja, sudah terasa seperti sebuah mukjizat. Dan bagi seorang Jina yang sudah terbiasa mandiri dan selalu bergerak kesana kemari, hal itu tentu menjadi perubahan hidup yang sangat tidak mudah untuk dia dijalani.  

Sejak pertemuan itu, kamipun beberapa kali berkomunikasi via telepon. Saat berbincang, aku selalu memperhatikan betapa senangnya dia ketika diperbolehkan untuk pulang ke kampung halamannya walaupun hanya beberapa hari saja.

“Tapi ya sist… aneh banget deh. Aku tuh kan sempet ngerasa engga betah kalau harus pulang kampung karena tiap kepulanganku ke kampung, itu selalu ingetin aku sama mimi. Tapi ya sekarang kondisinya malah begini. Aku malah engga punya pilihan lain lagi selain pulang. Itu malah satu-satunya alasanku biar aku bisa deket lagi sama mimi. ” Katanya dengan nada yang kembali muram.
“Iya sist… kamu pulang gih, puas-puasin kamu nostalgia sama mimi ya, sebelum balik lagi ke rumah Jogja.” kataku mencoba menghibur.

Beberapa saat yang lalu, saat masa-masa awal karantina karena COVID-19 mulai diberlakukan, kamipun sempat berkomunikasi lagi untuk saling menanyakan kabar. Dalam sebuah pesan singkatnya, dia berkata, “Aku jarang banget dikasih kesempatan untuk pulang, dan waktu pulangku ya kalau mau puasa dan lebaran kayak gini. Aku mungkin egois, tapi aku berharap keadaannya cepet normal dan aku bisa pulang lagi…. Aku engga kuat sebenernya…”

Aku yang membaca itu, jujur sangat berat untuk mengamini permintaannya. Aku hanya bisa memberikanya emotikon peluk. 

***

Betapa tidak ada yang mudah dalam perjalanan seorang manusia. Bagi Jina, proses hidupnya saat ini akan selalu terasa kurang lengkap tanpa hadirnya seorang ibu. Terlebih di masa-masa sekarang, ketika dia dipaksa siap untuk menjadi seorang ibu, Jina malah tidak tahu harus berkiblat pada siapa, tidak tahu harus bercerita pada siapa. Satu-satunya keinginannya adalah pulang kampung, pulang ke tempat di mana dia bisa memeluk semua jejak-jejak ibunya dan mengingat sejenak kenangan saat ibunya menyanyikan sebuah lagu sebelum dia tidur. Tempat yang sebetulnya menyedihkan dan hampa, tapi bagi Jina, itu satu-satunya tempat di mana dia tidak harus dipaksa untuk menjadi apa-apa. 


Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.
© RIWAYAT
Maira Gall