Rabu, 15 April 2020

Tiga - Kampung Santri


Seorang ibu dapat diartikan dengan banyak makna. Bagi sebagian orang, ibu adalah sosok yang dapat memberikan kehangatan dan kelembutan yang tidak akan pernah bisa ditukar dengan apapun atau siapapun. Tapi bagi sebagian yang lain, sosok ibu justru dipandang sebagai sumber ketakutan dan kesedihanya. Malah adapula yang melihat peran ibu sebagai peran yang janggal dan hilang sehingga tidak banyak yang bisa dideskripsikan darinya.

Tidak peduli seberapa berbedanya kita dalam menggambarkan sosok seorang ibu, kita harus sepakat bahwa kita semua berasal dari rahim seorang wanita. Entah apa sebutannya, entah bagaimana proses kita mengenalnya, tapi dialah orang yang mengandung kita dalam rahimnya dan dengan nafasnya mencoba sekuat tenaga melahirkan kita. Mungkin karena alasan itu pula, karena kita sudah tinggal di rahimnya sekian bulan, berbagi makanan dengannya, dan menjadi bagian dari pengorbanannya, wanita yang melahirkan kita itu akan selalu ada di hati setiap dari kita. Sering kali, saat manusia sudah berjalan sangat jauh, hingga akhirnya merasa lelah dan sendirian, yang dia inginkan adalah menemui ibunya, bercerita tentang hari-harinya yang panjang, bersandar sejenak dalam pelukannya, dan meminta didoakan agar bisa selalu bertahan.

***

Namanya Jina. Dia adalah anak terakhir dari 6 bersudara. Bukan hanya kelahirannya yang paling terakhir, tapi jarak kelahirannya dengan kakak-kakaknya pun juga cukup berjauhan. Ayahnya sudah lama meninggal saat dia belum tahu banyak hal, di usia 4 tahun lebih tepatnya. Hingga tidak heran, Jina memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya. Dia lahir dan besar di lingkungan pesantren, sehingga dia terbiasa memiliki penampilan dengan identitas keislaman yang cukup kuat. Rok dan baju atasan yang panjang serta jilbab yang dijulurkan hingga depan. Anaknya cukup manis dengan postur tubuh sedang standar Indonesia.

Tahun 2012, takdir mempertemukan kami karena kami menjalani KKN bersama di Papua Barat. Sempat ada sedikit drama tentang urusan asmara, yang mana sangat lucu dan menghibur kalau harus diingat sekarang, tapi selebihnya kami justru menjadi sepasang teman dekat. Dia adalah teman berkelanaku keliling Indonesia selama 4 tahun lebih. Lucu memang kalau diingat. Aku yang serba cepat, realistis, dan suka menyendiri, sementara dia yang agak lambat, emosional, dan apa-apa harus selfie. Harusnya sih kami berantem di jalan, tapi nyatanya akur-akur saja tuh hingga detik ini.

Di satu ketika, saat kami berdua sedang dalam perjalanan ‘Jelajah Sumatra’ tahun 2016, kami duduk di tempat makan kecil serambi menunggu seorang teman kami datang dari Medan untuk sama-sama menyebrang ke Pulau Samosir. Di tempat itu, entah bagaimana awalnya, kami akhirnya bercerita tentang keluarga kami masing-masing. Sebelumnya, kami sangat jarang untuk masuk ke topik obrolan yang sangat personal, maka itulah kali pertama kami berbincang dengan lebih jujur dan terbuka tentang keluarga kami.

Setelah selesai dengan ceritaku, diapun memulai ceritanya, “Aku engga tahu ya… tapi menurutku, ini adalah saat terberat loh sist di hidupku. Aku masih adaptasi sama hidupku setelah mimi meninggal dunia. Sampe sekarang tuh aku masih kaget sama semua perubahan di hidupku. Masih nyoba buat nerima kondisi kalau udah engga ada lagi mimi di hidupku”

Sambil mencemil makanan, aku bertanya, “Segitu deketnya ya kamu sama ibumu?”

“Deket banget! Aku tuh dimanja banget sama dia sist. Mungkin karena aku anak terakhir dan semua kakak-kakakku udah pada menikah kali ya… jadi kayak disayang banget gitu. Semuanya tuh disiapin sama mimi kalau aku pulang kampung. Pokoknya aku diperhatiin banget deh. Sampe sekarang aja aku masih engga kuat kalau harus pulang kampung. Masih aneh rasanya pulang kampung, pulang ke rumah sementara mimi udah engga ada…. Kayak bukan rumah.”

Diapun melanjutkan, “Ada satu hal yang bikin aku galau banget…”

“Apa?” Kataku mendekat.

“Sebelum mimi meninggal, dia itu ngasih wasiat kalau dia itu engga setuju tentang hubunganku sama Deka.”

“Wah, serius?”

“Iya…. Padahal kamu tahu kan aku udah serius sama dia sejak KKN itu… tapi ya gimana dong sist, aku engga bisa dong bantah mimiku. Mana semua kakak-kakakku juga udah jadi saksinya lagi, jadi akan sangat susah banget kalau ngelanjutin hubunganku sama dia.”

“Jadi kamu mau putus?”

“Iya. Tapi aku engga bisa sih kasih tau itu alasannya sih ke dia… ya tapi intinya aku akan putus dari dia.”

Aku yang juga kisah asmaranya tidak lebih baik dari dia hanya bisa diam. Aku jujur tidak tahu harus menghibur atau memberikan dukungan seperti apa. Rumit.

Setelah perbincangan itu, kehidupan Jina berjalan dengan amat sangat tidak mulus. Pertama dia harus menghadapi patah hati yang cukup dahsyat karena harus sengaja memutuskan hubungannya dengan lelaki yang sudah lama dia cintai. Setelah itu, Jina harus mengalami beberapa kali diputuskan sepihak oleh dua lelaki yang awalnya sudah siap untuk menikahinya. Belum lagi cukup waktu untuk mengobati patah hatinya, desakan kakak-kakak Jina tetap saja tidak mereda untuk menyuruhnya segara menikah. Rasanya kehidupan Jina saat itu hanya berputar-putar di masalah menikah dan menikah saja. Tidak ada hal lain. Padahal aku tahu, dia sebenarnya punya banyak mimpi yang ingin dia kejar. 

"Mungkin kalau mimi masih hidup, ceritanya bakal berbeda kali ya sist?" Katanya bertanya suatu ketika.

Setelah 2 tahun masa penantiannya, Jina akhirnya menikah dengan seorang lelaki baik hati, anak tunggal, lahir dan besar di lingkungan yang sama dengan Jina, di lingkungan pesantren. Bahkan sebagai hadiah pernikahannya, dia diberangkatkan umroh oleh keluarga suaminya di bulan Ramadhan. Sebuah hadiah yang pantas dia dapatkan. Aku sangat senang waktu mendengar kabar itu. Aku pikir kehidupannya berjalan baik-baik saja setelah dia menikah. Jina akhirnya menemui akhir yang indah dan akan memulai hidup barunya sebagai seorang istri. Sejak saat itu, aku juga sudah mulai jarang berkomunikasi dengan dia. Aku dengan hidupku sendiri di Jakarta dan dia di Jogjakarta.

Hingga suatu hari saat aku pulang ke Jogja, aku sempatkan untuk datang ke rumahnya.  Aku ingat sekali, saat itu adalah di bulan Ramadhan tahun 2018.

“Jadi gimana rasanya menikah? Sesuai sama ekspektasi engga?” Kataku penasaran.
“Gimana ya sist… aku takut nih kalau aku cerita malah jadi engga bersyukur”
“Eh loh? Kamu kenapa?” Aku yang malah tidak menduga dia akan menjawab dengan nada seperti itu.

Dia pun akhirnya bercerita panjang tentang hubungan dengan ibu mertuanya, termasuk apa yang diharapkan dari keluarga suaminya tentang kehadiran seorang cucu dari rahimnya. Dengan nada tertekan, dia mencoba untuk kuat sambil menyembunyikan perasaan tersudutkan karena keharusan menjadi seorang ibu. “Sist, aku nikah tuh baru… masa ya udah dipaksa harus hamil?”

Dia kembali bercerita bahwa beberapa kali dia harus pergi ke dokter kandungan dan bukannya mendapatkan solusi, dia malah menemui banyak kendala. Dia menyebutkan padaku tentang bagaimana proses penetrasi yang justru malah menimbulkan pendarahan hebat karena dilakukan dengan terburu-buru. Dengan nada tercekat dia bercerita, “Aku sampe dikasih saran sama dokter untuk sebulan sekali atau dua kali ke hotel biar lebih rileks ngelakuinnya.”

Cerita Jina sangat emosional dan lagi-lagi, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya bisa tersenyum dan mencoba mengingatkannya betapa berliku perjalanan asmaranya hingga ada di titik ini. Berharap apa yang aku katakan bisa meringankan bebannya, walaupun aku tahu itu mustahil.

Satu hal yang paling membuat Jina tersiksa adalah kenyataan bahwa dia harus tinggal bersama dengan mertuanya dan menuruti semua aturan yang dibuat oleh keluarga suaminya. Tidak ada yang neko-neko sih sebenarnya, hanya saja dia tidak diperbolehkan lagi untuk berpergian. Jangankan keliling Indonesia bersamaku, untuk sekedar makan di luar bersama temannya saja, sudah terasa seperti sebuah mukjizat. Dan bagi seorang Jina yang sudah terbiasa mandiri dan selalu bergerak kesana kemari, hal itu tentu menjadi perubahan hidup yang sangat tidak mudah untuk dia dijalani.  

Sejak pertemuan itu, kamipun beberapa kali berkomunikasi via telepon. Saat berbincang, aku selalu memperhatikan betapa senangnya dia ketika diperbolehkan untuk pulang ke kampung halamannya walaupun hanya beberapa hari saja.

“Tapi ya sist… aneh banget deh. Aku tuh kan sempet ngerasa engga betah kalau harus pulang kampung karena tiap kepulanganku ke kampung, itu selalu ingetin aku sama mimi. Tapi ya sekarang kondisinya malah begini. Aku malah engga punya pilihan lain lagi selain pulang. Itu malah satu-satunya alasanku biar aku bisa deket lagi sama mimi. ” Katanya dengan nada yang kembali muram.
“Iya sist… kamu pulang gih, puas-puasin kamu nostalgia sama mimi ya, sebelum balik lagi ke rumah Jogja.” kataku mencoba menghibur.

Beberapa saat yang lalu, saat masa-masa awal karantina karena COVID-19 mulai diberlakukan, kamipun sempat berkomunikasi lagi untuk saling menanyakan kabar. Dalam sebuah pesan singkatnya, dia berkata, “Aku jarang banget dikasih kesempatan untuk pulang, dan waktu pulangku ya kalau mau puasa dan lebaran kayak gini. Aku mungkin egois, tapi aku berharap keadaannya cepet normal dan aku bisa pulang lagi…. Aku engga kuat sebenernya…”

Aku yang membaca itu, jujur sangat berat untuk mengamini permintaannya. Aku hanya bisa memberikanya emotikon peluk. 

***

Betapa tidak ada yang mudah dalam perjalanan seorang manusia. Bagi Jina, proses hidupnya saat ini akan selalu terasa kurang lengkap tanpa hadirnya seorang ibu. Terlebih di masa-masa sekarang, ketika dia dipaksa siap untuk menjadi seorang ibu, Jina malah tidak tahu harus berkiblat pada siapa, tidak tahu harus bercerita pada siapa. Satu-satunya keinginannya adalah pulang kampung, pulang ke tempat di mana dia bisa memeluk semua jejak-jejak ibunya dan mengingat sejenak kenangan saat ibunya menyanyikan sebuah lagu sebelum dia tidur. Tempat yang sebetulnya menyedihkan dan hampa, tapi bagi Jina, itu satu-satunya tempat di mana dia tidak harus dipaksa untuk menjadi apa-apa. 


Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall