Rabu, 22 April 2020

Siapakah Kontak Darurat Itu?


Minggu ini ada beberapa tumpukan kertas di meja setrikaan di lantai bawah rumah kosan saya. Karena tidak ada pemberitahuan apa-apa dari pemilik rumah kosan, saya jadi tidak memiliki keharusan untuk mengitip apa isi kertas-kertas itu. Saya diamkan saja ada di sana selama beberapa hari. Hingga suatu ketika, saya iseng bertanya dengan salah satu penghuni rumah yang kamarnya paling dekat dengan meja setrikaan. Ternyata itu adalah formulir data diri seluruh penghuni kos yang ada di kecamatan saya ini. Sayapun akhirnya membaca formulir itu dengan seksama. Selain formulir yang kosong, ada satu formulir milik salah satu penghuni kosan yang sudah terisi. Ada dua hal yang saya perhatikan dari formulir yang tersisi itu. Pertama, si teman kosan saya itu menulis status hubungannya adalah menikah; kedua, kontak darurat yang dicantumkan adalah nomor kakaknya. 

Saya jadi bertanya-tanya, kenapa bukan pasangannya saja ya yang dimasukan sebagai kontak darurat?

Dua hal itu sedikit banyak mempengaruhi saya. Bukan karena saya penasaran dengan kehidupan pribadi si teman kosan saya itu, tapi lebih kepada, siapa sebetulnya yang dapat dijadikan sebagai kontak darurat dan kenapa harus orang itu?

Ah iya, saya belum bercerita tentang alasan kita semua harus mengisi biodata sebagai penghuni kosan. Di lembar pertama formulir itu, dijelaskan bahwa di salah satu kosan di kecamatan ini, ada seseorang yang ditemukan tewas di kamarnya seorang diri. Naasnya, si pemilik kos tersebut bahkan tidak mengetahui nomor keluarga atau siapapun yang bisa dihubungi. Entah bagaimana akhirnya, yang jelas kejadian itulah yang membuat pihak kelurahan akhirnya melakukan pendataan, lengkap dengan kontak darurat yang bisa dihubungi.

Padahal baru saja beberapa hari yang lalu, saya juga mendapat sebuah surat elektronik dari kantor yang mengharuskan saya untuk mengisi data kontak darurat. Tertulis dalam penjelasanya bahwa data itu dibutuhkan perusahaan jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diingkan.
Jadi kembali ke pertanyaan saya di awal, siapa sebenarnya kontak darurat itu dan apa alasan pemilihannya?

Saya sempat bertanya kepada beberapa teman melaui WhatsApp tentang hal ini. Seorang teman yang sudah menikah menjawab bahwa kontak darurat yang dia masukan adalah suaminya, lalu ibunya. Teman saya yang belum menikah kebanyakan menjawab keluarganya di rumah. Alasannya cukup klise… “Ya karena suamiku lah Peh. Siapa lagi?

Lalu saya melanjutkan pertanyaan pada mereka tentang apa alasan seseorang yang sudah menikah tapi tidak mencantumkan pasangannya sendiri sebagai kontak darurat. Ada yang menjawab, mungkin karena si pasangan itu sedang tinggal berjauhan atau long distance marriage, dan kontak darurat yang dibutuhkan adalah seseorang yang bisa menolong dengan cepat tanpa terkendala jarak. Jadi dipilihlah orang lain yang tinggal satu kota sekalipun itu bukan pasangannya. Ada juga yang berpendapat mungkin dia tidak mau membuat pasangannya khawatir.

Tapi sebentar…. Sepertinya kita harus mundur sedikit dan membahas tentang kondisi darurat itu sendiri. Memangnya kondisi darurat itu apa?

Beberapa teman saya mengatakan jawaban yang umum seperti kecelakaan, kerampokan, bencana alam atau kalau tetiba kita sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Ada juga yang menjawab kondisi darurat itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan pihak berwajib, seperti kita digerebek oleh polisi kerena pesta narkoba atau meninggal dunia karena bunuh diri atau dibunuh.

Uhm… Saya juga bukan seorang ahli yang bisa mengklasifikasikan jenis situasi darurat seperti apa yang membutuhkan bantuan macam apa. Tapi menurut saya, kondisi darurat adalah sebuah kondisi di mana kita tidak mampu untuk memutuskan sesuatu atau bertindak dengan justifikasi kita sebagaimana normalnya. Karena kejadian itu terjadi cepat dan diluar control kita. Coba sekarang bayangkan, di sebuah pagi misalnya, kita mendapat kejahatan seksual. Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang harus kita putuskan? Kalau itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya akan menangis dan minta dijemput. Ah, tidak usahlah terlalu jauh perkara yang seperti itu, ada teman saya yang hapenya kecopetan di Stasiun Duri saja, seharian dia gemeteran dan tidak bisa bekerja. Dia baru tenang setelah menghubungi keluarganya dan diberi saran untuk jangan pulang dengan KRL. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, dibutuhkan orang lain sebagai pengambil keputusan atau setidaknya menenangkan kita yang sedang panik. Kita butuh diwakilkan sementara waktu.

Kalau begitu, bagi saya kontak darurat memang tidak harus seseorang yang memiliki hubungan keluarga, tetapi seseorang yang benar-benar mengenal saya dan tidak ada perasaan sungkan di hati saya untuk meminta tolong padanya saat kondisi darurat. Tidak wajib juga seseorang yang tinggal satu kota atau berada di radius yang dekat, tapi seseorang yang mampu memberikan instruksi pada siapapun yang menghubunginya saat itu, dan saya percayakan semua instruksi yang dia berikan. Seseorang itu mungkin juga panik saat dihubungi, tapi kehadirannya, walaupun itu hanya lewat suara, membuat saya tidak merasa sendiri. Dan yang terpenting adalah seseorang yang sebisa mungkin memprioritaskan saya saat kondisi darurat itu terjadi. Seperti itu kriteria yang saya bayangkan sebagai kontak darurat.

Saya bukan seseorang yang ahli membaca hubungan antar manusia, namun urusan kontak darurat ini membuat saya sedikit banyak berpikir tentang posisi seseorang di hidup manusia. Kontak darurat saya adalah teman dekat saya, Ica. Di semua formulir yang mengharuskan saya mengisi kontak darurat, maka nama dan nomor telepon Ica yang akan saya cantumkan, barulah jika ada opsi kedua, saya akan meletakan nama dan nomor mama saya.

Selain tiga alasan itu, kontak darurat adalah orang yang juga akan ikut bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah dia ambil. Saya ingat waktu Ica akhirnya memutuskan untuk menginapkan saya di rumah sakit bulan Desember lalu, dia jugalah orang yang bolak-balik mengurus saya selama opname. Memilih Ica sebagai kontak darurat juga dengan pertimbangan yang sangat matang. Ica saat ini adalah satu-satunya orang yang paling memahami emosi saya, siapa keluarga saya yang harus dihubungi, dan fakta bahwa kami memang tinggal satu rumah membuat aktivitas saya terpantau jelas olehnya. Kami sebagai dua temanpun sudah melewati cukup banyak kejadian, sehingga bagi saya, tidak ada yang paling bisa saya percayakan untuk mengambil keputusan di saat mengalami kondisi genting selain dia. Setidaknya hingga hari ini, dia adalah kontak darurat saya.

Pemilihan kontak darurat akan berbicara banyak tentang siapa orang yang bisa menerima kita di kondisi tidak terduga. Tentang siapa orang yang akan menerima hutang budi kita seumur hidup. Tentang siapa orang yang membantu kita untuk kembali tenang. Sungguh bukan posisi yang ringan.

Untuk itu, mari kita bayangkan sejenak, jika ada formulir di depan mata kita sekarang dan kita harus mencantumkan maksimal dua orang sebagai kontak darurat, siapakah mereka?


Source: https://id.pinterest.com/pin/739082988820747989/


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall