Minggu ini ada beberapa tumpukan
kertas di meja setrikaan di lantai bawah rumah kosan saya. Karena tidak ada
pemberitahuan apa-apa dari pemilik rumah kosan, saya jadi tidak memiliki
keharusan untuk mengitip apa isi kertas-kertas itu. Saya diamkan saja ada di
sana selama beberapa hari. Hingga suatu ketika, saya iseng bertanya dengan
salah satu penghuni rumah yang kamarnya paling dekat dengan meja setrikaan. Ternyata
itu adalah formulir data diri seluruh penghuni kos yang ada di kecamatan saya
ini. Sayapun akhirnya membaca formulir itu dengan seksama. Selain formulir yang
kosong, ada satu formulir milik salah satu penghuni kosan yang sudah terisi. Ada
dua hal yang saya perhatikan dari formulir yang tersisi itu. Pertama, si teman
kosan saya itu menulis status hubungannya adalah menikah; kedua, kontak darurat
yang dicantumkan adalah nomor kakaknya.
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa bukan
pasangannya saja ya yang dimasukan sebagai kontak darurat?
Dua hal itu sedikit banyak
mempengaruhi saya. Bukan karena saya penasaran dengan kehidupan pribadi si
teman kosan saya itu, tapi lebih kepada, siapa sebetulnya yang dapat dijadikan
sebagai kontak darurat dan kenapa harus orang itu?
Ah iya, saya belum bercerita
tentang alasan kita semua harus mengisi biodata sebagai penghuni kosan. Di
lembar pertama formulir itu, dijelaskan bahwa di salah satu kosan di kecamatan
ini, ada seseorang yang ditemukan tewas di kamarnya seorang diri. Naasnya, si
pemilik kos tersebut bahkan tidak mengetahui nomor keluarga atau siapapun yang
bisa dihubungi. Entah bagaimana akhirnya, yang jelas kejadian itulah yang
membuat pihak kelurahan akhirnya melakukan pendataan, lengkap dengan kontak
darurat yang bisa dihubungi.
Padahal baru saja beberapa hari
yang lalu, saya juga mendapat sebuah surat elektronik dari kantor yang
mengharuskan saya untuk mengisi data kontak darurat. Tertulis dalam
penjelasanya bahwa data itu dibutuhkan perusahaan jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal
yang tidak diingkan.
Jadi kembali ke pertanyaan saya
di awal, siapa sebenarnya kontak darurat itu dan apa alasan pemilihannya?
Saya sempat bertanya kepada
beberapa teman melaui WhatsApp tentang hal ini. Seorang teman yang sudah menikah
menjawab bahwa kontak darurat yang dia masukan adalah suaminya, lalu ibunya. Teman
saya yang belum menikah kebanyakan menjawab keluarganya di rumah. Alasannya
cukup klise… “Ya karena suamiku lah Peh. Siapa
lagi?”
Lalu saya melanjutkan pertanyaan pada
mereka tentang apa alasan seseorang yang sudah menikah tapi tidak mencantumkan
pasangannya sendiri sebagai kontak darurat. Ada yang menjawab, mungkin karena si
pasangan itu sedang tinggal berjauhan atau long
distance marriage, dan kontak darurat yang dibutuhkan adalah seseorang yang
bisa menolong dengan cepat tanpa terkendala jarak. Jadi dipilihlah orang lain
yang tinggal satu kota sekalipun itu bukan pasangannya. Ada juga yang berpendapat
mungkin dia tidak mau membuat pasangannya khawatir.
Tapi sebentar…. Sepertinya kita
harus mundur sedikit dan membahas tentang kondisi darurat itu sendiri. Memangnya
kondisi darurat itu apa?
Beberapa teman saya mengatakan
jawaban yang umum seperti kecelakaan, kerampokan, bencana alam atau kalau
tetiba kita sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Ada juga yang menjawab
kondisi darurat itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan pihak berwajib,
seperti kita digerebek oleh polisi kerena pesta narkoba atau meninggal dunia
karena bunuh diri atau dibunuh.
Uhm… Saya juga bukan seorang ahli
yang bisa mengklasifikasikan jenis situasi darurat seperti apa yang membutuhkan
bantuan macam apa. Tapi menurut saya,
kondisi darurat adalah sebuah kondisi di mana kita tidak mampu untuk memutuskan
sesuatu atau bertindak dengan justifikasi kita sebagaimana normalnya. Karena
kejadian itu terjadi cepat dan diluar control kita. Coba sekarang bayangkan, di
sebuah pagi misalnya, kita mendapat kejahatan seksual. Apa yang bisa kita
lakukan? Apa yang harus kita putuskan? Kalau itu terjadi pada saya, kemungkinan
besar saya akan menangis dan minta dijemput. Ah, tidak usahlah terlalu jauh
perkara yang seperti itu, ada teman saya yang hapenya kecopetan di Stasiun Duri
saja, seharian dia gemeteran dan tidak bisa bekerja. Dia baru tenang setelah
menghubungi keluarganya dan diberi saran untuk jangan pulang dengan KRL. Dalam
kondisi-kondisi seperti itu, dibutuhkan orang lain sebagai pengambil keputusan atau
setidaknya menenangkan kita yang sedang panik. Kita butuh diwakilkan sementara
waktu.
Kalau begitu, bagi saya kontak
darurat memang tidak harus
seseorang yang memiliki hubungan keluarga, tetapi
seseorang yang benar-benar mengenal saya dan tidak ada perasaan sungkan di
hati saya untuk meminta tolong padanya saat kondisi darurat. Tidak wajib juga seseorang yang tinggal
satu kota atau berada di radius yang dekat, tapi seseorang yang mampu
memberikan instruksi pada siapapun yang menghubunginya saat itu, dan saya
percayakan semua instruksi yang dia berikan. Seseorang itu mungkin juga panik
saat dihubungi, tapi kehadirannya, walaupun itu hanya lewat suara, membuat saya
tidak merasa sendiri. Dan yang terpenting adalah seseorang yang sebisa mungkin memprioritaskan saya saat kondisi darurat itu terjadi. Seperti itu kriteria yang saya bayangkan sebagai kontak
darurat.
Saya bukan seseorang yang ahli
membaca hubungan antar manusia, namun urusan kontak darurat ini membuat saya
sedikit banyak berpikir tentang posisi seseorang di hidup manusia. Kontak
darurat saya adalah teman dekat saya, Ica. Di semua formulir yang mengharuskan
saya mengisi kontak darurat, maka nama dan nomor telepon Ica yang akan saya
cantumkan, barulah jika ada opsi kedua, saya akan meletakan nama dan nomor mama
saya.
Selain tiga alasan itu, kontak
darurat adalah orang yang juga akan ikut bertanggung jawab atas semua keputusan
yang telah dia ambil. Saya ingat waktu Ica akhirnya memutuskan untuk
menginapkan saya di rumah sakit bulan Desember lalu, dia jugalah orang yang
bolak-balik mengurus saya selama opname. Memilih Ica sebagai kontak darurat
juga dengan pertimbangan yang sangat matang. Ica saat ini adalah satu-satunya
orang yang paling memahami emosi saya, siapa keluarga saya yang harus
dihubungi, dan fakta bahwa kami memang tinggal satu rumah membuat aktivitas
saya terpantau jelas olehnya. Kami sebagai dua temanpun sudah melewati cukup
banyak kejadian, sehingga bagi saya, tidak ada yang paling bisa saya percayakan
untuk mengambil keputusan di saat mengalami kondisi genting selain dia. Setidaknya hingga
hari ini, dia adalah kontak darurat saya.
Pemilihan kontak darurat akan
berbicara banyak tentang siapa orang yang bisa menerima kita di kondisi tidak
terduga. Tentang siapa orang yang akan menerima hutang budi kita seumur hidup. Tentang
siapa orang yang membantu kita untuk kembali tenang. Sungguh bukan posisi yang
ringan.
Untuk itu, mari kita bayangkan
sejenak, jika ada formulir di depan mata kita sekarang dan kita harus mencantumkan
maksimal dua orang sebagai kontak darurat, siapakah mereka?
Source: https://id.pinterest.com/pin/739082988820747989/ |
Tidak ada komentar
Posting Komentar