Jumat, 03 April 2020

Dua - Kamar Masa Kecil


Tidak semua orang menyukai Jakarta atau lebih tepatnya, tidak semua orang sanggup menghadapi Jakarta. Di Jakarta, waktu seperti berjalan dengan sangat cepat, orang-orangnya tidak punya banyak energi dan waktu untuk saling melontarkan senyum di jalan atau bertanya kabar. Bahkan terkadang sulit membedakan mana ketulusan dan mana yang artifisial. Mereka bilang, Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri.

Namun begitu, seringkali manusia tidak bisa menolak Jakarta yang digadang-gadang sebagai pusat kehidupan Indonesia. Berbagai macam slogan, iming-iming, bahkan cerita kesuksesan seakan dilontarkan untuk menghias nama Jakarta sebagai tempat yang tepat untuk meraih cita-cita. Namanya sangat sohor untuk para pengejar mimpi, rasanya jika belum bisa bertarung di Jakarta, belum bisa dikatakan tangguh. Doktrin yang sesat memang.

Tapi toh sebenarnya, tidak pernah ada paksaan untuk menyukai Jakarta. Pun Jakarta, juga tidak pernah memaksa seseorang untuk datang padanya, terlebih jika harus jatuh cinta padanya. Jakarta hanya menjadi apa adanya, hiruk-pikuk yang terkadang semu. Pilihan untuk jatuh cinta, sepenuhnya diserahkan pada masing-masing orang.

***

Waktu itu sudah cukup malam ketika aku kedatangan tiga orang teman lama. Sama seperti aku, ketiganya adalah perantau dari Jogja. Kedatangan mereka malam itu cukup dadakan sebenarnya, dimulai dari obrolan singkat kami di pagi hari melalui Whatsap group, hingga kesepakatan bersama untuk datang ke tempatku nanti malam.

Salah satu dari kami bertiga bernama Kharis. Orangnya cukup enerjik. Walau tidak memiliki lekuk tubuh macam Pevita Pearce, tapi dia menarik. Kalau dia bercerita, intonasinya bisa naik turun. Kadang dia bisa berlaku sangat polos, tapi kadang dia bisa bertingkah sangat dewasa. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari seorang Kharis adalah kegemarannya pada makanan dan Youtube.
Malam itu, dia adalah orang pertama yang memulai untuk bercerita, sekaligus orang yang ceritanya paling banyak kami respon.

“Aku mau balik aja ke Jogja.” katanya dengan ekspresif.

Kami menjawab degan nada yang berbeda-beda. Aulia menanggapi dengan simpati, “Yaampun, kenapa?”, Bili dengan nada sedikit sarkas, “Kenapa e emangnya? Kamu bokek po?” dan aku yang penasaran, “Wah, ada cerita apa nih?”

“Aku engga tau apa yang sebenernya aku cari di sini. Kalian tau kan kerjaan aku itu engga pas sama aku. Aku tuh lulusan kedokteran hewan tapi sekarang aku malah kerja di marketing komunikasi buat jualan obat hewan. Bayangin dong gais, bayangiiin… makanya kan awal-awal itu akan tanya terus ke kamu mbak, soal marketing komunikasi. Soalnya aku blas engga ngerti!”

“Eh sebentar deh, tapi bukannya kamu juga engga suka-suka amat ya jadi dokter hewan? Trus katamu juga, kamu lebih suka kerjaan yang ketemu orang? Lah pas bukan?” Kataku mencoba mengklarifikasi.

“Iya sih, tapi yang ini tuh aneh banget mbaaak, managementnya tuh dikit-dikit nyuruh aku mikir sendiri lah, inisitaif sendirilah, kan aku engga punya pengalaman ya di bidang marketing komunikasi, tapi kalau aku tanya nih, misal minta masukan, mereka tuh juga engga ngasih tau persisnya aku kudu gimana. Kan bingung ya. Capek aku tuh gais” Kharis mencoba menjelaskan emosinya.

“Trus kamu udah gitu, pulang aja ke Jogja? Mau ngapain di sana?” Sanggah Aulia dengan realistis.

“Aku juga ga tauuuuu….. huaaaaa jangan gitu dooong mbak Auuuul… aku jadi makin bingung nih” Kata kharis dengan nada gabungan antara minta tolong tapi juga tidak tidak mau dinasehati.

“Ya aku juga engga begitu suka kok sama kerjaan aku. Kamu bayangin aja ya… kantorku tuh rasis banget tau engga. Aku sebagai HRD nih ya, aku cuma boleh nerima orang dengan kriteria tertentu. Kalau ditanya sebel apa engga? Wah ini tuh udah engga sesuai sama nilai-nilaiku, tapi ya sekarang aku engga punya banyak pilhan. Kalian tahukan tunanganku barusan di PHK, trus aku belom dapet kerjaan yang oke sekarang, nah ditambah lagi aku mau nikah taun ini kan. Ora iso sekarepe dewe aku ki (engga bisa seenaknya sendiri aku tuh). Jadi kalau kamu engga sreg sama kerjaanmu, ya sama, aku juga. Tapi jangan langsung pulang ke Jogja gitu aja dong.” Kata Aulia sambil menyemil gorengan.

“Kamu yakin mau pulang ke Jogja? Mungkin kamu bisa buat cari kerjaan lain atau pindah di posisi lain?” Kataku menawarkan pilihan.

Kharis terdiam, lalu berkata, “I don’t know mbak…. Tapi kayaknya aku mau lanjut S2 aja”

Penjelasan yang langsung disanggah oleh Aulia, “Kamu yakin? Kamu harus mikir baik-baik loh, jangan jadiin S2 mu itu pelampiasan aja karena kamu engga bisa bertahan di pekerjaan kamu. Kamu harus mikir baik-baik. Nih ya sebagai HRD, aku bisa bilang kalau di beberapa posisi itu, S2 itu udah engga kepake Ris. Mereka lebih ngandalin pengalaman mereka. Mungkin sekarang kamu tuh cuma ada di kerjaan yang engga kamu banget, tapi mana tau ada pekerjaan yang lebih baik. Kamu jangan nyerah dulu…”

“Kamu mungkin bisa belajar juga sih Ris dari aku. Ngejar S2 tuh engga segampang itu juga, apalagi kalau kamu engga punya banyak duit buat biayain sendiri dan jadinya harus pake beasiswa. Ya aku ga tau ya… mana tau kamu emang seberuntung itu, jadi pas percobaan pertama daftar beasiswa, eh langsung lolos. Tapi kalau engga, ya kamu harus siap mental buat jatuh bangun. Belom biayanya… mahal cin! Secara emosional tuh capek banget loh” Kataku mencoba memberikan pandangan lain.

“Trus ojo lali (jangan lupa)... Kamu kan engga pinter-pinter amat Ris! Kamu betah po belajar di kelas gitu lama-lama?” Sambung Bili yang langsung dikeplak oleh Aulia, “Heh dasar. Pinter tau diaaa!” Dan tawa kami semuapun pecah.

“Trus aku harus gimana dong gaiiis?” Kharis bertanya dengan nada bingung.

Kami terdiam sebentar, mencoba untuk memikirkan jawaban yang paling diplomatis atas pertanyaan yang sebenarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar bisa menjawab. Akhirnya, Aulia menjawab bahwa Kharis harus memikirkan niat S2 nya dengan sangat hati-hati, karena tidak bijak untuk melanjutkan S2 hanya atas dasar kepepet. Aku dan Bili memiliki respon yang sama yaitu apapun yang akan Kharis lakukan, dia harus mampu bertanggungjawab. Kata Bili, “Kowe ki wis gede Ris… (Kamu itu udah besar Ris)“

Pertemuan malam itu pun akhirnya selesai pada tengah malam, disaat kami berempat sudah memiliki waktu dan kesempatan untuk saling bercerita.

***

Waktupun berjalan sejak malam kami berempat berkumpul. Kharis akhirnya benar-benar memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai marketing komunikasi di perusahaan penjual obat hewan dan kembali ke Jogja. Hingga di satu kesempatan, akhirnya aku menyapanya kembali. Aku bertanya tentang kabarnya, bagaimana dia menghadapi keputusannya untuk kembali ke Jogja, serta apakah dia jadi melanjutkan S2 nya atau tidak.

“Tau engga sih mbak, aku tuh ada di titik aku malu ketemu sama orang, soalnya kayaknya aku tuh engga ngapa-ngapain.” Katanya.

Diapun melanjutkan ceritanya, “Aku tuh kan deket banget sama Ibuku. Apa-apa tuh aku cerita sama dia. Tapi semakin kesini, aku semakin ngerasa kalau ibuku tuh ngelepas aku karena ya aku kan udah dewasa, harus mutusin semua sendiri. Aku jadi bingung sekarang harus gimana.”

“Apa kata Ibumu Ris?”

“Ya semuanya terserah sama aku aja sih mbak sekarang… makin bingung engga sih jadi aku? Tapi seenggaknya aku di Jogjalah… cooling down dulu sambil mikir.”

Aku yang membaca pesannya melalui Whatsapp, jujur saja tidak memiliki banyak hal yang bisa aku sampaikan, selain berharap agar dia bisa melewati proses perjalanan hidupnya setelah ini dengan optimis serta tidak melihat proses itu sebagai sebuah kegagalan.

Cerita Kharis mungkin sama dengan cerita perantau lainnya di Jakarta. Mereka yang lahir dan tumbuh besar di kota seperti Jogja, tidak serta-merta mudah beradaptasi dengan kota sebesar Jakarta, atau mengubah pandangannya tentang kenyamanan untuk bisa tinggal di Jakarta. Jakarta memang bukan untuk semua orang. Bahkan sebenarnya, tidak ada salahnya juga jika para pemimpi itu memutuskan untuk berada di Jogja atau kota-kota lainya. Jakarta memang menawarkan banyak petualangan. Tempat di mana kita kita bisa merasakan denyut nadi adrenalin berpacu dengan target-target, tantangan, dan kompetisi. Tapi jangan lupa, banyak hal yang menipu di Jakarta. Jakarta sangat pandai mengemas kebahagiaan agar terlihat menarik, padahal sering kali itu bentuk lain dari kehampaan. Jakarta memang menawarkan banyak paket lengkap, semua kenikmatan duniawi tersedia untuk dipilih. Tapi bagi sebagian orang, tidak peduli selengkap apapun paket yang ditawarkan Jakarta, tidak akan pernah bisa menawarkan sebuah perasaan seperti menemukan rumah. Bagi mereka, Jakarta bukan tempat untuk pulang.

Kharis pernah berada di Jakarta, menjadi salah satu wanita muda yang yang ikut berdesakan dengan kemacetan Ibukota. Bangun di pagi hari, pulang di sore hari, dan mengunjungi pusat perbelanjaan terkini. Mencoba melakoni perannya sebagai seorang marketing komunikasi dengan niatan untuk menguji ketahanan mental diri. Hingga dia berada di satu titik ketika perjalanannya di Jakarta menemui episode akhir. Di saat itulah, tidak ada yang lebih baik baginya selain kembali ke Jogja, bertemu dengan ibunda dan merancang kembali rencana-rencana. Apakah itu nantinya adalah untuk kembali ke Jakarta atau melanjutkan S2, apapun itu, untuk sejenak Kharis memilih untuk berjalan pulang. Tempat yang sudah dia kenal sejak kecil. Tempat yang paling aman, nyaman, dan hangat. Seperti kata Kla Project, pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu….


Kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall