Tidak semua orang menyukai
Jakarta atau lebih tepatnya, tidak semua orang sanggup menghadapi Jakarta. Di Jakarta,
waktu seperti berjalan dengan sangat cepat, orang-orangnya tidak punya banyak energi
dan waktu untuk saling melontarkan senyum di jalan atau bertanya kabar. Bahkan
terkadang sulit membedakan mana ketulusan dan mana yang artifisial. Mereka
bilang, Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri.
Namun begitu, seringkali manusia
tidak bisa menolak Jakarta yang digadang-gadang sebagai pusat kehidupan
Indonesia. Berbagai macam slogan, iming-iming, bahkan cerita kesuksesan seakan
dilontarkan untuk menghias nama Jakarta sebagai tempat yang tepat untuk meraih
cita-cita. Namanya sangat sohor untuk para pengejar mimpi, rasanya jika belum
bisa bertarung di Jakarta, belum bisa dikatakan tangguh. Doktrin yang sesat
memang.
Tapi toh sebenarnya, tidak pernah
ada paksaan untuk menyukai Jakarta. Pun Jakarta, juga tidak pernah memaksa
seseorang untuk datang padanya, terlebih jika harus jatuh cinta padanya.
Jakarta hanya menjadi apa adanya, hiruk-pikuk yang terkadang semu. Pilihan
untuk jatuh cinta, sepenuhnya diserahkan pada masing-masing orang.
***
Waktu itu sudah cukup malam
ketika aku kedatangan tiga orang teman lama. Sama seperti aku, ketiganya adalah
perantau dari Jogja. Kedatangan mereka malam itu cukup dadakan sebenarnya,
dimulai dari obrolan singkat kami di pagi hari melalui Whatsap group, hingga kesepakatan bersama untuk datang ke tempatku nanti
malam.
Salah satu dari kami bertiga
bernama Kharis. Orangnya cukup
enerjik. Walau tidak memiliki lekuk tubuh macam Pevita Pearce, tapi dia menarik.
Kalau dia bercerita, intonasinya bisa naik turun. Kadang dia bisa berlaku
sangat polos, tapi kadang dia bisa bertingkah sangat dewasa. Satu hal yang tidak
bisa dilepaskan dari seorang Kharis adalah kegemarannya pada makanan dan
Youtube.
Malam itu, dia adalah orang
pertama yang memulai untuk bercerita, sekaligus orang yang ceritanya paling
banyak kami respon.
“Aku mau balik aja ke Jogja.” katanya dengan ekspresif.
Kami menjawab degan nada yang
berbeda-beda. Aulia menanggapi dengan simpati, “Yaampun, kenapa?”, Bili dengan nada
sedikit sarkas, “Kenapa e emangnya? Kamu bokek po?” dan aku yang penasaran,
“Wah, ada cerita apa nih?”
“Aku engga tau apa yang sebenernya
aku cari di sini. Kalian tau kan kerjaan aku itu engga pas sama aku. Aku tuh
lulusan kedokteran hewan tapi sekarang aku malah kerja di marketing komunikasi
buat jualan obat hewan. Bayangin dong gais, bayangiiin… makanya kan awal-awal
itu akan tanya terus ke kamu mbak, soal marketing komunikasi. Soalnya aku blas
engga ngerti!”
“Eh sebentar deh, tapi bukannya
kamu juga engga suka-suka amat ya jadi dokter hewan? Trus katamu juga, kamu lebih
suka kerjaan yang ketemu orang? Lah pas bukan?” Kataku mencoba mengklarifikasi.
“Iya sih, tapi yang ini tuh aneh
banget mbaaak, managementnya tuh dikit-dikit nyuruh aku mikir sendiri lah,
inisitaif sendirilah, kan aku engga punya pengalaman ya di bidang marketing
komunikasi, tapi kalau aku tanya nih, misal minta masukan, mereka tuh juga
engga ngasih tau persisnya aku kudu gimana. Kan bingung ya. Capek aku tuh gais”
Kharis mencoba menjelaskan emosinya.
“Trus kamu udah gitu, pulang aja
ke Jogja? Mau ngapain di sana?” Sanggah Aulia dengan realistis.
“Aku juga ga tauuuuu….. huaaaaa
jangan gitu dooong mbak Auuuul… aku jadi makin bingung nih” Kata kharis dengan
nada gabungan antara minta tolong tapi juga tidak tidak mau dinasehati.
“Ya aku juga engga begitu suka kok
sama kerjaan aku. Kamu bayangin aja ya… kantorku tuh rasis banget tau engga.
Aku sebagai HRD nih ya, aku cuma boleh nerima orang dengan kriteria tertentu. Kalau
ditanya sebel apa engga? Wah ini tuh udah engga sesuai sama nilai-nilaiku, tapi
ya sekarang aku engga punya banyak pilhan. Kalian tahukan tunanganku barusan di
PHK, trus aku belom dapet kerjaan yang oke sekarang, nah ditambah lagi aku mau
nikah taun ini kan. Ora iso sekarepe dewe
aku ki (engga bisa seenaknya sendiri aku tuh). Jadi kalau kamu engga sreg
sama kerjaanmu, ya sama, aku juga. Tapi jangan langsung pulang ke Jogja gitu
aja dong.” Kata Aulia sambil menyemil gorengan.
“Kamu yakin mau pulang ke Jogja?
Mungkin kamu bisa buat cari kerjaan lain atau pindah di posisi lain?” Kataku
menawarkan pilihan.
Kharis terdiam, lalu berkata, “I don’t know mbak…. Tapi kayaknya aku
mau lanjut S2 aja”
Penjelasan yang langsung disanggah
oleh Aulia, “Kamu yakin? Kamu harus mikir baik-baik loh, jangan jadiin S2 mu
itu pelampiasan aja karena kamu engga bisa bertahan di pekerjaan kamu. Kamu
harus mikir baik-baik. Nih ya sebagai HRD, aku bisa bilang kalau di beberapa
posisi itu, S2 itu udah engga kepake Ris. Mereka lebih ngandalin pengalaman
mereka. Mungkin sekarang kamu tuh cuma ada di kerjaan yang engga kamu banget,
tapi mana tau ada pekerjaan yang lebih baik. Kamu jangan nyerah dulu…”
“Kamu mungkin bisa belajar juga sih
Ris dari aku. Ngejar S2 tuh engga segampang itu juga, apalagi kalau kamu engga
punya banyak duit buat biayain sendiri dan jadinya harus pake beasiswa. Ya aku
ga tau ya… mana tau kamu emang seberuntung itu, jadi pas percobaan pertama
daftar beasiswa, eh langsung lolos. Tapi kalau engga, ya kamu harus siap mental
buat jatuh bangun. Belom biayanya… mahal cin! Secara emosional tuh capek banget
loh” Kataku mencoba memberikan pandangan lain.
“Trus ojo lali (jangan lupa)... Kamu kan engga pinter-pinter amat Ris!
Kamu betah po belajar di kelas gitu lama-lama?” Sambung Bili yang langsung dikeplak oleh Aulia, “Heh dasar. Pinter
tau diaaa!” Dan tawa kami semuapun pecah.
“Trus aku harus gimana dong
gaiiis?” Kharis bertanya dengan nada bingung.
Kami terdiam sebentar, mencoba untuk
memikirkan jawaban yang paling diplomatis atas pertanyaan yang sebenarnya tidak
ada satupun orang yang benar-benar bisa menjawab. Akhirnya, Aulia menjawab
bahwa Kharis harus memikirkan niat S2 nya dengan sangat hati-hati, karena tidak
bijak untuk melanjutkan S2 hanya atas dasar kepepet. Aku dan Bili memiliki
respon yang sama yaitu apapun yang akan Kharis lakukan, dia harus mampu bertanggungjawab.
Kata Bili, “Kowe ki wis gede Ris…
(Kamu itu udah besar Ris)“
Pertemuan malam itu pun akhirnya
selesai pada tengah malam, disaat kami berempat sudah memiliki waktu dan
kesempatan untuk saling bercerita.
***
Waktupun berjalan sejak malam
kami berempat berkumpul. Kharis akhirnya benar-benar memutuskan untuk keluar
dari pekerjaannya sebagai marketing komunikasi di perusahaan penjual obat hewan
dan kembali ke Jogja. Hingga di satu kesempatan, akhirnya aku menyapanya
kembali. Aku bertanya tentang kabarnya, bagaimana dia menghadapi keputusannya
untuk kembali ke Jogja, serta apakah dia jadi melanjutkan S2 nya atau tidak.
“Tau engga sih mbak, aku tuh ada
di titik aku malu ketemu sama orang, soalnya kayaknya aku tuh engga
ngapa-ngapain.” Katanya.
Diapun melanjutkan ceritanya, “Aku
tuh kan deket banget sama Ibuku. Apa-apa tuh aku cerita sama dia. Tapi semakin
kesini, aku semakin ngerasa kalau ibuku tuh ngelepas aku karena ya aku kan udah
dewasa, harus mutusin semua sendiri. Aku jadi bingung sekarang harus gimana.”
“Apa kata Ibumu Ris?”
“Ya semuanya terserah sama aku
aja sih mbak sekarang… makin bingung engga sih jadi aku? Tapi seenggaknya aku
di Jogjalah… cooling down dulu sambil
mikir.”
Aku yang membaca pesannya melalui
Whatsapp, jujur saja tidak memiliki banyak hal yang bisa aku sampaikan, selain
berharap agar dia bisa melewati proses perjalanan hidupnya setelah ini dengan optimis
serta tidak melihat proses itu sebagai sebuah kegagalan.
Cerita Kharis mungkin sama dengan
cerita perantau lainnya di Jakarta. Mereka yang lahir dan tumbuh besar di kota seperti
Jogja, tidak serta-merta mudah beradaptasi dengan kota sebesar Jakarta, atau
mengubah pandangannya tentang kenyamanan untuk bisa tinggal di Jakarta. Jakarta
memang bukan untuk semua orang. Bahkan sebenarnya, tidak ada salahnya juga jika para pemimpi itu memutuskan untuk berada di
Jogja atau kota-kota lainya. Jakarta memang menawarkan banyak petualangan. Tempat di mana kita kita bisa merasakan
denyut nadi adrenalin berpacu dengan target-target, tantangan, dan kompetisi. Tapi
jangan lupa, banyak hal yang menipu di Jakarta. Jakarta sangat pandai mengemas
kebahagiaan agar terlihat menarik, padahal sering kali itu bentuk lain dari kehampaan. Jakarta memang menawarkan banyak paket
lengkap, semua kenikmatan duniawi tersedia untuk dipilih. Tapi bagi sebagian
orang, tidak peduli selengkap apapun paket yang ditawarkan Jakarta, tidak akan
pernah bisa menawarkan sebuah perasaan seperti menemukan rumah. Bagi mereka,
Jakarta bukan tempat untuk pulang.
Kharis pernah berada di Jakarta,
menjadi salah satu wanita muda yang yang ikut berdesakan dengan kemacetan Ibukota.
Bangun di pagi hari, pulang di sore hari, dan mengunjungi pusat perbelanjaan
terkini. Mencoba melakoni perannya sebagai seorang marketing komunikasi dengan
niatan untuk menguji ketahanan mental diri. Hingga dia berada di satu titik
ketika perjalanannya di Jakarta menemui episode akhir. Di saat itulah, tidak
ada yang lebih baik baginya selain kembali ke Jogja, bertemu dengan ibunda dan
merancang kembali rencana-rencana. Apakah itu nantinya adalah untuk kembali ke
Jakarta atau melanjutkan S2, apapun itu, untuk sejenak Kharis memilih untuk berjalan
pulang. Tempat yang sudah dia kenal sejak kecil. Tempat yang paling aman,
nyaman, dan hangat. Seperti kata Kla Project, pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu….
Kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator
Tidak ada komentar
Posting Komentar