Sabtu, 24 November 2018

Aku dan ketakutan-ketakutanku

"Semua yang kamu percayai, menuntun langkahmu pulang di sini"
(Finest Tree)

Mungkin harus ada minimal jam, atau hari, atau tahun yang dilalui untuk bisa benar-benar beranjak.
Atau jika waktu bukan hitungan yang paten, mungkin harus ada minimal jarak yang ditempuh untuk bisa sampai pada titik akhir.
Jika ternyata waktu dan jarak tidak kuasa, mungkin harus ada minimal jumlah orang-orang baru yang dijumpai untuk bisa mempunyai awal baru.

Akupun mencoba kemungkinan-kemungkinan itu. 

Lalu waktu demi waktu bergulir, hingga aku tidak bisa lagi menghitung. 
Kemudian jarak demi jarak terlalui, ombak dari pantai timur hingga barat, gunung dari selatan ke timur, hingga aku tidak tahu lagi harus pergi kemana.
Dan orang-orang baru yang hadir, hingga aku tidak paham lagi apa arti kedatangan mereka semua.

Tapi titik awalnya tetap saja sama. Aku hanya seperti kabur dari sesuatu yang harus aku hadapi.

Menolak kegagalan usahaku, aku berpikir, oh... mungkin aku belum memenuhi jumlah minimal waktu untuk beranjak, belum sampai pada minimal jarak untuk berada di titik akhir, atau bertemu minimal jumlah orang untuk memulai sesuatu yang baru. Mungkin usahaku belum cukup keras.

Tapi ada bagian lain dari aku yang bertanya, bagaimana jika, aku sudah melalui maksimal waktu yang diperlukan, menempuh maksimal jarak yang diharuskan, dan sudah berusaha keras bertemu dengan sebanyak mungkin manusia, tetapi pada akhirnya jarak, waktu, dan manusia yang harus aku temui kembali pada titik yang sama?

Bagaimana jika ternyata ini semua, hanyalah waktu yang terulur panjang dan jalan berputar untuk kembali ke titik yang sama?


Minggu, 18 November 2018

Sebelum jam 5 sore, itu hanya kegiatan darmawisata

Love of my life, can't you see?
Bring it back, bring it back,
don't take it away from me because you don't know what it means to me
(Queen)

Di minggu malam, saya dan tiga wanita di rumah kos menghela nafas panjang, karena tersadar esok harinya akan kembali berjibaku dengan tugas-tugas kantor. Lantas salah satu diantara kami, si Icha, berceletuk, “Tenang aja tsaaay, kehidupan yang sesungguhnya itu kan setelah jam 5 sore….”, dia diam sejenak dan melanjutkan kalimatnya dengan paripurna, “Sebelumnya kan cuma darmawisata….”.

Kamipun tertawa, antara getir dan satir.

Beberapa minggu yang lalu, saya bersama seorang teman, pergi menuju Bogor untuk mengunjungi seorang teman lama. Karena sudah lama tidak bertemu, sepanjang perjalanan dalam KRL, kami banyak bertukar kabar dan cerita, mulai dari urusan pekerjaan hingga asmara. Dia sedang resah bagaimana harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas diri dan kebutuhan materialnya.

Sayapun menimpali kegelisahannya dengan berkata,“Tapi nih ya… menurutku, dalam hidup kita, kerjaan itu porsinya engga terlalu besar kalau dibandingin sama aspek kehidupan kita yang lain”

Dia menyerengitkan dahi dan menjawab, “Kok? Tapi kan kerjaan itu menyita hampir sebagian besar waktumu?”

Dan saya menjawab dengan mengutip perkataan Icha, “Technically sih ya… tapi kalau katanya temenku, dan aku setuju banget, kehidupan yang sebenarnya itu setelah jam 5 sore. Semenjak di Jakarta, aku sekarang ngerti sih, gimana nelangsanya kehidupan orang-orang Jakarta yang kalau pulang kerja, capek, balik ke kosan atau apartemen, sendirian…. Gimana ya… bukannya lega, malah bikin makin capek…Makanya aku bener-bener bersyukur banget di rumah kosan yang ini. Pulang tuh ada yang nyambut, weekend tau mau kemana… kayak ada kehidupan yang lebih hidup ketimbang kehidupan di kantor“

Kamipun terdiam sejanak. Sambil melihat ke arah jendela, saya bertanya, pertanyaan yang saya tujukan kepada diri saya sendiri sebenarnya, “Mana yang kira-kira bakal kita pilih, dipecat setalah 10 tahun kerja, atau pasangan kita meninggal setelah 10 tahun bersama?”. Pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, karena kami berdua hanya saling menghela nafas panjang dan tertawa.

Tepatnya dua hari setelah obrolan itu, teman saya mengirimkan sebuah pesan singkat di WhatsApp, “Kamu bener banget Peh tentang kehidupan setelah jam 5 sore itu….”

Ah…

Saya memiliki seorang kenalan, dia pernah berada di satu masa dimana dia “dipaksa” untuk memilih antara karir atau rumah tangganya. Karena satu dan lain hal, pada akhirnya dia memilih karir dan bercerai dengan pasangannya. Tentu saja alasannya tidak sesederhana karena faktor materi. Kompleksitas perasaan dan hubungan rumah tangga, saya pikir yang membuatnya merasa bahwa karir adalah pilihan terbaik untuk diambil pada saat itu. Hari ini, setiap kali kami bertemu, dia akan selalu bertanya apakah saya butuh ditemani atau tidak, apakah saya bisa menginap di rumah dia atau tidak, atau dia akan bercerita bagaimana dia merasa kesepian kalau anak-anaknya sedang berada di rumah mantan pasangannya. Namun diantara itu semua, hal yang paling membuat saya sedih adalah sorot matanya yang menggambarkan kelelahan atas semua beban-bebannya. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantunya, dan saya juga tidak memiliki banyak saran untuk hidupnya. Tapi kalau melihat bahwa jabatan dan karir yang dia miliki ternyata tidak bisa mengisi beberapa hal dalam jiwanya, saya kadang penasaran, apa yang terjadi kalau semisalnya dia memilih pilihan untuk mempertahankan rumah tangganya?

Mungkin ini yang berarti bahwa kehidupan yang sebenarnya dimulai setelah jam 5 sore.

Saya sendiri tidak bisa mendefinisikan secara jelas apa itu kehidupan setelah jam 5 sore. Penjelasan terbaik yang saya pahami terkait ini adalah, bahwa ini merupakan kehidupan yang jujur. Sebuah kehidupan yang lebih mengandalkan rasa daripada logika, melibatkan emosi manusia yang paling dalam, dan pada akhirnya menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Akan banyak duka dan suka, pasang dan surut di sana. Tidak ada target yang benar-benar tertulis, seperti misalnya kepastian naik jabatan atau kenaikan gaji, bahkan tidak ada tenggat waktu dan kontrak dalam kehidupan setelah jam 5 sore, semuanya murni soal rasa dan asa.

Apa hadiahnya? Kalau berhasil, menurut saya, setiap dari kita akan memiliki tempat pulang. Memiliki sebuah kehidupan yang membantu kita berkembang, bersyukur, bersabar, dan berjuang. Membuat kita lebih awas dan berhat-hati. Lalu apa jadinya kalau kita gagal, atau memutuskan untuk tidak memiliki kehidupan setelah jam 5 sore? Besar perkiraan saya, kita akan merasa terombang-ambing dan merasa ada sesuatu yang kurang lengkap. Seperti ada lubang yang harus diisi oleh entah apa.

Jujur, sayapun baru saja menyadari urgensi dari kehidupan setelah jam 5 sore ini.

Itu terjadi ketika suatu hari, seorang sahabat membutuhkan saya untuk berbagi keluh kesah. Tapi pada saat itu, saya tidak bisa berada di sisinya karena alasan pekerjaan. Kalau diingat-ingat, saya sebetulnya bisa saja menyempatkan satu atau dua jam mengunjunginya dan memberikan dukungan moral. Namun yang saya lakukan adalah meminta maaf padanya dengan alasan kesibukan. Beberapa bulan kemudian, saya yang gantian membutuhkan dia untuk membesarkan hati saya. Lalu dengan bahasa yang cukup sopan, dia sedikit “menyentil” saya, berkata bahwa sama seperti saya dulu, dia pun sedang dalam kesibukan yang tidak bisa diganggu.

Atau suatu hari, ketika saya benar-benar membutuhkan dukungan moral, yang ada dalam benak saya adalah menelfon mama. Sayapun bercerita tentang gundah gulana di hati saya dan beliau mendengarkan dengan seksama dan memberikan dukungan moral untuk saya. Padahal, jika sedang berada di dekatnya, saya lebih sering beradu argumen dan mementingkan hal lain daripada beliau.

Tersadarlah saya bahwa kehidupan setelah jam 5 sore adalah hal yang dibutuhkan manusia untuk tetap hidup dan bertahan di dunia. Namun harga yang harus dibayar untuk mendapat kehidupan setelah jam 5 sore, sungguh sangat mahal! Sederhananya, saya tidak akan bisa mendapat semua perasaan nyaman dan aman, kalau saya sendiri tidak memiliki perjuangan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan jam 5 sore itu. Dengan kata lain, ini adalah kehidupan timbal balik yang paling berfaedah, namun di sisi lain, memiliki banyak tantangan.

Banyak orang salah kaprah dengan kehidupan jam 5 sore. Beberapa terburu-buru memilikinya, hingga lupa bahwa ini membutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk menjadikannya berhasil. Beberapa lainnya lari menghindari ini karena merasa terlalu banyak hal yang dituntut, dan memutuskan untuk selamanya berpindah dari satu kesibukan kepada kesibukan lain. Sedangkan yang lain merasa bahwa kehidupan jam 5 sore adalah sebuah pencapaian saja, sama seperti karir.

Namun seperti yang saya katakan, kehidupan setelah jam 5 sore adalah kehidupan yang jujur. Tidak ada yang bisa menipu atau berpura-pura dalam menjalaninya. Dan karenanya, tidak semua orang dapat mengklaim telah memiliki kehidupan ini. Kita mungkin bisa saja memutuskan untuk keluar dari tempat bekerja kita karena berbagai alasan, namun semudah itukah kalau kita ingin keluar dari kehidupan setelah jam 5 sore?

Pada akhirnya, apapun perlakuan dunia pada kita, baik atau buruk, kita butuh tempat pulang. Kita semua butuh kehidupan setelah jam 5 sore, tidak peduli seberapa berat perjuangan kita untuk memilikinya.

Maka ketika saya mengganti baju kerja dengan kaos oblong dan celana tidur, memakai masker, naik ke lantai dua, dan menyapa 3 orang wanita kosan sambil membicarakan barang apa yang sedang diskon di online shop, gosip artis apa yang sedang ramai dibicarakan netizen, atau secara random nyeletuk “Kapan sih kita nikah?”, atau “main tebak lagu yuk!”, jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa hidup saya tidak sekedar berdarmawisata.



Itu cukup, setidaknya untuk saat ini.

dia dan ketakutan-ketakutannya

Berlalu, lalu kini kau menunggu serap seram di pundakmu.
Lambat laun kan menari, kan berlari...

(Api dan Lentera - Barasuara)


Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Ketakutan, aku pikir adalah sebuah keniscayaan dalam hidup seorang manusia. Sehingga jika dipikir lagi lebih dalam, logikanya menjadi sangat sederhana, kalau ketakutan adalah sebuah keniscayaan, kenapa kita harus takut? Toh takut atau tidaknya kita dengan ketakutan, kita akan tetap memilikinya. Mungkin cara terbaik menghadapi ketakutan justru dengan menghadapinya secara langsung.

Ini seperti berdiri di tepian jurang saat di depan kita adalah sebuah tebing yang sudah ramai didaki oleh orang-orang. Sambil berdiri, kita berpikir bagaimana caranya orang-orang itu bisa sampai di tebing itu, saat jalan satu-satunya menuju ke sana adalah dengan terjun bebas ke jurang. Kita berpikir, adakah tangga yang bisa dinaiki sesampainya di bawah? Adakah parasut yang bisa digunakan? Apakah di dasar jurang itu akan sangat gelap? Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?

Rasanya kita ingin berbalik arah dan menuju dataran yang lama, walau kita tahu, tidak ada apa-apa lagi yang tersisa di sana, dan kitapun tahu bahwa melangkah maju adalah hal yang harus kita lakukan. Walau ada rasa penasaran dalam jiwa kita yang mengatakan, ‘kalau orang-orang itu bisa sampai di sana, kenapa aku tidak?’, namun terjun ke jurang yang tidak memiliki kepastian, juga bukan sebuah keputusan mudah. Batas antara kita dan ketakutan yang kita miliki, pada akhirnya terletak pada keputusan kita untuk berani melompat atau tidak. Secara analogi, sesederhana itulah sebuah ketakutan.

Aku pribadi tidak pernah menganggap semua ketakutanmu sebagai hal yang berlebihan, tidak relevan, atau tidak beralasan. Ketakutanmu, sebagaimana ketakutanku atau ketakutan orang-orang lain, sah dan valid apa adanya. Kita semua bebas memiliki ketakutan, kita semua memiliki hak untuk merasa takut. Tapi dalam kasusmu, ketakutanmu itu beririsan dengan hidupku, sehingga ada bagian dari ketakutanmu yang memaksaku untuk ikut merasa takut.

Kamu sering sekali hadir, tiba-tiba, dan membawa ketakutan-ketakutan yang itu-itu lagi. Sekali lagi, aku tidak menganggap itu hal yang tidak penting, namun…. setelah sekian lama, ketakutanmu ternyata hanya berputar di situ-situ saja. Dan karena ketakutanmu berisisan dengan aku, kamu selalu bisa membawa aku merasakan ketakutanmu dan merasa bahwa memang tidak ada jalan keluar dari ketakutan itu. Kamu selalu membiarkan ketakutan itu tetap menjadi sebuah ketakutan, bahkan setelah sekian lama. Kamu selalu punya cara membuat aku merasa bahwa ketakutan itu adalah milik kita, dan karenanya aku harus merasakan ketakutan itu. Lalu kamu akan pergi dan kita akan kembali berjarak. Selalu bukan titik akhir, hanya koma panjang yang tidak berkesudahan.

Maka biarkan aku menyampaikan ini.

Aku bisa memahami kalau kamu memiliki banyak ketakutan. Hanya saja, itu bukan ketakutanku, bahkan bukan ketakutan kita. Kita memiliki irisan ketakutan yang cukup lebar, namum masing-masing dari kita memiliki ketakutan yang berbeda, jauh berbeda. Kamu mungkin berpikir aku tidak memikirkan ketakutanmu, tapi aku memikirkan ketakutanmu. Hanya saja itu bukan ketakutanku, itu ketakutanmu dan hanya kamu yang tahu bagaimana cara menghadapinya. Dan apa kamu pikir aku tidak punya ketakutanku sendiri? Tentang kita, tentang aku, tentang kamu? Aku punya, dan akupun harus menghadapinya.

Tidakkah kamu menyadari bahwa sebagian besar dari setiap ketakutan hanya bersemayam di kepala manusia? Semua ketakutan selalu bersumber pada masa depan, pada hal-hal yang belum jelas di masa yang akan datang, pada hal-hal yang belum bisa diprediksi. Manusia akan selalu takut pada hal-hal yang tidak dia kenali atau belum dia pahami, bukankah manusia selalu begitu? Maka siapapun yang merasakan ketakutan, hanya perlu diperlu dibesarkan hatinya untuk berjalan. Hanya perlu ditemani untuk melihat sesuatu agar dapat memahami lebih baik lagi. Kamu, hanya perlu sedikit bantuan.

Selama ini kita tidak pernah saling memaksa. Aku percaya kamu bisa mengatasi banyak ketakutanmu sendiri. Kamu tidak selemah itu, dan tidak sepenakut itu, itupun aku paham. Tapi demi semua waktu, dan semua pertanyaan, kamu benar-benar harus memutuskan untuk berani menghadapi ketakutanmu yang berisisan dengan aku, atau selamanya hidup dengan ketakutan itu. Kamu sudah terlalu lama berada di tepian jurang. Dan andai aku bisa, aku sudah mendorongmu masuk jurang, dan memaksamu berjalan ke depan. Jika saja aku diperbolehkan, sebetulnya aku bisa membantumu. Tapi ini kan hidupmu, kamu yang harus putuskan. 

Cukup untuk mengingatkanku soal ketakutanmu. Aku sudah lebih dari paham perkara itu. Jika kamu harus hadir lagi hanya untuk memberitahuku bahwa kamu masih memiliki ketakutan yang itu-itu lagi, tidak peduli seberapa besar perasaan yang kamu punya, aku akan membiarkan ketakutanmu memakan habis semua waktumu. 

Kecuali jika kamu bersedia menghadapinya.



Kita kan pulang dengan waktu yang terbuang dan kenangan yang berjalan bersama
© RIWAYAT
Maira Gall