Minggu, 18 November 2018

dia dan ketakutan-ketakutannya

Berlalu, lalu kini kau menunggu serap seram di pundakmu.
Lambat laun kan menari, kan berlari...

(Api dan Lentera - Barasuara)


Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Ketakutan, aku pikir adalah sebuah keniscayaan dalam hidup seorang manusia. Sehingga jika dipikir lagi lebih dalam, logikanya menjadi sangat sederhana, kalau ketakutan adalah sebuah keniscayaan, kenapa kita harus takut? Toh takut atau tidaknya kita dengan ketakutan, kita akan tetap memilikinya. Mungkin cara terbaik menghadapi ketakutan justru dengan menghadapinya secara langsung.

Ini seperti berdiri di tepian jurang saat di depan kita adalah sebuah tebing yang sudah ramai didaki oleh orang-orang. Sambil berdiri, kita berpikir bagaimana caranya orang-orang itu bisa sampai di tebing itu, saat jalan satu-satunya menuju ke sana adalah dengan terjun bebas ke jurang. Kita berpikir, adakah tangga yang bisa dinaiki sesampainya di bawah? Adakah parasut yang bisa digunakan? Apakah di dasar jurang itu akan sangat gelap? Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?

Rasanya kita ingin berbalik arah dan menuju dataran yang lama, walau kita tahu, tidak ada apa-apa lagi yang tersisa di sana, dan kitapun tahu bahwa melangkah maju adalah hal yang harus kita lakukan. Walau ada rasa penasaran dalam jiwa kita yang mengatakan, ‘kalau orang-orang itu bisa sampai di sana, kenapa aku tidak?’, namun terjun ke jurang yang tidak memiliki kepastian, juga bukan sebuah keputusan mudah. Batas antara kita dan ketakutan yang kita miliki, pada akhirnya terletak pada keputusan kita untuk berani melompat atau tidak. Secara analogi, sesederhana itulah sebuah ketakutan.

Aku pribadi tidak pernah menganggap semua ketakutanmu sebagai hal yang berlebihan, tidak relevan, atau tidak beralasan. Ketakutanmu, sebagaimana ketakutanku atau ketakutan orang-orang lain, sah dan valid apa adanya. Kita semua bebas memiliki ketakutan, kita semua memiliki hak untuk merasa takut. Tapi dalam kasusmu, ketakutanmu itu beririsan dengan hidupku, sehingga ada bagian dari ketakutanmu yang memaksaku untuk ikut merasa takut.

Kamu sering sekali hadir, tiba-tiba, dan membawa ketakutan-ketakutan yang itu-itu lagi. Sekali lagi, aku tidak menganggap itu hal yang tidak penting, namun…. setelah sekian lama, ketakutanmu ternyata hanya berputar di situ-situ saja. Dan karena ketakutanmu berisisan dengan aku, kamu selalu bisa membawa aku merasakan ketakutanmu dan merasa bahwa memang tidak ada jalan keluar dari ketakutan itu. Kamu selalu membiarkan ketakutan itu tetap menjadi sebuah ketakutan, bahkan setelah sekian lama. Kamu selalu punya cara membuat aku merasa bahwa ketakutan itu adalah milik kita, dan karenanya aku harus merasakan ketakutan itu. Lalu kamu akan pergi dan kita akan kembali berjarak. Selalu bukan titik akhir, hanya koma panjang yang tidak berkesudahan.

Maka biarkan aku menyampaikan ini.

Aku bisa memahami kalau kamu memiliki banyak ketakutan. Hanya saja, itu bukan ketakutanku, bahkan bukan ketakutan kita. Kita memiliki irisan ketakutan yang cukup lebar, namum masing-masing dari kita memiliki ketakutan yang berbeda, jauh berbeda. Kamu mungkin berpikir aku tidak memikirkan ketakutanmu, tapi aku memikirkan ketakutanmu. Hanya saja itu bukan ketakutanku, itu ketakutanmu dan hanya kamu yang tahu bagaimana cara menghadapinya. Dan apa kamu pikir aku tidak punya ketakutanku sendiri? Tentang kita, tentang aku, tentang kamu? Aku punya, dan akupun harus menghadapinya.

Tidakkah kamu menyadari bahwa sebagian besar dari setiap ketakutan hanya bersemayam di kepala manusia? Semua ketakutan selalu bersumber pada masa depan, pada hal-hal yang belum jelas di masa yang akan datang, pada hal-hal yang belum bisa diprediksi. Manusia akan selalu takut pada hal-hal yang tidak dia kenali atau belum dia pahami, bukankah manusia selalu begitu? Maka siapapun yang merasakan ketakutan, hanya perlu diperlu dibesarkan hatinya untuk berjalan. Hanya perlu ditemani untuk melihat sesuatu agar dapat memahami lebih baik lagi. Kamu, hanya perlu sedikit bantuan.

Selama ini kita tidak pernah saling memaksa. Aku percaya kamu bisa mengatasi banyak ketakutanmu sendiri. Kamu tidak selemah itu, dan tidak sepenakut itu, itupun aku paham. Tapi demi semua waktu, dan semua pertanyaan, kamu benar-benar harus memutuskan untuk berani menghadapi ketakutanmu yang berisisan dengan aku, atau selamanya hidup dengan ketakutan itu. Kamu sudah terlalu lama berada di tepian jurang. Dan andai aku bisa, aku sudah mendorongmu masuk jurang, dan memaksamu berjalan ke depan. Jika saja aku diperbolehkan, sebetulnya aku bisa membantumu. Tapi ini kan hidupmu, kamu yang harus putuskan. 

Cukup untuk mengingatkanku soal ketakutanmu. Aku sudah lebih dari paham perkara itu. Jika kamu harus hadir lagi hanya untuk memberitahuku bahwa kamu masih memiliki ketakutan yang itu-itu lagi, tidak peduli seberapa besar perasaan yang kamu punya, aku akan membiarkan ketakutanmu memakan habis semua waktumu. 

Kecuali jika kamu bersedia menghadapinya.



Kita kan pulang dengan waktu yang terbuang dan kenangan yang berjalan bersama

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall