Rabu, 29 April 2020

Empat - Bulan Ramadhan


Sebagai orang Indonesia dan beragama Islam, aku selalu mengingat dan melihat bulan Ramadhan dengan semarak. Mungkin karena di sini, Ramadhan dirayakan secara terang-terangan lengkap dengan semua ritual dan tradisinya. Mari kita sebutkan beberapanya seperti, ramainya jalanan menjelang berbuka puasa dengan aneka takjil yang enak-enak dan dijual murah, masjid-masjid yang ramai dengan beragam macam kegiatannya, berbagai macam lingkar pertemanan akan sibuk mengajak berbuka puasa bersama walaupun sering kali wacana, menu makan sahur yang semakin akhir semakin ala kadarnya, hingga ritual mudik dan maaf-maafan di penghujungnya.

Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kenangan yang berbeda-beda dengan Bulan Ramadhan. Mungkin ada yang mengingat Ramadhan sebagai bulan yang sulit mencari makan siang, bulan yang lemas dan tidak begitu produktif, bulan harga sembako akan naik, bulan dicairkannya Tunjangan Hari Raya, atau bulan di mana iklan-iklan sirup marjan banyak ditayangkan.

Begitu juga aku. Kenangan Ramadhan selalu hadir dalam ingatan yang berbeda-beda dari tahun ke tahun.

Waktu aku masih kecil, aku ingat kenangan saat berlari kecil dari masjid selepas sholat tarawih menuju rumah kontrakan untuk makan es mony. Aku juga ingat ketika SD dan aku harus mencari tandatangan penceramah sholat tarawih untuk diisikan di buku kegiatan Ramadhan. Rasanya malas sekali harus menyelinap di belakang mimbar dan berdesakan dengan anak lainnya untuk meminta tanda tangannya.

Beranjak remaja, aku ingat bulan Ramadhan yang harus dilalui dengan mengerjakan Ujian Tengah Semester SMA dan betapa aku harus berjuang untuk bisa bangun pagi setelah tidur habis sahur. Agak menyiksa sebenarnya. Kenangan Ramadhan saat remaja juga dihiasi dengan ucapan-ucapan “Sudah sahur belum?” atau “Selamat berbuka ya” dari cowo-cowo gebetan. Bahkan telepon genggam saat itu tidak pernah sepi dari gombalan-gombalan cowo-cowo untuk mengajak buka puasa bersama.

Saat masa kuliah, bulan Ramadhan selalu saja disibukan dengan menghadiri undangan berbuka puasa di luar, jarang sekali berbuka di rumah bersama keluarga. Apalagi saat masih harus kerja paruh waktu, aku bahkan lebih sering berbuka puasa di gerai toko tempat saya bekerja daripada di rumah. Oh tapi itu pengalaman yang seru sekali. Rasanya menyenangkan bisa menutup toko 15 menit lalu kita semua berkumpul dan memakan makanan bukaan bersama-sama. Dan tentu saja Ramadhan tidak bisa dipisahkan dari kenangan saat siaran sahur dan buka puasa di radio. Siaran sahur yang dimulai dari jam 2 pagi membuatku harus berangkat dari rumah jam 1.45 pagi, menggunakan motor sambil menahan kantuk. Lalu saat siaran, jika sudah jam 3.30 pagi, di tengah-tengah lagu, aku akan keluar studio dan naik motor untuk membeli nasi gudeg yang dijual di Jalan Demangan sebagai menu sahur kesukaanku. Ketika sudah closing siaran di jam 5 pagi, tim siaran sahur akan berebut tempat di sofa dan baru akan bangun jam 7 atau bahkan jam 8 pagi.  

Sejak aku kecil hingga usiaku menginjak 20 tahun awal, kenangan Ramadhan lebih kepada kegiatan yang aku lakukan, rutinitas yang harus sesuaikan, dan ritual berbeda yang aku kerjakan. Saat itu, aku sebenarnya tidak benar-benar melihat Ramadhan sebagaimana esensinya. Tentang mengapa seorang muslim harus berpuasa, memperbanyak membaca Al-Quran, dan sebagainya. Aku tidak begitu ngeh soal itu. Baru dimulai pada tahun 2015 lah akhirnya Ramadhan membawa ingatan dan makna yang berbeda di hidupku. Ramadhan tidak lagi melulu soal rutinitas dan ritual, Ramadhan juga soal mengingat kembali makna diri.

Tahun 2015 adalah tahun pertamaku beritikaf di 10 hari terakhir. Itikaf adalah kegiatan berdiam diri di mesjid dan memperbanyak melakukan ibadah. Ya semacam kontemplasi diri dengan ilahi. Aku selalu mengingat perasaanku di tahun 2015 karena yang aku rasakan adalah perasaan tenang dan lega karena bisa bersimpuh di hadapan Rabb. Aku ingat saat itu, aku memohon agar aku tidak dipisahkan dengan keyakinanku untuk apapun harga dan kondisinya. Ramadhan kala itu berjalan dengan syahdu karena aku lebih sering berbuka puasa di rumah ketimbang bersama teman dan aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan beribadah. Kali pertama aku memperlakukan Ramadhan dengan berbeda, dengan lebih serius. Setelah Ramadhan 2015, hidupku kemudian berjalan sebagaimana doaku. Seakan menjawab keinginanku, setelah itu hidupku berada dalam masa-masa semi kritis. Aku bertemu lelaki dan dia menguji keimananku nyaris pada titik nadir. Hingga akhirnya aku menyambut Ramadhan 2016 dengan satu harapan bahwa aku tetap bisa mempertahankan imanku sekaligus aku bisa untuk tetap mempertahankan perasaanku. Ramadhan di tahun itu hanya diisi dengan helaan nafas panjang dan harapan yang selalu aku ulang-ulang. Ibarat kurva, hidupku menukik pada titik terendah setelah Ramadhan 2016 dan aku saat memasuki Ramadhan 2017, aku datang dengan luka-luka yang butuh disembuhkan. Tidak ada yang benar-benar aku inginkan selama Ramadhan 2017 selain minta ditenangkan dan dilapangkan hatinya. Dan jadilah, aku menggunakan Ramadhan 2017 dengan sangat maksimal untuk menangis sejadi-jadinya. Aku sangat sedikit bertemu orang lain di luar keluarga dan hanya sibuk manata hati dan emosi. Tahun 2018, hidupku semakin membaik dan tahun itu menjadi Ramadhan pertama setelah kepindahanku ke Jakarta. Aku melihat Ramadhan dengan sangat berbeda di tahun itu karena mempunyai lingkungan baru, suasana baru dan teman-teman baru. Di Ramadhan tahun 2018, aku meminta kejelasan dan penyelesaian atas semua pertanyaanku dan perasaan lama yang berputar di situ-situ saja. Hingga memasuki tahun 2019, sebagaimana memang tahun itu adalah tahunnya aku berkontemplasi, saat Ramadhan datang, aku meminta tolong pada Rabb untuk membantuku ikhlas dan berani melepas semua perasaan dan harapan-harapanku yang sudah terjawab pada akhir tahun lalu.

Dan kini, saat satu Indonesia sedang dipaksa untuk tetap berada di rumah, aku seperti kembali pada Ramadhan 2015, di mana untuk pertama kalinya aku memasuki bulan Ramadhan tanpa memiliki keinginan tertentu seperti yang aku alami 4 tahun berturut-turut sebelumnya. Di Ramadhan kali ini, yang aku inginkan adalah agar diberikan waktu bermesraan dengan Rabb selama dan seintens mungkin. Aku berharap agar aku diilhamkan doa-doa terbaik yang bisa aku sampaikan di malam hari. Ada perasaan yang lebih syahdu dan personal di tahun ini, terutama saat semua orang juga berada di rumahnya masing-masing. Ada juga perasaan lega yang aku rasakan karena kini aku tidak lagi datang dengan topik yang sama seperti 4 Ramadhan sebelumnya. Enteng sekali aku rasakan di hati dalam menyambut Ramadhan tahun ini.

Seperti itulah aku merayakan Ramadhan. Kedatangannya selalu mengingatkanku pada perasaan pulang. Walaupun setiap tahunnya aku selalu merasakan pengalaman yang berbeda, tapi tetap saja, ada satu perasaan yang sama, yang amat sangat sulit aku ungkapkan, perasaan tenang dan damai, aku menyebutnya perasaan Ramadhan. Tidak peduli aku berada di mana, melakukan apa, atau sedang dalam kondisi apa, ketika memasuki Bulan Ramadhan, aku seperti memasuki rumah yang aman. Rumah yang menbuatku dapat beristirahat sejenak dan hanya berhubungan denganNya.

Aku selalu merasa aman di Bulan Ramadhan.

Marhaban ya Ramadhan.



Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.

Rabu, 22 April 2020

Siapakah Kontak Darurat Itu?


Minggu ini ada beberapa tumpukan kertas di meja setrikaan di lantai bawah rumah kosan saya. Karena tidak ada pemberitahuan apa-apa dari pemilik rumah kosan, saya jadi tidak memiliki keharusan untuk mengitip apa isi kertas-kertas itu. Saya diamkan saja ada di sana selama beberapa hari. Hingga suatu ketika, saya iseng bertanya dengan salah satu penghuni rumah yang kamarnya paling dekat dengan meja setrikaan. Ternyata itu adalah formulir data diri seluruh penghuni kos yang ada di kecamatan saya ini. Sayapun akhirnya membaca formulir itu dengan seksama. Selain formulir yang kosong, ada satu formulir milik salah satu penghuni kosan yang sudah terisi. Ada dua hal yang saya perhatikan dari formulir yang tersisi itu. Pertama, si teman kosan saya itu menulis status hubungannya adalah menikah; kedua, kontak darurat yang dicantumkan adalah nomor kakaknya. 

Saya jadi bertanya-tanya, kenapa bukan pasangannya saja ya yang dimasukan sebagai kontak darurat?

Dua hal itu sedikit banyak mempengaruhi saya. Bukan karena saya penasaran dengan kehidupan pribadi si teman kosan saya itu, tapi lebih kepada, siapa sebetulnya yang dapat dijadikan sebagai kontak darurat dan kenapa harus orang itu?

Ah iya, saya belum bercerita tentang alasan kita semua harus mengisi biodata sebagai penghuni kosan. Di lembar pertama formulir itu, dijelaskan bahwa di salah satu kosan di kecamatan ini, ada seseorang yang ditemukan tewas di kamarnya seorang diri. Naasnya, si pemilik kos tersebut bahkan tidak mengetahui nomor keluarga atau siapapun yang bisa dihubungi. Entah bagaimana akhirnya, yang jelas kejadian itulah yang membuat pihak kelurahan akhirnya melakukan pendataan, lengkap dengan kontak darurat yang bisa dihubungi.

Padahal baru saja beberapa hari yang lalu, saya juga mendapat sebuah surat elektronik dari kantor yang mengharuskan saya untuk mengisi data kontak darurat. Tertulis dalam penjelasanya bahwa data itu dibutuhkan perusahaan jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diingkan.
Jadi kembali ke pertanyaan saya di awal, siapa sebenarnya kontak darurat itu dan apa alasan pemilihannya?

Saya sempat bertanya kepada beberapa teman melaui WhatsApp tentang hal ini. Seorang teman yang sudah menikah menjawab bahwa kontak darurat yang dia masukan adalah suaminya, lalu ibunya. Teman saya yang belum menikah kebanyakan menjawab keluarganya di rumah. Alasannya cukup klise… “Ya karena suamiku lah Peh. Siapa lagi?

Lalu saya melanjutkan pertanyaan pada mereka tentang apa alasan seseorang yang sudah menikah tapi tidak mencantumkan pasangannya sendiri sebagai kontak darurat. Ada yang menjawab, mungkin karena si pasangan itu sedang tinggal berjauhan atau long distance marriage, dan kontak darurat yang dibutuhkan adalah seseorang yang bisa menolong dengan cepat tanpa terkendala jarak. Jadi dipilihlah orang lain yang tinggal satu kota sekalipun itu bukan pasangannya. Ada juga yang berpendapat mungkin dia tidak mau membuat pasangannya khawatir.

Tapi sebentar…. Sepertinya kita harus mundur sedikit dan membahas tentang kondisi darurat itu sendiri. Memangnya kondisi darurat itu apa?

Beberapa teman saya mengatakan jawaban yang umum seperti kecelakaan, kerampokan, bencana alam atau kalau tetiba kita sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Ada juga yang menjawab kondisi darurat itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan pihak berwajib, seperti kita digerebek oleh polisi kerena pesta narkoba atau meninggal dunia karena bunuh diri atau dibunuh.

Uhm… Saya juga bukan seorang ahli yang bisa mengklasifikasikan jenis situasi darurat seperti apa yang membutuhkan bantuan macam apa. Tapi menurut saya, kondisi darurat adalah sebuah kondisi di mana kita tidak mampu untuk memutuskan sesuatu atau bertindak dengan justifikasi kita sebagaimana normalnya. Karena kejadian itu terjadi cepat dan diluar control kita. Coba sekarang bayangkan, di sebuah pagi misalnya, kita mendapat kejahatan seksual. Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang harus kita putuskan? Kalau itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya akan menangis dan minta dijemput. Ah, tidak usahlah terlalu jauh perkara yang seperti itu, ada teman saya yang hapenya kecopetan di Stasiun Duri saja, seharian dia gemeteran dan tidak bisa bekerja. Dia baru tenang setelah menghubungi keluarganya dan diberi saran untuk jangan pulang dengan KRL. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, dibutuhkan orang lain sebagai pengambil keputusan atau setidaknya menenangkan kita yang sedang panik. Kita butuh diwakilkan sementara waktu.

Kalau begitu, bagi saya kontak darurat memang tidak harus seseorang yang memiliki hubungan keluarga, tetapi seseorang yang benar-benar mengenal saya dan tidak ada perasaan sungkan di hati saya untuk meminta tolong padanya saat kondisi darurat. Tidak wajib juga seseorang yang tinggal satu kota atau berada di radius yang dekat, tapi seseorang yang mampu memberikan instruksi pada siapapun yang menghubunginya saat itu, dan saya percayakan semua instruksi yang dia berikan. Seseorang itu mungkin juga panik saat dihubungi, tapi kehadirannya, walaupun itu hanya lewat suara, membuat saya tidak merasa sendiri. Dan yang terpenting adalah seseorang yang sebisa mungkin memprioritaskan saya saat kondisi darurat itu terjadi. Seperti itu kriteria yang saya bayangkan sebagai kontak darurat.

Saya bukan seseorang yang ahli membaca hubungan antar manusia, namun urusan kontak darurat ini membuat saya sedikit banyak berpikir tentang posisi seseorang di hidup manusia. Kontak darurat saya adalah teman dekat saya, Ica. Di semua formulir yang mengharuskan saya mengisi kontak darurat, maka nama dan nomor telepon Ica yang akan saya cantumkan, barulah jika ada opsi kedua, saya akan meletakan nama dan nomor mama saya.

Selain tiga alasan itu, kontak darurat adalah orang yang juga akan ikut bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah dia ambil. Saya ingat waktu Ica akhirnya memutuskan untuk menginapkan saya di rumah sakit bulan Desember lalu, dia jugalah orang yang bolak-balik mengurus saya selama opname. Memilih Ica sebagai kontak darurat juga dengan pertimbangan yang sangat matang. Ica saat ini adalah satu-satunya orang yang paling memahami emosi saya, siapa keluarga saya yang harus dihubungi, dan fakta bahwa kami memang tinggal satu rumah membuat aktivitas saya terpantau jelas olehnya. Kami sebagai dua temanpun sudah melewati cukup banyak kejadian, sehingga bagi saya, tidak ada yang paling bisa saya percayakan untuk mengambil keputusan di saat mengalami kondisi genting selain dia. Setidaknya hingga hari ini, dia adalah kontak darurat saya.

Pemilihan kontak darurat akan berbicara banyak tentang siapa orang yang bisa menerima kita di kondisi tidak terduga. Tentang siapa orang yang akan menerima hutang budi kita seumur hidup. Tentang siapa orang yang membantu kita untuk kembali tenang. Sungguh bukan posisi yang ringan.

Untuk itu, mari kita bayangkan sejenak, jika ada formulir di depan mata kita sekarang dan kita harus mencantumkan maksimal dua orang sebagai kontak darurat, siapakah mereka?


Source: https://id.pinterest.com/pin/739082988820747989/


Rabu, 15 April 2020

Tiga - Kampung Santri


Seorang ibu dapat diartikan dengan banyak makna. Bagi sebagian orang, ibu adalah sosok yang dapat memberikan kehangatan dan kelembutan yang tidak akan pernah bisa ditukar dengan apapun atau siapapun. Tapi bagi sebagian yang lain, sosok ibu justru dipandang sebagai sumber ketakutan dan kesedihanya. Malah adapula yang melihat peran ibu sebagai peran yang janggal dan hilang sehingga tidak banyak yang bisa dideskripsikan darinya.

Tidak peduli seberapa berbedanya kita dalam menggambarkan sosok seorang ibu, kita harus sepakat bahwa kita semua berasal dari rahim seorang wanita. Entah apa sebutannya, entah bagaimana proses kita mengenalnya, tapi dialah orang yang mengandung kita dalam rahimnya dan dengan nafasnya mencoba sekuat tenaga melahirkan kita. Mungkin karena alasan itu pula, karena kita sudah tinggal di rahimnya sekian bulan, berbagi makanan dengannya, dan menjadi bagian dari pengorbanannya, wanita yang melahirkan kita itu akan selalu ada di hati setiap dari kita. Sering kali, saat manusia sudah berjalan sangat jauh, hingga akhirnya merasa lelah dan sendirian, yang dia inginkan adalah menemui ibunya, bercerita tentang hari-harinya yang panjang, bersandar sejenak dalam pelukannya, dan meminta didoakan agar bisa selalu bertahan.

***

Namanya Jina. Dia adalah anak terakhir dari 6 bersudara. Bukan hanya kelahirannya yang paling terakhir, tapi jarak kelahirannya dengan kakak-kakaknya pun juga cukup berjauhan. Ayahnya sudah lama meninggal saat dia belum tahu banyak hal, di usia 4 tahun lebih tepatnya. Hingga tidak heran, Jina memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya. Dia lahir dan besar di lingkungan pesantren, sehingga dia terbiasa memiliki penampilan dengan identitas keislaman yang cukup kuat. Rok dan baju atasan yang panjang serta jilbab yang dijulurkan hingga depan. Anaknya cukup manis dengan postur tubuh sedang standar Indonesia.

Tahun 2012, takdir mempertemukan kami karena kami menjalani KKN bersama di Papua Barat. Sempat ada sedikit drama tentang urusan asmara, yang mana sangat lucu dan menghibur kalau harus diingat sekarang, tapi selebihnya kami justru menjadi sepasang teman dekat. Dia adalah teman berkelanaku keliling Indonesia selama 4 tahun lebih. Lucu memang kalau diingat. Aku yang serba cepat, realistis, dan suka menyendiri, sementara dia yang agak lambat, emosional, dan apa-apa harus selfie. Harusnya sih kami berantem di jalan, tapi nyatanya akur-akur saja tuh hingga detik ini.

Di satu ketika, saat kami berdua sedang dalam perjalanan ‘Jelajah Sumatra’ tahun 2016, kami duduk di tempat makan kecil serambi menunggu seorang teman kami datang dari Medan untuk sama-sama menyebrang ke Pulau Samosir. Di tempat itu, entah bagaimana awalnya, kami akhirnya bercerita tentang keluarga kami masing-masing. Sebelumnya, kami sangat jarang untuk masuk ke topik obrolan yang sangat personal, maka itulah kali pertama kami berbincang dengan lebih jujur dan terbuka tentang keluarga kami.

Setelah selesai dengan ceritaku, diapun memulai ceritanya, “Aku engga tahu ya… tapi menurutku, ini adalah saat terberat loh sist di hidupku. Aku masih adaptasi sama hidupku setelah mimi meninggal dunia. Sampe sekarang tuh aku masih kaget sama semua perubahan di hidupku. Masih nyoba buat nerima kondisi kalau udah engga ada lagi mimi di hidupku”

Sambil mencemil makanan, aku bertanya, “Segitu deketnya ya kamu sama ibumu?”

“Deket banget! Aku tuh dimanja banget sama dia sist. Mungkin karena aku anak terakhir dan semua kakak-kakakku udah pada menikah kali ya… jadi kayak disayang banget gitu. Semuanya tuh disiapin sama mimi kalau aku pulang kampung. Pokoknya aku diperhatiin banget deh. Sampe sekarang aja aku masih engga kuat kalau harus pulang kampung. Masih aneh rasanya pulang kampung, pulang ke rumah sementara mimi udah engga ada…. Kayak bukan rumah.”

Diapun melanjutkan, “Ada satu hal yang bikin aku galau banget…”

“Apa?” Kataku mendekat.

“Sebelum mimi meninggal, dia itu ngasih wasiat kalau dia itu engga setuju tentang hubunganku sama Deka.”

“Wah, serius?”

“Iya…. Padahal kamu tahu kan aku udah serius sama dia sejak KKN itu… tapi ya gimana dong sist, aku engga bisa dong bantah mimiku. Mana semua kakak-kakakku juga udah jadi saksinya lagi, jadi akan sangat susah banget kalau ngelanjutin hubunganku sama dia.”

“Jadi kamu mau putus?”

“Iya. Tapi aku engga bisa sih kasih tau itu alasannya sih ke dia… ya tapi intinya aku akan putus dari dia.”

Aku yang juga kisah asmaranya tidak lebih baik dari dia hanya bisa diam. Aku jujur tidak tahu harus menghibur atau memberikan dukungan seperti apa. Rumit.

Setelah perbincangan itu, kehidupan Jina berjalan dengan amat sangat tidak mulus. Pertama dia harus menghadapi patah hati yang cukup dahsyat karena harus sengaja memutuskan hubungannya dengan lelaki yang sudah lama dia cintai. Setelah itu, Jina harus mengalami beberapa kali diputuskan sepihak oleh dua lelaki yang awalnya sudah siap untuk menikahinya. Belum lagi cukup waktu untuk mengobati patah hatinya, desakan kakak-kakak Jina tetap saja tidak mereda untuk menyuruhnya segara menikah. Rasanya kehidupan Jina saat itu hanya berputar-putar di masalah menikah dan menikah saja. Tidak ada hal lain. Padahal aku tahu, dia sebenarnya punya banyak mimpi yang ingin dia kejar. 

"Mungkin kalau mimi masih hidup, ceritanya bakal berbeda kali ya sist?" Katanya bertanya suatu ketika.

Setelah 2 tahun masa penantiannya, Jina akhirnya menikah dengan seorang lelaki baik hati, anak tunggal, lahir dan besar di lingkungan yang sama dengan Jina, di lingkungan pesantren. Bahkan sebagai hadiah pernikahannya, dia diberangkatkan umroh oleh keluarga suaminya di bulan Ramadhan. Sebuah hadiah yang pantas dia dapatkan. Aku sangat senang waktu mendengar kabar itu. Aku pikir kehidupannya berjalan baik-baik saja setelah dia menikah. Jina akhirnya menemui akhir yang indah dan akan memulai hidup barunya sebagai seorang istri. Sejak saat itu, aku juga sudah mulai jarang berkomunikasi dengan dia. Aku dengan hidupku sendiri di Jakarta dan dia di Jogjakarta.

Hingga suatu hari saat aku pulang ke Jogja, aku sempatkan untuk datang ke rumahnya.  Aku ingat sekali, saat itu adalah di bulan Ramadhan tahun 2018.

“Jadi gimana rasanya menikah? Sesuai sama ekspektasi engga?” Kataku penasaran.
“Gimana ya sist… aku takut nih kalau aku cerita malah jadi engga bersyukur”
“Eh loh? Kamu kenapa?” Aku yang malah tidak menduga dia akan menjawab dengan nada seperti itu.

Dia pun akhirnya bercerita panjang tentang hubungan dengan ibu mertuanya, termasuk apa yang diharapkan dari keluarga suaminya tentang kehadiran seorang cucu dari rahimnya. Dengan nada tertekan, dia mencoba untuk kuat sambil menyembunyikan perasaan tersudutkan karena keharusan menjadi seorang ibu. “Sist, aku nikah tuh baru… masa ya udah dipaksa harus hamil?”

Dia kembali bercerita bahwa beberapa kali dia harus pergi ke dokter kandungan dan bukannya mendapatkan solusi, dia malah menemui banyak kendala. Dia menyebutkan padaku tentang bagaimana proses penetrasi yang justru malah menimbulkan pendarahan hebat karena dilakukan dengan terburu-buru. Dengan nada tercekat dia bercerita, “Aku sampe dikasih saran sama dokter untuk sebulan sekali atau dua kali ke hotel biar lebih rileks ngelakuinnya.”

Cerita Jina sangat emosional dan lagi-lagi, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya bisa tersenyum dan mencoba mengingatkannya betapa berliku perjalanan asmaranya hingga ada di titik ini. Berharap apa yang aku katakan bisa meringankan bebannya, walaupun aku tahu itu mustahil.

Satu hal yang paling membuat Jina tersiksa adalah kenyataan bahwa dia harus tinggal bersama dengan mertuanya dan menuruti semua aturan yang dibuat oleh keluarga suaminya. Tidak ada yang neko-neko sih sebenarnya, hanya saja dia tidak diperbolehkan lagi untuk berpergian. Jangankan keliling Indonesia bersamaku, untuk sekedar makan di luar bersama temannya saja, sudah terasa seperti sebuah mukjizat. Dan bagi seorang Jina yang sudah terbiasa mandiri dan selalu bergerak kesana kemari, hal itu tentu menjadi perubahan hidup yang sangat tidak mudah untuk dia dijalani.  

Sejak pertemuan itu, kamipun beberapa kali berkomunikasi via telepon. Saat berbincang, aku selalu memperhatikan betapa senangnya dia ketika diperbolehkan untuk pulang ke kampung halamannya walaupun hanya beberapa hari saja.

“Tapi ya sist… aneh banget deh. Aku tuh kan sempet ngerasa engga betah kalau harus pulang kampung karena tiap kepulanganku ke kampung, itu selalu ingetin aku sama mimi. Tapi ya sekarang kondisinya malah begini. Aku malah engga punya pilihan lain lagi selain pulang. Itu malah satu-satunya alasanku biar aku bisa deket lagi sama mimi. ” Katanya dengan nada yang kembali muram.
“Iya sist… kamu pulang gih, puas-puasin kamu nostalgia sama mimi ya, sebelum balik lagi ke rumah Jogja.” kataku mencoba menghibur.

Beberapa saat yang lalu, saat masa-masa awal karantina karena COVID-19 mulai diberlakukan, kamipun sempat berkomunikasi lagi untuk saling menanyakan kabar. Dalam sebuah pesan singkatnya, dia berkata, “Aku jarang banget dikasih kesempatan untuk pulang, dan waktu pulangku ya kalau mau puasa dan lebaran kayak gini. Aku mungkin egois, tapi aku berharap keadaannya cepet normal dan aku bisa pulang lagi…. Aku engga kuat sebenernya…”

Aku yang membaca itu, jujur sangat berat untuk mengamini permintaannya. Aku hanya bisa memberikanya emotikon peluk. 

***

Betapa tidak ada yang mudah dalam perjalanan seorang manusia. Bagi Jina, proses hidupnya saat ini akan selalu terasa kurang lengkap tanpa hadirnya seorang ibu. Terlebih di masa-masa sekarang, ketika dia dipaksa siap untuk menjadi seorang ibu, Jina malah tidak tahu harus berkiblat pada siapa, tidak tahu harus bercerita pada siapa. Satu-satunya keinginannya adalah pulang kampung, pulang ke tempat di mana dia bisa memeluk semua jejak-jejak ibunya dan mengingat sejenak kenangan saat ibunya menyanyikan sebuah lagu sebelum dia tidur. Tempat yang sebetulnya menyedihkan dan hampa, tapi bagi Jina, itu satu-satunya tempat di mana dia tidak harus dipaksa untuk menjadi apa-apa. 


Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.

Jumat, 03 April 2020

Dua - Kamar Masa Kecil


Tidak semua orang menyukai Jakarta atau lebih tepatnya, tidak semua orang sanggup menghadapi Jakarta. Di Jakarta, waktu seperti berjalan dengan sangat cepat, orang-orangnya tidak punya banyak energi dan waktu untuk saling melontarkan senyum di jalan atau bertanya kabar. Bahkan terkadang sulit membedakan mana ketulusan dan mana yang artifisial. Mereka bilang, Jakarta itu lebih kejam dari ibu tiri.

Namun begitu, seringkali manusia tidak bisa menolak Jakarta yang digadang-gadang sebagai pusat kehidupan Indonesia. Berbagai macam slogan, iming-iming, bahkan cerita kesuksesan seakan dilontarkan untuk menghias nama Jakarta sebagai tempat yang tepat untuk meraih cita-cita. Namanya sangat sohor untuk para pengejar mimpi, rasanya jika belum bisa bertarung di Jakarta, belum bisa dikatakan tangguh. Doktrin yang sesat memang.

Tapi toh sebenarnya, tidak pernah ada paksaan untuk menyukai Jakarta. Pun Jakarta, juga tidak pernah memaksa seseorang untuk datang padanya, terlebih jika harus jatuh cinta padanya. Jakarta hanya menjadi apa adanya, hiruk-pikuk yang terkadang semu. Pilihan untuk jatuh cinta, sepenuhnya diserahkan pada masing-masing orang.

***

Waktu itu sudah cukup malam ketika aku kedatangan tiga orang teman lama. Sama seperti aku, ketiganya adalah perantau dari Jogja. Kedatangan mereka malam itu cukup dadakan sebenarnya, dimulai dari obrolan singkat kami di pagi hari melalui Whatsap group, hingga kesepakatan bersama untuk datang ke tempatku nanti malam.

Salah satu dari kami bertiga bernama Kharis. Orangnya cukup enerjik. Walau tidak memiliki lekuk tubuh macam Pevita Pearce, tapi dia menarik. Kalau dia bercerita, intonasinya bisa naik turun. Kadang dia bisa berlaku sangat polos, tapi kadang dia bisa bertingkah sangat dewasa. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari seorang Kharis adalah kegemarannya pada makanan dan Youtube.
Malam itu, dia adalah orang pertama yang memulai untuk bercerita, sekaligus orang yang ceritanya paling banyak kami respon.

“Aku mau balik aja ke Jogja.” katanya dengan ekspresif.

Kami menjawab degan nada yang berbeda-beda. Aulia menanggapi dengan simpati, “Yaampun, kenapa?”, Bili dengan nada sedikit sarkas, “Kenapa e emangnya? Kamu bokek po?” dan aku yang penasaran, “Wah, ada cerita apa nih?”

“Aku engga tau apa yang sebenernya aku cari di sini. Kalian tau kan kerjaan aku itu engga pas sama aku. Aku tuh lulusan kedokteran hewan tapi sekarang aku malah kerja di marketing komunikasi buat jualan obat hewan. Bayangin dong gais, bayangiiin… makanya kan awal-awal itu akan tanya terus ke kamu mbak, soal marketing komunikasi. Soalnya aku blas engga ngerti!”

“Eh sebentar deh, tapi bukannya kamu juga engga suka-suka amat ya jadi dokter hewan? Trus katamu juga, kamu lebih suka kerjaan yang ketemu orang? Lah pas bukan?” Kataku mencoba mengklarifikasi.

“Iya sih, tapi yang ini tuh aneh banget mbaaak, managementnya tuh dikit-dikit nyuruh aku mikir sendiri lah, inisitaif sendirilah, kan aku engga punya pengalaman ya di bidang marketing komunikasi, tapi kalau aku tanya nih, misal minta masukan, mereka tuh juga engga ngasih tau persisnya aku kudu gimana. Kan bingung ya. Capek aku tuh gais” Kharis mencoba menjelaskan emosinya.

“Trus kamu udah gitu, pulang aja ke Jogja? Mau ngapain di sana?” Sanggah Aulia dengan realistis.

“Aku juga ga tauuuuu….. huaaaaa jangan gitu dooong mbak Auuuul… aku jadi makin bingung nih” Kata kharis dengan nada gabungan antara minta tolong tapi juga tidak tidak mau dinasehati.

“Ya aku juga engga begitu suka kok sama kerjaan aku. Kamu bayangin aja ya… kantorku tuh rasis banget tau engga. Aku sebagai HRD nih ya, aku cuma boleh nerima orang dengan kriteria tertentu. Kalau ditanya sebel apa engga? Wah ini tuh udah engga sesuai sama nilai-nilaiku, tapi ya sekarang aku engga punya banyak pilhan. Kalian tahukan tunanganku barusan di PHK, trus aku belom dapet kerjaan yang oke sekarang, nah ditambah lagi aku mau nikah taun ini kan. Ora iso sekarepe dewe aku ki (engga bisa seenaknya sendiri aku tuh). Jadi kalau kamu engga sreg sama kerjaanmu, ya sama, aku juga. Tapi jangan langsung pulang ke Jogja gitu aja dong.” Kata Aulia sambil menyemil gorengan.

“Kamu yakin mau pulang ke Jogja? Mungkin kamu bisa buat cari kerjaan lain atau pindah di posisi lain?” Kataku menawarkan pilihan.

Kharis terdiam, lalu berkata, “I don’t know mbak…. Tapi kayaknya aku mau lanjut S2 aja”

Penjelasan yang langsung disanggah oleh Aulia, “Kamu yakin? Kamu harus mikir baik-baik loh, jangan jadiin S2 mu itu pelampiasan aja karena kamu engga bisa bertahan di pekerjaan kamu. Kamu harus mikir baik-baik. Nih ya sebagai HRD, aku bisa bilang kalau di beberapa posisi itu, S2 itu udah engga kepake Ris. Mereka lebih ngandalin pengalaman mereka. Mungkin sekarang kamu tuh cuma ada di kerjaan yang engga kamu banget, tapi mana tau ada pekerjaan yang lebih baik. Kamu jangan nyerah dulu…”

“Kamu mungkin bisa belajar juga sih Ris dari aku. Ngejar S2 tuh engga segampang itu juga, apalagi kalau kamu engga punya banyak duit buat biayain sendiri dan jadinya harus pake beasiswa. Ya aku ga tau ya… mana tau kamu emang seberuntung itu, jadi pas percobaan pertama daftar beasiswa, eh langsung lolos. Tapi kalau engga, ya kamu harus siap mental buat jatuh bangun. Belom biayanya… mahal cin! Secara emosional tuh capek banget loh” Kataku mencoba memberikan pandangan lain.

“Trus ojo lali (jangan lupa)... Kamu kan engga pinter-pinter amat Ris! Kamu betah po belajar di kelas gitu lama-lama?” Sambung Bili yang langsung dikeplak oleh Aulia, “Heh dasar. Pinter tau diaaa!” Dan tawa kami semuapun pecah.

“Trus aku harus gimana dong gaiiis?” Kharis bertanya dengan nada bingung.

Kami terdiam sebentar, mencoba untuk memikirkan jawaban yang paling diplomatis atas pertanyaan yang sebenarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar bisa menjawab. Akhirnya, Aulia menjawab bahwa Kharis harus memikirkan niat S2 nya dengan sangat hati-hati, karena tidak bijak untuk melanjutkan S2 hanya atas dasar kepepet. Aku dan Bili memiliki respon yang sama yaitu apapun yang akan Kharis lakukan, dia harus mampu bertanggungjawab. Kata Bili, “Kowe ki wis gede Ris… (Kamu itu udah besar Ris)“

Pertemuan malam itu pun akhirnya selesai pada tengah malam, disaat kami berempat sudah memiliki waktu dan kesempatan untuk saling bercerita.

***

Waktupun berjalan sejak malam kami berempat berkumpul. Kharis akhirnya benar-benar memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai marketing komunikasi di perusahaan penjual obat hewan dan kembali ke Jogja. Hingga di satu kesempatan, akhirnya aku menyapanya kembali. Aku bertanya tentang kabarnya, bagaimana dia menghadapi keputusannya untuk kembali ke Jogja, serta apakah dia jadi melanjutkan S2 nya atau tidak.

“Tau engga sih mbak, aku tuh ada di titik aku malu ketemu sama orang, soalnya kayaknya aku tuh engga ngapa-ngapain.” Katanya.

Diapun melanjutkan ceritanya, “Aku tuh kan deket banget sama Ibuku. Apa-apa tuh aku cerita sama dia. Tapi semakin kesini, aku semakin ngerasa kalau ibuku tuh ngelepas aku karena ya aku kan udah dewasa, harus mutusin semua sendiri. Aku jadi bingung sekarang harus gimana.”

“Apa kata Ibumu Ris?”

“Ya semuanya terserah sama aku aja sih mbak sekarang… makin bingung engga sih jadi aku? Tapi seenggaknya aku di Jogjalah… cooling down dulu sambil mikir.”

Aku yang membaca pesannya melalui Whatsapp, jujur saja tidak memiliki banyak hal yang bisa aku sampaikan, selain berharap agar dia bisa melewati proses perjalanan hidupnya setelah ini dengan optimis serta tidak melihat proses itu sebagai sebuah kegagalan.

Cerita Kharis mungkin sama dengan cerita perantau lainnya di Jakarta. Mereka yang lahir dan tumbuh besar di kota seperti Jogja, tidak serta-merta mudah beradaptasi dengan kota sebesar Jakarta, atau mengubah pandangannya tentang kenyamanan untuk bisa tinggal di Jakarta. Jakarta memang bukan untuk semua orang. Bahkan sebenarnya, tidak ada salahnya juga jika para pemimpi itu memutuskan untuk berada di Jogja atau kota-kota lainya. Jakarta memang menawarkan banyak petualangan. Tempat di mana kita kita bisa merasakan denyut nadi adrenalin berpacu dengan target-target, tantangan, dan kompetisi. Tapi jangan lupa, banyak hal yang menipu di Jakarta. Jakarta sangat pandai mengemas kebahagiaan agar terlihat menarik, padahal sering kali itu bentuk lain dari kehampaan. Jakarta memang menawarkan banyak paket lengkap, semua kenikmatan duniawi tersedia untuk dipilih. Tapi bagi sebagian orang, tidak peduli selengkap apapun paket yang ditawarkan Jakarta, tidak akan pernah bisa menawarkan sebuah perasaan seperti menemukan rumah. Bagi mereka, Jakarta bukan tempat untuk pulang.

Kharis pernah berada di Jakarta, menjadi salah satu wanita muda yang yang ikut berdesakan dengan kemacetan Ibukota. Bangun di pagi hari, pulang di sore hari, dan mengunjungi pusat perbelanjaan terkini. Mencoba melakoni perannya sebagai seorang marketing komunikasi dengan niatan untuk menguji ketahanan mental diri. Hingga dia berada di satu titik ketika perjalanannya di Jakarta menemui episode akhir. Di saat itulah, tidak ada yang lebih baik baginya selain kembali ke Jogja, bertemu dengan ibunda dan merancang kembali rencana-rencana. Apakah itu nantinya adalah untuk kembali ke Jakarta atau melanjutkan S2, apapun itu, untuk sejenak Kharis memilih untuk berjalan pulang. Tempat yang sudah dia kenal sejak kecil. Tempat yang paling aman, nyaman, dan hangat. Seperti kata Kla Project, pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu….


Kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator

Rabu, 01 April 2020

Satu - Sesuatu yang Disebut Rumah


Pernahkah kamu merasakan patah hati yang sebenar-benarnya patah? Hingga kamu tidak yakin pada dirimu sendiri untuk bisa kembali berdiri, kembali mencintai? Tapi kamu tidak menyesal, tidak pula merutuk atau menggerutu. Karena setelah itu, kamu seperti terlahir kembali dengan hati yang lebih berani.

Pernahkah kamu, bertemu seseorang yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya dan ternyata dia mengubah hidupmu, caramu melihat dunia? Orang yang awalnya mungkin biasa saja dalam pertemuannya denganmu, namun entah bagaimana skenario itu terjadi, dia bisa membantumu untuk mengenali dirimu lebih baik lagi.

Pernahkah kamu, berada di sebuah tempat di mana kamu tidak ingin berpikir tentang hari esok, yang ingin kamu lakukan hanyalah bernafas dan menikmati waktu yang berjalan dengan sangat lambat di sekelilingmu? Kamu akan makan makanan lokalnya, berbicara dengan orang lokal di sana, lalu entah bagaimana, berada di tempat itu seperti memberimu ilham untuk memahami banyak hal tentang hidup ini.

Lalu apakah kamu pernah merasa kebas dengan perjalanan hidupmu sendiri? Kamu ingin pulang, tapi kamu tidak tahu bagaimana, kepada apa atau siapa, kapan? Hingga di satu titik, kamu merasakan perasaan yang sulit sekali kamu bahasakan, di mana kamu tahu bahwa kamu sedang pulang, kamu seperti menemukan rumah.

Pernahkah kamu merasakan itu semua?

Aku tidak tahu, apakah aku harus berharap kamu merasakan itu semua atau tidak. Jatuh cinta yang membuatmu kepayang, lalu kemudian patah hati yang membuatmu muram. Aku tidak tahu apakah kamu harus melewati jatuh bangun perjalanan dulu untuk bisa berkata pada dirimu sendiri bahwa kamu sedang dalam perjalanan untuk pulang ke rumah. Aku sungguh tidak tahu bagaimana kisah-kisah terbaik itu seharusnya dilalui.

Tapi aku bisa membagikan cerita-ceritaku untukmu. Cerita tentang bagaimana aku melihat orang-orang itu sedang dalam perjalanannya untuk menemukan yang mereka sebut rumah. Termasuk, ceritaku sendiri.



Sebuah kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator
© RIWAYAT
Maira Gall