Rabu, 29 April 2020

Empat - Bulan Ramadhan


Sebagai orang Indonesia dan beragama Islam, aku selalu mengingat dan melihat bulan Ramadhan dengan semarak. Mungkin karena di sini, Ramadhan dirayakan secara terang-terangan lengkap dengan semua ritual dan tradisinya. Mari kita sebutkan beberapanya seperti, ramainya jalanan menjelang berbuka puasa dengan aneka takjil yang enak-enak dan dijual murah, masjid-masjid yang ramai dengan beragam macam kegiatannya, berbagai macam lingkar pertemanan akan sibuk mengajak berbuka puasa bersama walaupun sering kali wacana, menu makan sahur yang semakin akhir semakin ala kadarnya, hingga ritual mudik dan maaf-maafan di penghujungnya.

Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kenangan yang berbeda-beda dengan Bulan Ramadhan. Mungkin ada yang mengingat Ramadhan sebagai bulan yang sulit mencari makan siang, bulan yang lemas dan tidak begitu produktif, bulan harga sembako akan naik, bulan dicairkannya Tunjangan Hari Raya, atau bulan di mana iklan-iklan sirup marjan banyak ditayangkan.

Begitu juga aku. Kenangan Ramadhan selalu hadir dalam ingatan yang berbeda-beda dari tahun ke tahun.

Waktu aku masih kecil, aku ingat kenangan saat berlari kecil dari masjid selepas sholat tarawih menuju rumah kontrakan untuk makan es mony. Aku juga ingat ketika SD dan aku harus mencari tandatangan penceramah sholat tarawih untuk diisikan di buku kegiatan Ramadhan. Rasanya malas sekali harus menyelinap di belakang mimbar dan berdesakan dengan anak lainnya untuk meminta tanda tangannya.

Beranjak remaja, aku ingat bulan Ramadhan yang harus dilalui dengan mengerjakan Ujian Tengah Semester SMA dan betapa aku harus berjuang untuk bisa bangun pagi setelah tidur habis sahur. Agak menyiksa sebenarnya. Kenangan Ramadhan saat remaja juga dihiasi dengan ucapan-ucapan “Sudah sahur belum?” atau “Selamat berbuka ya” dari cowo-cowo gebetan. Bahkan telepon genggam saat itu tidak pernah sepi dari gombalan-gombalan cowo-cowo untuk mengajak buka puasa bersama.

Saat masa kuliah, bulan Ramadhan selalu saja disibukan dengan menghadiri undangan berbuka puasa di luar, jarang sekali berbuka di rumah bersama keluarga. Apalagi saat masih harus kerja paruh waktu, aku bahkan lebih sering berbuka puasa di gerai toko tempat saya bekerja daripada di rumah. Oh tapi itu pengalaman yang seru sekali. Rasanya menyenangkan bisa menutup toko 15 menit lalu kita semua berkumpul dan memakan makanan bukaan bersama-sama. Dan tentu saja Ramadhan tidak bisa dipisahkan dari kenangan saat siaran sahur dan buka puasa di radio. Siaran sahur yang dimulai dari jam 2 pagi membuatku harus berangkat dari rumah jam 1.45 pagi, menggunakan motor sambil menahan kantuk. Lalu saat siaran, jika sudah jam 3.30 pagi, di tengah-tengah lagu, aku akan keluar studio dan naik motor untuk membeli nasi gudeg yang dijual di Jalan Demangan sebagai menu sahur kesukaanku. Ketika sudah closing siaran di jam 5 pagi, tim siaran sahur akan berebut tempat di sofa dan baru akan bangun jam 7 atau bahkan jam 8 pagi.  

Sejak aku kecil hingga usiaku menginjak 20 tahun awal, kenangan Ramadhan lebih kepada kegiatan yang aku lakukan, rutinitas yang harus sesuaikan, dan ritual berbeda yang aku kerjakan. Saat itu, aku sebenarnya tidak benar-benar melihat Ramadhan sebagaimana esensinya. Tentang mengapa seorang muslim harus berpuasa, memperbanyak membaca Al-Quran, dan sebagainya. Aku tidak begitu ngeh soal itu. Baru dimulai pada tahun 2015 lah akhirnya Ramadhan membawa ingatan dan makna yang berbeda di hidupku. Ramadhan tidak lagi melulu soal rutinitas dan ritual, Ramadhan juga soal mengingat kembali makna diri.

Tahun 2015 adalah tahun pertamaku beritikaf di 10 hari terakhir. Itikaf adalah kegiatan berdiam diri di mesjid dan memperbanyak melakukan ibadah. Ya semacam kontemplasi diri dengan ilahi. Aku selalu mengingat perasaanku di tahun 2015 karena yang aku rasakan adalah perasaan tenang dan lega karena bisa bersimpuh di hadapan Rabb. Aku ingat saat itu, aku memohon agar aku tidak dipisahkan dengan keyakinanku untuk apapun harga dan kondisinya. Ramadhan kala itu berjalan dengan syahdu karena aku lebih sering berbuka puasa di rumah ketimbang bersama teman dan aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan beribadah. Kali pertama aku memperlakukan Ramadhan dengan berbeda, dengan lebih serius. Setelah Ramadhan 2015, hidupku kemudian berjalan sebagaimana doaku. Seakan menjawab keinginanku, setelah itu hidupku berada dalam masa-masa semi kritis. Aku bertemu lelaki dan dia menguji keimananku nyaris pada titik nadir. Hingga akhirnya aku menyambut Ramadhan 2016 dengan satu harapan bahwa aku tetap bisa mempertahankan imanku sekaligus aku bisa untuk tetap mempertahankan perasaanku. Ramadhan di tahun itu hanya diisi dengan helaan nafas panjang dan harapan yang selalu aku ulang-ulang. Ibarat kurva, hidupku menukik pada titik terendah setelah Ramadhan 2016 dan aku saat memasuki Ramadhan 2017, aku datang dengan luka-luka yang butuh disembuhkan. Tidak ada yang benar-benar aku inginkan selama Ramadhan 2017 selain minta ditenangkan dan dilapangkan hatinya. Dan jadilah, aku menggunakan Ramadhan 2017 dengan sangat maksimal untuk menangis sejadi-jadinya. Aku sangat sedikit bertemu orang lain di luar keluarga dan hanya sibuk manata hati dan emosi. Tahun 2018, hidupku semakin membaik dan tahun itu menjadi Ramadhan pertama setelah kepindahanku ke Jakarta. Aku melihat Ramadhan dengan sangat berbeda di tahun itu karena mempunyai lingkungan baru, suasana baru dan teman-teman baru. Di Ramadhan tahun 2018, aku meminta kejelasan dan penyelesaian atas semua pertanyaanku dan perasaan lama yang berputar di situ-situ saja. Hingga memasuki tahun 2019, sebagaimana memang tahun itu adalah tahunnya aku berkontemplasi, saat Ramadhan datang, aku meminta tolong pada Rabb untuk membantuku ikhlas dan berani melepas semua perasaan dan harapan-harapanku yang sudah terjawab pada akhir tahun lalu.

Dan kini, saat satu Indonesia sedang dipaksa untuk tetap berada di rumah, aku seperti kembali pada Ramadhan 2015, di mana untuk pertama kalinya aku memasuki bulan Ramadhan tanpa memiliki keinginan tertentu seperti yang aku alami 4 tahun berturut-turut sebelumnya. Di Ramadhan kali ini, yang aku inginkan adalah agar diberikan waktu bermesraan dengan Rabb selama dan seintens mungkin. Aku berharap agar aku diilhamkan doa-doa terbaik yang bisa aku sampaikan di malam hari. Ada perasaan yang lebih syahdu dan personal di tahun ini, terutama saat semua orang juga berada di rumahnya masing-masing. Ada juga perasaan lega yang aku rasakan karena kini aku tidak lagi datang dengan topik yang sama seperti 4 Ramadhan sebelumnya. Enteng sekali aku rasakan di hati dalam menyambut Ramadhan tahun ini.

Seperti itulah aku merayakan Ramadhan. Kedatangannya selalu mengingatkanku pada perasaan pulang. Walaupun setiap tahunnya aku selalu merasakan pengalaman yang berbeda, tapi tetap saja, ada satu perasaan yang sama, yang amat sangat sulit aku ungkapkan, perasaan tenang dan damai, aku menyebutnya perasaan Ramadhan. Tidak peduli aku berada di mana, melakukan apa, atau sedang dalam kondisi apa, ketika memasuki Bulan Ramadhan, aku seperti memasuki rumah yang aman. Rumah yang menbuatku dapat beristirahat sejenak dan hanya berhubungan denganNya.

Aku selalu merasa aman di Bulan Ramadhan.

Marhaban ya Ramadhan.



Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall