Jumat, 08 Mei 2020

Ketika Masakan Terhidang

Waktu KKN tahun 2012, saya belum ada kepikiran apa-apa soal pekerjaan domestik rumah tangga, mulai dari memasak, beres-beres, atau bahkan belanja bulanan. Mungkin karena waktu itu saya masih membayangkan kehidupan saya setelah lulus kuliah nanti adalah sebagai wanita karir papan atas ibukota, sehingga saya merasa tidak perlu bersentuhan dengan pekerjaan domestik rumah tangga macam itu. Saat itu saya berpikir bahwa melakukan pekerjaan domestik itu ribet, melelahkan dan terlebih saya juga tidak bisa melakukannya dengan baik. Maka ketika saya KKN dan harus tinggal satu rumah dengan 9 orang lainnya di Papua Barat yang sangat pelosok itu, saya sebenarnya merasa sedikit was-was, bagaimana kalau akhirnya saya ini dicibir oleh anggota tim lainnya karena payah melakukan pekerjaan domestik? Padahal saya kan, perempuan? Perempuan kok tidak bisa memasak, menyapu, dan beres-beres? 

Tapi seperti halnya KKN di daerah terpencil, kami memang harus melakukan semua kegiatan sendiri sebagai tim. Mulai dari menjalankan program KKN hingga kegiatan domestik tim, semuanya harus saling gotong-royong. Untuk itulah, komandan unit saya pun membuat jadwal dan tim piket memasak dan beres-beres agar kami semua kebagian jatah. Dan sedikit info, kelompok KKN saya ini saya hanya terdiri dari 4 perempuan yang mana 3 diantaranya dipandang bisa melakukan aktivitas domestik dengan baik, terutama memasak. Sementara saya, saya dipandang lebih jago untuk melaksanakan program-program KKN. Sebuah asumi yang tepat. 

Maka jadilah, mau tidak mau, suka tidak suka, ya saya tetap harus melaksanakan jadwal masak dan beres-beres. Untuk memasak, saya masuk di 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang di dalamnya ada teman perempuan saya yang jago memasak. Orang Medan pula, jadi masakannya selalu kaya rasa. Sementara kelompok kedua berisi dua lelaki yang juga tidak bisa memasak sama sekali seperti saya. Kalau kebagian jadwal piket masak di kelompok pertama, saya dan satu teman lelaki hanya akan kebagian tugas potong-potong bahan masakan saja, selebihnya kami hanya ngobrol di dapur yang kecil itu sambil menemani si orang medan ini masak. Tapi kalau sudah masuk di kelompok masak tim kedua, wah jangan tanya, kami hanya akan masak olahan mie dan sarden saja. Hal yang sama saya rasakan ketika kebagian jadwal beres-beres rumah pastori (tempat kami semua tinggal) dan cuci piring. Rasanya ingin barter saja dengan memberikan sosialisasi ke satu Papua daripada harus berhadapan dengan piring kotor 10 orang, panci-panci kotor habis masak, dan masih harus jalan ke sungai di dekat bukit untuk mencuci itu semua pula! Deuh...

Melihat betapa payahnya saya melakukan kegiatan domestik, terlebih urusan memasak, salah seorang teman lelaki saya berkata begini, "Peh, perempuan itu harus bisa masak biar disayang suami. Ntar cari istri lagi loh dia." Entah dia itu sedang memberikan motivasi atau memang pikirannya saja yang patriarki, masih jadi pertanyaan saya  hingga hari ini. Tapi biar cepat, saya iyakan saja perkataan dia itu dengan ketus. Namun begitu, saya ya juga tidak bisa marah dengan dia, karena jujur saja, saya kagum kalau melihat teman-teman perempuan saya itu dan bahkan beberapa teman lelaki saya, bisa memasak dengan baik di saat kami memang sangat membutuhkan asupan yang lezat dan bergizi. Bagaimana bisa mereka meracik semua bahan-bahan mentah lalu menjadikannya masakan enak? Bahkan Mas Yoyok saja bisa membuat sayur daun singkong santan dan ikan kuah yang.... luar biasa rasanya! Saat itulah akhirnya saya mempunyai tantangan untuk diri sendiri, bahwa suatu hari nanti saya pasti bisa memasak. 

Hingga 8 tahun kemudian setelah ucapan itu diucapkan, dan tantangan itu saya gaungkan, saya merasa ada banyak perubahan dalam hidup saya soal kegiatan domestik, terutama perkara memasak. Bahkan alasan yang mendorong saya menulis tulisan ini adalah karena saya baru saja membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Yap, saya lebih sering memasak sekarang. Dalam beberapa hari ke depan, saya berencana mau bikin kue kering dan basah. Apakah itu  karena saya inpulsif tidak ada kerjaan di masa pandemi ini? Tidak juga sih. Sama sekali tidak ada kaitanya dengan impulsifitas. Alasannya adalah karena sejak dua tahun terakhir, tanpa saya duga-duga, saya menikmati melakukan kegiatan domestik, mulai dari beres-beres, belanja di pasar tradisional, dan memasak! Terutama di masa pandemi ini, saya malah bersyukur karena lebih punya banyak alasan untuk berkreasi dengan resep-resep. Sebuah kejutan, bukan?

Sebenarnya perkenalan saya dengan memasak dan pekerjaan domestik itu dimulai sejak kepindahan saya ke Jakarta. Motivasi awalnya memang dilakukan sebagai upaya bertahan hidup, tapi lama kelamaan saya menikmati melakukan itu semua. Alhasil, saya sudah berhasil membuat masakan-masakan rumah yang rasanya cukup memuaskan dan bahkan membuat kue-kue sederhana tanpa oven. Pun beres-beres adalah hal yang saya lakukan tanpa mengeluh.

Jadi apakah saya akhirnya mempertimbangkan saran teman KKN saya itu untuk belajar memasak agar suami saya kelak tidak mencari istri lain? Ya tentu bukan! Bukan itu motivasinya. Ketika saya akhirnya bisa memasak dan tidak merasa keberatan melakukan pekerjaan domestik lainnya, itu semua saya lakukan karena saya ternyata menikmatinya. Kemampuan memasak yang ingin saya asah ini adalah karena saya memang menyukainya, bukan karena keterpaksaan.

Teman dekat saya, perempuan juga, dia ngekos di tempat lain di Jakarta, seorang data jurnalis handal Indonesia, pernah sekali waktu mengirimkan pesan singkat di masa pandemi ini yang isinya, "Aku happy hari ini, aku engga usah masak. Hari ini aku go-food. Ternyata aku engga suka masak. Masak bikin stress." Tidak hanya wanita yang seumur dengan saya, ketika saya memamerkan hasil masakan-masakan saya kepada bunda, bunda merespon dengan "Iya nih, Bunda juga sedang belajar mencintai dapur". Kalau mama saya, wah jangan tanya, dia adalah dalang kenapa saya tidak mengenal dapur dan masak. Mama tidak pernah mengajak saya ke dapur karena kegiatan memasak itu bukan mama banget. Dia sendiri pada dasarnya tidak nyaman dengan dapur yang berantakan ketika memasak dan itu alasan terbesarnya mengapa tidak pernah mengenalkan saya dengan dapur. Beda dengan nenek. Nenek adalah wanita yang sangat handal dalam memasak. Semua masakannya enak dan dia bisa memasak makanan apa saja. Waktu kecil, saya permah berpikir bahwa kalau nenek meninggal, maka saya bisa mati kelaparan.

Di titik ini, saya jadi berpikir bahwa semua manusia pada dasarnya mempunyai kompetensi untuk melakukan semua hal di dunia ini, tanpa peduli dia lelaki atau perempuan. Termasuk perempuan dan keahlian memasak itu sendiri. Saya merasa bahwa stigma yang diberikan pada perempuan bahwa kami harus pandai memasak, bersolek, mengambil hati pria, cerdik melihat harga, dan mengatur rumah itu adalah keahlian yang sangat mudah bisa dilakukan oleh perempuan manapun. Semua perempuan bisa melakukan itu semua selama dia mau.

Saya tidak percaya bahwa ada perempuan yang tidak bisa melakukan pekerjaan domestik, bagi saya yang ada hanyalah perempuan yang merasa tidak nyaman dan berat hati dalam melakukannya. Mereka bisa, hanya tidak menikmati melakukannya karena satu dan lain hal. Keahlian macam masak, beres-beres, belanja, menjahit, dandan, bikin kue, menyetir, bikin laporan keuangan, hingga menggerakan pesawat bisa dipelajari oleh siapapun. Semuanya bisa melakukannya, perkara dia mahir atau tidak, dia menyukainya atau tidak, nah baru menjadi hal lain. Jadi apakah kita, perempuan terutama, harus suka memasak? tentu saja tidak! 

Saya tidak menikmati merias wajah tapi saya bisa dandan untuk acara-acara tertentu yang mengharuskan saya dandan. Teman saya yang data jurnalis itu, bukan berarti tidak bisa masak, dia pernah membuatkan saya spaghetti carbonara yang lezat. Masakan lebaran mama mulai dari opor dan sambel goreng atinya pun sangat lezat kami santap di setiap lebaran, walaupun dia uring-uringan selama memasak. Teman saya yang lain, hanya bisa memasak masakan yang tidak ada rasanya, tapi bagi dia, dia sudah memasak. Jadi yang perlu diingat oleh semua orang adalah, keahlian itu pilihan untuk dipelajari, tapi bukan berarti seseorang itu harus benar-benar menyukainya. Motivasinya bisa saja berbeda, dan itu tidak ada kaitannya dengan menguasi sebuah keahlian tertentu. Jadi kalau mau berbicara soal menghargai keahlian perempuan dalam hal memask, justru saya yang harusnya lebih menghargai mama yang tidak suka memasak tapi tetap memasak opor, dibanding nenek yang memang pada dasarnya suka memasak. Itu artinya mama saya mau berkorban untuk membuat opor yang enak saat lebaran. 

Jika seorang perempuan akhirnya turun ke dapur dan memasak, itu bisa jadi untuk beragam alasan. Mungkin untuk alasan ekonomi, sebuah hobi, cara pelampiasan stress, aktualisasi diri, atau karena dia menghormati perannya sebagai istri dan ibu. Seorang perempuan boleh saja mempelajari cara memasak, tetapi tidak ada yang boleh mengkoyak identitasnya sebagai perempuan hanya gara-gara urusan bisa memasak atau tidak, bisa melakukan pekerjaan domestik dengan baik atau tidak. Lagipula, mau sepayah apapun seorang perempuan dalam memasak, semua anak dan suami pasti punya masakan favorit yang dibuat langsung oleh ibu atau istri mereka. Coba saja tanya mereka. Karena kan ini bukan soal keahlian, masakan yang terhidang itu soal perhatian dari perempuan yang menjalankan perannya.

Ditambah... Tidak ada yang benar-benar harus di muka bumi ini kecuali hal-hal mendasar seperti bernafas, makan, minum, buang air besar, tidur, dan hal-hal alamiah lainnya yang merupakan kebutuhan manusia. Selebihnya, semua hal itu adalah pilihan, tidak ada yang benar-benar menjadi sebuah keharusan.

Ini adalah salah satu desain dapur idaman saya. Sederhana tapi siap diberantakan dengan tepung atau kunyit.
Source: https://i.pinimg.com/564x/4b/88/95/4b8895a5bb7da8d641acaddf7eaca83f.jpg

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall