Senin, 18 Mei 2020

Di Sebuah Hari Bersama dengan Lelaki yang Lahir di Bulan November




Saat awal-awal mengenalnya, aku sempat bertanya apakah namanya itu memang ada kaitannya dengan Bulan November? Seperti jika seseorang bernama Julia, dia mungkin lahir di bulan Juli, atau Agustina yang bisa jadi lahir di bulan Agustus, apakah namanya juga berarti demikian? Dia pun mengiyakan. Maka semenjak itu, aku selalu mengingat bulan November sebagai bulan kelahirannya. Walau tidak pernah mengucapkan secara langsung, tapi aku masih ingat tanggal pastinya kapan dia berulang tahun.

Perkenalan kami sudah terjadi lama sekali. Waktu itu aku masih menjadi seorang siswi di sekolah menengah atas dan dia adalah seorang alumni yang jaraknya cukup jauh dari aku, 4 atau 5 tahun kalau tidak salah. Aku bertemu dengannya pertama kali di acara reuni akbar yang mengundang alumni dari tahun 90an hingga alumni yang baru lulus di tahun itu. Aku sedang mengobrol dengan seorang alumni lainnya saat dia memasuki ruangan yang sama. Aku sadar dia menatapku dan setelah itu dia semacam mencoba masuk ke dalam percakapan antara aku dan alumni yang sedang aku ajak bicara. Agak mengganggu sebenarnya. Itu kali pertama semesta mengirimkannya padaku. Aku masih berumur kalau tidak 15 ya 16 tahun. Masih belia pokoknya.

Selanjutnya adalah kisah yang panjang. Sangat panjang, sampai-sampai di pagi hari saat aku menuliskan ini, aku harus berkali-kali diam sejenak, membuang nafas berat karena ingatanku akan dia berloncatan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, dan dari satu emosi ke emosi lainnya.

Aku juga tidak tahu apakah aku harus menyebut ini sebuah kisah asmara atau kisah apa, tapi yang jelas, pernah ada satu masa di mana semua tulisanku hanya berkisar pada dia saja. Bahwa dalang dibalik semua emosi-emosiku pada saat itu adalah dia. Seorang teman yang mengenal kami berdua pernah berkata, “Kalian itu selalu aja begini selama bertahun-tahun, kalau yang satu suka, yang satunya biasa aja. Kalau yang satunya gantian suka, yang satunya udah sama yang lain. Kalau yang satu ketemu aku, pasti bakal nanyain yang satunya, yang satunya kalau dikasih tau kalau dia ditanyain, terus jadi gantian nanya juga. Gitu aja terus…” Mungkin kalau kisah ini diangkat jadi sinetron di layar kaca, ratingnya sudah anjlok karena terlalu monoton ritmenya.

Apa yang sebenarnya terjadi pada kami juga bukan sesuatu yang mudah aku bahasakan. Sulit sekali untuk menyimpulkan perasaanku padanya, perasaan dia padaku, atau bagaimana kami bisa ada di satu kisah yang sangat panjang. Tapi kami sepertinya harus sepakat bahwa ada masa dalam hidup kami berdua, di mana kami berharap satu sama lain bisa menemani kehidupan satu sama lainnya. Sayangnya, sama seperti yang teman kami katakan itu, kami tidak pernah ada dalam satu waktu yang sama saat keinginan itu ada. Selalu saja, takdir membuat kami beririsan.

Terlepas dari apa yang kami rasakan, dia adalah lelaki pertama yang membuat emosiku jatuh bangun. Aku tidak bicara soal cinta pertama karena memang bukan dia orangnya, aku sedang bicara tentang bagaimana aku mengenal keterikatan emosi pada lawan jenis untuk pertama kalinya. Mungkin ini lebih tepat dikatakan sebagai pengalaman pertamaku mengenal emosi dalam bentuk rasa suka.

Waktu aku mengenalnya dan kisah ini pertama kali ada, aku masih berusia belasan tahun sementara dia seorang mahasiswa. Beberapa alumni yang sering menjadi pembimbing ekstrakurikuler di sekolah dulu sempat beberapa kali memberitahuku tentang perasaanya, tapi pada saat itu, jujur aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Bahkan hingga bertahun-tahun setelahnyapun, aku masih saja gagap, bingung harus bersikap seperti apa. Kesalahan terbesar dari ketidaktahuanku menghadapi dia adalah caraku yang menggantungkan dia dan semua perasaannya dalam waktu yang lama. Aku bertindak seolah-olah aku tertarik padanya, padahal sebenarnya aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Kami sama-sama awam dalam memahami ini, terutamanya aku.

Pola seperti itu terjadi cukup lama. Aku antara ada dan tiada baginya, dan dia yang akan selalu ada buatku. Hingga di satu titik, akhirnya diapun melangkah maju dan memiliki kehidupannya sendiri. Aku sempat merasa tertinggal saat mengetahui dia sudah memiliki kehidupan baru yang tidak ada kaitannya dengan aku. Lama-kelamaan, kamipun berjarak, tapi tidak benar-benar hilang. Aku tumbuh menjadi manusia dewasa dengan semua mimpi yang aku kejar dan kisah-kisah baru dengan lelaki-lelaki lain. Begitu pula dengan dia. Tapi setiap kali mengingat dia, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Aku seperti dihantui hutang penjelasan atas semua sikapku padanya selama bertahun-tahun. Selalu saja muncul keinginan untuk bertemu dengannya dan berbicara panjang tentang hal ini, mamun aku juga tidak tahu harus memberikan penjelasan apa. Aku tidak punya kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi karena aku juga tidak tahu kenapa itu terjadi. Maka akupun pasrah dan membiarkan keganjalan ini tetap ada di hidupku selama bertahun-tahun lamanya.   

Kepasrahanku rupanya membuahkan hasil. Pelan tapi pasti, waktu dan rangkaian kejadian seakan memberikan keping demi keping pemahaman yang membuatku bisa memahami semua perasaan mengganjal ini. Hingga akhirnya, semua kepingan itu membentuk sebuah penjelasan yang utuh tentang dia, aku, dan apa yang sebenarnya terjadi.

Maka di sebuah hari di bulan Desember tahun 2019, setelah lebih dari 10 tahun kami saling mengenal, aku memberikannya sebuah penjelasan. Aku tidak tahu sebenarnya apakah penjelasan itu adalah hal yang penting atau tidak, dan apakah hal itu dia butuhkan atau tidak. Yang aku tahu adalah aku harus menyampaikan ini untuk diriku sendiri. Seperti sebuah hutang, aku merasa perlu memberikannya penjelasan.

Kami sepakat bertemu di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan. Aku berangkat di jam yang tepat, agar aku tidak membuatnya menunggu. Cukup deg-degan sebenarnya. Aku pun sampai di tempat yang dia arahkan, dan dari kejauhan aku sudah bisa melihat sosoknya yang masih sama, tinggi menjulang! Diapun menyapaku ramah. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara dan ketawanya itu. Dia memboncengku dengan motor tuanya yang sangat retro, khas dia. Dia masih menjadi seorang copywriter, posisi yang sejak dulu selalu dia inginkan, dan dia masih memiliki hobi yang sama, melahap banyak buku dan karya seni. Sepintas, dia masih menjadi sosok yang sama dari terakhir kali kami bertemu.

Kami duduk dan makan siang di rumah makan yang dia pilih. Lalu akupun mulai bercerita, memberikannya penjelasan yang memang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Saat berbicara, kadang-kadang aku menerawang dan nafasku tetiba memburu. Sedang dia, dia takzim mendengar. Akhirnya dengan susah payah, aku dapat menyelesaikan semua penjelasanku. Dia tidak banyak berkomentar, walau raut mukanya banyak berubah. Aku mencoba memahami kalau tentu saja tidak banyak hal yang bisa dia sampaikan padaku. Dia toh harus mencerna dan mengatur emosinya juga. Walau sejujurnya aku ingin mendengar dia mengatakan sesuatu tentang apa yang dia rasakan. Tapi nihil.

Karena sudah telalu lama di tempat makan, kamipun pindah ke sebuah kedai kopi di salah satu pusat pembelanjaan di daerah Setiabudi. Hari itu, entah ada skenario apa, kami bertemu dengan teman baiknya yang juga merupakan alumni yang aku kenal baik. Kebetulan alumni itu sedang mampir ke Jakarta bersama dengan istri, ipar, dan anak-anaknya. Maka kamipun melakukan reuni kecil-kecilan sambil berbincang ringan. Agak sedikit canggung sebenarnya karena sudah sangat lama aku tidak pernah bertemu dengan si alumni itu. Tidak lama, rombongan dari Jogja itupun pamit pulang dan menyisakan kembali aku dan dia.

Karena dia tidak juga mengatakan apapun, aku hendak mengakhiri hari itu dengan berpamitan. Aku berkata bahwa aku akan pulang naik transjakarta karena toh sudah sore. Mendengar itu, raut mukanya seperti enggan tapi akhirnya dia setuju. Dia membujuk untuk menemaniku berjalan hingga halte transjakarta. Aku menolak awalnya karena aku butuh waktu untuk berjalan sendiri, tapi dia memaksa, maka kamipun berjalan menuju halte.

Ada sebuah bangku panjang di pinggir jalan dekat dengan jembatan penyebarangan menuju halte transjakarta yang akan aku tuju. Kamipun memutuskan untuk duduk sebentar di situ. Pas sekali karena langit sore waktu itu sedang cerah dan lalu lintas Jakarta juga tidak padat. Cocok memang untuk duduk-duduk sore.

Kamipun duduk.

Sama-sama diam.

Kayaknya daritadi aku terus ya yang ngomong? Engga mau cerita apa gitu?” tanyaku. Dia menggeleng.

Kesabaranku seketika hilang. Aku tidak tahu kenapa aku harus duduk menikmati langit sore Jakarta dengan seseorang yang sudah aku lukai perasaanya, sementara dia diam saja. Seperti menyiksa diri dengan melihat dia tetap diam sementara aku butuh waktu untuk bernafas. Akhinya terjadilah yang tidak aku rencanakan, sesuatu yang aku sesali hingga hari ini, aku memaksanya berbicara. Dengan nada agak tinggi aku berkata, “At least tell me what you feel!” Dia akhirnya berkata beberapa hal yang menurutku hanya karena keterpaksaan saja, selebihnya dia kembali diam.

Aku tidak tahan.

Di akhir waktu kami di bangku itu, dia bertanya apakah dia bisa mengajaku pergi lagi. Aku pribadi tidak tahu apakah itu ide yang bagus atau tidak untuk kami saling bertemu setelah hari itu, tapi aku katakan bahwa tentu saja aku tidak akan menolak kalau dia mengajaku pergi di lain hari. Walau sebenarnya aku sanksi hari itu akan terjadi.

Setelah kebisuan yang panjang dan emosikupun sudah terkuras habis, maka aku berpamitan padanya. Aku memintanya untuk tidak menemaniku berjalan. Dia setuju.

Ketika menaiki jembatan penyebrangan menuju halte transjakarta, dadaku terasa ringan, semua keganjalan itu seperti pecah. Aku tersenyum di sore itu, lega. Aku sudah mengakui kesalahanku, semua sikap kekanak-kanakanku, mengakui akar masalahnya. Aku merasa hutang itu telah terbayar. Ada memang perasaaan tidak enak muncul ketika membayangkan bahwa mungkin dia terluka dengan pertemuan ini. Sempat ada hasrat untuk menghubunginya lagi, sekedar untuk bertanya kabarnya, tapi aku urung. Apapun yang dia rasakan harus dia hadapi sendiri. Setidaknya aku tidak perlu ikut campur untuk bagaimana cara dia menghadapi pertemuannya denganku. Karena kalau tidak, aku masih menjadi orang yang sama yang membuat kami hanya berputar-putar di situ-situ saja.

Maka di hari itu, kisah panjang inipun memiliki sebuah penjelasan diakhirnya. Sesuatu yang aku syukuri karena tidak semua kisah memilikinya. Dan kini setiap kali aku melintas di area Setiabudi dan melihat bangku di pinggir jalan itu, aku akan selalu mengingat bagaimana bangku itu telah menjadi saksi bisu dua emosi manusia yang pecah di sebuah sore.

Begitulah satu hari yang panjang bersama dengan lelaki yang pernah bertanya, “Lagi baca buku apa bulan ini?” dengan intonasi yang benar-benar tulus karena dia juga seorang kutu buku. Lelaki pertama yang mengajaku menonton teater dan berbicara panjang lebar tentang seni. Lelaki yang mengenalkanku pada dunia periklanan dan Efek Rumah Kaca. Lelaki yang pernah membuat degup jantung berdebar kencang dan air mataku tumpah berhari-hari karenanya. Dia adalah lelaki yang lahir di bulan November dan aku akan selalu mengenangnya sebagai satu dari sangat sedikit lelaki yang membentukku hingga menjadi aku di hari ini.

Aku sangat bersyukur kisah antara aku dan dia pernah ada. 

Source: https://id.pinterest.com/pin/229683649734409349/


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall