Sabtu, 20 Juni 2020

Cendol Duren dan Koordinat Bahagia

You could sustain or are you comfortable with the pain? 
You've got no one to blame for your unhappiness, you got yourself into your own mess. 
Lettin' your worries pass you by. Don't you think it's worth your time to change your mind?
(Hold On - Wilson Phillips)

Untuk pertama kalinya, di minggu kedua Bulan Juni, pimpinan saya akhirnya mencari cara agar kami dalam satu unit dapat bekerja di kantor walau hanya beberapa jam saja. Tentu kami semua merespon usulan itu dengan gembira. Bayangkan saja, setelah nyaris 3 bulan harus bekerja di rumah masing-masing, rasanya sangat senang bisa kembali ke kantor dan bertemu dengan semua orang di tim. Kamipun mengatur hari serta agendanya, kami mencoba untuk membuat fasilitasi dengan daerah secara daring, tetapi kali ini kami melakukannya dengan semua anggota tim lengkap berkumpul di ruang rapat.

Beberapa hari sebelum itu, saya merasa bahwa suasana hati saya kembali tidak menentu, acak-acakan dan tidak bisa diajak kompromi. Mungkin saya yang tidak sadar mengalami burnout atau mungkin metabolisme tubuh yang kurang baik dikarenakan periode menstruasi yang berantakan dan ditambah dengan saya yang berpuasa juga saat itu. Atau bisa juga karena saya yang segitu kesepiannya sehingga saya miliki ekspektasi yang berlebihan untuk bisa bertemu dengan seseorang saat itu. Intinya saya seperti harus berjuang untuk tidak terus-terusan bertahan dengan perasaan seperti itu, hingga usulan untuk bisa kembali ke kantor walau sejenak terdengar begitu menyenangkan.

Hingga tibalah di hari H saat kami semua akhirnya datang ke kantor. Saat melihat satu per satu anggota tim yang terdiri dari 5 orang itu datang semua, saya benar-benar terharu. Akhirnya bisa kembali berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Di tengah-tengah konsultasi virtual, pimpinan saya membisikan pada saya, “Alifah, kamu sudah cendol duren engga?” Saya menjawab dengan juga berbisik, “SUKA DONG PAK!’ Lalu beliau berkata, “Tunggu ya kira-kira 10 menit.” Katanya sambil berlagak melihat jam tangannya. Dan benar saja, tidak lama kemudian, satu kardus cendol duren datang untuk satu tim. Di hari itu saya sebenarnya sedang berpuasa, tapi melihat ekspresi pemimpin saya yang sebegitu semangatnya menyuruh saya mencoba es cendol, saya tidak tega. Ditambah lagi, salah satu anggota tim yang lain juga berencana untuk mentraktir kita semua makan siang, maka semakin besarlah keinginan saya untuk membatalkan puasa dan menikmati semua sajian hari itu.

Saya pun akhirnya mengambil satu gelas cendol tersebut, membukanya, dan menuangkan gula merah kental ke dalamnya, serta mengaduknya perlahan. Saya meminum es cendol duren itu dengan takzim karena rasanya yang enak sekali! Seketika, suasana hati saya kembali membaik dan saya seperti dapat energi tambahan. Mungkin karena hormon PMS dan saya yang tadinya sedang berpuasa, sehingga ketika mendapat asupan gula, tubuh saya menjadi lebih bersemangat. Atau bisa juga karena karena saya tersadar bahwa saya menjadi salah satu yang beruntung hari itu karena memiliki pemimpin super loyal serta tidak termasuk dari mereka-mereka yang dirumahkan di masa pandemi ini.
Hari itu berjalan yang cukup lancar. Konsultasi virtual dengan daerah berjalan dengan tanpa kendala, setelahnya kami sempat melakukan briefing singkat tentang apa yang kami lakukan pada bulan ini dan bulan depan, dan berakhir dengan makan bersama satu tim dengan makanan yang lezat dibeli dari aplikasi daring.

Tetapi hari itu belum selesai. Sesampainya di kosan, setelah mandi dan bebersih, saya masih harus mengikuti satu sesi conference call hingga sore dan berjanji untuk menelpon sahabat saya di Jogja setelahnya. Maka sesuai janji, setelah sesi conference call selesai dilakukan, saya berbincang panjang dengan sahabat saya. Dia bercerita tentang rencananya melakukan inseminasi kehamilan dan perjuangannya agar tetap waras ditengah gempuran ibu mertua yang memaksanya untuk segera hamil. “Aku belum pernah cerita ini nih sebelumnya, semuanya aku pendem sendiri, lega banget bisa cerita sama kamu akhirnya sist.” Katanya sambil menangis. Saya yang mendengar hanya bisa memberikannya ruang untuk mengeluarkan semua emosinya saja sambil sesekali berkata, “Gapapa…. Keluarin aja sist.” Rupanya, bagi teman saya itu, bercerita dengan saya adalah salah satu hal yang ia nantikan, salah satu hal yang menjadi hiburannya.

Hari itu saya kembali diingatkan bahwa rasa syukur memang tentang perspektif dan kebahagiaan adalah tentang sudut pandang. Dalam satu hari itu, sebetulnya ada banyak hal yang membuat hati saya uring-uringan, tapi rupanya, sesederhana 3 gelas cendol duren yang saya minum dan mendengarkan teman baik saya bercerita dapat membuat saya kembali tersenyum dan bersyukur karenanya.

Terkadang, kita memang tidak perlu untuk melihat satu hari secara utuh. Untuk apa juga? Toh sering kali kita gagal memahami apa yang terjadi sepenuhnya dalam satu hari itu. Kenapa ini begini, kenapa itu begitu, kita lebih sering merasa bingungnya daripada memahaminya. Mungkin semua yang kita gerutukan hari ini, akan terjawab di hari lain. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah membuat kordinat tertentu, menyerongkan sudut pandang, dan melihat sisi di mana kita bisa merasa bahagia dan bersyukur di hari itu. Tidak perlu melihat dari atas, hanya perlu menggeser sudut pandang dan merasa cukup atas apa yang terjadi. Jadi misalnya, kalau hari itu saya mempunyai cendol duren, mungkin besok saya bisa tersenyum dan bersyukur hanya karena saya bisa tidur dengan nyenyak dengan memeluk guling yang empuk. 


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall