You could sustain or are you comfortable with the pain?
You've got no one to blame for your unhappiness, you got yourself into your own mess.
Lettin' your worries pass you by. Don't you think it's worth your time to change your mind?
You've got no one to blame for your unhappiness, you got yourself into your own mess.
Lettin' your worries pass you by. Don't you think it's worth your time to change your mind?
(Hold On - Wilson Phillips)
Untuk pertama kalinya, di minggu
kedua Bulan Juni, pimpinan saya akhirnya mencari cara agar kami dalam satu unit
dapat bekerja di kantor walau hanya beberapa jam saja. Tentu kami semua
merespon usulan itu dengan gembira. Bayangkan saja, setelah nyaris 3 bulan harus
bekerja di rumah masing-masing, rasanya sangat senang bisa kembali ke kantor
dan bertemu dengan semua orang di tim. Kamipun mengatur hari serta agendanya, kami
mencoba untuk membuat fasilitasi dengan daerah secara daring, tetapi kali ini kami
melakukannya dengan semua anggota tim lengkap berkumpul di ruang rapat.
Beberapa hari sebelum itu, saya
merasa bahwa suasana hati saya kembali tidak menentu, acak-acakan dan tidak
bisa diajak kompromi. Mungkin saya yang tidak sadar mengalami burnout atau mungkin metabolisme tubuh
yang kurang baik dikarenakan periode menstruasi yang berantakan dan ditambah
dengan saya yang berpuasa juga saat itu. Atau bisa juga karena saya yang segitu
kesepiannya sehingga saya miliki ekspektasi yang berlebihan untuk bisa bertemu
dengan seseorang saat itu. Intinya saya seperti harus berjuang untuk tidak
terus-terusan bertahan dengan perasaan seperti itu, hingga usulan untuk bisa kembali
ke kantor walau sejenak terdengar begitu menyenangkan.
Hingga tibalah di hari H saat
kami semua akhirnya datang ke kantor. Saat melihat satu per satu anggota tim
yang terdiri dari 5 orang itu datang semua, saya benar-benar terharu. Akhirnya
bisa kembali berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Di tengah-tengah
konsultasi virtual, pimpinan saya membisikan pada saya, “Alifah, kamu sudah
cendol duren engga?” Saya menjawab dengan juga berbisik, “SUKA DONG PAK!’ Lalu
beliau berkata, “Tunggu ya kira-kira 10 menit.” Katanya sambil berlagak melihat
jam tangannya. Dan benar saja, tidak lama kemudian, satu kardus cendol duren
datang untuk satu tim. Di hari itu saya sebenarnya sedang berpuasa, tapi melihat
ekspresi pemimpin saya yang sebegitu semangatnya menyuruh saya mencoba es
cendol, saya tidak tega. Ditambah lagi, salah satu anggota tim yang lain juga
berencana untuk mentraktir kita semua makan siang, maka semakin besarlah
keinginan saya untuk membatalkan puasa dan menikmati semua sajian hari itu.
Saya pun akhirnya mengambil satu
gelas cendol tersebut, membukanya, dan menuangkan gula merah kental ke
dalamnya, serta mengaduknya perlahan. Saya meminum es cendol duren itu dengan
takzim karena rasanya yang enak sekali! Seketika, suasana hati saya kembali
membaik dan saya seperti dapat energi tambahan. Mungkin karena hormon PMS dan
saya yang tadinya sedang berpuasa, sehingga ketika mendapat asupan gula, tubuh saya
menjadi lebih bersemangat. Atau bisa juga karena karena saya tersadar bahwa
saya menjadi salah satu yang beruntung hari itu karena memiliki pemimpin super
loyal serta tidak termasuk dari mereka-mereka yang dirumahkan di masa pandemi
ini.
Hari itu berjalan yang cukup lancar.
Konsultasi virtual dengan daerah berjalan dengan tanpa kendala, setelahnya kami
sempat melakukan briefing singkat tentang
apa yang kami lakukan pada bulan ini dan bulan depan, dan berakhir dengan makan
bersama satu tim dengan makanan yang lezat dibeli dari aplikasi daring.
Tetapi hari itu belum selesai. Sesampainya
di kosan, setelah mandi dan bebersih, saya masih harus mengikuti satu sesi conference call hingga sore dan berjanji
untuk menelpon sahabat saya di Jogja setelahnya. Maka sesuai janji, setelah
sesi conference call selesai
dilakukan, saya berbincang panjang dengan sahabat saya. Dia bercerita tentang rencananya
melakukan inseminasi kehamilan dan perjuangannya agar tetap waras ditengah
gempuran ibu mertua yang memaksanya untuk segera hamil. “Aku belum pernah
cerita ini nih sebelumnya, semuanya aku pendem sendiri, lega banget bisa cerita
sama kamu akhirnya sist.” Katanya sambil menangis. Saya yang mendengar hanya
bisa memberikannya ruang untuk mengeluarkan semua emosinya saja sambil sesekali
berkata, “Gapapa…. Keluarin aja sist.” Rupanya, bagi teman saya itu, bercerita
dengan saya adalah salah satu hal yang ia nantikan, salah satu hal yang menjadi
hiburannya.
Hari itu saya kembali diingatkan
bahwa rasa syukur memang tentang perspektif dan kebahagiaan adalah tentang sudut
pandang. Dalam satu hari itu, sebetulnya ada banyak hal yang membuat hati saya uring-uringan,
tapi rupanya, sesederhana 3 gelas cendol duren yang saya minum dan
mendengarkan teman baik saya bercerita dapat membuat saya kembali tersenyum
dan bersyukur karenanya.
Terkadang, kita memang tidak
perlu untuk melihat satu hari secara utuh. Untuk apa juga? Toh sering kali kita
gagal memahami apa yang terjadi sepenuhnya dalam satu hari itu. Kenapa ini
begini, kenapa itu begitu, kita lebih sering merasa bingungnya daripada
memahaminya. Mungkin semua yang kita gerutukan hari ini, akan terjawab di hari
lain. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah membuat kordinat tertentu, menyerongkan
sudut pandang, dan melihat sisi di mana kita bisa merasa bahagia dan bersyukur
di hari itu. Tidak perlu melihat dari atas, hanya perlu menggeser sudut pandang
dan merasa cukup atas apa yang terjadi. Jadi misalnya, kalau hari itu saya mempunyai cendol
duren, mungkin besok saya bisa tersenyum dan bersyukur hanya karena saya bisa
tidur dengan nyenyak dengan memeluk guling yang empuk.
Tidak ada komentar
Posting Komentar