Di masa pandemi seperti ini, saya
yakin semua orang memiliki tantangannya masing-masing. Pernah satu ketika, saya
menyapa salah satu teman yang bekerja di bidang event organizer. Dia bercerita tentang bagaimana pandemi ini membuat
aspek finansialnya berantakan, karena tentu saja, tidak ada satupun event yang bisa dijalankan karena semua
orang menghindari keramaian. “Aku bahkan sampe cari cara buat bikin konten online loh. Trus sekarang aku juga
jualan online barang-barang yang aku
beli dari luar negeri biar ada tambahan income.”
Dia juga menambahkan bahwa kondisi seperti ini kemungkinan besar akan
berlangsung hingga akhir tahun, yang artinya dia harus melakukan penghematan
besar-besaran demi menjaga kelangsungan hidup. Teman saya yang lain, harus
mendapat episode hidup yang tidak kalah mengaggetkan. Selain rencana pernikahannya
yang harus dijalankan secara virtual karena pandemi, dia juga harus menerima fakta bahwa tunangannya
didiagnosa kanker pangkreas. Di saat semua orang menghindari datang ke rumah
sakit karena takut terpapar virus covid-19, si teman saya dan tunangannya justru
harus harus bolak-balik dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya untuk
mencari perawatan yang tepat. Tidak hanya harus menjaga kesehatan fisik, tapi dia
juga harus menjaga kesehatan mentalnya dan tunangannya tetap stabil. Sungguh
bukan perkara yang mudah. Ada juga teman saya yang lain, dia baru saja pindah
kerja dari bidang jurnalistik ke perbankan. Dia bercerita bahwa belum juga dia
memulai pekerjaan barunya secara langsung, dia kini harus beradaptasi dengan sistem
work from home yang seumur-umur belum
pernah dia lakukan. Alhasil, dia mengaku kesulitan untuk melakukan pekerjaan
barunya dengan maksimal, serta kebingungan bagaimana caranya harus berkenalan dengan
rekan kerjanya di kantor baru dengan kondisi semua serba virtual. “Duh, Peh,
lumayan stress loh aku, engga bisa catch
up gini sama kerjaan dan orang-orang baru.”
Semua orang berjuang dengan
tantangannya masing-masing, tidak terkecuali saya.
Di masa pandemi seperti ini, beruntung
saya tidak mengalami masalah finansial karena sektor pekerjaan saya bukan salah
satu yang terdampak, tidak juga harus berjuang untuk menyesuaikan ritme
kehidupan dengan sistem work from home karena
saya sudah terbiasa melakukannya sejak awal saya bekerja, pun saya tidak dalam
kondisi sakit atau memiliki tanggungan orang sakit yang mengharuskan saya untuk
bolak-balik ke rumah sakit dengan resiko terpapar virus covid-19. Saya tidak
mengalami itu semua, memang betul, tapi saya harus menjalani masa pandemi ini,
melakukan karantina ini, sendirian. Sen-di-ri-an.
Ica, teman baik saya yang juga
tinggal satu rumah kos dengan saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman bahkan
sebelum status PSBB resmi diterapkan pemerintah. Saya ingat di suatu sore saat dia
mengetuk kamar saya dan mengatakan bahwa dalam 2 atau 3 hari kedepan dia akan
pulang dan mungkin akan kembali ke Jakarta setelah semua ini reda, yang mana entah
kapan itu terjadi. Bisa 2 bulan, 3 bulan, atau entah kapan. Jujur, berat awalnya
untuk menerima keputusan itu. Sulit bagi saya membayangkan bahwa nanti di Bulan
Ramadhan dan bahkan lebaran, saya harus menjalani semuanya sendiri. Saking
sulitnya saya menerima keputusan itu, saya bahkan puasa bicara dengannya hingga H-1
sebelum dia pulang. Di hari H saat Ica pulang, perasaan saya campur aduk, tidak
karu-karuan. Saya putuskan hari itu untuk ke kantor walaupun tidak ada orang dan
dilanjutkan jalan-jalan keliling Jakarta dengan seorang teman saya yang lain.
Saya butuh mempersiapkan diri menghadapi kesendirian yang cukup panjang.
Saya tidak bisa pulang kampung
atau lebih tepatnya memilih untuk tidak pulang untuk banyak sekali alasan.
Alasan terbesar adalah karena saya merasa lebih aman dan nyaman menjalani
karantina di Jakarta, di kamar saya yang luas ini dibandingkan di tempat manapun.
Hingga detik ini, saya tidak menyesali keputusan untuk tidak pulang, saya hanya
perlu menelan konsekuensi dari pilihan yang telah saya buat ini.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti
menaiki roller coaster. Ada hari di
mana saya menangis sesenggukan hingga sesak nafas, ada hari di mana saya tidak
mau melakukan apapun selain membuka hal-hal tidak bermanfaat di sosial media,
ada hari di mana saya bisa bekerja dengan efektif, ada hari di mana saya sangat
bergembira, dan ada hari di mana saya merasa kebas dan hanya ingin melamun
tanpa diganggu virtual meeting, WhatsApp chats, atau komunikasi apapun. Hari-hari
berjalan dengan tantangannya masing-masing.
Saya mencoba berbagai cara untuk
tetap waras. Mulai dari mencoba menu masakan baru, lebih banyak membaca,
mendengarkan musik-musik alternatif, memperkuat nilai-nilai hidup, memasang
target harian, membeli barang-barang yang bisa mempercantik kamar, menonton
film dan drama televisi, olahraga, dan bahkan memulai proyek menulis bersama
seorang teman. Tapi rupanya, kesepian tetap saja tidak terelakan. Bahkan sesering
apapun video call yang saya lakukan
dan sebanyak apapun percakapan yang terjadi melalui whatsapp, nyatanya tidak bisa menggantikan bagaimana
menyenangkannya dapat berbincang dengan manusia secara langsung. Ketika saya
membeli sayur di tukang sayur, saya benar-benar menikmati percakapan secara
langsung dengan abang tukang sayur. Sesuatu yang terasa seperti meminum kelapa
muda dingin di siang hari yang terik. Menyegarkan bagi jiwa.
Sebenarnya sih, secara teknis, saya
tidak benar-benar sendirian. Masih ada 2 orang yang juga bertahan di sini, satu
di atas dan satu di bawah, serta si pemilik kosan. Tapi kami jarang sekali
berinteraksi lansgung, sehingga bagi saya itu tidak berarti apa-apa, jadi
bisalah saya dikatagorikan seorang diri di masa pandemi seperti ini.
Ibarat perjalanan, ada masa-masa
terberat yang saya rasakan di masa karantina ini, dan itu adalah ketika awal dan
akhir puasa. Wah, jangan tanya bagaimana rasanya. Kalau ada orang yang bisa
muak dengan kesendirian, saya salah satunya. Rasanya seperti
menginginkan sesuatu yang tidak bisa saya beli dengan uang. Seperti ada yang
kurang tapi saya tidak tahu harus melakukan apa agar itu terasa lengkap. Di
malam takbiran, saat saya mengambil paket makanan lebaran di pos satpam yang
dikirimkan oleh teman baik saya, Mbak Nina, saya ingat bagaimana saya menatap
langit malam dengan gemeteran dan akhirnya menangis sejadi-jadinya di jalan. Itu
titik puncak saya marasa sangat kesepian. Sungguh jika interaksi itu bisa
dibeli, sudah pasti akan saya beli berkardus-kardus dan memasukannya ke freezer kulkas agar tidak basi dan bisa
saya hangatkan sewaktu-waktu. Pada saat menangis itu, berputar dalam pikiran
saya bagaimana Bulan Ramadhan tahun ini juga berlalu tanpa saya bisa mengunjungi
mesjid sekalipun, tanpa ada buka puasa bersama, bahkan tanpa bisa bertemu
siapa-siapa di penghujungnya. Lengkap sudah. Saya tidak bisa lagi membandingkan
mana yang lebih nestapa, mereka yang tidak memiliki makanan enak di hari
lebaran tapi dikelilingi orang-orang tercinta, atau memiliki makanan lebaran
tapi sendirian. Hidup memang tidak pernah menawarkan paket lengkap.
Untunglah di hari lebaran itu,
saya dan seorang teman kos, kami sepakat untuk merayakan lebaran bersama. Kami
berbincang dari pagi hingga malam tentang banyak hal. Rasanya sungguh
menyenangkan, sekalipun kami berdua harus membagi waktu dengan silaturahmi online yang tidak habis-habisnya di hari
lebaran. Malam harinya, di hari yang sama, saya putuskan untuk mengungsi ke
rumah sahabat saya yang lain dan menghabiskan waktu beberapa hari di sana. Alasannya
sederhana, saya masih butuh interaksi nyata dengan manusia.
Hari-hari setelah lebaran berjalan
serupa. Perasaan kesepian itu perlahan-lahan kembali muncul. Kesepian yang
entah bagaimana harus saya hadapi. Hal ini malah semakin diperburuk dengan hormon
menstruasi yang acak-acakan, sehingga membuat saya semakin berantakan moodnya.
Baru kali ini saya merasakan
bagaimana kesepian bisa sebegitu menyiksanya. Dulu saya beranggapan bahwa hidup
seorang diri mungkin saja lebih mudah ketimbang harus diribetkan dengan urusan
emosi-emosi dengan manusia lainnya, tapi rupanya saya harus merivisi kembali
padangan itu. Sekuat-kuatnya seorang introvert bertahan, ternyata tumbang
juga dihantam kesepian berkepanjangan. Dari dulu saya selalu menikmati
kesendirian dan kesibukan yang saya lakukan seorang diri, namun baru kali ini saya merasa overdosis
dengan kesendirian dan semua hal yang berkait dengan virtual. Saya ingin
berbincang, berpelukan, menggegam tangan, meninju halus bahu seseorang, dan
bahkan bersalaman hormat pada orang lain. Lebih dari itu, saya ingin ditemani
oleh manusia yang saya kenal. Saya tidak ingin sendiri, tolong.
Hal ini membuat saya memandang
sinis pada mereka yang beranggapan bahwa bertahan sendirian di masa pandemi
menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka yang tetap harus
mencari nafkah di luar sana sehingga memungkinkan dia terpapar virus covid-19,
karena bagi saya, semua orang berjuang dengan tantangannya masing-masing.
Saya sendiri tidak bisa
membandingkan mana yang lebih berat dari tantangan-tantangan yang dihadapi
orang-orang di masa pandemi ini, apakah mereka yang harus berpikir seribu cara
agar tetap bisa membayar listrik, ataukah mereka yang harus dilanda kesedihan
karena keluarga atau teman terdekat mereka sakit atau bahkan meninggal dunia,
mereka yang harus bersusaha keras agar dapat bekerja dengan baik dan imbang di
rumah, atau meraka yang seperti saya, sendiri digerogoti kesepian. Pun saya juga
tidak bisa sebegitu yakinnya apakah jika saya diuji dengan ketidakstabilan
finansial akan lebih baik dibandingkan kalau saya sendiri seperti ini. Ini
memang bukan tentang perlombaan siapa yang lebih sulit kondisinya di masa pandemi,
ini tentang bagaimana menyadari bahwa semua orang sedan berjuang dengan
tantangannya masing-masing, dengan kondisi yang tidak bisa kita tebak kapan berakhirnya. Dan saat inilah, kita perlu sedikit lebih sensitif dalam merespon tantangan masing-masing orang yang mungkin berbeda dengan kita. Jika seseorang itu tidak dipecat di masa pandemi ini, bukan berarti dia sepenuhnya baik-baik saja, bisa jadi dia tersiksa dengan kesendirian.
Lalu apa yang bisa dilakukan jika kesendirian menjadi tantangan yang harus dihadapi? Saya juga gelagapan tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan ini. Mungkin hal terbaik yang bisa saya sarankan sebagai seorang praktisi adalah dengan menjadikan kesepian sebagai sebuah kondisi yang temporer, bukan permanen. Ini hanya sebuah kondisi yang harus dijalani saat ini. Memang tidak enak, memang menyesakan, tapi jangan berpikir ini akan selamanya. Ini hanya sementara.
Lalu apa yang bisa dilakukan jika kesendirian menjadi tantangan yang harus dihadapi? Saya juga gelagapan tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan ini. Mungkin hal terbaik yang bisa saya sarankan sebagai seorang praktisi adalah dengan menjadikan kesepian sebagai sebuah kondisi yang temporer, bukan permanen. Ini hanya sebuah kondisi yang harus dijalani saat ini. Memang tidak enak, memang menyesakan, tapi jangan berpikir ini akan selamanya. Ini hanya sementara.
source: https://id.pinterest.com/pin/229683649734454559/ |
Tidak ada komentar
Posting Komentar