Seperti halnya semua orang yang ada di hampir satu dunia, yang sedang berada di kediamannya masing-masing, berdiam diri sambil menunggu tanpa kepastian kapan virus ini selesai mengintai, begitu juga saya. Tentunya, seperti halnya semua orang, sayapun bosan, kadang gelisah, dan ingin bertemu dengan dunia luar.
Salah satu teman dekat mewanti-wanti saya bahwa fenomena Covid-19 ini bisa sangat berpengaruh pada mentalitas dan emosional seorang empath (Dr. Judith Orloff, a pioneer in the field, describes empaths as those who absorb the world's joys and stresses like “emotional sponges") di mana saya punya kecenderungan seperti itu. Dan benar saja, di minggu pertama saat saya sudah mulai harus work from home, hampir sebagian besar kegiatan yang saya lakukan adalah membuka Twitter, membaca semua berita, dan menangis sendirian di kamar merasa bersalah.
Hingga akhirnya, pada awal minggu ini, saya putuskan untuk memberi tantangan pada diri sendiri, yaitu saya tidak akan secara sadar membuka media apapun termasuk Twitter untuk mencari tahu soal Covid-19. Tantangan ini semata agar saya tidak perlu meyerap emosi yang berlebihan dan tidak harus merasa gelisah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, agar semakin tenang dan mempunyai pelampiasan emosi yang tepat, saya putuskan untuk membuat tulisan-tulisan selama masa karantina. Tulisan-tulisan lama yang masih tertulis di draft, akan saya publikasikan satu demi satu. Saya pun akan menghubungi Kamalia, ilustrator kesayangan saya, agar saya boleh membuat cerita dari gambar-gambar yang dia hasilkan. Sambil tentu saja, saya harus tetap merampungkan kewajiban pekerjaan, komitmen merampungkan beberapa buku dan jurnal, dan film. Hidup tetap harus berjalan, bukan?
Semoga saya dapat menghadapi masa karantina dengan lebih produktif. Tantangan untuk diri sendiri ini akan saya mulai hari ini.
Tidak ada komentar
Posting Komentar