Cause everyone hurts, everyone cries, everyone tells each other all kinds of lies.
Everyone loves, everybody gets their hearts ripped out.
Got to keep dancing when the lights go out. Hold tight for everyday life.
(Coldplay - Everyday life)
Setiap kali saya tugas lapangan atau ketika saya berpergian ke sebuah daerah, pasti ada saja perayaan-perayaan unik yang saya temui. Unik dari segi alasan penyelenggaraannya, maupun unik dari segi teknis penyelenggaraannya. Perayaan-perayaan itu beraneka macam bentuknya, mulai dari perayaan yang cukup populer seperti sunatan atau pernikahan yang diselenggarakan menurut tata cara adat setempat, sampai perayaan yang sepertinya hanya ada di lokasi itu saja, contohnya jahit kuping di Papua Barat. Setiap itu juga saya berusaha untuk bertanya apa motivasi di balik setiap perayaan itu kepada masyarakat lokal. Jawabanya sangat beragam. Ada yang diselenggarakan karena alasan spriritual, ada yang karena alasan mistis, dan yang paling standar adalah karena norma sosial yang sudah terjadi sejak lama.
Di setiap perayaan lokal tersebut, pasti diikuti dengan serangkaian kegiatan, seperti dangdutan atau apalah, yang dalam kacamata saya terkesan merepotkan dan bisa jadi membebani masyarakat itu sendiri. Saya pernah ngobrol dengan sebuah keluarga dengan tingkat ekonomi sederhana di sebuah kampung kecil yang sudah mengeluarkan dana sekitar 11 juta untuk acara sunatan. Kan lumayan ya…
Tapi saya sendiri juga harus menghargai, karena perayaan kan memang bukan tentang seberapa besar usaha dan upaya yang dilakukan. Perayaan adalah tentang suka cita. Tentang sebuah harapan dan rasa syukur yang ingin dibagi-bagikan kepada orang lain. Atau mungkin tentang sebuah peristiwa yang hanya terjadi sekali seumur hidup atau malah jarang terjadi, sehingga layak untuk dikenang dan dirayakan bersama.
Saya jadi ingat waktu SMA dulu, saya punya teman yang setiap tanggal jadiannya harus dirayakan setiap bulan dan dia akan posting di laman friendsternya, “SeLaMaD 12 yAn9 k3 4 eAaa cyaNk.” Tentu saja saya bingung, saya pikir perayaan jadian itu dirayakan sekali saja tepat di bulan dan di tanggal yang sama, dengan syarat hubungan itu langgeng sampai setahun, lah kok ini setiap bulan? Mubazir amat. Ketika saya tanyakan alasannya pada teman saya itu, dia menjawab santai, “Yang lain juga gitu Peh kalau pacaran.” Oke sip.
Jawaban teman saya itu menarik sebenarnya! Artinya, perayaan bisa saja dilakukan walaupun itu artifisial, membosankan, atau bahkan tidak berkesan. Hmm...
Jawaban teman saya itu menarik sebenarnya! Artinya, perayaan bisa saja dilakukan walaupun itu artifisial, membosankan, atau bahkan tidak berkesan. Hmm...
Sayapun mencoba mengingat perayaan apa di hidup saya yang berkesan. Ulang tahun? Mmm… sepertinya sih tidak ada yang berkesan dari perayaan ulang tahun dan ditambah saya juga jarang merayakan ulang tahun. Bahkan di masa kecilpun, seingat saya, hanya dua kali ulang tahun yang dirayakan dengan mengundang teman-teman saya, selebihnya ya hanya makan atau tiup lilin di rumah, atau ya… ucapan dan doa dari keluarga. Jadi kalau perayaan ulang tahun dibilang berkesan? Engga deh, coret! Perayaan lain yang pernah saya lakukan adalah ketika saya wisuda, tapi kalau dibilang berkesan? Ya biasa aja sih. Lebih ke lega sih karena sudah merampungkan sebuah tanggung jawab pada diri sendiri, nusa dan bangsa, dan keluarga. Oh dan ada satu lagi perayaan yang berhasil saya ingat, itu adalah ketika waktu kecil, keluarga saya mengadakan syukuran di tempat anak yatim karena dalam tahun itu saya banyak ditimpa kemalangan, mulai dari tenggelam nyaris meninggal sampai sakit demam berdarah. Curiga saya mungkin sebenarnya saya mau diganti nama waktu itu. Syukurlah engga kejadian. Itu agak berkesan sih, tapi berkesan yang tidak menyenangkan. Jadi kalau dipikir-pikir, tidak banyak perayaan berkesan yang pernah saya lakukan dalam hidup saya. Eh, atau sayanya ya yang memang tidak berhasil mengingat? Ah entah.
Sebuah artikel menarik yang pernah saya baca adalah bagaimana mahalnya menjaga hubungan pertemanan di era saat ini. Ketika banyak sekali perayaan yang harus diikuti atau dilakukan atas nama pertemanan. Mulai dari bridal shower sampai nanti baby shower. Mending kalau teman kita hanya 2 atau 3 orang saja, lah kalau ada belasan atau puluhan, ya lumayan tekor juga kan. Artikel itu menarik, karena membahas bagaimana konstruksi sosial soal pertemanan yang sepertinya cukup artifisial, hingga bagaimana perayaan-perayaan baru dibuat entah dengan tujuan apa. Artikel itulah yang membuat saya berfikir ulang tentang makna perayaan. Apakah perayaan memang benar tentang suka cita? Apakah perayaan selalu tentang kejadian yang nampak-nampak saja? Kenapa kita harus merayakan sesuatu, atau kenapa sesuatu itu harus dirayakan? Dan dengan siapa sebenarnya perayaan itu seharusnya dilakukan?
Tentu saja tidak ada yang mengelak untuk mengakui bahwa lulus kuliah, pernikahan, memiliki anak, dapat beasiswa S2, punya mobil batu atau rumah baru, dapat pekerjaan, promosi, dan bahkan menang undian liburan adalah hal-hal dalam hidup yang menggembirakan. Sesuatu yang ingin kita rayakan sebagai luapan kegembiaraan dan juga rasa syukur. Bahkan untuk hal-hal tahunan seperti ulang tahun, pesta tahun baru, atau ritual keagamaan, semua itu dirayakan untuk memperingati sesuatu berulang tanpa kita tahu apa esensinya. Jadi sebetulnya, apa itu perayaan?
Saya ingat sebuah kejadian di tahun lalu, saat saya masih ngantor di salah satu lembaga negara. Ketika jam pulang kantor, teman dekat saya yang juga satu kantor dengan saya, secara dadakan mentraktir makan di angkringan depan kantor. Dia bilang waktu itu, “Yuk Peh aku traktir, aku baru aja dapet atasan baru dan dia lebih manusiawi dari yang lama.” Maka kami pun jalan menuju angkringan. Di malam itu, kami berdua membahas dengan tuntas bagaimana dia merasa dizolimi dengan atasan lamanya dan merasa lega dengan dengan atasan barunya yang lebih baik. Dan untuk sebuah rasa syukur telah terbebas dari bos lama, teman saya mengadakan perayaan sederhana dengan hanya hanya mengeluarkan uang kurang dari 50 ribu rupiah saja.
Teman saya lainnya pindah ke sebuah apartemen dengan anak-anaknya sesaat setalah proses cerai dengan suaminya resmi berjalan. Dia bilang, “Anak-anak udah engga bisa Peh ada di sini, inget ayahnya terus. Aku juga engga bisa di sini, terlalu nyakitin. Yuk main ke apartemen aku yuk.” Saya pun singgah ke apartemennta, mencoba memberikan dorongan moral sebisanya, dan membelikan pizza untuk dimakan bersama. Sebelum pulang dia berkata, “Di sini lebih tenang, ya semoga awal yang baru untuk aku dan anak-anak ya Peh.”
Bagi saya, dua kejadian itu lebih terasa seperti sebuah perayaan. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk menjadikan hibup mereka lebih baik, ya dengan mentraktir saya makan angkringan sebagai tanda terbebas dari atasan menyebalkan, atau dengan pindah dari tempat lama menuju tempat baru demi menghindari rasa sakit.
Mungkin selama ini kita diajari bahwa perayaan adalah tentang capaian atau tentang kejadian langka. Kita terbiasa merayakan tahun baru, karena kita sudah mencapai satu tahun ke belakang dan siap untuk memasuki tahun baru. Tanpa peduli apakah kita jadi orang yang baru atau tidak. Kita terbiasa merayakan pernikahan, sunatan, lahiran, wisudaan karena itu semua adalah kejadian kasat mata yang berhasil kita jalani. Di hari itu, kita akan menerima ucapan-ucapan seperti,“Selamat ya bla bla bla” dan disambung dengan harapan-harapan, “Semoga bla bla bla.” Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa hal-hal seperti itu lah yang harus dirayakan. Kita tidak pernah diberitahukan sebelumnya, atau mencoba membiasakan diri bahwa kepahitanpun adalah hal yal yang harus dirayakan.
Di sebuah hari di pertengahakn tahun, saya berbincang cukup intensif dengan seorang teman. Kami bercerita panjang tentang hal-hal di masa lalu dan trauma-trauma yang kami rasakan. Di tengah-tengah obrolan kami, dia bertanya sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab langsung saat itu. “Peh, kenapa kamu perbolehin orang lain untuk bikin kamu nelangsa. Maksudku, aku ga peduli alasan mereka ngelakuin hal-hal buruk itu ke kamu, pertanyaanku adalah, kenapa kamu perbolehin diri kamu terlalu lama sedih karena perlakukan buruk orang lain?”
Pertanyaan itu tidak bisa saya jawab saat obrolan kami berlangsung, tidak bahkan beberapa hari setelahnyapun. Hingga akhirnya di sebuah pagi, saya terbangun dengan cukup lunglai dan merasa bahwa saya harus segera menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu seakan memaksa saya untuk menemukan bagian dari diri saya yang hilang.
Maka seperti mengendarai mesin waktu, di hari itu, tidak ada yang saya lakukan selain masuk ke dalam pikiran saya dan pergi ke masa-masa lalu, jauh ke masa-masa kecil saya. Hari itu saya putuskan untuk berani melihat kembali apa yang saya lewatkan. Melihat kembali apa yang terjadi, siapa yang terlibat, dan perlakukan seperti apa yang saya terima. Perjalanan ke masa lalu, ke masa-masa kecil, seperti biasa, selalu melelahkan. Tapi demi menjawab pertanyaan itu, saya siap membayar berapapun harganya. Seperti melihat di etalase kaca, saya yang sudah dewasa ini kembali melihat apa yang yang terjadi di masa lalu, dan disitulah saya menemukan sebuah kejadian. Kejadian yang tidak menyenangkan. Kejadian yang tidak saya sadari, telah menjadi pola yang terbentuk hingga saya dewasa. Kejadian yang sempat beberapa kali terjadi di masa kecil, tapi terlalu takut saya tanyakan kepada orang dewasa.
Sekembalinya saya dari perjalanan mesin waktu ke masa lalu, saya koyak lahir dan batin. Saya seperti membuka satu luka yang selama ini tertutup. Menyakitkan pada awalnya, karena ibarat plester yang menempel pada kulit yang terlalu lama, saya menjerit saat plester di buka. Luka yang ada dibaliknya pun masih ternyata masih sangat basah dan bernanah karena selama puluhan tahun ini tertutup. Dan untuk mengakhiri perjalanan itu dan agar pertanyaan teman saya itu bisa terjawab, saya hanya tinggal melakukan satu hal: memastikan!
Sekembalinya saya dari perjalanan mesin waktu ke masa lalu, saya koyak lahir dan batin. Saya seperti membuka satu luka yang selama ini tertutup. Menyakitkan pada awalnya, karena ibarat plester yang menempel pada kulit yang terlalu lama, saya menjerit saat plester di buka. Luka yang ada dibaliknya pun masih ternyata masih sangat basah dan bernanah karena selama puluhan tahun ini tertutup. Dan untuk mengakhiri perjalanan itu dan agar pertanyaan teman saya itu bisa terjawab, saya hanya tinggal melakukan satu hal: memastikan!
Saat sahabat saya, Ica, pulang dari kantor, di malam hari saya memberanikan diri untuk bercerita tentang perjalanan saya. Kata demi kata saya ucapkan dan saya bertanya sebuah pertanyaan pamungkas, “Itu wajar engga sih kalau terjadi ke anak kecil, Ca?” Ica hanya menatap saya dalam-dalam dan sambil menahan tangis dia berkata, “Engga, Peh”. Maka kami pun berpelukan sambil menangis, saya bisa mendengar Ica berkata lirih, “kamu kuat Peh.”
Dan itulah dia, akhirnya saya menemukan apa jawabannya!
Dan itulah dia, akhirnya saya menemukan apa jawabannya!
Saya remuk redam di hari setelah saya tahu apa yang terjadi dan kenapa saya tumbuh seperti ini. Tapi alih-alih menghindar dari kenyataan, malam itu sebelum tidur, saya menatap diri saya di cermin dan dengan menarik nafas super panjang, saya mengiyakan kejadian itu ada di hidup saya. Tidak akan saya tutupi dan tidak akan saya sembunyikan. Saya terima dengan lapang. Malam itu saya tidur dengan mata sembab setelah menangis seharian, tapi hati saya lega. Saya merasa sudah melakukan sesuatu yang berani karena bersedia menghadapi luka dan kejadian itu. Malam itu, saya sedang merayakan sesuatu.
Hari-hari setelahnya cukup berat dan saya membuat itu selayaknya perayaan pada umumnya. Sayapun merayakan dengan makan enak, membaca artikel menarik, atau menonton hal-hal random di YouTube agar pelan-pelan luka itu bisa mengering. Pun saya tidak merayakan ini seorang diri, saya bercerita pada beberapa orang terpercaya tentang apa yang saya alami, agar saya percaya bahwa saya tidak sendiri. Hingga setelahnya, pelan-pelan saya mulai bisa tersenyum lagi.
Malam itu mengajarkan saya tentang apa perayaan yang sebenarnya. Detik di mana kita mengenal diri kita sediri, itulah detik di mana kita harus merayakannya. Saat kita akhirnya berani berdamai dengan diri kita sendiri, dengan kajadian tidak menyenangkan, dengan hal-hal yang tidak bisa kita jangkau, maka saat itulah perayaan. Ketika kita merasa berani untuk memafkan, memulai sesuatu yang baru, atau bersedia menjadi lebih baik lagi, ketika itulah jugalah perayaan.
Perayaan memang tentang suka cita, karena siapa yang tidak bergembira saat kita berhasil mengenal diri kita lebih baik lagi atau saat kita berhasil memenangkan perang dengan iblis yang ada diri kita sendiri. Perayaan memang tentang kejadian langka, karena membuka luka lama dan berani mengobatinya adalah hal yang tidak setiap hari terjadi. Perayaan memang tentang rasa syukur, karena siapa yang tidak bersyukur ketika kita akhirnya diberikan penjelasan oleh Yang Memiliki Hidup. Rayakanlah dengan diri kita sendiri dan rayakanlah dengan manusia-manusia terbaik sebagai sebuah kisah yang bisa diceritakan.
Untuk semua penerimaan diri, untuk semua kekuatan hingga kita sanggup berdiri, rayakanlah, kita layak untuk itu!
sumber: https://id.pinterest.com/pin/229683649733811672/ |
Tidak ada komentar
Posting Komentar