Jumat, 10 Mei 2019

Kita saat tidak mengerti apa-apa

 “Lihat segalanya lebih dekat dan ku bisa menilai lebih bijaksana.
Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir, mengapa dunia berputar.
Lihat segalanya lebih dekat dan kau akan mengerti”
(Sherina - Lihat Lebih Dekat)


Beberapa minggu yang lalu, saya sempat melihat video menarik berjudul ‘How To Choose A Partner Wisely’ dari channel youtube ‘The School of Life’. Awalnya saya berpikir bahwa video itu hanya akan menjelaskan tips-tips mencari pasangan hidup melalui teori-teori psikologi pada umumnya, ya katakanlah seperti bagaimana kita harus menyesuaikan karakter kita dengan pasangan atau hal-hal semacam itu. Namun rupanya, video itu menjelaskan keterkaitan antara masa kecil dan remaja kita dengan preferensi kita setelah menjadi orang dewasa dalam mencari pasangan hidup dan menjalin hubungan. Secara singkat, video itu memberikan saran agar kita mau untuk duduk sejenak, mengingat masa lalu kita saat masih kecil, lalu menuliskan hal-hal apa saja yang kita anggap sebagai kasih sayang, siapa yang kita anggap sebagai pribadi yang menyenangkan, hingga hal-hal apa saja yang mengecawakan bagi kita.

Dalam bagian akhirnya, si narator berkata “Examining our personal histories, we learn that we can't just be attracted to anyone. Ultimately, we stand to be liberated to love different people to our initial types. When we find the qualities we like and the ones, we very much fear can be found in different constellations from those we encountered in the people who first thought us about affection. Long ago, in a childhood, we should strive to understand and in many ways free ourselves from


Bertepatan dengan itu, di hari minggu yang lalu, teman baik saya, datang ke saya dan bercerita.

“Aku barusan ngabisin waktu satu jam buat telfonan sama mama dan adekku, tahu ga tadi mamaku bilang apa? Dia bilang, mungkin alasan kenapa sampe sekarang aku belum ketemu sama jodohku, itu karena aku masih marah sama papahku soal kejadian waktu dia selingkuh, waktu aku masih SMP”

“Hah?” Kata saya bingung

“Iya, katanya mamaku, bisa aja karena aku masih belum maafin papahku, aku sekarang susah ketemu jodohku. Aku kan bingung ya, makanya aku tanya ke mama, ‘lah yang harus minta maaf itu aku atau papah si ma?’. Kata mamaku ‘ya kamu lah’. Trus aku jawab ‘aku udah maafin sejak lama, aku malah udah lupa kejadiannya’. Coba deh, aneh banget kan si mama? Kamu kan liat sendiri, aku sama papaku baik-baik aja. Ya kan?”

Saya menggangguk tanda setuju.

Ya emang sih… aku tuh lebih deket sama mamaku, tapi aku juga masih sering kok diskusi sama papa, apalagi untuk urusan-urusan yang ada hubungannya sama masa depan.”

“Tapi kamu sendiri gimana? Sejujurnya udah maafin papahmu?” Tanya saya menyelidiki.

“Udah kok… ya biasa aja sekarang, aku anggap sebagai kejadian di masa lalu. Bukan jadi beban gitu loh” Katanya dengan nada tenang, lalu melanjutkan dengan berkata, “Tapi kalau itu yang mamaku mau, ya gapapa aku jabanin. Pas pulang ke rumah, aku nanti minta maaf sama papa”

Lalu kamipun berdiskusi tentang perselingkuhan yang sempat mewarnai kehidupan remaja teman saya itu, dan bagaimana dia dan mamanya menghadapi kejadian itu.

Setelah selesai, saya terdiam dan berkata padanya, “Aku sekarang bisa lebih ngerti sih, kenapa kamu suka sama lelaki-lelaki yang terlalu rasional dan logis, dan kamu sendiri juga engga suka berada di hubungan yang terlalu menye-menye. Dan kamu punya banyak standar dan kesannya heartless banget sama lelaki. Ya gimana engga, kamu di usia sebelia itu, harus jadi yang paling kuat, ngurusin adek-adekmu, ngurusin mamamu, dan tetap harus hormat sama papamu. Di saat yang bersamaan, kamu juga harus tetap menjaga mimpimu masuk ke SMA favorit. Kamu harus jadi yang paling logis dan rasional saat itu, supaya tetep ada orang yang waras. Kamu udah jalanin peran pemimpin kayak gitu di usia yang semuda itu… ya pantes aja kalau kamu selalu tertarik sama lelaki yang bisa diandalin, yang engga banyak rayuan gombal, dan kamu sendiri juga tumbuh jadi anak yang practical banget. Mungkin masa kecilmu itu kebawa sampe sekarang, yang ngebentuk kamu sekarang ini” Kata saya panjang lebar mencoba menjadi analis gadungan.

Obrolan menarik dengan teman saya itu lantas membuat saya sendiri ikut merenung dan berbalik ke belakang, mengintip masa-masa kecil dan remaja saya. Saya mencoba mengingat perlakukan apa yang saya alami, cinta pertama seperti apa yang saya rasakan, hingga siapa yang berperan paling besar dalam pertumbuhan emosi saya.

Saya mencoba membuat garis merah dari kehidupan masa kecil dan remaja yang saya alami dengan hubungan percintaan saya. Dan hasilnya, cukup membuat saya akhirnya menyadari beberapa hal.

Saya baru tersadar, bahwa lelaki-lelaki yang saya ijinkan masuk dalam hidup saya, terlepas dari apakah kami punya status hubungan atau tidak, adalah mereka yang mengejar saya hingga titik darah penghabisan dan yang telah mencoba 1001 cara supaya mereka bisa dekat dengan saya. Dulu, seorang teman bahkan pernah memarahi saya karena saya hobi membuat perasaan lelaki seperti bermain layang-layang. Kalau sudah jauh ditarik, kalau terlalu dekat diulur, kalau sudah bosan diputus sepihak. Baru sekarang semua itu terasa masuk akal dan saya merasa itu memang ada hubungnnya dengan kehidupan di masa kecil dan remaja saya.

Waktu kecil, saya mengalami banyak peristiwa yang membuat saya merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan oleh siapa-siapa. Dan karena tidak ada yang memberikan penjelasan pada saya apa yang sedang terjadi saat itu, maka kejadian itu terekam dalam pikiran saya dan sedikit banyak terbawa hingga dewasa. Jadilah kini saya sulit sekali berada di suatu hubungan. Saya bisa dekat dengan banyak lelaki, tapi tidak sampai punya hubungan kuat. Ada bagian dalam diri saya yang berkata bahwa saya harus melihat dia berdarah-darah dulu agar saya yakin, dan kalau dia pergi saat saya belum merasa yakin (dan ini sering kejadian), saya tidak akan mencari dia atau melunakan sikap saya.

Teman-teman sayapun merasa bahwa saya mempunyai standar dan kriteria yang terlalu tinggi, padahal sebenarnya, saya hanya ingin merasakan sebuah perasaan di mana saya merasa bahwa saya ini diingkan. Bahkan dalam hubungan asmara saya yang terakhir, tiap kali tugas lapangan, saya akan memberikan jadwal keluar lapangan dan memintanya untuk menelfon saya tepat waktu. Mungkin itu ada kaitannya dengan betapa inginnya saya merasakan perasaan bahwa saya dicari, bahwa saya ini ada. Parasaan masa kecil dimana saya merasa diabaikan dan ditinggalkan, mungkin menjadi sebuah indikator bagi saya dalam menentukan keseriusan seorang lelaki.

Tapi sebenarnya hal ini tidak adil bagi saya. Karena bisa jadi, saya melewatkan kesempatan bersama dengan lelaki-lelaki baik hati, hanya karena di mata saya seseorang itu belum berusaha sekuat tenaga untuk menunjukan keseriusannya. Padahal mungkin saja, mereka itu, ya sudah berusaha sedemikian keras menurut versi mereka. Hmmm…

Tidak hanya berkaitan dengan percintaan saja sepertinya, saya yakin masa-masa kecil dan remaja juga berdampak pada aspek lainnya di kehidupan orang dewasa.

Baru-baru ini salah satu teman kos tercinta saya menonton drama korea berjudul, New Castle. Katanya, itu adalah drama korea yang menceritakan obsesi keluarga untuk mendidik anak-anak mereka agar meneruskan reputasi orang tuanya yang sudah mahsyur. Salah satu tokohnya, akhirnya tumbuh menjadi seorang anak yang angkuh bukan main, merasa bahwa dia berasal dari gen keluarga yang berkualitas.

Maka di malam senin sambil menikmati keong rebus dan makaroni panggang, kami bertiga di kos, membahas drama korea itu dan mengaitkan dengan perlakukan orang tua kami saat kami masih SD. Dan kasus yang kami angkat adalah momen kenaikan kelas.

Saat Wahyuni menceritakan kisahnya, barulah saya paham kenapa dia bisa tumbuh jadi anak periang dan pekerja keras di saat yang bersamaan, katanya, “Waktu aku SD, aku kan mau ya kalau namaku dipanggil di aula karena masuk 3 besar. Tapi aku ngerasa aku ga bisa dapet rangking 3 besar. Aku bilang ke bapakku, yang intintinya aku takut kalau nanti bikin dia malu pas rapotan. Trus bapakku ngomong, ‘kamu lulus aja, udah bikin bapak seneng kok’. Trus pas bagi rapot, kan siswa-siswanya engga boleh masuk ya, cuma boleh ngintip di jendela aja. Pas bapakku masuk, aku ngintip tuh, dari luar aku liat bapakku ngacungin jempolnya, dan itu udah cukup bikin aku lega. Abis bapakku ngasih jempolnya, aku bisa main sama teman-temenku”. Saya dan Ica yang mendengar cerita itu hanya serempak memberikan suara terharu ‘aaa…..’

Sebuah artikel menarik dari TIME berjudul ‘They Were Orphaned by the Rwandan Genocide. 25 Years Later, They’re Interviewing the Perpetrators’ menceritakan seorang fotografer, David Jiranek, yang membuat sebuah workshop bernama Through the Eyes of Children. Workshop itu dibuat agar anak-anak yang selamat dari genosida dapat bercerita tentang perasaannya. Saat karya itu di pamerkan di keduataan besar Rwanda di Kigali, di kantor pusat United Nations di New York, serta di semua museum Holocaust di seluruh dunia, Joanne McKinney, project director Through the Eyes of Children berkata, “When you give a child a chance to tell their story from their perspective, it tells them they matter, and that their story matters,”.

Namun tentu saja, apa yang sudah terjadi di masa-masa kecil dan remaja kita, tidak akan bisa diubah lagi. Dan jadilah kita, sebagai produk masa kecil. Dan sayangnya juga, tidak akan ada organisasi kemanusiaan yang bersedia meluangkan waktunya untuk satu persatu mendatangi seluruh manusia dewasa dan membuat mereka semua mau berdamai dengan masa kecil mereka, terutama jika masa-masa itu memberikan beban yang besar bagi kehidupan dewasanya. Kita sendiri adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk membereskan semua masa kecil kita, dan berdamai dengan itu semua.

Hidup adalah proses pajang yang akan selalu berjalan. Sebagai manusia dewasa, kita tidak bisa menjadikan masa kecil kita sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kita, atau menghalangi kita memiliki kebahagiaan yang sebenarnya. Jadi walaupun masa-masa itu tidak bisa diulang, tapi kita bisa memperbaikinya sekarang. Jika di masa kecil kita tidak punya banyak pilihan, hari ini kita bisa memilih untuk menjadi manusia dewasa seperti yang kita inginkan.

Saya jadi teringat adegan Robin Williams dan Matt Damon di film Good Will Hunting (1997) pada saat akhirnya Robin menyadari bahwa masa kecil Matt dipenuhi dengan kekerasan fisik. Robbin hanya berkata, ‘it is not your fault’ sebanyak lebih dari 5 kali hingga Matt memahami bahwa apa yang terjadi di masa kecilnya, bukan salahnya. Saya setuju dengan Robin, tidak boleh ada penghakiman untuk masa lalu. We learn and we grow.

Maka kembali lagi pada korelasi hubungan percintaan dengan masa kecil kita. Jika pada akhirnya kita memilih untuk bersama dengan seseorang yang entah mengapa membuat kita merasa utuh, sedang diri kita tidak mengetahui secara pasti apa alasannya, mengutip istilah dari Ica, katakan pada diri kita sendiri dan mereka yang bertanya, ‘soalnya dia itu my childhood’.

Dan semoga kita bisa bersama dengan seseorang yang membuat kita bersedia untuk pelan-pelan membawanya ke masa-masa kecil dan remaja kita, mengenalkannya pada semua emosi-emosi pertama yang kita rasakan sebagai manusia, dan berkata padanya, “Banyak hal dari aku yang masih eror, dan aku masih berjuang buat menerima hidupku apa adanya. Biar kamu paham, bahwa aku yang hari ini, terbentuk dari aku yang kemaren. Tapi dalam proses aku tumbuh dan berkembang sebagai manusia, aku sedang belajar untuk mencintai hal baru, mencintai kita”


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall