Jumat, 10 Mei 2019

Hidup Tidak Akan Menjadi Obesitas

Kita selalu hidup dengan pilihan. Tapi entah kenapa, semakin ke sini, pilihan yang tersedia bukannya semakin membantu, tapi malah semakin membingungkan.

Saat saya harus bergelut mencari pilihan jurusan, kampus serta beasiswa yang sesuai dengan idealisme saya untuk melanjutkan sekolah master, saya dibuat mabuk kapayang dengan banyaknya jurusan dan kampus yang menurut saya menarik. Sama halnya seperti mencari baju lebaran di Thamrin City, yang setiap tenantnya membuat saya mampir sebentar untuk bertanya harganya, saya ini cukup mudah terdistraksi dengan program-program yang berkaitan dengan manusia dan tindak-tanduknya. Maka jadilah, saya menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya hanya untuk membaca program descriptions dan course syllabuses dari program yang mayoritasnya tidak sesuai dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan saya. Saya pernah ingin putar haluan dan belajar mind and humanity, padahal itu sebenarnya jurusan untuk lulusan psikologi klinis. Hingga akhirnya seorang teman mengingatkan saya, “Kan ada filternya, kamu pake dong filternya, pilih aja yang sesuai tujuan kamu belajar. Kamu mau mendalami apa, jangan dibaca semuanya, abis waktunya”

Saat dia berkata ‘habis waktunya’, saya agak sedikit kesal mendengarnya. Di satu sisi saya merasa dia tidak menghargai usaha saya untuk membaca dengan teliti semua program master yang menarik bagi saya. Tapi di sisi lainnya, saya merasa dia benar, bahwa saya akan menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan membaca program jurusan yang saya sendiri tidak akan keterima, sederhananya karena tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya. Maka sesuai dengan sarannya, sayapun menggunakan fitur filter dengan baik. Saya memasukan semua kata kunci yang sesuai, dan hasilnya, jurusan yang saya inginkan justru hanya sedikit dan bahkan di beberapa negara dan kampus tertentu, jurusan yang saya inginkan malah tidak tersedia. Dan barulah saya menyadari bahwa pembatasan adalah yang baik. Limitasi adalah hal yang sesungguhnya akan membantu saya sebagai manusia untuk dapat memilih.

Namun jika pembatasan adalah hal yang berguna, apakah semua orang bersedia dibatasi atau diberi batasan? Terutama para manusia dewasa yang ketika semakin banyak melihat dunia, dan semakin sering berinterasi, maka semakin menganggap bahwa tanpa batas adalah sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia yang merdeka. Menganggap bahwa dengan memiliki pilihan yang tanpa batas maka sebagai manusia, mereka akan lebih merasakan esensinya, dan berdalih ‘memangnya kenapa kalau aku mau melakukan ini, ini kan hidup aku’.

Semua orang pasti pernah berada dalam masa-masa hidup dimana dia ingin melakukan eksplorasi pada hidupnya, mencoba semua hal, melawan semua batasan, ingin ini dan ingin itu, hanya untuk mencari tahu tujuan hidup. Kalau begitu, mari kita tanyakan pada mereka yang telah melakukan eksplorasi itu, tanyakan pada meraka satu pertanyaan, ‘Coba deh kasih tau aku, what is your life hack”, dan mari dengar jawaban mereka. Saat saya mencoba ini kepada beberapa teman-teman dan saudara, mayoritas dari mereka menjawab dengan menggunakan kata jangan.

Mantan teman kerja saya, seorang lelaki, dia berkata Jangan pernah ngelakuin friend with benefit habis putus. Intinya jangan pernah nyari rebound deh. Bukannya ngobatin, malah bikin runyam”. Yang lain pernah berkata “Kalau masih muda, jangan dulu lah ngejar gaji gede, yang penting bosnya enak, mau mentoring dan bagi ilmunya, trus job desk kerjaanya kamu banget. Uang gede ntaran lah…”. Atau kalau kata tante saya yang dulunya terkenal super engga bisa diatur berkata, Jangan ngelawan orang tua”.

Seakan-akan dengan kata ‘jangan’ yang mereka gunakan, meraka ingin memberikan sebuah batasan bahwa hal-hal tersebut bukan hal yang baik untuk dilakukan. Tapi apakah sebagai manusia, lantas kita akan menurut begitu saja? Padahal, semua life hacks yang mereka katakan itu sama maknanya dengan nasihat kehidupan dari jaman dulu, hanya beda redaksinya saja. Ini membuktikan apa? Kalau pada dasarnya, mungkin memang kitanya saja yang kalau belum kena getahnya, belum mau dibatasi?

Hidup memang cukup membosankan dengan adanya pembatasan, terlebih bagi mereka yang pada dasarnya percaya pada prinsip-prinsip hidup tertentu. Tapi pengalaman mengajarkan pada saya, bahwa justru dengan adanya pembatasan, hidup saya menjadi lebih mudah untuk dijalani. Mengutip apa yang selalu teman saya lakukan saat memesan makanan di restoran, dia akan selalu bertanya pada pramusajinya, ‘apa yang habis atau lagi engga ada di menunya mbak/mas?’. Saat saya tanya alasannya, dia menjawab, ‘ya ketimbang aku harus mendengar jawabaan ‘oh yang itu lagi kosong mbak…’, kan buang-buang tenaga, mending fokus sama makanan dan minuman yang tersedia aja’.

Sebenarnya, tidak semua pembatasan itu mengekang, dan tidak semua hal yang membebaskan itu memerdekakan. Sering kejadian, justru kekacauan terjadi saat semua hal dibebaskan, dan keteraturan terjadi saat pembatasan dilakukan. Itu juga yang kita rasakan saat menunggu lampu merah, bukan? Apa jadinya jika pada sebuah perempatan, lalu semua pengguna jalan bebas jalan ke semua arah tanpa mengikuti lampu lalu lintas?

Di sebuah malam, saya pernah melakukan reuni kecil-kecilan dengan beberapa teman kuliah. Saat sudah semakin malam, kami berempat beralih dari topik soal kerjaan ke topik asmara. Topiknya waktu itu adalah bagaimana caranya kita tahu bahwa dari milyaran manusia, seseorang itu adalah jodoh kita. Klise, bukan? Saya bilang begini, “katanya orang-orang sih… you know, when you know. When you know, you know”. Perkataan saya langsung dibantai oleh seorang teman saya, dia bilang, “itu abstrak banget, harus ada indikator konkritnya. Kalau aku, aku akan nentuin dulu deal breakernya, misalnya nih, aku engga suka sama perempuan yang bau ketek. Kalau setiap hari dia bau ketek, ya itu udah deal breaker buatku. Berarti bukan dia”. Saya jawab lagi, “Tapi kalau kamunya nyaman? Hayo?”. Dan dia menjawab, “aku ga nyaman. Makanya itu deal breaker”. “Trus kalau dia bisa jadi perempuan yang wangi?”, tanya saya lagi. “Ya aku bisa sama dia”.

Pada akhirnya, kita harus menentukan dulu apa yang kita cari, sebelum menentukan filter atau deal breakernya, atau sebelum kita dibuat kebingungan dengan semua pilihan hidup. Jika kita sudah tau apa yang kita cari, kita sebenarnya bisa mengatur hidup yang kita mau. Anggaplah tujuan kita adalah ‘ingin hidup sehat’, maka pastilah pilihan kita menjadi terbatas pada mengkonsumsi makan-makanan sehat, rutin olahraga, atau lainnya. Atau kalau tujuan kita adalah ‘memilik hati tenang’, mungkin pilihannya menjadi terbatas pada jangan punya hutang kartu kredit, atau jangan jadi pelakor. Akan runyam perkaranya jika kita mencoba makan makanan berlemak setiap harinya tapi berharap sehat tanpa kolestrol atau asam uart. Atau bagaimana bisa bertemu tujuan memiliki hati yang tenang jika kita selalu hidup selalu dengan kepura-puraan? Akan tetapi, kalaupun kita sudah menetapkan tujuan dan hidup pada akhirnya memberikan kita banyak batasan, pertanyaannya yang harus dijawab adalah: akankah kita menurutinya?

Saya pribadi melihat bahwa hidup itu sendiri sudah memiliki keterbatasan, begitupun saat kita hadir di dunia, kita hadir dengan pilihan yang terbatas. Dengan waktu yang juga terbatas, kematian bisa terjadi kapan saja, manusia sebenaranya tidak dibiarkan untuk mencoba semua pilihan dan menderita karenanya. Untuk itulah kita lahir dengan akal dan perasaan untuk dapat menilai mana pilihan yang tepat dan mana yang tidak. Untuk belajar menerima bahwa pembatasan itu, dibuat untuk mempermudah hidup manusia. Dan tentunya agar waktu kita tidak terbuang percuma hanya untuk pindah dari satu kebingungan ke kebingungan lainnya.

Namun apalah daya, sesuai kodratnya, manusianya yang sering kali tidak mau tahu, atau tidak mau diberitahu, dan akhirnya mencoba menerabas batasan. Memang betul bahwa semua orang pasti akan belajar dari kesalahan yang diperbuatnya, dan itu bukan menjadi sesuatu yang sia-sia. Tapi jika pada dasarnya kita sendiri yang menolak dibatasi untuk sesuatu yang memang buruk untuk hidup kita, tidakkah itu namanya kita membuang waktu untuk menderita secara sia-sia?


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall