Banyak dari kita semua memulai harinya dengan mempersiapkan sesuatu. Entah itu seorang ibu yang menyiapkan sarapan sederhana bagi keluarganya, seorang anak yang mencoba mengerjakan pekerjaan rumahnya padahal 15 menit lagi harus berangkat, seorang pekerja yang sedang menyetrika bajunya, atau bahkan seorang pedagang yang sudah siap menyambut pelanggannya. Setiap pagi datang, maka setiap dari kita akan bersiap untuk memulai hari itu.
Seperti awal yang baru, pagi hari belum memiliki warna tertentu. Ya kalaupun ada, warnanya adalah putih polos tanpa sentuhan apapun. Seakan memberikan kesan bahwa kita tidak pernah mengetahui apapun yang akan terjadi di penghujung hari itu. Setelah hari itu terlewati, barulah kita bisa memberikan warna yang tepat. Setiap pagi datang, seakan menjadi sebuah kerahasiaan, sesuatu yang tidak bisa kita tebak kemana arah larinya. Dan walaupun begitu, walaupun misterius, kita tetap saja mencoba mempersiapkan sebuah hari dengan baik.
Tapi apakah kita akan benar-benar siap menghadapi sebuah hari? Apakah seorang anak yang sudah mengerjakan PR dan memakan sarapannya, seorang pedang yang sudah siap dengan uang kembalian dan barang dagangannya, serta seorang pegawai dengan baju klimis rapi yang dikenakannya, menjadi siap menghadapi apapun yang akan terjadi di hari itu? Mungkin juga tidak. Karena mungkin, hari si anak itu akan berakhir dengan si guru tidak jadi datang dan PR yang dikerjaan tidak jadi dikumpulkan. Seorang pegawai ternyata kecipratan kuah bubur ayam saat sarapan di pinggir jalan padahal dia punya rapat penting, dan si pedagang… pedagang itu ternyata harus lari ke sana-kemari karena pasarnya di razia oleh petugas sosial. Jadi, apakah persiapan yang dilakukan itu menjadi sia-sia?
***
Di akhir bulan yang lalu, saya sempat pulang ke Jogja. Kepulangan saya ke Jogja saat itu salah satunya juga dalam rangka rehat dan memupuk semangat. Cukup lama saya menghabiskan waktu di sana. Mencoba sedemikian rupa agar punya energi untuk kembali menghadapi ibukota. Sayapun makan gudeg kesukaan, makan kue non-gluten di kafe Jalan Prawirotaman, sampai sekedar naik motor sendirian. Saya bahkan menunda kepulangan saya ke Jakarta beberapa hari karena saya merasa belum siap kembali dan masih butuh rehat. Hingga tiba akhirnya, waktu untuk kembali ke Jakarta. Duh berat sekali rasanya…
Di malam sebelum saya kembali ke Jakarta, saya membuang nafas berat berkali-kali karena menyadari bahwa sebentar lagi saya akan kembali ke kota yang tingkat polusinya gila-gilaan itu, serambi memberikan sugesti diri bahwa saya sudah mendapatkan istirahat yang cukup, dan siap melanjutkan semua kegiatan di sana. Tapi ternyata itu semua tidak cukup. Buktinya, saat kereta saya sudah memasuki area Jabodetabek, saya menangis tersedu entah kenapa. Saya mau kembali ke Jogja lagi rasanya, entahlah… rasanya seperti ada yang mengganjal di hati, ya atau memang karena sayanya aja yang belum siap kembali ke Jakarta walaupun itu harus.
Atau jangan-jangan manusia memang tidak akan pernah siap untuk hal apapun? Bahkan ketika dia sudah mempersiapkan diri dengan seabrek persiapan ini dan itu, tapi kalau harus ditanyakan kembali ke manusia tersebut, ‘Jadi gimana, siap atau engga?’, jawabannya mungkin akan ‘Ya… siap engga siap, ya gimana, tetep harus dijalani kan?’.
Ah… saya jadi ingat ketika dulu, ketika masih SMA, masa-masa di mana saya mencoba Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kala itu saya belajar hampir sepanjangan hari selama berbulan-bulan, belum lagi tiap minggu saya ikut try out agar bisa lebih siap menghadapi ujian. Seminggu menjelang hari ujian, saya sudah muak dengan semua materi yang harus dikuasai seperti algoritma dan gradien tegak lurus. Rasanya saya mau segera ujian, segera pengumuman, dan saya bisa move on. Dengan tingkat kemuakan yang tinggi, saya ada di posisi pasrah pada semua hasil belajar saya selama berbulan-bulan itu, saya engga tahu apakah saya benar-benar siap atau tidak, yang jelas saya sudah mempersiapkan yang terbaik yang bisa saya lakukan, dan saya mau segera ujian! Tapi entah karena grogi atau apa, H - beberapa hari, masih saja terbesit dalam pikiran saya materi yang belum sempat saya pelajari, dan sayapun berharap saya bisa punya lebih lama lagi untuk belajar. Hadeuh…
Untuk sesuatu yang sudah dipersiapkan saja, kita masih bisa merasa tidak siap, lalu apa kabar jika bahkan kita tidak mempersiapkan apapun untuk sesuatu yang kita tidak tahu akan terjadi di depan mata? Apa jadinya saat kita harus berhadapan dengan sesuatu yang kita tidak tahu apa bentuknya dan bagaimana bentuk persiapannya? Lalu tiba-tiba hal itu terjadi dan kita tidak punya pilihan apapun selain menjalaninya, siap atau tidak siap.
Sebuah keluarga yang sangat saya kagumi, sebuah keluarga yang cukup dekat dengan saya karena dalam pandangan saya mereka memiliki nilai-nilai keluarga yang baik, baru-baru ini mengabarkan pada saya bahwa mereka sedang dalam proses perceraian. Bagaikan kepeleset dari puncak Gunung Everest, saya merasa kaget dan agak terguncang. Ya bagaimana tidak, saya engga begitu punya banyak potret rumah tangga yang bisa saya jadikan model, dan mereka adalah salah satu yang bisa saya teladani. Ada bagian dari diri saya yang juga ikut terluka karena keputusan mereka.
Terlepas dari apapun alasan yang mendasarinya, nyatanya tidak ada yang benar-benar mempersiapkan perceraian sampai itu benar-benar terjadi, tidak si pasangan atau bahkan saya yang hanya orang luar. “Aku engga nyiapin ini semua, Peh. Aku pikir yaudah, aku sama dia udah tinggal nunggu anak-anak dewasa dan kita bisa tua bareng-bareng. Masih kayak mimpi di aku, kita berdua pisah begini,” Kata si istri itu menjelaskan. Si istri bahkan meminta tolong pada saya untuk membenahi CV dan cover letter karena dia akan kembali bekerja setelah belasan tahun vakum. Sesuatu yang tidak pernah ada dalam agenda hidupnya setelah melahirkan anak pertamanya, bahwa dia akan berpisah setelah belasan tahun bersama dan kembali bekerja. Semuanya terjadi begitu saja, dengan cepat, dan tidak menyisakan ruang apapun untuk bersiap. Seakan kesiapan kami tidak lagi penting untuk ditanyakan, karena yang terpenting adalah menjalani hidup kedepannya dengan kondisi yang telah terjadi. Menyebalkan? Oh sangat!
Menakutkan lebih tepatnya! Bagaimana bisa kita harus merasa siap pada sesuatu yang tidak kita persiapkan sebelumnya? Pada sesuatu yang tidak pernah dicobakan terlebih dahulu? Terlebih saat sesuatu itu datang tiba-tiba? Masih mending tes SNMPTN karena saya masih bisa ikut try out dan bimbingan belajar, masih mending ketika saya bisa meniatkan diri untuk rehat di Jogja agar bisa lebih siap menghadapi Jakarta, tapi persiapan macam apa yang harus saya lakukan untuk kondisi yang saya sendiripun tidak bisa membayangkan akan terjadi?
Lucunya adalah, kita sebenarnya sudah tahu bahwa hal-hal yang telah menjadi kodrat itu ya pasti akan terjadi, seperti pertemuan-perpisahan contohnya. Bahwa ungkapan ‘tidak ada yang bertahan selamanya’, juga sesuatu yang kita hapal di luar kepala. Tapi ya tetap saja, kita tidak pernah benar-benar siap saat hal itu benar-benar terjadi.
Saya sering membaca istilah bahwa tidak ada waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu, jadi jangan tunggu hingga siap, lakukan saja sekarang. Begitu katanya. Kini saya semakin sepakat, karena menunggu hingga manusia siap memang ambigu. Kita tidak akan benar-benar bisa tahu dan yakin bahwa kita sedang ada dalam posisi siap menghadapi sesuatu. Kalau mau ditunggu sampai siap, ya kapankah itu waktu siapnya?
Walau begitu, manusia tetap akan mempersiapkan banyak hal untuk sesuatu yang akan dihadapinya. Seperti seseorang yang perlu membawa baju hangat ketika akan pergi hiking, atau seseorang tetap harus membuat presentasi dan laporan ketika akan menghadapi presentasi, atau semua orang akan membawa payung jika terlihat di luar sana sudah mendung gelap. Bentuknya seperti persiapan teknis, sesuatu yang kita lakukan agar kita merasa lebih siap menghadapi sesuatu yang bisa kita prediksi. Semacam memberikan ruang antisipasi kalau-kalau hal-hal teknis itu terjadi, maka kita akan siap dalam bereaksi. Pun dalam hal mempersiapkan hati, misalnya kita mencoba menurunkan ekspektasi, tidak terlalu mengandalkan orang lain, atau mencari cara-cara penyelesaian masalah yang paling efektif. Kita bersiap untuk sesuatu yang bisa terjadi kapanpun, dalam bentuk apapun. Urusan bagimana kesiapan kita sesungguhnya, itu nanti!
Seorang teman baik saya, baru-baru ini diterima di salah satu media internasional sebagai data jurnalis. Dari ceritanya, dia juga tidak benar-benar siap untuk melakoni peran barunya sebagai manager. Dia merasa kemampuan dia belum memenuhi apa yang diharapkan oleh media itu, tapi ternyata dia diterima dan akan segera bekerja di akhir tahun ini. Ya siap atau tidak, memang sudah begitu jalannya, kan?
Saya juga, pada suatu hari merasa kelabakan menghadapi sebuah kejadian. Selama nyaris 4 tahun, saya mencoba menata hati, mental dan semua ekspektasi, agar saya bisa memiliki hati yang tegar dan lebih kuat, kalau-kalau suatu hari nanti saya akan kembali bertemu dengan seseorang di masa lalu saya. Namun nyatanya, di suatu hari yang mendung, tanpa ada prediksi apapun, saya harus menghadapi dia, melihat dia secara langsung, mendengar suara dia, dan bahkan tertawa dia itu. Ternyata, tidak peduli seberapa banyak hal yang sudah saya lakukan selama ini untuk mempersiapkan diri, itu juga belum cukup. Saya tetap saja tidak siap. Saya tetap saja pulang dengan perasaan gontai. Besok paginya, saya bangun tetap perasaan yang campur aduk. Deuuh… engga selesai-selesai…
Saya pikir, hal terbaik yang bisa manusia lakukan adalah secara sadar melangkah dan memperhitungkan risiko yang akan terjadi dari setiap langkah yang akan dia tempuh. Sekedar memetakan kemampuan diri sendiri dan membaca pola yang mungkin akan terjadi. Sebatas itu saja, tanpa bisa dikatakan bahwa kita benar-benar siap untuk menghadapi sesuatu. Kemudian kita akan berjalan ke depan, menghadapi apapun yang harus dihadapi.
Saya jadi ingat sebuah jargon terkenal di acara kriminal, bahwa kejahatan ada bukan karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Sebuah jargon yang juga bisa diterapkan untuk perkara lain dalam hidup, mulai dari pekerjaan, pertemanan, hingga percintaan. Kadang kita tidak meniatkan sesuatu itu terjadi, tapi kalau tetiba ada kesempatan atau ada sebuah kejadian terjadi di depan mata kita, ya mau bagaimana lagi, ya tetap juga harus dihadapi, ya kan?
Tapi tenang saja, walaupun kesiapan itu sulit diukur, tapi pelan-pelan kita akan berlatih bahwa ‘siap atau tidak siap’ bukanlah hal yang penting untuk diketahui, tapi lebih ke bagaimana kita membiasakan diri menghadapi kondisi apapun. Lagipula, siapa yang akan siap jika tanpa pemberitahuan, tetiba besok kita akan ditinggalkan semua orang yang kita sayangi? Pun kita diberi tahu bahwa besok kita akan sendirian tanpa orang-orang yang kita sayangi, memangnya kita akan siap juga? Jika memang sudah harus begitu jalannya, pilihan yang kita miliki juga hanya menerima dengan lapang kan?
Dijalani saja dulu, hidup kan memang selalu begitu, tidak ada angin, tidak ada hujan, lalu... knock.. knock… SURPRISE!!
Tidak ada komentar
Posting Komentar