Selasa, 03 Januari 2017

Percakapan kesepuluh: percaya

“Aku minta kamu buat percaya, seberapa susah sih itu buat kamu lakuin?” Kataku setengah berteriak.

Dia menunduk, matanya basah.

Kupelankan suaraku, kudekati dia, “Maaf, aku emosi...”

Dia masih saja tertunduk.

Diam diantara kami begitu lama, dengan aku yang masih harus meyakinkannya, dan dia dengan seribu pikirannnya, aku sungguh kelelahan.

Dia beranjak, menyeka air matanya “Aku selalu percaya, dan karena itu aku terluka!”  

Aku menahan nafas, menahan diri, menahan sekuat tenaga agar tidak ada kalimat yang akan membuatku menyesal nantinya. Aku sedang berperang antara ingin membalasnya dengan sumpah serapah atau pergi saja meninggalkannya.“Terus, kalau kamu engga lagi bisa percaya, apa yang harus kita pertahankan disini?”, sekuat tenaga kutahan emosi suaraku.

“Kamu minta aku percaya, dan kamu menjadikan itu murah. Kamu marah kalau kamu merasa, aku engga percaya sama kamu. Kamu bilang, kamu sayang sama aku, aku percaya. Kamu bilang, kamu akan nemuin jalannya, aku percaya. Kamu bilang kalau perasaan kita yang paling penting, aku percaya. Kapan kamu mau berhenti untuk bilang kalau aku engga percaya? Aku percaya! Aku percaya! Aku selalu percaya. Dan apa yang aku dapetin dari percaya? Kamu menjadikan ini murah. Terlalu murah bahkan!

“Masalahnya dimana sih?”  

“Masalahnya adalah karena aku percaya! Itu masalahnya. Bilang sama aku, kalau percaya sama kamu itu jalan keluar. Dan bilang sama aku kalau percaya sama kamu itu bukan hal bodoh yang aku lakuin” Kalimatnya meluncur jelas, seperti telah menjadi hal yang ingin ia sampaikan sejak lama.  

Logikaku terasa beku.

Lalu apa yang bisa kita lakukan tanpa rasa percaya? hatiku berbisik, namun kalimat itupun beku.

Kulihatnya berjalan, menjauh dari aku.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall