Minggu, 29 Januari 2017

Menjadi Bebas

“Apakah kita benar-benar bebas?”  

Beberapa orang bertanya dan mendiskusikan tentang hal itu beberapa hari belakangan ini. Saya jadi sedikit kepikiran, dan akhirnya memutuskan untuk menulis (agak panjang) tentang hal ini.  

Hmm... ternyata, sulit sekali menjawab pertanyaan pendek itu hanya dengan satu jawaban vokal: ya atau tidak. Paling mentok, jawaban yang bisa kita berikan adalah ‘tergantung….’, dan sepertinya itu pula satu-satunya jawaban yang paling ideal.  

Tapi marilah kita bahas sedikit demi sedikit, agar kita bisa sedikit lebih mengkongkritkan kata ‘tergantung’ menjadi sesuatu yang bisa memberi arti. #tsaaah  

Tentu saja, pembicaraan tentang kebebasan tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang pilihan dan aturan. Anggaplah semua pilihan dan aturan tidak pernah ada dalam hidup manusia, maka mungkin postingan kali ini akan berjudul ‘mengapa kita tidak terkurung saja?’, saking tidak ada nya hal yang tidak bisa atau tidak boleh kita lakukan.

Ibaratkan kita berada di sebuah perjalanan panjang, mengendarai sebuah mobil, menuju ke tempat manapun yang kita mau. Lalu bayangkan jika tidak akan ada perseneling di mobil itu, rem, dan mobil itu bahkan tidak membutuhkan bensin atau bahan bakar apapun.

Pertanyaannya, apakah kita akan sampai ke tempat yang kita tuju? Dengan keadaan mobil yang tidak perlu diisikan bensin, tidak bisa berhenti karna tidak punya rem, dan bahkan tidak punya persneling. Mungkinkah?

Lagi, coba bayangkan jika kita diundang untuk bermain di sebuah quiz di televisi. Biasanya, si presenter akan berkata dengan riang, ‘manakah pintu yang akan anda pilih?’ sambil menunjuk 5 pintu, dimana hanya satu (atau dua) yang berisikan hadiah, sisanya ZONK. Lalu kita akan sibuk bertanya pada para penonton, pintu mana yang kira-kira berisi hadiah.

Tapi coba bayangkan, jika quiz yang akan kita mainkan itu tidak punya aturan dan pilihan. Semua hadiah boleh dibawa pulang!

Saya kira, hidup seperti itu tidak akan membawa manusia kemana-mana selain kehampaan.

Kalau saya diberi kesempatan untuk bisa bebas sebebas-bebasnya tanpa perlu mempertanggung jawabkan pilihan-pilihan saya, dan yang paling penting, kalau pilihan saya salah tidak akan ada hukuman dan rasa bersalah, saya mungkin akan bahagia selama…. beberapa hari.
Tapi setelah itu saya akan berkata pada diri saya sendiri ‘oke, abis ini apa?’, dan saya mungkin akan milih untuk mati dibanding hidup.
Kurang seru kayaknya hidup. Karena engga akan ada yang diperjuangkan, engga akan ada yang dilawan, engga akan ada perasaan ‘ini hal yang benar’ atau ‘ini hal yang salah’, lah wong semuanya bebas…

Sepertinya, menjadi bebas bukan sesuatu yang tepat bagi manusia. Berabad-abad umat manusia bermasalah dengan keserakahan, jadi bagimana mungkin kita bisa hidup dengan sepenuhnya bebas? Sepertinya juga, manusia itu hanya terlalu malu, marah, enggan, gengsi, malas, takut, kesal, atau bosan diatur. Tapi percayalah, tidak ada yang benar-benar sanggup untuk menjadi bebas sepenuhnya, tanpa aturan, tanpa pilihan, dan tentunya tanpa konsekuensi.  

Muara dari tulisan ini sebenarnya tergantung pada bagaimana kita sebagai manusia mengambil pilihan-pilihan dalam hidup kita.

Saya percaya bahwa kematian adalah gerbang dari kehidupan yang sesungguhnya, jadi selama di dunia, kalaupun semua pilihan-pilihan itu terbuka selebar-lebarnya untuk saya, saya akan dengan sangat senang hati diberi tahu pilihan mana yang benar dan mana yang salah. Jika ada pedoman yang jelas tentang mana pilihan yang sebaiknya diambil dan mana yang tidak, buat saya itu akan mempermudah hidup saya, jadi saya engga perlu repot-repot buat jadi tersesat.

Tapi itu tidak lantas menjadikan saya orang yang engga bebas, atau tidak punya kebebasan untuk memilih. Saya hanya butuh pedoman, yang bagi beberapa orang disebut aturan. Bagi saya pedoman itu akan memandu, bagi sebagian lain itu adalah kekangan atau ‘omong kosong’.

Tapi aturannya siapa? Pedoman yang dibuat siapa? Kan, salah atau benar itu relatif…   

Betul! Untuk itulah kisanak, bijak-bijaklah mencari tau mana yang harus dijadikan pedoman untuk menentukan benar atau salah.

Diri sendiri juga boleh dong?

Tentu saja boleh, selama kita yakin kalau kita bisa konsisten untuk menjadikan itu pedoman seumur hidup kita. Dan selama itu tidak menjadikan kita malah makin bingung dan tersesat.
Kalau bisa, ya kenapa tidak?  

Kalau aku engga mau ngikutin mana yang dianggap benar atau salah?

Oh ya itu juga pilihan, silahkan saja, selama itu membuat hidup kita punya arah dan tujuan, silahkan saja. Hidup pilihan, kan? Dan inilah kebebasan. Kita bebas untuk tidak mau begini atau begitu. Mau menjalani hidup ala ini dan itu. Bebas… oh sungguh bebas.

Jadi… apakah kita benar-benar bebas?

Oh, itu tergantung!

Tergantung sebesar apa keyakinan kita untuk bebas lepas dari pilihan-pilihan yang kita ambil. Tergantung sebesar apa keyakinan kita bahwa kita tidak akan perlu repot-repot mempertanggungjawabkan pilihan-pilihan kita.
Tergantung seberapa bahagia kita untuk menjadi benar-benar bebas.

Tapi mungkin pertanyaan yang sebenarnya adalah, jika bahkan kebebasan itu adalah sebuah pemberian atau hadiah, tidakkah itu juga harus dipertanggungjawabkan? Setidak-tidaknya untuk diri kita sendiri?  

But anyway,  

Selamat bertanggung jawab, wahai kebebasan.
Selamat menjadi bebas, wahai manusia.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall