Selasa, 28 Desember 2021

25 Juni Untuk Ketigapuluh Kalinya

“….with every broken bone, I swear I lived”

(I Lived – One Republic)

Tanggal 25 Juni 2021 adalah hari ulang tahun saya yang ke 30. Jangan percaya pada ungkapan yang bilang kalau umur hanyalah sekedar angka, karena dalam ilmu monitoring dan evaluasi, angka adalah landasan valid dalam menganalisis fenomena yang akan digunakan untuk mengambil keputusan. Jadi usia 30 adalah usia yang penting untuk menentukan langkah hidup saya selanjutnya. Sekali lagi, itu bukanlah sekedar angka! Lagipula, siapa sih yang awalnya menyebarkan ungkapan umur hanyalah kumpulan angka? Meremehkan sekali.

Kembali ke tanggal 25 Juni 2021. Seharusnya, tanggal itu menjadi sebuah selebrasi bagi saya, atau setidaknya, saya bisa memposting satu foto di sosial media dengan caption reflektif tentang perjalanan hidup saya sejauh ini.  Tapi boro-boro itu kejadian, tahu apa yang terjadi di hari itu? Oke, saya akan ceritakan garis besarnya.

Hari itu adalah hari Jumat, hari yang saya sukai sebenarnya, tapi rupanya hari itu adalah hari yang sangat hampa. Saya ingat di hari itu, saya harus ikut rapat dengan eselon 1 dan 2 untuk topik pekerjaan yang sedang saya lakukan. Kondisi mental saya sedang jauh dari stabil, karena pertama, saya masih berduka setelah kematian Pak Arif, dan kedua, karena saya sedang dalam proses dirujuk ke rumah sakit bedah. Kondisi apartemen saya sangat berantakan, dan saya belum makan dengan baik dari pagi karena tidak merasa lapar. Saya membaca ucapan selamat ulang tahun dari beberapa WhatsApp group, tapi tetap saja hampa. Sekitar jam setengah 7 malam, saat saya hendak pipis, saya melihat di celana dalam sudah penuh dengan darah dan saya tahu itu bukan darah haid. Saya duduk di kamar mandi apartemen, menangis sejadi-jadinya dengan celana dalam penuh darah. Saat itu juga varian Delta sedang tinggi-tingginya, jadi saya tidak berani bahkan ke UGD karena takut terpapar Covid-19. Sekitar pukul 8 malam, sahabat-sahabat saya video call, dan saya menghabiskan sekitar 10 menitan hanya untuk menangis dalam video call itu.

Begitulah usia 30 saya dimulai, dengan pendarahan, kelaparan, dan sendirian.

***

Di awal tahun 2021, saya sempat mengunjungi Raja Ampat setelah selesai menyelesaikan salah satu tugas lapangan di Papua Barat. Dalam perjalanan di kapal menuju penginapan, saya sejenak melihat kondisi saya di hari itu. Saya mengenakan sepatu Crocks, celana training dan baju lengan panjang, membawa tas carrier berwarna orange, berusia 29 tahun, tidak memiliki pacar, memiliki pekerjaan yang baik, teman-teman yang baik, Allah yang selalu menjaga dan akan snorkelling di surga lautan untuk beberapa hari kedepan. Sejenak saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah itu seharusnya gambaran perempuan yang akan berusia 30 tahun? Entahlah. Tapi yang pasti, saya menikmati menjadi diri saya di hari itu. Saya merasa baik-baik saja.

Di situlah saya sempat berpikir tentang perjalanan hidup saya selama 29 tahun. Di kapal itu, saya mendapat pencerahan bahwa jika ada satu kata yang menggambarkan perjalanan saya sejauh ini, maka kata itu adalah ‘bongkar pasang’.

Saya melakukan banyak bongkar pasang selama 10 tahun terakhir. Banyak nilai-nilai yang saya lepaskan dan banyak juga yang saya ambil. Sebenarnya, proses bongkar pasang ini tidak terlepas dari perjalanan hidup saya secara keseluruhan. Dimulai dari 10 tahun pertama, di mana sebagai manusia, saya adalah mahluk sosial yang menyerap apapun di sekitar saya. Semua hal pertama yang saya pelajari berasal dari lingkungan terdekat saya, mulai dari orang tua, tetangga, sekolah, media, hingga artis-artis yang terkenal pada jaman itu, semuanya memberikan sumbangsih karakter pada saya. Saat itu, saya tidak punya banyak keberanian untuk menolak, atau sekedar diberikan referensi untuk memilih. Semua itu disodorkan tanpa saya bisa bernegosiasi. Untuk itulah, di usia 20an saya mulai mencari tahu mana yang benar-benar tepat untuk saya, dan mana yang tidak. Saya mulai melakukan bongkar-pasang untuk mencari tahu siapa diri saya sebenarnya.

Sebagai contoh, saya melepaskan nilai-nilai liberalisme yang sempat ada dalam pikiran saya, mulai dari konsep agnostik atau sekulerisme dan menerima konsep Islam yang diajarkan para ulama secara komprehensif, lengkap dengan konsep jilbab yang sekarang saya kenakan.

Tidak hanya itu, usia 20an juga menjadi usia di mana saya mengenal semua jenis emosi dan bagaimana saya melakukan bongkar pasang respon yang tepat. Ternyata emosi itu kompleks, dan tidak sesederhana apa yang saya rasakan saat berusia dibawah 10 tahun. Saya mulai belajar untuk mencari cara terbaik dalam memperlakukan emosi-emosi itu, dan menenangkan diri saya sendiri. Alhasil, saya pernah patah hati sebesar-besarnya, dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Saya tahu seperti apa rasanya punya persahabatan yang tulus, tapi pernah juga memutuskan hubungan pertemanan. Saya tahu rasanya punya bos yang sangat suportif, dan pernah juga menangis di toilet kantor saking frustasinya dengan teman kantor.

Usia 20an juga menjadi usia eksploratif. Saya tidak lagi tertarik untuk bekerja di sektor komunikasi dan lebih memilih bekerja di sektor pembangunan sosial karena alasan nurani (dan finansial). Saya pernah merasakan sensasinya belanja bulanan di supermarket mahal dan saya juga tahu rasanya menawar di pasar tradisional. Saya pernah berada di lautan selama 14 jam dan pernah tidur dengan berdekatan dengan babi. Mimpi mengelilingi Indonesia juga kesampaian di usia 20an, bahkan saya dimudahkan untuk bisa umroh sebelum usia 30.

Dan tentu saja, hal terpenting di usia 20an adalah keputusan saya untuk berdamai pada luka-luka masa lalu. Mempelajari kembali awal mula semua kejadian masa kecil yang sudah terjadi, memafkan semua pihak yang terlibat, dan memilih untuk menjadikan itu sebagai bagian dari hidup. Ibarat medan perang, saya berhasil melewati usia 20an dengan luka-luka yang menjadikan saya prajurit terhormat.

Di usia 20an, saya sering bertanya-tanya sendiri tentang perjalanan hidup saya terasa sangat berliku-liku. Awalnya, saya cenderung kesal dengan semua takdir-takdir itu. Namun kini, saya bisa mengatakan dengan ikhlas betapa semua itu masuk akal. Semua lika-liku itulah yang ternyata mengantarkan saya di hari ini, sekaligus yang membuat hidup saya menarik.

Sebelum ulang tahun, adek saya pernah bertanya tips apa yang bisa dia ambil dari pengalaman hidup saya selama 20an tahun hidup. Saya menjawab bahwa sebelum usia 30, cobalah berani untuk melakukan bongkar pasang nilai-nilai kehidupan. Usahakanlah untuk mendapatkan pengalaman TER sebanyak mungkin, terpahit dan termanis. Kenalilah Dia yang mengirimkan kita ke dunia ini dan banyak-banyaklah membaca. Jangan takut terluka, usia 20an tahun adalah usia yang tepat untuk babak belur. Percayalah, itu semua akan berguna untuk melatih jiwa kita agar lebih tenang menghadapi apapun di usia selanjutnya.

Dan untuk diri saya sendiri, tidak banyak yang saya harapkan di usia 30 tahun ini. Saya hanya berharap agar saya tidak pernah ditinggalkan oleh Allah. Satu keinginan yang merangkum semua hal, termasuk agar saya selalu diberi petunjuk, selalu dijaga, selalu dicukupkan, selalu diberi kekuatan, dan kelak, saya ditunggu kepulangannya dengan rindu yang besar olehNya. Apapun yang terjadi kedepannya, selama Allah ridho, saya akan baik-baik saja.

Source picture: https://id.pinterest.com/pin/281543706666672/

I have become someone better than I expected to be by 30. Dear Rabb, You are the GREATEST director.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall