Kamis, 29 April 2021

Ikatan Darah


Dalam ilmu biologi, darah dipandang sebagai alat transportasi yang mengangkut zat-zat penting yang diperlukan oleh tubuh. Jika kita terpaksa harus melakukan operasi, maka dokter bedah dan pihak rumah sakit akan bertanya pada kita tentang jenis golongan darah kita apa, sebagai salah satu syarat sebelum kita masuk ke ruang operasi.  Jika ternyata persediaan di rumah sakit atau di bank darah mereka habis, maka pihak rumah sakit akan bertanya apakah ada kenalan atau keluarga yang bisa mendonorkan darah untuk kita. Dalam ilmu biologi, darah dipandang sangat teknis, sebatas bagian dari anatomi tubuh manusia.

Tapi dalam bahasan yang lain, darah diartikan sebagai sesuatu yang jauh berbeda. Darah berarti sebuah keterikatan. Satu darah akan berarti satu keluarga, satu ras, bahkan satu etnis. Orang selalu bilang, “darah lebih kental daripada air” yang berarti juga kalau kita sudah memiliki satu ikatan darah, mau bagaimanapun akrabnya kita dengan orang lain berbeda darah, tetap saja keterikatan alami jatuh pada mereka yang sedarah dengan kita.

Menyadari bahwa kita terhubung hanya karena ikatan darah, bagi saya itu cukup aneh, tapi juga masuk akal. Masuk akal karena kita tidak akan pernah ada di dunia ini tanpa perantara si A dan si B yang diberi label ayah dan ibu. Ayah dan Ibu memiliki saudara, yang lantas secara otomatis membuat kita juga memiliki keterikatan dengan mereka. Ketika om dan tante itu menikah, secara langsung atau tidak langsung, membuat kita juga terhubung dengan pasangan mereka, anak-anak mereka.

Sementara anehnya adalah memiliki satu ikatan darah, seringnya tidak ada hubungannya dengan kedekatan emosional kita. Berapa banyak orang yang lebih dekat dengan orang asing yang diberi label sahabat ketimbang adik atau kakak kandung mereka sendiri? Atau lebih dekat dengan tetangga ketimbang dengan orang tua sendiri? Saya yakin, lebih dari sekedar banyak.

Di Indonesia, ikatan darah dipahami dengan lebih kompleks lagi. Di sini, kita akan secara otomatis memiliki identitas kesukuan tertentu, walapun kita tidak benar-benar paham atau menganut nilai-nilai yang diajarkan oleh suku tersebut. Jadi misalnya kita terlahir dan besar di Sukoharjo, tapi dari orang tua suku Batak, ya tetap saja didoktrin orang Batak.

Dalam cerita saya misalnya, ikatan darah ini termasuk cerita yang kompleks. Waktu itu saya sudah berusia 11 atau 12 tahun ketika saya diberitahu kalau memiliki darah Bugis. Sebelumnya, saya pikir bahwa darah Sunda dan Jawa saja yang menjadi bagian dari identitas saya. Walau sempat marah dan tidak menerima, namun apa yang bisa diubah dari fakta bahwa darah Bugis sudah terlanjur mengalir dalam diri saya? Aneh, tapi mau bagaimana juga kan?

Butuh proses yang cukup panjang bagi saya menerima darah identitas ini. Tapi sekarang saya sudah bisa dengan santai mengatakan pada semua orang bahwa saya adalah campuran Sunda dan Bugis-Bone.

Di suatu kesempatan, saya ada kunjungan kerja ke Sulawesi Tengah, setelah selesai, saya sempatkan untuk mampir ke Sulawesi Selatan, mengunjungi keluarga saya di sana. Dalam kesempatan kali itu, H-1 menjelang pulang ke Jakarta, ternyata ada arisan keluarga bulanan yang dihadiri oleh semua keluarga dari almarhum ayah. Hari keberuntungan bagi saya karena bisa lebih mengenal identitas saya. Maka saya sempatkan pergi kesana. Bertemu dengan keluarga-keluarga, mendengar logat Makassar-Bugis yang tidak begitu familiar di telinga saya, mendengar cerita sepupu yang tidak pernah saya hubungi bertahun-tahun, mencicipi makanan khas yang dibuat oleh tante-tante, dan mencoba mengingat nama ponakan yang baru lahir atau ipar yang baru masuk dalam keluarga besar. Rasanya canggung tapi juga cukup hangat untuk dirasakan. Dan di akhir pertemuan arisan itu, seorang kakek memberikan kepada saya uang jajang dari dompetnya, sambil mengelus kepala saya lembut dan berkata, “Baik-baik di Jakarta ya Nak.”

Ikatan darah itu aneh, tapi realitanya, mau seberapa keras kita mencoba menghapus atau melawan ikatan darah, tidak mengakui, atau mencoba mengabaikan, darah itu sudah mengalir dalam tubuh kita, membentuk identitas diri kita, siapa kita sebenarnya. Jadi alih-alih memberontak, sekarang saya akan lebih memilih untuk mengapresiasi darah-darah identitas yang mengalir dalam diri saya.

Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649735769360/


 

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall