Dalam ilmu biologi, darah dipandang
sebagai alat transportasi yang mengangkut zat-zat penting yang diperlukan oleh
tubuh. Jika kita terpaksa harus melakukan operasi, maka dokter bedah dan pihak
rumah sakit akan bertanya pada kita tentang jenis golongan darah kita apa, sebagai
salah satu syarat sebelum kita masuk ke ruang operasi. Jika ternyata persediaan di rumah sakit atau
di bank darah mereka habis, maka pihak rumah sakit akan bertanya apakah ada
kenalan atau keluarga yang bisa mendonorkan darah untuk kita. Dalam ilmu biologi,
darah dipandang sangat teknis, sebatas bagian dari anatomi tubuh manusia.
Tapi dalam bahasan yang lain, darah
diartikan sebagai sesuatu yang jauh berbeda. Darah berarti sebuah keterikatan.
Satu darah akan berarti satu keluarga, satu ras, bahkan satu etnis. Orang
selalu bilang, “darah lebih kental daripada air” yang berarti juga kalau kita sudah
memiliki satu ikatan darah, mau bagaimanapun akrabnya kita dengan orang lain
berbeda darah, tetap saja keterikatan alami jatuh pada mereka yang sedarah
dengan kita.
Menyadari bahwa kita terhubung
hanya karena ikatan darah, bagi saya itu cukup aneh, tapi juga masuk akal. Masuk
akal karena kita tidak akan pernah ada di dunia ini tanpa perantara si A dan si
B yang diberi label ayah dan ibu. Ayah dan Ibu memiliki saudara, yang lantas
secara otomatis membuat kita juga memiliki keterikatan dengan mereka. Ketika om
dan tante itu menikah, secara langsung atau tidak langsung, membuat kita juga
terhubung dengan pasangan mereka, anak-anak mereka.
Sementara anehnya adalah memiliki
satu ikatan darah, seringnya tidak ada hubungannya dengan kedekatan emosional
kita. Berapa banyak orang yang lebih dekat dengan orang asing yang diberi label
sahabat ketimbang adik atau kakak kandung mereka sendiri? Atau lebih dekat
dengan tetangga ketimbang dengan orang tua sendiri? Saya yakin, lebih dari sekedar
banyak.
Di Indonesia, ikatan darah
dipahami dengan lebih kompleks lagi. Di sini, kita akan secara otomatis memiliki
identitas kesukuan tertentu, walapun kita tidak benar-benar paham atau menganut
nilai-nilai yang diajarkan oleh suku tersebut. Jadi misalnya kita terlahir dan
besar di Sukoharjo, tapi dari orang tua suku Batak, ya tetap saja didoktrin orang
Batak.
Dalam cerita saya misalnya,
ikatan darah ini termasuk cerita yang kompleks. Waktu itu saya sudah berusia 11
atau 12 tahun ketika saya diberitahu kalau memiliki darah Bugis. Sebelumnya,
saya pikir bahwa darah Sunda dan Jawa saja yang menjadi bagian dari identitas
saya. Walau sempat marah dan tidak menerima, namun apa yang bisa diubah dari
fakta bahwa darah Bugis sudah terlanjur mengalir dalam diri saya? Aneh, tapi mau
bagaimana juga kan?
Butuh proses yang cukup panjang
bagi saya menerima darah identitas ini. Tapi sekarang saya sudah bisa dengan santai
mengatakan pada semua orang bahwa saya adalah campuran Sunda dan Bugis-Bone.
Di suatu kesempatan, saya ada
kunjungan kerja ke Sulawesi Tengah, setelah selesai, saya sempatkan untuk mampir
ke Sulawesi Selatan, mengunjungi keluarga saya di sana. Dalam kesempatan kali
itu, H-1 menjelang pulang ke Jakarta, ternyata ada arisan keluarga bulanan yang
dihadiri oleh semua keluarga dari almarhum ayah. Hari keberuntungan bagi saya
karena bisa lebih mengenal identitas saya. Maka saya sempatkan pergi kesana. Bertemu
dengan keluarga-keluarga, mendengar logat Makassar-Bugis yang tidak begitu familiar
di telinga saya, mendengar cerita sepupu yang tidak pernah saya hubungi
bertahun-tahun, mencicipi makanan khas yang dibuat oleh tante-tante, dan mencoba
mengingat nama ponakan yang baru lahir atau ipar yang baru masuk dalam keluarga
besar. Rasanya canggung tapi juga cukup hangat untuk dirasakan. Dan di akhir
pertemuan arisan itu, seorang kakek memberikan kepada saya uang jajang dari
dompetnya, sambil mengelus kepala saya lembut dan berkata, “Baik-baik di Jakarta
ya Nak.”
Ikatan darah itu aneh, tapi realitanya,
mau seberapa keras kita mencoba menghapus atau melawan ikatan darah, tidak
mengakui, atau mencoba mengabaikan, darah itu sudah mengalir dalam tubuh kita,
membentuk identitas diri kita, siapa kita sebenarnya. Jadi alih-alih memberontak,
sekarang saya akan lebih memilih untuk mengapresiasi darah-darah identitas yang
mengalir dalam diri saya.
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649735769360/ |
Tidak ada komentar
Posting Komentar