Waktu handphone saya masih
Nokia, saya tidak perlu setiap hari mengisi daya baterainya, cukup 2-3 hari sekali,
atau malah 4-5 hari sekali. Baterainya cukup awet karena selain fitur handphone-nya
yang memang terbatas, saya pribadi juga bukan tipe orang yang sering menelpon atau
SMS orang-orang. Sebelum akhirnya saya beralih ke smartphone, alasan saya
mengganti handphone kala itu adalah karena hilang diambil orang atau layarnya
retak karena terjatuh. Jadi kalau tidak ada alasan mendesak, saya akan benar-benar
menggunakan handphone saya sampai tidak berfungsi sama sekali. Setelah smartphone
mulai banyak dipasarkan dan saya beralih ke smartphone, alasan utama saya
mengganti handphone adalah karena baterainya sudah soak. Pokoknya, jika
sudah harus mengisi daya baterai lebih dari 1 kali setiap harinya, padahal penggunaannya
hanya terbatas untuk whatsapp dan akses e-mail atau browsing-browsing
ringan, itu menjadi indikasi bahwa saya butuh membeli smartphone baru. Walaupun komponen
lainnya masih bagus, tapi kalau baterainya soak, itu sudah cukup menganggu bagi
saya.
Jika hidup bisa dianalogikan seperti
sebuah teknologi smartphone, artinya hidup akan selalu beroperasi untuk mencapai
makna dan tujuannya. Karna smartphone dirancang dengan banyak fungsi untuk
bisa dimanfaatkan selama benda itu beroperasi dengan baik. Walaupun sebagai
pengguna, kita tahu betul bahwa agar bisa beroperasi dengan maksimal, ada
banyak komponen yang harus secara konstan diperbaharui, mulai dari sistem operasinya
hingga memori penyimpanannya. Kita pun sadar, bahwa ada banyak komponen dalam smartphone
yang tidak bisa diperbaharui, melainkan harus diganti sepenuhnya dengan produk
baru. Seperti jika sudah terlalu lama dipakai,
baterai handphone akan soak, kamera tidak lagi tajam, kadang suara telepon
juga tidak jelas, serta layar yang tidak lagi setajam saat pertama kali dibeli.
Kalau kata teman saya, “Itu karena hardware-nya engga bisa ngikutin kemajuan
software-nya, Peh.”
Di sebuah cuplikan video BTS, Park
Jimin pernah berkata yang kurang lebih intinya begini, “Kalau suatu hari nanti
baterai kita semua sudah habis, engga peduli mau seberapa banyak waktu yang kita
habiskan untuk istirahat, di saat itu, aku rasa kita harus bubar sebagai BTS.
Aku engga yakin aku bisa hadapi sedihnya kayak gimana, tapi aku rasa itu
satu-satunya cara.”
Sebagai Army (sebutan untuk fans
BTS), saat melihat tayangan itu, tentu saja saya merasa sedih karena artinya satu
saat nanti, cepat atau lambat, mereka akan bubar dan tidak ada lagi BTS yang
menemani hari-hari saya. Namun secara personal, saya menangkap sesuatu yang
sama dengan apa yang dikatakan Jimin.
Dalam kurun waktu satu bulan
terakhir ini saja, saya merasa mobilitas saya sangat tinggi. Dimulai dari
rangkaian workplan di Bogor di pertengahan bulan lalu, istirahat sehari,
lalu ke Aceh untuk monitoring dan evaluasi selama semingguan hingga H-3 Lebaran,
sampai ke Jakarta, H-2 lebaran pulang ke Jogja, lalu belum genap libur lebaran
selesai, saya sudah terbang ke Papua Barat, berada di Jakarta selama satu
mingguan, lalu pergi lagi ke Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Saya tidak
hanya merasa disorientasi lokasi, tapi saya juga merasa baterai saya soak.
Awalnya saya sempat berpikir mungkin
ini karena rentetan kegiatan dalam kurun waktu 1 bulan yang tidak ada
habis-habisnya. Namun ketika saya melihat secara keseluruhan jadwal dan capaian
saya dari awal tahun 2022, saya merasa mencapai lebih dari apa yang saya rencanakan.
Saya merasa menggunakan energi maksimum saya untuk bekerja, mendaftar beasiswa,
dan memulai start-up. Serta di saat bersamaan, saya merasa perlu memulihkan
diri dari bekas-bekas pandemi yang menjadi luka serta hadir secara emosioanl
untuk teman-teman dan keluarga saya. Pun ketika melihat keseluruhan perjalanan panjang
pekerjaan saya, saya ternyata cukup konsisten dan lama berada di bidang ini
selama 8 tahun terkahir. Itu semua membutuhkan energi yang sangat besar dan saya
merasa wajar jika baterai saya soak.
Apakah ini artinya saya terlalu
memfotsir waktu dan energi? Saya kurang tahu juga, tapi sepertinya juga tidak. Dalam
penilaian saya, saya merasa mengambil waktu istirahat dengan baik. Hari ketika saya
meniatkan diri untuk beristirahat, saya maksimalkan dengan baik. Saya akan
tidur, menonton tayangan yang saya sukai, sekedar melihat konten BTS di Tiktok,
atau melamun. Alhasil, saya akan lebih baik dan lebih bugar keesokan harinya. Tidak
hanya itu, jikapun bukan hari libur tapi saya sudah merasa sangat lelah, saya akan
dengan sengaja menutup laptop dan melakukan hal lainya agar dapat kembali
segar. Saya merasa, saya sudah semakin mahir dalam beristirahat. Namun, tetap
saja, saya merasa baterai hidup saya soak.
Saya tidak tahu apa persisnya
yang dialami oleh BTS ketika mereka membicarakan untuk pensiun dan bubar, tapi
sepertinya saya bisa merasakan apa rasanya sebagai pekerja di bidang
pembangunan sosial yang kelelahan dengan semua rutinitas dan topik-topik yang
sama selama hampir 8 tahun terakhir.
Mungkin manusia memang sama persis
seperti sebuah handphone dengan kapasitas baterai yang terbatas dan akan
soak jika sudah digunakan dalam waktu lama. Pertanyaannya, jika kita bisa mengganti
handphone lama kita dan membeli yang baru agar kita bisa mendapatkan
manfaatnya, apakah kita bisa melakukan hal serupa dengan hidup kita sendiri? Bisakah
kita mengganti kehidupan lama kita dan kemudian mengganti dengan kehidupan baru?
Apakah jika BTS memutuskan untuk bubar selamanya karena para anggotanya merasa
kelelahan luar biasa, maka kehidupan mereka setelah itu menjadi lebih baik?
Saya tidak pernah benar-benar
merasakan kehabisan energi atau ya katakanlah baterai hidup saya soak hingga
saat ini. Sebelumnya, saya selalu merasa bahwa banyak hal yang harus dieksplorasi
dan baterai saya cukup kuat untuk menampung energi-energi itu. Contoh sederhananya
saja, dulu saya tidak pernah melewatkan sarapan di hotel berbintang karena itu
menjadi hal yang saya sukai, mencoba menu-menunya dan duduk sambil melamum. Namun
sekarang, tidak peduli berada di hotel berbintang manapun, saya sering menelfon
room service untuk mengantarkan sarapan ke kamar saya dengan menu yang
sama: telur, sosis, buah, dan kopi. Atau jika saya ada di daerah baru, dulunya
saya akan menyempatkan diri untuk menjelajahi pantainya, tapi ssekarang, saya
ingin menyelesaikan pekerjaan dan tidur di kamar hotel maksimal jam 10 malam.
Jika hidup memang bisa diibaratkan
handphone, saya percaya bahwa hidup saya memang berjalan sesuai dengan
tujuan dan makna yang telah ditetapkanNya. Hanya saja, untuk tetap beroperasi
secara maksimal, sebagai manusia saya merasa banyak komponen yang sudah soak
saat ini. Sepertinya energi yang harus dikeluarkan terlalu besar dari kapasitas
baterai yang saya miliki hari ini. Jika baterai smartphone masih dalam
keadaan baik, kita cukup mengisi dayanya 2 hari sekali. Namun jika sudah soak, baterai
akan mudah habis dan kita harus mengisi lagi dayanya bahkan tiap berapa jam
sekali. Saya merasa seperti itu sekarang. Betul, saya beristirahat dengan cukup
dan sering, namun energi saya akan mudah terkuras karena kondisi baterai-nya
sudah soak.
Entah apa yang harus dilakukan
saat ini, namun sepertinya mengambil rehat menjadi salah satu pilihan yang akan
saya ambil. Saya belum menemukan jawaban bagaimana caranya agar baterai hidup
saya tidak lagi soak, tapi satu hal yang saya sadari, jika kondisi berlangsung
lebih lama lagi, tidak peduli sebarapa banyaknya istirahat yang saya gunakan, saya
tidak akan berfungsi maksimal sebagai manusia. Mengutip apa kata teman saya di
awal, sesuatu di internal saya mungkin terlalu besar, sementara kemampuan eksternal
saya masih belum diperbaharui.
Semoga saya bisa mendapatkan cara
mengganti baterai ini.
Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649735566467/ |