Senin, 16 September 2024

Menutup Bab Jakarta (1): Terimakasih, Apartemen!

Semua orang yang baru merantau ke Jakarta, pasti bisa memahami kalau Jakarta bukanlah kota yang ramah. Jakarta itu seperti halnya atasan kerja yang awalnya jaga jarak, tapi lama-lama kita bisa melihat sisi lainnya. Kalau jodoh ya kita punya relasi baik, kalau engga jodoh, ya kita akan resign. Bahkan menurut saya, proses pemilihan Jakarta sebagai tempat tinggal tidak hanya berlaku pada sisi orang yang bersangkutan, tapi Jakarta itu sendiri juga ikut mengkurasi siapa-siapa yang bisa hidup di dalamnya. Makanya setiap saya dengar orang berkomentar, “Aku baru 3 hari di Jakarta aja udah pusing, apalagi kamu yang tinggal di Jakarta ya”, selalu saya balas dengan, “Soalnya 3 hari, coba 3 tahun, akan beda rasanya.” "Makin betah?", "Tergantung, jodoh engga sama Jakarta"

Jakarta juga bukan kota yang mudah kok bagi saya pada awalnya. Dibandingkan dengan Jogja yang begitu adem ayem, Jakarta seperti naik kora-kora di pasar malam. Bikin pusing, mual, dan berteriak-teriak histeris awalnya, tapi kalau dicoba beberapa kali, seru juga ternyata. Tapi percayalah, jika Jakarta berhasil mengkurasi kita sebagai salah satu orang yang bisa tinggal dan bekerja dalam waktu lama, maka akan ada tempat di Jakarta untuk kita.

Satu diantara tempat itu bagi saya adalah apartemen ini. Apartemen yang saya tinggali sejak tahun 2020. Butuh beberapa bulan untuk menyebutnya rumah, namun saat itu terjadi, apartemen ini menjadi satu-satunya tempat teraman dan ternyaman bagi saya di Jakarta. Apartemen ini saya dekorasi sesuai dengan kepribadian saya dan saya jaga dengan sangat baik. Apartemen ini menjadi tempat aman saya untuk menangis, tertawa, marah, frustasi, dan jatuh cinta. Setiap kali saya merasa tidak punya tempat di Jakarta, maka apartemen ini seakan hadir memeluk saya dan membiarkan saya menjadi apa adanya. Saya bebas melalukan apapun di sini seorang diri, mulai dari merayakan ulang tahun ke 30, pendarahan dan demam tinggi, momen diterima beasiswa, mewujudkan mimpi-mimpi saya, bekerja, daftar beasiswa, hingga senyum-senyum jatuh cinta pun semua dilakukan di apartemen ini. Apartemen ini adalah saksi saya melewati masa 20 menuju 30 tahun. Dan yang terpenting, apartemen ini adalah tempat pertama saya merasa memiliki rumah dan kehidupan yang nyaman.

Namun seperti halnya sebuah permulaan, tibalah masa apartemen ini pada akhirnya. 

Sayangnya, minggu ini menjadi akhir dari sewa saya di apartemen ini. Tentu saja dada saya membuncah sesak meninggalkan apartemen yang telah menemani saya melewati banyak hal sendirian. Walau berat, tapi meninggalkan apartemen ini menjadi langkah pertama saya menutup bab Jakarta. Tidak mudah, tapi sesuatu yang harus saya lakukan. Galau sudah pasti, tapi pelan-pelan saya pasti bisa lebih legowo.

Terimakasih apartemen, empat tahun ini kita melalui semuanya dengan baik. Simpen semua rahasia baik-baik ya 😊




Mari Hidup, Selayaknya

Saat pandemi di tahun 2020, ada satu kejadian yang menjadi realisasi terpenting dalam hidup saya. Kejadian itu mengajarkan pada saya konsep hidup layak yang sebelumnya belum pernah saya pahami. Itu adalah ketika saya mengambil keputusan untuk pindah ke apartemen.

Sebelum akhirnya memutuskan pindah ke apartemen, saya sempat bergonta-ganti tempat tinggal di Jakarta, sampe akhirnya saya tinggal di rumah yang kamar-kamarnya disewakan, sehingga saya lebih suka menyebutkan rumah ketimbang kos-kosan. Letaknya di pusat Ibukota dan di area perumahan, sehingga suasanya sangat nyaman, tenang, dan aman. Hal yang paling membuat saya betah adalah karena di rumah itu ada saya, Ica, Putri, dan Yuni yang menjadi support system paling baik selama saya di Jakarta. Kami tinggal bersama dari 2018 hingga 2019. Di tahun 2019, Yuni akhirnya menikah dan tinggal bersama di kontrakan terpisah dengan suaminya, sementara Putri kembali ke Jogja karena kontrak kerjanya habis. Tersisa saya dan Ica yang menetap di rumah itu.

Lalu, boom! Pandemi muncul di 2020.

Pada 2 bulan pertama pendemi, saya dan Ica masih tinggal bersama. Lalu tak lama, karena pandemi tidak mereda, akhirnya Ica memutuskan untuk kembali ke Jogja dan menutup sewa kamarnya. Tersisalah saya dan ada 1 orang lagi yang juga sebenarnya tinggal di sana, tapi kami tidak begitu akrab, dan tentu saja keluarga pemilik rumah yang tinggal di lantai bawah. Bagi saya, opsi pulang ke Jogja seperti Ica bukanlah pilihan yang menarik, karena saya tidak ingin terperangkap di Jogja dengan keluarga yang rentan konflik, pada masa pandemi pula. Makanya untuk menghindari itu, pilihan saya adalah bertahan di Jakarta.

Awalnya mudah, saya yang merasa introvert ini tidak merasa sulit beradptasi dengan kondisi yang mengharuskan saya untuk berdiam diri di rumah tanpa berbincang-bincang dengan manusia lain. Namun memasuki bulan keempat pandemi, di situ saya mulai merasa kesulitan untuk mengatasi kesendirian ini. Tidak hanya itu, karna di lantai bawah pemilik kontrakan itu menetap, saya merasa tidak bebas berlalu lalang di rumah itu. Setiap ke dapur misalnya, saya harus menggunakan pakaian yang layak dan tentunya jilbab. Ribet. Untuk itu, menjelang masa sewa kamar di rumah itu habis, saya mulai memikirkan opsi untuk pindah tempat tinggal.

Orang Jawa menyebutnya pulung, mungkin itu yang bisa saya katakan dalam proses mencari tempat tinggal baru yang adalah apartemen. Dari proses saya mencari secara online hingga saya sepakat menyewanya, semuanya hanya terjadi dalam waktu 4 hari (atau 5 hari kalau tidak salah). Cepat sekali intinya. Namun bukan itu inti cerita saya. Inti cerita saya terletak pada malam hari sesaat sebelum saya membayar uang sewa apartemen tersebut.

Biaya saya menyewa kamar di rumah kontrakan yang saya tinggali itu sangat murah dengan fasilitas yang menurut saya sangat memadai. Kamar yang luas, AC, internet, dapur dan listrik sepuasnya. Pada saat itu, bagi saya itu semua sudah cukup. Sehingga tentu saja, opsi pindah ke apartemen yang biaya sewanya lebih mahal dua kali, masih harus bayar IPL dan listrik terpisah, menjadi sesuatu yang saya pikir sangat berlebihan.

Sampai sebuah realisasi itu muncul. Pikiran saya mulai mengajukan pertanyaan, bagaimana caranya mengukur kalau kita sudah hidup selayaknya? Pada titik apa kita menyadari bahwa kita terlalu pelit dengan diri sendiri atau justru terlalu boros? Dan yang terpenting, seperti apa yang disebut hidup selayaknya itu? 

Diam sejenak menarik nafas, hingga saya tersadar kalau gaji saya sebenarnya lebih dari cukup untuk membayar uang sewa apartemen dan semua biaya penunjangnya. Cashflow bulanan saya tidak terganggu sama sekali. Bahkan, saya adalah salah satu yang beruntung karena masih memiliki gaji tetap tiap bulan dengan semua benefitnya di masa pandemi. Lalu apa masalahnya sehingga saya harus mengambil opsi menderita di kamar sendirian lebih lama lagi, saat ada pilihan yang lebih baik tersedia?

Seperti biasa, akar masalahnya tidak jauh-jauh dari apa yang terjadi di masa kecil saya. Masa kecil yang membekas dan membuat saya seperti harus hidup dalam perjuangan keras. Saya bahkan percaya bahwa menikmati jerih payah diri sendiri adalah sesuatu yang salah. Saya selalu dibayangi dengan ketakutan akan hal-hal buruk yang akan terjadi dan membuat saya bergantung pada orang lain. Saat ternyata tumbuh menjadi pribadi yang prinsip hidupnya adalah bertahan hidup. Alhasil, semua langkah dalam hidup saya penuh dengan kalkulasi ekonomi yang ketat karena merasa tidak ada orang yang bisa menjadi back up hidup saya. Saya selalu merasa kalau saya salah langkah, maka apesnya akan saya telan sendiri. Itu yang membuat saya menjadi orang yang sangat perhitungan dengan diri sendiri. Bahkan ketika hidup saya sudah jauh lebih mapan, pemikiran dan ketakutan macam itu lah yang saya jalani. 

Malam itu, saya ingat moment ketika saya jongkok menangis di dapur rumah saat menyadari hal itu. Saat menyadari batapa lamanya saya berjuang untuk selalu dalam posisi standby. Selalu siap sedia untuk hal-hal buruk dan bahkan tidak tau bagaimana caranya menikmati hidup. Saya bahkan tidak tau apa yang disebut layak dan tepat untuk hidup saya sendiri dari hasil kerja keras saya. Tersadarlah saya bahwa selama ini saya selalu mengambil opsi terbawah karena merasa tidak layak merasakan hal-hal baik. Ah... saya jadi ingat, waktu awal-awal kerja, saya punya opsi untuk dibayari naik taksi tapi oleh kantor tapi memilih naik bis bandara karena merasa terlalu berlebihan pakai taksi.

Saya menyeka air mata, sholat, dan segera menghubungi si pemilik apartemen bahwa saya bersedia membayar sewanya selama setahun. Malam itu, saya tidur nyenyak, bukan karena saya akan pindah ke apartemen, tapi meletakan kembali semua ketakutan dan perasaan ‘tidak layak mendapatkan hal baik’ pada tempatnya. 

Saya kini bisa memahami ketika seseorang yang selalu berjuang selama hidupnya dan tidak pernah ada yang memberitahu bahwa diapun layak mendapatkan kebahagiaan, merasa kesulitan untuk menerima hal-hal baik itu di hidupnya. Karena sayapun awalnya tidak tahu dan kesulitan menerima itu. Namun menyadari bahwa kita telah beranjak dari kehidupan yang traumatis dan diperbolehkan mempunyai standar hidup baru, bagi saya itu sangat membantu untuk tidak terlalu keras dengan diri sendiri. Seperti saya di malah itu, ketika akhirnya saya melepaskan perasaan tidak layak mendapatkan hal yang baik, karena saya layak untuk bersyukur mendapatkan hal yang baik. 

Malam itu, seakan Dia mengatakan pada saya, “Kalau rumah berbentuk keluarga bukanlah hal yang Aku berikan, setidaknya ada hunian yang layak yang bisa kamu nikmati. Go ahead, Aku yang bayari semuanya. Enjoy!”


source: https://id.pinterest.com/pin/229683649739456014/


© RIWAYAT
Maira Gall