Saat pandemi di tahun 2020, ada satu
kejadian yang menjadi realisasi terpenting dalam hidup saya. Kejadian itu mengajarkan
pada saya konsep hidup layak yang sebelumnya belum pernah saya pahami. Itu adalah
ketika saya mengambil keputusan untuk pindah ke apartemen.
Sebelum akhirnya memutuskan pindah
ke apartemen, saya sempat bergonta-ganti tempat tinggal di Jakarta, sampe akhirnya
saya tinggal di rumah yang kamar-kamarnya disewakan, sehingga saya lebih suka
menyebutkan rumah ketimbang kos-kosan. Letaknya di pusat Ibukota dan di area perumahan,
sehingga suasanya sangat nyaman, tenang, dan aman. Hal yang paling membuat saya
betah adalah karena di rumah itu ada saya, Ica, Putri, dan Yuni yang menjadi support
system paling baik selama saya di Jakarta. Kami tinggal bersama dari 2018
hingga 2019. Di tahun 2019, Yuni akhirnya menikah dan tinggal bersama di
kontrakan terpisah dengan suaminya, sementara Putri kembali ke Jogja karena
kontrak kerjanya habis. Tersisa saya dan Ica yang menetap di rumah itu.
Lalu, boom! Pandemi muncul di
2020.
Pada 2 bulan pertama pendemi,
saya dan Ica masih tinggal bersama. Lalu tak lama, karena pandemi tidak mereda,
akhirnya Ica memutuskan untuk kembali ke Jogja dan menutup sewa kamarnya. Tersisalah
saya dan ada 1 orang lagi yang juga sebenarnya tinggal di sana, tapi kami tidak
begitu akrab, dan tentu saja keluarga pemilik rumah yang tinggal di lantai
bawah. Bagi saya, opsi pulang ke Jogja seperti Ica bukanlah pilihan yang menarik,
karena saya tidak ingin terperangkap di Jogja dengan keluarga yang rentan konflik,
pada masa pandemi pula. Makanya untuk menghindari itu, pilihan saya adalah
bertahan di Jakarta.
Awalnya mudah, saya yang merasa
introvert ini tidak merasa sulit beradptasi dengan kondisi yang mengharuskan
saya untuk berdiam diri di rumah tanpa berbincang-bincang dengan manusia lain. Namun
memasuki bulan keempat pandemi, di situ saya mulai merasa kesulitan untuk
mengatasi kesendirian ini. Tidak hanya itu, karna di lantai bawah pemilik
kontrakan itu menetap, saya merasa tidak bebas berlalu lalang di rumah
itu. Setiap ke dapur misalnya, saya harus menggunakan pakaian yang layak dan
tentunya jilbab. Ribet. Untuk itu, menjelang masa sewa kamar di rumah itu habis, saya
mulai memikirkan opsi untuk pindah tempat tinggal.
Orang Jawa menyebutnya pulung,
mungkin itu yang bisa saya katakan dalam proses mencari tempat tinggal baru yang adalah apartemen. Dari
proses saya mencari secara online hingga saya sepakat menyewanya, semuanya
hanya terjadi dalam waktu 4 hari (atau 5 hari kalau tidak salah). Cepat sekali
intinya. Namun bukan itu inti cerita saya. Inti cerita saya terletak pada malam
hari sesaat sebelum saya membayar uang sewa apartemen tersebut.
Biaya saya menyewa kamar di rumah
kontrakan yang saya tinggali itu sangat murah dengan fasilitas yang menurut saya
sangat memadai. Kamar yang luas, AC, internet, dapur dan listrik sepuasnya. Pada
saat itu, bagi saya itu semua sudah cukup. Sehingga tentu saja, opsi pindah ke
apartemen yang biaya sewanya lebih mahal dua kali, masih harus bayar IPL dan
listrik terpisah, menjadi sesuatu yang saya pikir sangat berlebihan.
Sampai sebuah realisasi itu
muncul. Pikiran saya mulai mengajukan pertanyaan, bagaimana caranya mengukur
kalau kita sudah hidup selayaknya? Pada titik apa kita menyadari bahwa kita
terlalu pelit dengan diri sendiri atau justru terlalu boros? Dan yang
terpenting, seperti apa yang disebut hidup selayaknya itu?
Diam sejenak menarik nafas, hingga saya tersadar kalau gaji saya sebenarnya lebih dari cukup untuk membayar uang sewa apartemen dan semua biaya
penunjangnya. Cashflow bulanan saya tidak terganggu sama sekali. Bahkan, saya adalah salah satu yang beruntung karena masih memiliki gaji tetap tiap bulan
dengan semua benefitnya di masa pandemi. Lalu apa masalahnya sehingga saya harus mengambil opsi
menderita di kamar sendirian lebih lama lagi, saat ada pilihan yang lebih
baik tersedia?
Seperti biasa, akar masalahnya
tidak jauh-jauh dari apa yang terjadi di masa kecil saya. Masa kecil yang
membekas dan membuat saya seperti harus hidup dalam perjuangan keras. Saya bahkan
percaya bahwa menikmati jerih payah diri sendiri adalah sesuatu yang salah.
Saya selalu dibayangi dengan ketakutan akan hal-hal buruk yang akan terjadi dan membuat saya bergantung pada orang lain. Saat ternyata tumbuh menjadi pribadi yang
prinsip hidupnya adalah bertahan hidup. Alhasil, semua langkah dalam hidup saya penuh
dengan kalkulasi ekonomi yang ketat karena merasa tidak ada orang yang bisa menjadi back
up hidup saya. Saya selalu merasa kalau saya salah langkah, maka apesnya
akan saya telan sendiri. Itu yang membuat saya menjadi orang yang sangat
perhitungan dengan diri sendiri. Bahkan ketika hidup saya sudah jauh lebih
mapan, pemikiran dan ketakutan macam itu lah yang saya jalani.
Malam itu, saya ingat moment ketika saya jongkok
menangis di dapur rumah saat menyadari hal itu. Saat menyadari batapa lamanya
saya berjuang untuk selalu dalam posisi standby. Selalu siap
sedia untuk hal-hal buruk dan bahkan tidak tau bagaimana caranya menikmati
hidup. Saya bahkan tidak tau apa yang disebut layak dan tepat untuk hidup saya
sendiri dari hasil kerja keras saya. Tersadarlah saya bahwa selama ini saya
selalu mengambil opsi terbawah karena merasa tidak layak merasakan hal-hal
baik. Ah... saya jadi ingat, waktu awal-awal kerja, saya punya opsi untuk dibayari
naik taksi tapi oleh kantor tapi memilih naik bis bandara karena merasa terlalu
berlebihan pakai taksi.
Saya menyeka air mata, sholat,
dan segera menghubungi si pemilik apartemen bahwa saya bersedia membayar
sewanya selama setahun. Malam itu, saya tidur nyenyak, bukan karena saya akan
pindah ke apartemen, tapi meletakan kembali semua ketakutan dan perasaan ‘tidak
layak mendapatkan hal baik’ pada tempatnya.
Saya kini bisa memahami ketika seseorang yang selalu berjuang selama hidupnya dan tidak pernah ada yang
memberitahu bahwa diapun layak mendapatkan kebahagiaan, merasa kesulitan untuk
menerima hal-hal baik itu di hidupnya. Karena sayapun awalnya tidak tahu dan kesulitan menerima itu. Namun menyadari bahwa kita telah beranjak dari kehidupan yang traumatis dan diperbolehkan mempunyai standar hidup baru, bagi saya itu sangat membantu untuk tidak terlalu keras dengan diri sendiri. Seperti saya di malah itu, ketika akhirnya saya melepaskan perasaan tidak layak mendapatkan hal yang baik, karena saya layak untuk bersyukur
mendapatkan hal yang baik.
Malam itu, seakan Dia mengatakan
pada saya, “Kalau rumah berbentuk keluarga bukanlah hal yang Aku berikan,
setidaknya ada hunian yang layak yang bisa kamu nikmati. Go ahead, Aku yang
bayari semuanya. Enjoy!”
|
source: https://id.pinterest.com/pin/229683649739456014/ |