Minggu ini, partai politik betul-betul membabi-buta menyerang media untuk satu alasan: menunjukan eksistensi. Kelakuan partai politik ini membuat seluruh inderaku lelah. Hilir mudik mereka berdatangan memaksaku berfikir keras untuk membuat konten yang tepat. Harus inilah-itulah, dengan semua hal yang mereka inginkan. Padahal jika mereka memang memiliki kredibilitas yang tinggi menjadi seorang wakil rakyat, tak perlulah harus melalukan manipulasi media sedemikian rupa hanya untuk dikenal baik. Memangnya mereka produk kosmetik?
Mereka, para partai politik ini, menjadikan media seperti make up yang membuat mereka tampak apik. Atau menjadikan media seperti parfume yang membuat mereka seakan wangi. Padahal, jika mereka mampu dan berani untuk tampil telanjang, paling tidak point kejujuran yang mereka agungkan itu sudah terbuktikan. Bukan malah melakukan kebohongan yang terselubung.
Sayang, media tidak mampu menolak. Kini, mana ada lagi media yang mampu bertahan dengan ideologi? Marketing akan sangat marah jika ideologi masih bersemayam kuat dalam suatu media. Hingga alih-alih menjadi media yang menjadi anjing pengawas, media malah bersuka cita menjadi salon. Dan jika sudah begini, maka kami-kamilah para budak salon yang harus membuat para partai politik itu tampak baik. Walau kami (saya lebih tepatnya) sudah muak hingga ubun-ubun.
Aku jelas lelah dengan pencitraan mereka. Hari ini terutama.
Bayangkan, aku harus merubah konten, memanipulasi respon, inilah dan itulah untuk para partai politik yang sesungguhnya buruk rupa. Jangan dikira aku tidak protes. Aku sudah protes, namun dibekap oleh marketing yang berkata lantang "Duit ini non!".
Ini semakin lama semakin tidak masuk akal. Dimana lagi posisi media yang sehat? Idealnya jika memang demi kepentingan negara, media pasti akan dengan senang hati untuk membantu warga negaranya untuk mengetahui tentang siapa-siapa saja yang kelak akan berjuang untuk mereka. Toh media juga merupakan bagian dari warga. Bukan malah seperti ini, media justru menyanggupi menjadi media kampanye hanya karena uangnya.
Entah siapa yang salah, medianya, partai politiknya, atau aku?
Dan kelelahan ini hampir mencapai puncaknya. Rasanya seperti berbohong untuk sesuatu yang tidak seharusnya berbohong. Seperti memanipulasi untuk hal yang seharusnya tidak dimanipulasi. Lelah karena menggerutu dan menjadi tidak punya kuasa menolak karena alasan "mereka sudah bayar". Hingga menyerah karena alasan "yang penting dibayar". Harga diri mudah ya digadaikan?
Jika sudah lelah begini, biasanya yang lantas aku lakukan adalah beranjak dari kursi kantor berwarna coklat dan pergi menuju meja kotak untuk melontarkan candaan sekenanya. Kemudian tak lama, beberapa rekan kerja menanggapi candaku hingga tawaku meledak-ledak berlebihan.
Namun sore ini, kesibukan yang diberikan partai politik sanggup membuatku enggan meninggalkan kubikelku barang sebentar. Malas rasanya untuk sekedar haha hihi. Hingga alih-alih aku berjalan, aku lebih memilih untuk duduk dengan posisi selonjor dan menikmati linimasa twitter sambil menghirup sisa-sisa kopi dingin. Aku lebih ingin berada pada pada kalimat demi kalimat yang tertulis di media sosial itu.
Tapi sayang, linimasa pada jam-jam segini bukan yang asik untuk diamati. Para pengguna yang kerap memberikan twit menyegarkan pikiran belum berkicau. Mungkin karena masih terlalu sore.
Aku sebenarnya nyaris menutup twitter, hingga mataku manangkap sebuah twit dan aku memandangi twit itu lama... Lama...
Seorang pengguna yang aku ikuti twitnya menanggapi sebuah pertanyaan dari pengguna twitter yang lain yang tidak aku ikuti.
Apa isinya tanggapan twitnya? Jelas tidak penting! Hanya menjawab pertanyaan basa-basi saja.
Dan apakah aku kenal pengguna yang tidak aku ikuti itu? juga tidak.
Tapi..
Tapi aku tau siapa dia. Dia, pengguna yang tidak aku ikuti pergerakan linimasanya itu, aku tau siapa dia.
Dia adalah pengguna twitter yang juga kerap ada di linimasamu.
Kamu yang selalu terpantau oleh rindu.
Maaf jika selalu mengintipmu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar