Hujan deras mengguyur hutan, lengkap dengan petir yang menyambar-nyambar.
Seekor beruang yang sedang tidur terbangun dan tersambar petir hingga bulunya terbakar.
Datanglah seorang peri baik hati yang dengan sihirnya mampu membuuat langit kembali cerah.
Namun tak lama gunung api meletus!
Suara letusannya mampu membuat para kurcaci hutan berlari kesana-kemari.
Beberapa diantaranya terlihat para unicorn dengan tanduk warna merah jambunya ikut berlarian.
Keadaaan semakin tidak terkendali.
Mereka berteriak-teriak memanggil peri. Kata mereka "Peri... peri... tolong kami.... Peri..."
Namun peri-peri sedang sibuk mengurusi raksasa langit yang dengan bengisnya menyemburkan api.
Perang tak bisa dihalaukan.
Riuh.
Bising.
Korbang berjatuhan.
Para kurcaci hutan bergelimpangan tewas di tanah.
Hewan-hewan mati mengenaskan.
Dan hujan tetap saja turun dengan derasnya.
Belum berakhir, tetiba datang dari pantai, ombak besar yang siap mengulum daratan!
Aku disana! Aku disana! Dan tak ada yang menolongku. Aku terjebak diantara peri-peri mati dan gunung meletus dan kini ada ombak yang siap untuk mengulumku hidup-hidup.
Bagaimana jika aku naik saja ke pohon?
Oh shit! Tidak ada pohon, sudah dikuasai golongan kerdil. Aku harus kemana lagi?
Aku mau terbang saja, tapi aku tidak punya sayap. Sial! Gelombangnya semakin tinggi.
Atau aku berenang saja?
Tapi aku tidak memakai baju renang. Bagaimana jika Neptunus melihatku berenang tapi tidak menggunakan baju renang yang mahal?
Atau biarlah aku membatu peri-peri itu bertarung.
Tapi aku tidak tau jurus mematikan yang bisa aku gunakan.
Aku jadi korban sajalah. Biar nanti aku tunggu Peterpan menyelamatkanku.
Tapi bagaimana jika dia tidak ada?
Oh tidaaaaak! Ombak semakin tinggi.
Aku akan tenggelam. Eh, aku kan bisa berenang, tapi tidak untuk ombak sebesar itu.
Kalau aku mati, siapa yang akan mencemaskanku?
Oke, aku akan mati.
Tidak! Aku belum siap mati konyol
Toloooong! Toloooooooong!
Pikiranku berisik sekali!
Sabtu, 04 April 2015
Perjalanan
Hidup memang gudangnya tebakan. Sejauh mana memandang, yang ada hanya duga-menduga dan sisanya hanya raba-meraba. Sepertinya memang sejak awal diciptakan, dunia tidak dirancang untuk kepastian, walau sekecil apapun itu. Tak heran jika para ilmuwan itu berkata bahwa yang paling abadi di dunia ini adalah ketidakabadian itu sendiri.
Jika memang begitu adanya, lantas untuk apa sibuk-sibuk memikirkan kepastian? Kalau kepastian itu sendiri adalah hal paling langka yang ada saat ini. Apa yang dicari oleh manusia sebetulnya? Kepastian? Atau perasaan aman?
Kemarin malam, berbicanglah saya dengan seorang teman lama yang masih sedemikian galau dengan mimpinya. Setiap kali kami mencoba membantunya membicarakan mimpi, pembicaraan kami akan terhenti pada ucapan “Yo… pokokmen BUMN”. Ketika ditanya apa alasannya, dia pun menjawab “Soalnya itu pasti mbel kerjaannya. Gajine po meneh”.
Hmmm… Apakah sedemikian abstraknya dunia ini, hingga segala macam hal kongkrit akan diburu habis oleh manusia? Jika memang begitu diburu, apakah masih tersisa hal bernama kepastian itu? Boleh saya pesan satu, jika masih ada?
Lalu saya yang penasaran, bertanya padanya, “Nek mapan, kabeh-kabeh jelas, kerjaan tetep. Kowe njuk arep ngopo?” (Kalau semuanya udah jelas, pekerjaan mapan, terus kamu mau ngapain). “Lah arep ngopo? Yowis to, enak” (Lah, emang mau ngapain lagi? Yasudah, enak kan) katanya menjawab.
Oh, begitu ya?
Pembicaraan ‘tetap dan tidak tetap’ ini ternyata tidak terhenti sampai disitu saja. Seorang teman baik yang sangat saya cintai, belum lama ini bergabung bersama dengan ribuan manusia yang siap mendedikasikan hidupnya untuk Negara. Entah apa motivasi dari ribuan manusia itu, yang jelasnya salah satu diantara mereka adalah teman baik saya. Ketika bertemu di Jakarta beberapa bulan yang lalu, saya penasaran bertanya apa rasanya menjadi Pegawai Negeri Sipil? Profesi yang diciptakan untuk para manusia yang pemuja kepastian (setidaknya itu alasan yang saya dengar dari beberapa orang. Beberapa loh ya, jangan marah loh).
“Yagitu deh Peh! PNS, tau kan?” begitu jawabannya. Rasanya saya ingin balik menjawab dengan ‘Oh.. ya jelas tau! Aku kan nanyanya cuma buat ngetawain’ tapi urung, saat melihat sorot matanya yang seakan berkata ‘Ipeh, please!’.
Kemudian kami pun berbincang banyak tentang kehidupan. Sebagai saksi hidup kehidupan PNS, ternyata teman saya merasa bahwa PNS bukanlah kehidupan yang seharusnya dia dapatkan. Bukan dalam konteks kufur nikmat, tapi dalam konteks kebebasan manusia. Rupa-rupanya menjadi aman, tetap, dan terstruktur itu membosankan baginya. Hmmm….
Begitu ya?
Jika harus memilih, saya tidak tau mana yang akan jadi jawaban bagi manusia. Menjadi tetap tapi tidak menjadi manusia. Atau tetap menjadi manusia tapi di jalan yang tidak tetap?
Sebetulnya apa sih yang salah dengan menjalani tidak tetap? Toh hidup ini juga tidak akan menjanjikan kapastian walapun kita berada di jalur pasti. Atau hidup tidak akan menjadi aman bahkan saat kita bermain aman. Jadi apa yang salah dengan mengikuti kata hati dan bermain di jalur tidak aman, dan memilih hidup yang tidak tetap?
Saya tidak berbicara dalam konteks pekerjaan. Tidak sama sekali (garis bawahi ya, tolong). Yang ingin saya bicarakan adalah tentang pilihan menjadi aman itu sendiri. Bukankah menjadi sangat sangat kontradiktif, saat hidup bahkan tidak akan pernah memberikan kepastian, tapi jutru kita mati-matian mencari kepastian, hanya supaya bisa merasa aman?
Like, seriously?
Coba beritahu saya, siapa yang mencoba mencari kepastian lalu mendapatkannya? Atau siapa yang berada di jalur aman dan lantas merasa aman?
Yang kita coba lakukan saat ini, esok, dan kemarin adalah mengantisipasi hidup. Manusia hanya mampu berada di titik itu, mengantisipasi.
Mengantisipasi agar kelak kita bisa membeli rumah, maka bekerjalah kita. Jika ternyata kita mendapat hadiah rumah dari undian di Mirota, artinya apa yang kita antisipasikan itu tidak terjadi kan? Atau kita mencoba mengantisipasi kehidupan tua kita kelak, dengan memilih pekerjaan bergaji besar, dengan harapan kita bisa menabung untuk masa tua. Eh… ternyata kita meninggal di usia muda atau kita menikah dengan seorang miyuner, atau ternyata kita anak Micheal Jackson yang hilang. Tuh kan, apa yang kita antisipasikan gagal juga kan? Atau nih, kita mencoba lulus cumlaude, ini dan itu, mengantisipasi supaya kita bisa mendapat pekerjaan mentereng. Lalu ternyata garis hidupnya adalah kita menikah atau justru malah membuka usaha warung.
Tidak ada yang salah dengan mengantisipasi, lah wong hanya itu yang bisa dilakukan. Dan memang kita harus membuat langkah antisipasi. Hanya saja, jangan harap itu akan membuat kita merasa aman atau mendapatkan kepastian. Karena satu-satunya hal yang dirahasiakan oleh hidup adalah kepastian.
Jikalau memang hidup tidak akan pernah memberikan kepastian, kita bisa hidup dengan berpetualang.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “Kau terpelajar, bersetialah pada kata hati”.
Itu susah. Iya saya tau.
Cheers!
Jika memang begitu adanya, lantas untuk apa sibuk-sibuk memikirkan kepastian? Kalau kepastian itu sendiri adalah hal paling langka yang ada saat ini. Apa yang dicari oleh manusia sebetulnya? Kepastian? Atau perasaan aman?
Kemarin malam, berbicanglah saya dengan seorang teman lama yang masih sedemikian galau dengan mimpinya. Setiap kali kami mencoba membantunya membicarakan mimpi, pembicaraan kami akan terhenti pada ucapan “Yo… pokokmen BUMN”. Ketika ditanya apa alasannya, dia pun menjawab “Soalnya itu pasti mbel kerjaannya. Gajine po meneh”.
Hmmm… Apakah sedemikian abstraknya dunia ini, hingga segala macam hal kongkrit akan diburu habis oleh manusia? Jika memang begitu diburu, apakah masih tersisa hal bernama kepastian itu? Boleh saya pesan satu, jika masih ada?
Lalu saya yang penasaran, bertanya padanya, “Nek mapan, kabeh-kabeh jelas, kerjaan tetep. Kowe njuk arep ngopo?” (Kalau semuanya udah jelas, pekerjaan mapan, terus kamu mau ngapain). “Lah arep ngopo? Yowis to, enak” (Lah, emang mau ngapain lagi? Yasudah, enak kan) katanya menjawab.
Oh, begitu ya?
Pembicaraan ‘tetap dan tidak tetap’ ini ternyata tidak terhenti sampai disitu saja. Seorang teman baik yang sangat saya cintai, belum lama ini bergabung bersama dengan ribuan manusia yang siap mendedikasikan hidupnya untuk Negara. Entah apa motivasi dari ribuan manusia itu, yang jelasnya salah satu diantara mereka adalah teman baik saya. Ketika bertemu di Jakarta beberapa bulan yang lalu, saya penasaran bertanya apa rasanya menjadi Pegawai Negeri Sipil? Profesi yang diciptakan untuk para manusia yang pemuja kepastian (setidaknya itu alasan yang saya dengar dari beberapa orang. Beberapa loh ya, jangan marah loh).
“Yagitu deh Peh! PNS, tau kan?” begitu jawabannya. Rasanya saya ingin balik menjawab dengan ‘Oh.. ya jelas tau! Aku kan nanyanya cuma buat ngetawain’ tapi urung, saat melihat sorot matanya yang seakan berkata ‘Ipeh, please!’.
Kemudian kami pun berbincang banyak tentang kehidupan. Sebagai saksi hidup kehidupan PNS, ternyata teman saya merasa bahwa PNS bukanlah kehidupan yang seharusnya dia dapatkan. Bukan dalam konteks kufur nikmat, tapi dalam konteks kebebasan manusia. Rupa-rupanya menjadi aman, tetap, dan terstruktur itu membosankan baginya. Hmmm….
Begitu ya?
Jika harus memilih, saya tidak tau mana yang akan jadi jawaban bagi manusia. Menjadi tetap tapi tidak menjadi manusia. Atau tetap menjadi manusia tapi di jalan yang tidak tetap?
Sebetulnya apa sih yang salah dengan menjalani tidak tetap? Toh hidup ini juga tidak akan menjanjikan kapastian walapun kita berada di jalur pasti. Atau hidup tidak akan menjadi aman bahkan saat kita bermain aman. Jadi apa yang salah dengan mengikuti kata hati dan bermain di jalur tidak aman, dan memilih hidup yang tidak tetap?
Saya tidak berbicara dalam konteks pekerjaan. Tidak sama sekali (garis bawahi ya, tolong). Yang ingin saya bicarakan adalah tentang pilihan menjadi aman itu sendiri. Bukankah menjadi sangat sangat kontradiktif, saat hidup bahkan tidak akan pernah memberikan kepastian, tapi jutru kita mati-matian mencari kepastian, hanya supaya bisa merasa aman?
Like, seriously?
Coba beritahu saya, siapa yang mencoba mencari kepastian lalu mendapatkannya? Atau siapa yang berada di jalur aman dan lantas merasa aman?
Yang kita coba lakukan saat ini, esok, dan kemarin adalah mengantisipasi hidup. Manusia hanya mampu berada di titik itu, mengantisipasi.
Mengantisipasi agar kelak kita bisa membeli rumah, maka bekerjalah kita. Jika ternyata kita mendapat hadiah rumah dari undian di Mirota, artinya apa yang kita antisipasikan itu tidak terjadi kan? Atau kita mencoba mengantisipasi kehidupan tua kita kelak, dengan memilih pekerjaan bergaji besar, dengan harapan kita bisa menabung untuk masa tua. Eh… ternyata kita meninggal di usia muda atau kita menikah dengan seorang miyuner, atau ternyata kita anak Micheal Jackson yang hilang. Tuh kan, apa yang kita antisipasikan gagal juga kan? Atau nih, kita mencoba lulus cumlaude, ini dan itu, mengantisipasi supaya kita bisa mendapat pekerjaan mentereng. Lalu ternyata garis hidupnya adalah kita menikah atau justru malah membuka usaha warung.
Tidak ada yang salah dengan mengantisipasi, lah wong hanya itu yang bisa dilakukan. Dan memang kita harus membuat langkah antisipasi. Hanya saja, jangan harap itu akan membuat kita merasa aman atau mendapatkan kepastian. Karena satu-satunya hal yang dirahasiakan oleh hidup adalah kepastian.
Jikalau memang hidup tidak akan pernah memberikan kepastian, kita bisa hidup dengan berpetualang.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “Kau terpelajar, bersetialah pada kata hati”.
Itu susah. Iya saya tau.
Cheers!
Langganan:
Postingan (Atom)