“You hope for the best and you stick with it, day in and day out. Even if you are tired, even if you want to walk away. You don’t!
Because you are a pioneer. But nobody ever said it wold be easy”
(Grey Anatomy - Season 10 Eps 11)
Di pertengahan tahun ini, di sebuah senja yang cukup random, tanpa sengaja saya bertemu seorang teman lama, Fian, yang sedang ambil S2 komunikasi di UGM. Dari semua hal yang kami bicarakan, ada satu ucapannya yang paling membekas, “Tau engga sih Peh, lebih sedih kalo kita lagi bahagia tapi kita engga bisa ngerayain sama siapa-siapa, dibanding kalau kita lagi sedih dan ditinggal sendiri”.
Saya mengangguk diam, dan tak lama kami mengahiri obrolan panjang itu tepat disaat langit senja Jogja sedang sendu-sendunya.
Setelah pertemuan itu, beberapa kali ucapannya muncul tanpa sebab di kepala saya, entah kenapa. Dan butuh waktu yang cukup lama, untuk akhirnya saya bisa memahami arti dari ucapan sepintas lalu itu.
Terimakasih kepada Mbak Affi Asegaff, vlogger yang juga CEO Dailybeauty.com yang memberikan sedikit pencerahan. Mbak Affi Asegaf adalah vlogger yang selalu bicara tentang perwatan kulit dan memberikan tips serta review produk skincare yang bagus (dan seringnya mahal). Dalam salah satu videonya, dia pernah berkata, “Jadi, yang paling penting dalam merawat kulit adalah rutin! Saya sih engga percaya ya, kalau ada skincare yang berani kasih perubahan dalam beberapa hari aja. Efek vitamin C aja, baru bisa bikin perubahan dalam waktu minimal 21 hari setelah pemakaian rutin setiap hari. Jadi, percuma aja kalau skincarenya mahal tapi makenya engga rutin, engga akan bikin dampak apa-apa buat kulit kamu”, katanya dengan manis.
Terimakasih juga pada Kenneth Biller, sutradara Genius. yang juga membantu saya untuk paham. Melalui drama series Genius, saya mendapat pemahaman secara gamblang tentang bagaimana Albert Einstein, tidak hanya konsisten dalam membuktikan teori relativitasnya, tapi juga setia dalam menjaga identitasnya sebagai ilmuwan, bukan politisi.
Jadi ternyata, ini semua adalah tentang konsistensi.
Tentang konsistensi dan betapa manusia sering kalah di dalam pergulatannya. Mencoba lari, memulai dari awal, menggebu di awal, kelelahan di tengah-tengah, belum sampai pada titik akhir tapi sudah lari, dan mencoba hal lain dari awal. Hingga seterusnya, hingga seterusnya…. Hingga akhirnya dia menyadari bahwa selain waktunya terbuang, dia seakan mengaklmasi ketidaksabaran akan dirinya sendiri.
Jika ternyata kita berada pada jalan yang kita sendiri tidak merasa nyaman menjalaninya, tentu saja kondisinya menjadi berbeda. Karena jika demikian, tentu saja jalan terbaik adalah putar balik dan mencari jalan lain. Tapi jika kita berbicara tentang nilai-nilai yang kita perjuangkan, atau mimpi-mimpi yang kita percaya, maka konsisten adalah satu-satunya cara. Karena bagaimana mungkin kita bisa sampai pada titik yang ingin kita tuju, jika terlalu sering mampir atau putar arah?
Teman saya yang kini sedang menggeluti dunia seni peran pernah berkata, “Pantes aja ya Reza Rahardian itu jago banget. Dia belajar ekspresi wajah aja tahunan. Engga kayak artis kabiran yang cuma dateng workshop trus acting”.
Atau teman saya yang pernah ketemu Nicholas Saputra, dia berkata, “Si Nico itu sampe bilang gini, ‘Kamu jadilah professional dalam apapun itu. Model, kalau dia professional bayarannya ratusan juta’”
Apa yang Fian bicarakan di sebuah senja itu, mengingtkan saya akan kegelisahan Emma Stone dan Ryan Gosling di akhir film LALA LAND. Kegelisahan bahwa mereka pernah menemani satu sama lain di saat-saat tersulit saat menjalani mimpi masing-masing, tapi justru tidak bisa merayakan keberhasilan itu bersama-sama pada akhirnya. Begitulah harga dari sebuah pilihan.
Sekarang saya paham kenapa manusia membutuhkan orang lain, justru disaat dia senang, bahagia, atau ingin merayakan kegembiraan. Mungkin itu diartikan sebagai ucapan terimakasih untuk mereka yang setia menemani dalam proses menuju momen bahagia. Sebagai pengakuan bahwa mereka berjasa. Mungkin karena mereka turut menemani saat kita saat sedang terpuruk. Mungkin juga mereka pernah berkata, “Hei, jangan menyerah!”. Bisa juga karena mereka membuat kita kembali percaya, bahwa kita harus bertahan satu hari lagi untuk hal-hal yang ingin kita tuju. Atau mungkin karena kita akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan kita, sedikit banyak mengorbankan kebahagian mereka. Entah mana yang paling mendekekati.
Tapi sepertinya memang, kebahagiaan yang tidak bisa dirayakan memang lebih menyedihkan dibanding kesedihan itu sendiri.
Tapi sepertinya memang, kebahagiaan yang tidak bisa dirayakan memang lebih menyedihkan dibanding kesedihan itu sendiri.
Dan tentu saja, konsistensi dibutuhkan dalam mencintai, apapun, siapapun.