Dalam sebuah makan malam bersama seorang teman baik, dia menceritakan pada saya sebuah kisah, bahwa pada suatu malam, seorang wanita kenalanya menelfonnya tersedu-sedu. Karena bingung harus menjawab apa, si teman saya itu hanya mampu menjadi pendengar yang baik saat si wanita itu berbicara dengan susah payah sambil menangis. "Yang aku inget cuma dia bilang, 'ini itu engga ada harapan... aku tau ini engga ada harapan'", Kata teman saya menirukan si wanita. Teman saya itu lalu menceritakan pada saya sedikit kisah si wanita itu, bahwa si perempuan itu jatuh cinta pada seorang lelaki yang telah memiliki istri. "Dia itu ya dari awalnya udah sadar kalau engga ada harapan, tapi ya... engga tau juga kenapa masih aja dilanjutin", Kata teman saya antara tidak mengerti tapi kashian.
Saya mengangguk.
Beberapa malam yang lalu, saya bertemu dengan teman baik lainnya, Fian, kali itu dia bercerita soal novel hantu Belanda yang telah selesai dia baca. Di novel itu, si hantu itu bercerita pada si penulis mengapa dia masih belum mau pulang ke haribaan ruh. Usut punya usut, ternyata sebelum dia meninggal, orang tua angkatnya berjanji akan kembali datang untuk membawakannya dokter terbaik dari Belanda. Si anak yang kesakitan karena menderita kanker, percaya bahwa hal itu akan terjadi. Diapun menunggu dan menunggu hingga akhirnya meninggal dunia. "Dia masih berharap sampai sekarang orang tuanya bakal dateng beneran, bawain dia dokter, makanya dia masih gentayangan"
Saya mengangguk.
Sejak kecil hingga dewasa, kita selalu diajarkan untuk berjuang dan berusaha. Kita seakan diberitahu bahwa hidup adalah perjuangan dan bahan bakarnya adalah harapan. Maka selama masih ada harapan, maka hidup akan terus berjalan, dan perjuangan belum selesai. Itu bukan hal yang salah, tapi kurang lengkap, karena manusia juga perlu belajar bagaimana caranya menyerah.
Baru kali ini selama saya hidup, saya mempelajari benda abstrak bernama harapan, yang digadang-gadang sebagai kekuatan utama manusia. Awalnya sederhana, pertanyaan saya tentang move on yang tidak kunjung bisa saya jawab dan putuskan.
Dulu teman saya pernah berkata bahwa move on adalah perkara 'mau atau tidak', bukan 'bisa atau tidak'. Tapi rasa-rasanya, move on bukanlah sebuah kesanggupan atau keinginan, melainkan sebuah keberanian. Karena dia yang harus menghadapi dirinya sendiri, dan menikam mati harapannnya. Itu move on. Bisakah?
Saat heboh #10yearschallenge, saya tertegun melihat sebuah ilustrasi yang memperlihatkan bahwa selama 10 tahun berjalan, setiap hari kamis, seorang wanita tegap berdiri menggunakan baju warna hitam, membawa payung dan menuntut keadilan atas sanak saudaranya yang hilang. Dia adalah segelintir yang masih melakuan aksi #kamisan. Ini sedikit mengingatkan saya pada Amba, sosok fiktif di Novel Amba yang juga menunggu kekasih hatinya pulang saat pengakapan komunis tahun 65, hingga pada saat ia meninggal dunia pun, wasiatnya kepada anaknya adalah mencari si kekasih hatinya.
Beranikah kita, lantas berkata pada wanita yang tegap berdiri setiap hari kamis, atau kepada Amba, sebuah kalimat klise berbunyi, 'Sudahlah.... move on!'. Pada titik ini, tidakkah kita harus mengakui bahwa perkara move on bukan tentang hal-hal fisik. Ini tentang harapan. Ini tentang bahan baku manusia yang tidak dengan mudah bisa dimatikan.
Saya memiliki keyakinan bahwa Istri Almarhum Munir tidak lagi bersedih akan kematian suaminya, atau mereka yang berdiri tiap hari kamispun tidak lagi berharap sanak sudaranya masih hidup. Mereka semua sudah dipaksa sanggup menerima kenyataan bahwa secara fisik, mereka telah tiada. Bukan kesedihan merongrong macam itu yang mereka hadapi sekarang. Jadi kalau move on memiliki tingkatan, mereka telah lulus pada tingkatan pertama, tingkatan fisik. Tapi jika mereka dipaksa untuk membunuh harapan mereka yang hanya tinggal satu-satunya, dipaksa untuk move on pada tingkatan ini, saya yakin mereka lebih memilih untuk mati saja.
Mungkin jika kita bisa mendampingi seseorang yang berharga dalam hidup kita menghadapi kematian, mulai dari menghembuskan nafas terakhir hingga masuk ke liang lahat, kita bisa menerima satu paket kehilangan, dan move on dengan suka cita. Atau ketika kalung berharga seharga milyaran milik kita jatuh dari ketinggian 1000 M dan hancur berkeping-keping. Maka sudah ya sudah, wong sudah hancur. Tapi bagaimana jika kita dipaksa untuk bertahan hidup dengan mengenggam harapan bahwa mungkin suatu hari, mereka atau sesuatu itu akan kembali? Mereka harus berhadapan dengan ketidakmungkinan yang dibungkus dengan harapan.
Memangnya apa lagi sih yang diharapkan? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan. Jawabannya tentu saja beragam. Mungkin bagi mereka yang memiliki kasus pada masa orde baru, harapannya terletak pada pengusutan keadilan. Mungkin bagi mereka yang tidak mungkin lagi menjadi seorang atlet karena satu dan lain hal, berharap anak keturunannya bisa mendapat medali emas. Mungkin bagi mereka yang tidak bisa melihat jasad orang yang mereka sayangi meninggal saat kecelakaan pesawat, berharap mendapat informari paling akurat tentang penyebabnya. Dengan beragam macam jenis harapan itu, mereka berharap bisa menentukan langkah selanjutnya, apakah terus berjalan atau berhenti berusaha. Dan bagi kita yang tidak berada dalam posisi itu, tugas kita hanya satu: meng-har-ga-i. Karena harapan adalah harapan.
Pernah ada yang mengatakan pada saya, bahwa harapan jangan pernah digantungkan kepada manusia, tapi pada Tuhan. Justru itulah poin pembicaraan ini, justru karena saking tingginya harapan mereka, mereka tidak lagi berharap pada manusia melainkan langsung menghubungi Yang Maha Kuasa. Inilah yang menjadikan sebuah harapan mempunyai kedudukan yang sulit untuk dihapus, karena bagaimana bisa manusia menghapus nama besar Tuhan sebagai sandaran semua harapan?
Jadi mungkinkah, untuk hal seabastrak harapan, juga harus kita kembalikan padaNya? Lalu apa yang tersisa dari manusia, jika harapan saja harus dikembalikan?
Jadi mungkinkah, untuk hal seabastrak harapan, juga harus kita kembalikan padaNya? Lalu apa yang tersisa dari manusia, jika harapan saja harus dikembalikan?
Di malam saya bertemu dengan Fian, dia bekata, 'Tapi semua harapanku tuh Peh, dikabulin. Cuma yaaa.. waktu sama kondisinya aja yang beda. Dulu pas S1, aku mau banget masuk UGM. Aku engga keterima, keterimanya di UPN. Ya udah, aku engga lagi berharap. Aku matiin harapanku. Tapi pas aku S2, semunya serba mudah, dan aku masuk UGM. Kayak... harapanku dikembaliin, dan aku diingetin lagi"
Perkataan Fian membuat saya menyadari bahwa harapan pun ternyata, adalah sebuah bentuk permainan antara kita dan Dia. Bisa jadi, saat harapan itu diminta kembali oleh pemiliknya, itu adalah titik awal harapan baru akan muncul di hidup kita. Bisa jadi, saat kita dengan lapang menyerahkan harapan kita padaNya, maka dia akan mengembalikan dengan jawaban yang kita tunggu, di waktu yang tepat. Bisa jadi, kita diminta menggenggam harapan itu, dan Dia sendiri yang memberi paket lengkap berupa kekuatan dan jalan keluar. Bisa jadi, harapan itu merupakan pertanyaan atas kesanggupan kita bertahan. Bisa jadi, saat harapan itu berdebu, maka Dia sendiri yang akan membersihkan. Bisa jadi, harapan itu kembali dengan wujud yang berbeda.
Lalu haruskah kita move on? Bisakah harapan itu mati, dimatikan?
Saya memilih untuk menjawab tidak bisa. Karena harapan adalah udara yang tidak bisa dibunuh. Harapan adalah bahan bakar manusia. Maka hal terbaik yang harus manusia lakukan dengan harapannya, selain berusaha adalah, menunggu dengan pasrah.
Pada akhirnya, harapan hanya milik mereka yang percaya, yang dengan kelapangan hatinya, bersedia untuk ikhlas menunggu, hingga waktu dan jawaban itu akhirnya tiba. Juga milik mereka yang berjiwa besar untuk menerima, saat harapan itu akhirnya tidak hadir dalam bentuk keterkabulan seperti yang dia harapkan.
Mungkin bersyukur menjadi kata yang tepat, karena harapan tidak akan pernah hadir pada mereka yang dengan mudah berputus asa. Dengan memahami bahwa harapan adalah pemberian dariNya agar kita, walau berat, tetap merengek, dan tetap bergantung padaNya, kita dipaksa untuk memahami bahwa ketika kita bicara soal harapan, kita tidak bicara soal berapa lamanya seseorang menunggu atau bertahan, tapi seberapa kuat dia percaya.
Hanya butuh waktu untuk memahami. Dan untuk itulah, manusia harus belajar bagaimana caranya berpasrah. Tapi berikan keyakinan, bertahanlah untuk yakin, bahwa semua harapan pasti memiliki jawaban.
Mungkin bersyukur menjadi kata yang tepat, karena harapan tidak akan pernah hadir pada mereka yang dengan mudah berputus asa. Dengan memahami bahwa harapan adalah pemberian dariNya agar kita, walau berat, tetap merengek, dan tetap bergantung padaNya, kita dipaksa untuk memahami bahwa ketika kita bicara soal harapan, kita tidak bicara soal berapa lamanya seseorang menunggu atau bertahan, tapi seberapa kuat dia percaya.
Hanya butuh waktu untuk memahami. Dan untuk itulah, manusia harus belajar bagaimana caranya berpasrah. Tapi berikan keyakinan, bertahanlah untuk yakin, bahwa semua harapan pasti memiliki jawaban.