Waktu sedang pergi ke salah satu swalayan, saya melihat sebuah pemandangan yang cukup lumrah terjadi, yaitu ada seorang anak yang tantrum lengkap dengan satu paket teriakan, tangisan, dan rengekannya. Saya yang kebetulan berada dalam satu lorong yang sama dan juga sedang mencari beberapa makanan ringan, cuma bisa menatap iba ke arah ibunya yang sepertinya juga bingung harus melakukan apa. Anak itu sepertinya mau membeli makanan ringan, entah coklat atau entah apa tapi dilarang oleh ibunya. Dan larangan itu berbuah cukup fatal karena akhirnya semua orang melihat ke arah mereka dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Si ibu akhirnya menyerah ketika teriakan si anak semakin kencang, sambil menaikan nada bicaranya dia akhirnya mau membelikan keinginan si anak, “Iya udah, mama beliin tapi diem. Oke, mama beliin. Diem sekarang….!”. Entah apa lagi yang terjadi setelah itu karena saya sudah kabur ke tempat lain. Saya sendiri memang kurang nyaman kalau harus mendengar anak kecil yang menangis terlampau keras.
Serupa, hanya berbeda kasus dengan si anak di swalayan itu, saya punya seorang teman yang kalau dipikir-pikir sering sekali tantrum. Bedanya ya tentu saja si teman saya ini tidak tantrum dengan duduk di lantai dan teriak-teriak sambil menangis, tapi ya esensinya sama, ngambek karena keinginannya tidak dituruti. Waktu itu kami pernah janjian di salah satu kefe kesukaanya karena katanya ada menu dessert yang musti saya coba. Tapi naasnya, kebetulan si dessert itu sedang tidak dibuat. Maka alih-alih menerima fakta itu dengan mengganti menu lain dan menjelaskan kondisinya pada saya, dia terlebih dahulu malah menceramahi si petugas kasir dan penjaga tokonya dengan berkata bahwa seharusnya, pihak toko memberikan informasi mengenai menu yang tidak tersedia di media sosial mereka. Agak malu saya melihat itu, dan akhirnya saya menarik tangannya sambil berkata, “Halah, engga apa-apa, kita kan bisa ke sini lagi lain waktu. Sans aja cin…..”.
Saya sendiri akhirnya berkesimpulan bahwa tantrum memang bisa terjadi pada siapa saja. Tidak peduli berapa usianya atau bahkan apa latar pendidikanya, jika manusia sudah berkeinginan terhadap sesuatu dan ternyata tidak bisa dia dapatkan, mau sudah tua atau masih muda, usia TK atau lulus S3, semua bisa meledak.
Tapi apakah harus, setiap kali kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita mau, lantas kita menjadi tantrum?
Kembali pada anak-anak, saat lebaran tahun ini, saya dan beberapa sepupu pergi berlibur ke pantai. Dalam satu mobil itu, ada sepasang om dan tante saya yang masih memiliki anak usia 3 tahunan. Sepupu saya yang berusia 3 tahunan itu sebenarnya cukup manis dan kooperatif sepanjang perjalanan, namun ya… yang namanya anak balita, ada saja ulahnya. Si anak ini diminta untuk tidur oleh ibunya karena khawatir kecapekan, tapi si anak ini menolak karena masih mau main dengan kami semua, dan tantrumlah dia. Saat tantrum, dia refleks memukul ibunya dengan kencang, dan ibunya menegurnya dengan cukup tegas. Kaget ditegur ibunya, si anak menangis semakin kencang.
Tante saya, si ibu anak ini iba karena anaknya tidak berhenti menangis. Tapi di satu sisi, tante saya mau anaknya ini meminta maaf karena telah memukulnya. Maka mulailah pembujukan itu terjadi.
“Adli, mama minta Adli minta maaf sama mama, kan sakit dipukul. Lagian Adli harus nurut sama mama. Adli harus bobo, katanya mau main di Pantai”, kata ibunya menegur.
Si anak tetap konsisten menangis dan menolak, “Engga mau….”
“Ya udah, kalau engga mau, Adli engga usah main di Pantai”
Si anak semakin menangis, “Kok mama gitu sih…. Adli mau main di Pantai”
“Ya kalau mau main di Pantai, Adli isitarahat sekarang, dan Adli minta maaf karena udah mukul mama…” katanya lembut
“Engga….” katanya dengan nada keras
“Adli engga mau minta maaf? Engga mau istirahat juga?”
“Engga mau…. ”
“Oh yaudah, Adli engga main di Pantai ya…”
“ENGAAAAAAAAAAA…. MAMA JAHAAAATTT, AADLIIII… MMMAAAUU… MAAIIIIIN, ENGAAA MAU BOBOOOO!!”
“Adli, nanti Adli kecapekan. Udah bobo sekarang sama mama, dan minta maaf sama mama juga, ‘mama, Adli salah mukul mama, Adli minta maaf ya ma…’”, sambil tetap menasehati dan mencontohkan. Hingga 10 menit kedepan, si ibu masih sabar membujuk anaknya untuk minta maaf dan agar mau tidur, hingga kami satu mobil lelah dan kegelian sendiri mendengarnya.
Tapi apa yang dilakukan oleh tante saya itu adalah hal yang tepat, karena tante saya sedang melatih anaknya satu pelajaran penting yang akan dia pakai dalam kehidupannya kelak, yaitu bagaimana caranya bernegosiasi.
Siapapun dari kita pasti memiliki keinginan, kondisi yang kita anggap ideal, atau hal-hal yang akan membuat kita bahagia jika kita bisa memiliknya. Dan juga bukan hal yang terlarang untuk merasakan itu semua. Tapi sebenarnya, di usia yang masih belia pun, kita sudah belajar bahwa realitas seringkali berada pada sisi sebaliknya. Kita sebenarnya sudah tahu dari kecil, bahwa tidak semua yang kita mau, akan selalu kita dapatkan. Menyebalkan memang, tapi itu faktanya.
Jika kita masih balita, saat kita merengek meminta sesuatu dan tidak diberi, kita bisa menambah volume rengekan kita, serta mendramatisir aksi dengan menghentak-hentak kaki atau bergulingan di lantai, atau bahkan menarik-narik baju orang tua atau orang dewasa di sekililing kita, hingga robek kalau perlu. Seakan kita ingin berkata bahwa, mereka bertanggung jawab atas kekecewaan kita terhadap sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan. Semakin kencang teriakan, maka semakin baik pikir kita, karena kemungkinan besar, mereka akan menyerah dan memberikan pada kita apa yang kita mau.
Pun akhirnya kita mendapatkan apa yang kita mau, sebenarnya kita telah memaksa agar keinginan tersebut dapat terwujud dengan cara yang menyebalkan. Coba saya tanya, siapalah yang kuat dan senang hati melihat anak kecil ngamuk di tempat umum sambil teriak-teriak dan susah dikendalikan begitu? Lalu apa solusinya agar dia diam? Ya sudah turuti saja, daripada semakin menjadi, ya kan? Tapi apakah si anak mengerti bahwa sebenarnya, tidak semua keinginan itu baik untuk dia?
Apakah kita juga akan tantrum seperti anak-anak, saat sebenarnya tidak terwujudnya keinginan kita itu, adalah karena alasan yang baik?
Untuk itulah negosiasi perlu dilakukan untuk menjembatani antara keinginan-keinginan kita dengan realitas yang harus kita hadapi. Saat kekecawaan datang di saat kita telah menjadi manusia dewasa, kita akan memainkan peran ganda, yaitu sebagai anak kecil yang tantrum sekaligus orang tua yang harus mengkontrol anaknya. Tujuannya sederhana, agar kita bisa lebih tenang bersikap jika ada sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan saat itu.
Dalam hidup saya, tidak terhitung berapa banyak hal-hal yang tidak saya dapatkan. Kalau bisa diibaratkan sebagai petinju, hati saya sudah babak belur karena jatuh berkali-kali dari keinginan-keinginan yang tidak terwujud. Tidak terhitung juga berapa banyaknya saya tantrum. Mengunci diri dari kehidupan sosial, kecewa pada entah siapa, dan hingga harus memandang rendah diri sendiri. Hingga di satu titik, saya tersadar bahwa tantrum tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi negosiasi justru akan mengantarkan saya pada satu titik baru dalam hidup.
Salah satu negosiasi terbesar saya hingga saat ini adalah saat saya merelakan keinginan saya di awal lulus kuliah untuk dapat bekerja di dunia iklan, sesederhana karena setelah saya mencicipinya, dan ternyata itu bukan hal yang ingin saya jalani. Berat rasanya melepaskan semua hal yang sudah saya raih dan pelajari dan harus berbelok arah yang tidak tahu kemana. Tapi kepasrahan saya bernegosiasi dengan kondisi, justru megantarkan saya di satu kehidupan yang malah lebih tepat untuk saya.
Oh dan saya ingat betul keputusan saya beberapa tahun yang lalu untuk akhirnya resign dari radio tempat saya bekerja. Galau bukan kepayang rasanya. Saat itu saya takut kalau-kalau saya tidak akan menemukan tempat bekerja semenyenangkan di radio. Dan nyatanya, hingga saat ini, ya memang tidak ada tempat semenyenangkan itu he..he…he…. Tapi sekali lagi, negosiasi yang berani saya lakukan saat itu, justru membuat saya merasakan keseruan dengan jenis yang berbeda.
Atau saat garis hidup mempertemukan saya dengan beragam tipe manusia, dan saya harus mengalami berkali-kali sakit hati, saat itulah saya harus bernegosiasi dengan kondisi. Saya misalnya yang harus terdepak dari kelompok pertemanan, karena kami tidak lagi memiliki pandangan yang sama, saya yang berkali-kali menemukan teman bekerja yang klop tapi akhirnya harus merenggang karena faktor ini dan itu, bahkan saya harus bersedia bernegosisasi tentang lelaki seperti apa yang akan saya nikahi kelak.
Keberanian kita melakukan negosiasi pada realita hidup yang harus dihadapi, sebenarnya menjadi cara terbaik untuk mengatur kembali keinginan-keinginan agar lebih sesuai untuk kita. Terlebih dengan kita yang secara konsisten akan menemukan hal-hal menyenangkan dan menginginkan banyak harapan, kita sering kali harus diingatkan bahwa hidup akan selalu berputar dan kondisi akan selalu berubah. Maka dari itu, lihailah bernegosiasi.
Kita akan kecewa dengan banyak keinginan yang tidak terwujud hingga memaksa kita mengelus dada, menarik nafas, dan tantrum. Saat itu terjadi, jangan dilawan. Kita boleh tantrum, silahkan saja tantrum selama tidak didepan umum, tapi jangan lupa bahwa sebagai manusia dewasa kita bisa memainkan peran lain dalam diri kita untuk bernegosiasi dengan segala macam kondisi. Semakin handal kita bernegosiasi, semakin mudah kita menghadapi tantrum.
Semoga kita tidak menjadi seperti bocah kecil, meraung-raung keras hanya untuk keinginan-keiniginan yang sebetulnya, akan berdampak buruk untuk hidup kita.
Semoga kita tidak menjadi seperti bocah kecil, meraung-raung keras hanya untuk keinginan-keiniginan yang sebetulnya, akan berdampak buruk untuk hidup kita.
Ya kan, menggemaskan sekaligus menyebalkan?