Di tahun 2020, beberapa bulan sebelum Covid-19 menyerang Indonesia, om saya, adek bungsu mama, meninggal dunia di usia 40an. Almarhum meninggal tanpa ada penyakit bawaan apapun, kematian dadakan kalau kata orang. Begini cerita singkatnya, almarhum baru pulang ke rumah saat lewat tengah malam setelah menjadi pengisi acara di salah satu acara di Bandung (Beliau drummer band indie). Paginya, beliau mengantar anak-anaknya sekolah, dan setelah pulang mengantar, beliau berkeringat di bagian dada, dan… ya… tidak lama setelah itu, beliau meninggal dunia. Diagnosa dokter adalah om saya itu terkena serangan jantung. Kepergiannya yang mendadak membuat semua keluarga kaget, tidak terkecuali saya. Saya yang kebetulan waktu itu sedang tugas lapangan di wilayah Jawa Barat, langsung ijin sorenya dan pergi ke rumah duka di Bandung.
Ada satu hal yang saya ingat
ketika kejadian itu. Ketika subuh, H+1 setelah om saya dikebumikan, saya terbangun
karena mendengar lolongan panjang dari kamar depan. Rupanya, itu adalah suara tante
saya, istri dari almarhum. Lolongan dan ratapan panjang yang membuat saya
bingung harus merespon apa. Tante saya yang lain akhirnya ikut terbangun dan
menenangkan istri almarhum. Sementara saya, di pagi-pagi buta itu, hanya bisa
bengong, tidak punya ide harus melakukan apa. Pedih sekali hati saya kalau
ingat suasana subuh itu, rasanya seperti menyaksikan ada orang yang kesakitan
karena terluka parah, tapi lukanya tidak kelihatan. Mau diobati, tapi bagaimana
caranya?
Kepergian om yang mendadak itu
membuat semua keluarga terguncang, terutama bagi nenek saya. Bahkan hingga di
hari pertama puasa tahun ini, saat saya menginap untuk menemaninya di awal-awal
puasa, nenek saya menangis tersedu sepanjang siang, sambil melihat foto
almarhum. Berkali-kali nenek bergumam, “Akang udah engga ada… Akang udah
engga ada…. Gimana ini?” Dan lagi, saya kembali tidak tahu harus melakukan
apa. Hal terbaik yang akhirnya saya lakukan adalah menepuk tanggannya lembut
tanpa berani mengatakan apapun.
Sebagai ponakan, saya pribadi
tidak begitu dekat dengan almarhum om saya itu. Saya lebih dekat dengan saudara
mama yang lain, tanta-tante yang lain, tapi tidak dengan beliau. Saya sedih
tentu saja beliau meninggal di usia muda, tapi tidak sampai membuat saya
mengeluarkan lolongan panjang penuh ratapan, ataupun kerinduan mendalam saat
bulan Ramadhan. Bagi saya, om sudah meninggal, dan ya sudah. Kepergiannya,
jujur saja, tidak begitu berpengaruh dalam hidup saya.
Kepergian om saya itu
mengingatkan saya pada banyak episode dalam series favorit sepanjang jaman,
Grey’s Anatomy. Banyak sekali episode-episode yang membuat saya menangis bombay
karena kehilangan yang dinarasikan terlalu dalam, hingga membuat saya bertanya,
sebegitunyakah rasanya kehilangan? Semenderita itukah?
Waktu SMA, ada satu cerita yang
cukup “populer” karena selalu diceritakan oleh alumni-alumni. Yaitu, ada satu
siswa yang sangat pintar namun suatu hari dia ditemukan bunuh diri di kamarnya,
karena tidak lolos beasiswa ke luar negeri saat dia terpilih mewakili provinsi
untuk pertukaran pelajar. Kata para-alumni, semua orang kaget waktu mendengar
kabar itu, karena siswi ini selain terkenal pintar, dia juga pribadi yang baik dan
supel. Orang-orang tidak habis pikir membayangkan bahwa kegagalan dia pergi ke
luar negeri, sanggup mendorong dia untuk bunuh diri. Pun saya juga akhirnya ikut
bertanya, harus sampai seperti itu kah, jika seseorang mengalami kehilangan?
Dulu, saya selalu
berkeyakinan bahwa seluruh kehilangan pasti ada gantinya, dan seharusnya
kehilangan tidak perlu direspon berlebihan. Saya misalnya, sebagai manusia,
saya kehilangan banyak hal dalam hidup saya. Contohnya, dalam 3-4 tahun terakhir,
saya kehilangan kesempatan untuk sekolah S2 karena tidak lolos satupun
beasiswa. Sedih sih rasanya, tapi saya beranggapan, selama saya tidak berhenti
mencoba, suatu hari nanti kesempatan itu pasti akan datang pada saya. Jadi saya
tidak berpikiran untuk bunuh diri, walau sangat depresi waktu itu. Bahkan
ketika saya kehilangan orang-orang terdekat dalam hidup saya, seperti kakek
meninggal, patah hati, atau temen-teman yang tadinya dekat lalu renggang, saya
merasa tidak segitu nelangsanya merespon kehilangan. Saya sedih sih, nangis
juga kok, tapi tidak segitunya.
Ya tapi itu dulu, sebelum saya tiba di satu titik, saat hidup mengenalkan saya pada arti baru kehilangan.
Semua pengalaman saya tentang
kehilangan menjadi tidak relevan saat berpisah dengan lelaki ini. Semua
pengertian yang terbangun dalam pikiran saya soal kehilangan dan bagaimana saya
harus meresponnya, seketika nihil di satu hari ketika saya merasa kehilangan
lelaki ini. Saya ingat sore di tahun 2015, untuk pertama kalinya, saya
mengeluarkan lolongan panjang yang bahkan tidak berhenti hingga berbulan-bulan
lamanya. Saya pun bergumam tidak jelas menyebutkan betapa sakitnya hati saya,
hingga beberapa tahun setelahnya. Semua hal yang saya ketahui soal kehilangan,
rasanya menguap entah kemana, detik ketika saya kehilangan lelaki ini. Kalau
mati itu mudah, kehilangan ini sudah menjadi penyebabnya.
Oh, begini rasanya…
Rupa-rupanya, ada jenis
kehilangan yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, yang tidak pernah sekalipun
kita persiapkan, dan tidak pernah terbayang akan terjadi. Ada jenis kehilangan,
di mana kita akan terbangun di tengah malam, memegang dada, dan melolong
panjang putus asa berharap kesedihan hati kita bisa hilang. Ada jenis kehilangan,
yang membuat dunia kita jatuh berhamburan dan membawa serta diri kita. Jenis
kehilangan ini bahkan membuat saya tidak merasa perlu mencari penggantinya,
karena sekali hal itu hilang, setelahnya hanya akan menjadi negosiasi yang coba
dilakukan agar menjadi utuh kembali. Dan tidak peduli mau seberapa lama
sejak kejadian itu berlalu, akan selalu ada bagian dari diri saya yang tidak
bisa kembali seperti semula. Akan ada luka, setiap kali saya ingat tentang itu.
Mungkin, jenis kehilangan ini berbanding
lurus dengan apa yang akhirnya kita temukan. Mungkin alumni di sekolah saya
yang bunuh diri itu, merasa menemukan sesuatu ketika dia memiliki kesempatan pergi
ke luar negeri untuk pertukaran pelajar. Tapi saat kesempatan itu gagal, mungkin ada bagian dari dirinya yang sangat terluka. Mungkin tante saya, menemukan cinta dalam hidupnya yang dia yakini akan bertahan lama, dan dia tidak menyangka bahwa di pagi hari yang biasa-biasa saja, cinta itu hilang selamanya. Dan bagi orang yang tidak percaya komitmen,
saya akhirnya menemukan seseorang yang ingin saya temani selamanya, hingga itu terasa tidak mungkin.
Untuk itu, setiap kali saya
melihat sebuah kejadian yang melibatkan kehilangan, seperti tenggelamnya
Nanggala-402 baru-baru ini, atau pesawat hilang, saya akan selalu membayangkan
diri saya di tahun 2015. Mengingat sekali lagi seperti apa lukanya, berempati untuk semua yang ditinggalkan, dan mendoakan dari jauh agar mereka bisa diberikan kekuatan untuk kembali berfungsi sebagai manusia. Mungkin tidak akan kembali utuh seperti sedia kala, tapi kehilangan terbesar akan melahirkan jiwa baru yang lebih tenang. Sejauh yang saya rasakan, jika kehilangan terbesar dapat terlewati, kehilangan selanjutnya akan menjadi sebuah repitisi yang cenderung lebih mudah ditangani. Mungkin memang kita harus mencicipi kehilangan terbesar, sekedar untuk menjadi pengingat, bahwa tidak akan ada yang benar-benar menetap di dunia ini, bahkan untuk hal yang benar-benar kita inginkan. Mungkin...
sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/229683649733909134/ |